Desember 21, 2009

MOS yang Jos

Interaksi di Hari Awal Sekolah, Penentu Keberhasilan Komunikasi

Apa persiapan Anda sebagai Guru dan Kepala Sekolah menyambut hari-hari awal sekolah? Setelah selesai rapat kerja, lazimnya di minggu awal sekolah seusai liburan panjang, lebih memerlukan kesiapan Guru untuk segera menghidupkan suasana kelas dan sekolah.

Umumnya di sekolah yang mengusung active learning, minggu pertama merupakan masa orientasi. Kegiatan diwarnai dengan aktifitas pengenalan lingkungan dan membuat kesepakatan antara guru dan siswa. Simak rincian jadwal kegiatan di salah satu sekolah keren di Jawa Barat ini. (Lihat tabel)

Di sekolah yang mengusung kreatifitas dan active learning, kegiatan di atas biasa dilakukan. Berbeda mungkin dengan sekolah-sekolah pada umumnya, yang mengisi masa orientasi dengan berbagai aturan kerutinan sekolah saja.

Melalui media massa kita kerap mendengar banyak kegiatan masa orientasi siswa (MOS) diisi kegiatan disiplin ala militer. Dengan dalih memberi pengajaran soal disiplin, MOS menjadi ajang balas dendam senior pada yunior. Tak ayal, jatuh korban celaka hingga meninggal.

Sesungguhnya, kegiatan di awal perjumpaan sekolah merupakan momen yang amat menentukan. Pengenalan visi sekolah dapat dilakukan sejak awal kedatangan siswa, dengan menciumkan aroma interaksi yang telah terpatri sebagai corporate culture sekolah.

Apa yang Harus Disiapkan?
Tentu perlu ‘banyak’ persiapan. Penanggungjawab acara MOS harus berkordinasi dengan penanggungjawab sekolah, memeriksa apakah mata acara kegiatan yang direncanakan sudah cukup patut dengan segmen sekolah. Selera Guru yang abai dengan cita rasa orangtua murid banyak menimbulkan kesan kurang menguntungkan bagi hubungan sekolah-siswa yang ingin dibangun.

Kreativitas dan ide, perlu disejajarkan dengan cita rasa itu. Untuk segmen sekolah yang berwawasan/bermuatan global, akan sangat mengganggu jika model games yang diadakan sekedar bernyanyi, ikrar, baris berbaris: ‘terkesan garing’ jadinya.
Disinilah termaktub hidden curriculum.

Tak tersurat, namun tersirat. Aturan masa pengenalan sekolah selayaknya menjadi tabir pembuka komunikasi antar siswa dan Guru, antar orangtua dan sekolah.

Meski bukan lagi di kelas awal (kelas I, kelas VII, kelas X), penyelenggaraan
MOS selayaknya tetap dilakukan - apapun sebutannya. Kegiatan awal ini harus menjadi pemantik semangat bagi siswa. Di saat inilah ditanamkan kepercayaan akan kualitas sekolah, utamanya kualitas Guru.

Kumpulkan ide dan ciptakan aktivitas (games) baru yang menantang. Jangan hanya mengulang kegiatan tahun-tahun sebelumnya atau yang sudah biasa disampaikan. Sesuaikan dengan muatan pendukung, seperti muatan leadership dan character building.

Jauhkan dari kegiatan yang bersifat indoktrinasi, apalagi militerisasi. Tahapan usia perkembangan juga harus dicermati. Untuk siswa SMP, kuncir rambut sesuai tanggal lahir, membawa telur yang di stempel pak RT, rok dilapisi rumbai raffia, memang masih sering tampak. ‘Lucu-lucuan’ menjadi latar belakang. Pemaknaan kerap hilang. Sungguh sayang. Seyogyanya, kreatifitas MOS juga harus disertai muatan makna. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Desember 13, 2009

Memahami versus Menghapal

Ada dua cara belajar yang saling melengkapi, yakni:
1. Belajar demi pemahaman.
Siswa diajak berlatih berfikir. Pertanyaan menjadi kunci pembuka pengetahuan.
Di SD Mangunan bentukan Romo Mangun di Yogyakarta, siswa yang mengajukan pertanyaan paling banyak dengan bahasa yang baik, akan menduduki ranking tertinggi.

Pertanyaan yang terkait materi ajar menunjukkan tingkat pemahaman siswa. Belajar dengan pemahaman membutuhkan multi metode dan kepiawaian Guru pada pemetaan tahapan pencapaian siswa. Berbagai asesmen diseimbangkan guna membuktikan pencapaian pemahaman.

2. Menghafal.

Sistemnya adalah drill. Mirip dengan yang dikerjakan pawang pelatih lumba-lumba. Sifatnya menatar dan indoktrinasi. Sebagian besar materi hafalan adalah hal yang di luar jangkauan kontekstual kehidupan siswa saat itu. Di kelas 4 misalnya, materi gelombang bunyi transversal dan longitudinal yang diajarkan menjadi mubazir, karena kelak di jenjang SMU akan lebih tereksplorasi dan terkoneksi dengan lingkungan terdekat siswa.

Menghafal dapat dibedakan menjadi dua, yakni menghafal yang memerlukan fondasi pemahaman, dan menghafal yang (untuk sementara) tak memerlukan pemahaman siswa.

Demi NEM, kini kita (untuk sementara) membiarkan siswa menghafal bahan materi ajar tanpa perlu memberi pemahaman seluk beluknya pada siswa. Yang harus dikomunikasikan pada orang tua adalah, jika ada siswa mendapat angka yang tak menggembirakan pada butir-butir indoktrinasi ini, maka hal ini TIDAK AKAN BERBAHAYA bagi kemajuan hidupnya kelak.

Maka sebagai Guru yang keren, kita harus tahu, kapan memberi pelajaran yang harus mencapai pemahaman dan kapan yang ‘sekedar’ sekilas info namun perlu dihafal jawabannya, demi menjawab soal ujian standar.

Menyikapi hal ini, SD Mangunan menetapkan prosentase 70% jatah jam pemahaman, 20% hafalan dengan pemahaman, dan 10% hafalan tanpa harus faham. Anda setuju dengan strategi ini? Atau merasa tak perlu melakukan prosentase? Untuk membantu Guru agar tak melakukan banyak kesalahan di kelas, prosentase ini setidaknya akan membantu Guru memilah, mana materi yang perlu difahamkan, mana yang ‘sekedar kejar setoran’
persiapan ujian.

Idealnya tentu saja 100% pembelajaran dilangsungkan dengan pemahaman. Saat ini, Anda akan akan berfikir: Mungkinkah? Bisakah? Jujur harus Anda katakan: belum dimungkinkan! Faktor Ujian Nasional dengan model soal yang abcd menjadi sulit ditaklukkan.TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

JIKA ANAK GURU IKUT SEKOLAH

Pertimbangkan Kemanusiaan, Loyalitas, dan Profesionalisme

Sudah hampir satu semester ini kepsek Pak Didin bimbang. Lebih dari sepuluh orang Guru nya membawa anak saat mengajar. Alasannya klasik : tak ada pembantu, sehingga tak ada yang mengurus si anak. Mau melarang, Pak Diding enggan lantaran banyak Guru jadi sering mangkir alasan anak. Diijinkan, tapi koq ya mengganggu proses mengajar.

Bahkan kini beberapa diantara anak ikut masuk kelas, ikut belajar, ikut sekolah tanpa keabsahan. Awalnya sih seolah titip teman sejawat yang mengajar di kelas usia
anak-anak mereka. Pak Didin sedang mencari aturan yang win-win. Tapi,terlambat! Hampir satu tahun hal ini berjalan. Ah… pak Didin bingung.


Awalnya bisik-bisik antar Guru, yang sebagian besar punya anak usia sekolah, di usia dini/kelompok bermain. Entah siapa yang memulai, pergunjingan ingin meminta hak anak Guru boleh ikut sekolah dengan harga minimalis makin menguat.

“Ya, kami kan mendidik anak orang lain. Tentu saja kami juga ingin anak kami menerima layanan pendidikan yang se-level dengan sekolah tempat saya mengajar. Ngiri juga gitu lho,” ungkap Bu Prita, Guru SD di Jakarta Selatan.

“Kalo ngikutin kata hati, kepingin juga anak saya merasakan sekolah di sini. Sudah hampir lima belas tahun saya mengabdi. Kini kami sedang menunggu keputusan direksi, apakah anak kami bisa sekolah dengan biaya seringan mungkin, syukur-syukur free…he..he..,” tawa renyah Pak Gani, guru di sekolah inklusi top di Jakarta Pusat.

“Di sekolah ini, kami selalu mendapat pelatihan mengajar dengan berbagai metode, serta pengembangan profesionalisme. Namun hati kami sedih, anak saya di sekolah lain tak tersentuh peningkatan kualitas pendidikan seperti ini. Semua serba apa adanya. Yah… kami tentu akan sangat bersyukur jika sekolah bisa mengakomodasi anak kami di sini,” keluh Pak Sam, guru di sekolah beken dengan bilingual system.

Manusiawi memang jika Guru juga berkeinginan memberi pendidikan terbaik untuk anak mereka sendiri di sekolah keren dan unggul. Kebanyakan, anak para guru itu bersekolah di SD negeri (gratis), atau sekolah dekat rumah yang berharga minimal. Faktor biaya menjadi pertimbangan utama kebanyakan para Guru bila ingin menyekolahkan anak di sekolah bermutu.

Pertimbangan Sekolah
Bu Fatim, pemilik sekolah yang sudah 10 tahun melayani pendidikan usia dini hingga SMP menyadari kebutuhan anak Guru. Ia memberi keringanan biaya 70% bagi anak Guru di tingkat Taman Kanak Kanak. Kalau masuk SD, pengurangan hanya 50%.

”Saya belajar dari sebuah sekolah teman, yang membebaskan biaya sekolah bagi anak Guru. Awalnya tak terasa. Tapi begitu tahun ke sekian, di mana makin banyak Guru yang punya anak usia sekolah, ternyata jumlah anak Guru cukup signifikan. Apalagi sekolah teman saya itu mengedepankan kelas kecil yang hanya berjumlah kurang dari 20 siswa per kelas. Nah ... lama-lama satu kelas isinya anak Guru semua…. Limbung juga keuangan sekolah. Belum lagi keriwehan Guru yang anaknya harus ikut menunggu jam kerja agar bisa pulang bersama.” Seru cerita bu Fatim.

Pak George, principal sekolah keren, tidak mengakomodasi kebutuhan ini. Secara prinsip, pekerjaan Guru juga sama dengan profesi lain yang menuntut profesionalitas. Tanpa bermaksud mengecilkan pendapatan Guru di sekolahnya yang hitungannya sudah jauh lebih tinggi dibanding sekolah lain, pak George menjelaskan bahwa pembayaran sekolahnya hanya bisa diakses oleh seorang pengusaha besar atau ekspatriat.

“Kalau anak Guru sekolah di sini, hmm…. saya fikir hanya akan mempersulit kehidupan mereka sendiri. Lebih baik kami memberi sedikit tambahan subsidi pendidikan anak dalam komponen gaji Guru yang sudah memilki anak usia sekolah, maksimal sampai anak ke dua. Aturan ini sudah tertulis dalam buku kepegawaian. Jadi tak muncul masalah di kemudian hari. Kalau anak Guru hanya sekedar ingin menikmati fasilitas sekolah seperti kolam renang atau playground, kami menentukan hari keluarga. Setahun dua kali lah,” jelas Pak George, ekspatriat yang fasih berbahasa Indonesia.

Kebijakan muncul bersamaan dengan kebutuhan. Ketika sekolah sudah berjalan cukup lama, dan para Guru yang ikut dalam perjuangan sekolah mulai melihat kemapanan sekolah, muncul kebutuhan menyangkut kemudahan anak Guru.

Pengelola sekolah harus berhitung dengan segala kemungkinan. Akan menjadi daya pengikat loyalitas Guru, jika anak mereka bersekolah dengan gratis atau potongan khusus. Namun jika hampir semua Guru berusia produktif, besaran subsidi sekolah yang harus dibayarkan tentu layak dicermati.

Kesadaran Diri
“Mesti disadarkan pula pada Guru, bahwa mendidik anak lain bukan berarti menerlantarkan anak sendiri meski dengan kualitas berbeda. Belajar toh bukan hanya di sekolah. Jika sekolah terus meningkatkan mutu pengajaran, hal itu juga bisa diterapkan Guru pada anak-anak mereka di rumah. Perasaan iri tak perlu dibangkitkan. Tiap anak sudah ada rejekinya.” Begitu kata alim ulama.

Makin sulit lagi jika Guru adalah sang ayah. Sepulang sekolah, tidak mungkin ayah segera mengantar pulang anak –kecuali kalau dekat. Kalau Guru perempuan, masih mending. Dia mungkin lebih luwes mengurus anaknya makan siang bersama, dan menidurkan di ruang kelas, atau memberi mainan yang cukup saat sang ibu harus rapat atau mengurus kelas. Meski tampak ribet, namun pemandangan ini seringkali lebih diterima oleh lingkungan, dibanding pemandangan seorang bapak yang di-intil anaknya saat bekerja.

Ada yang bisa bantu pak Didin? Mana yang dikedepankan? Profesionalitas, meningkatkan loyalitas Guru? Atau biarkan mengambang, hingga Guru merasa kesusahan sendiri? Duh… susah!TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Homeschoooling: Pikiran yang Masih (tetap) Strange

Mendengar kata homeschooling, sebagian besar orang berpikir bahwa para penikmatnya (baik anak maupun orangtua) adalah orang-orang yang sulit, tidak mau beradaptasi, dan secara sosial memang tidak mampu dan tak mau bersosialisasi. Benarkah demikian?

Penggunaan kata ’strange’ memang disengaja, demi menunjukkan betapa pemikiran tersebut masih benar-benar ’strange’ menurut sebagian besar orang. Aneh? Asing? Strange!

Homeschooling dianggap pemikiran alternatif oleh para pelaku lembaga pendidikan formal dan praktisi sekolah. Dianggap menyempal, sok mau berbeda, atau tandingan.
Saat dulu, Pestalozzi, seorang ahli pendidikan dari Swiss, menyerukan pemikiran yang menyempal, karena sejumlah anak terlantar akibat ayahnya pergi berperang (perang antara Inggris dan Perancis waktu Napoleon berkuasa). Anak-anak dikumpulkan dalam satu kelas dan belajar materi yang sama. Dari sinilah istilah klasikal mulai dikenal (untuk membedakan dengan individual).

Kurang lebih dua ratus tahun kemudian, konsep homeschooling yang bersifat individual kembali muncul. Saat istilah homeschooling makin keras didengungkan, orang makin penasaran. Pentingkah dipertimbangkan?

Pestalozzi melihat konteks perang, untuk segera menyelamatkan anak-anak terlantar dengan cara mendidik mereka bersama-sama di kelas. Kini ramai-ramai orang menarik anak-anak mereka dari sekolah umum, konteksnya perang juga, yakni perang terhadap musuh yag tak tampak: hedonisme, konsumerisme, pornografi, obat-obatan, hilangnya
respek dan empati.

Sahkah dan adilkah orangtua mengambil keputusan demi menyelamatkan masa depan anaknya, meski pun terkesan ’paranoid dan egois’? Sah saja. Meski banyak orangtua lain berdalih mengembangkan minat dan bakat anak agar lebih optimal, atau demi penerus tradisi keluarga melalui ’on the job learning’.

Dalam buku ’Dunia tanpa Sekolah’, Izza, remaja 15 tahun telah melewati perjuangan berat dan berhasil membebaskan diri dari tempat yang memenjarakan kreativitas dan kemerdekaannya, yaitu sekolah. Anak pasangan suami istri yang berprofesi sebagai guru berprestasi, memutuskan keluar dari SMP demi menggapai cita-citanya menjadi penulis hebat.

Izza mengatakan,”Aku tak mau hanya wajib belajar 9 tahun… Aku mau wajib belajar seumur hidupku, dan aku memilih caraku sendiri…”

Sebagian besar orang masih meletakkan harapan pada sekolah formal, memilih sekolah terbaik. Kalau masih bisa memilih, mereka akan memilih sekolah-sekolah yang sesuai kebutuhan masing-masing (metode, kurikulum, kondisi finansial). Sayangnya sebagian besar rakyat Indonesia tak punya hak memilih, nrimo apa pun kondisi sekolah.

Daud Yusuf, mantan Menteri Pendidikan kita, khawatir bahwa pendidikan (educating) telah diartikan sebagai persekolahan (schooling). Seolah hanya di sekolah tempat mendidik.

Padahal pendidikan lebih luas. Saat sekolah hanya mendudukkan sebagai lembaga persekolahan, maka yang dituju adalah target penguasaan materi yang harus dicapai dengan cara apa pun (baca: menghalalkan segala cara termasuk menipu demi kelulusan siswa?).

Seharusnya, pendidikan distimulasikan untuk penguasaan dan implementasi nilai-nilai, sehingga anak didik berkembang secara intelektual dan emosi dan terhubung dengan alam lingkungannya. Bukan menjadi makhluk cerdas cemerlang tapi hidup sendiri tak bergaul tanpa kontribusi pada lingkungan.

Bila sekolah menjalankan educating dan schooling, berarti sekolah masih menjadi alternatif yang bagus. Namun bila sekolah sudah tak mampu menjalankan esensi pendidikan, rumah mungkin adalah alternatif yang tak boleh dicibir.

Silakan pilih, tanpa saling menghujat! Hidup pemerdekaan pendidikan! TG

Penulis: Ria Restanti Natalisa wartawan TeachG di Yogyakarta

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Desember 12, 2009

JOGJA PATRIAE ACADEMY


Jimmy Pieter Kalauserang: Perjuangan Memerdekakan Anak
Sebuah rumah di ujung sebuah gang buntu menjadi tempat menyebarkan ruh perjuangan kebaikan dan kesantunan. Pemilik rumah itu, Jimmy Pieter Kalauserang, lulusan Fisipol UGM dan kini pendeta.

Dari rumah mungil namun asri itu, bersama istrinya, Yanti, Jimmy menabuhkan genderang pendidikan masa depan untuk generasi yang lebih baik secara etik, akademik, dan moral, dalam nuansa spritual kental.

Lima tahun mendidik sendiri ketiga anaknya dan beberapa anak anggota jemaat gereja (total 9 siswa). Mulai Agustus 2009, makin dikokohkan dalam wadah yang lebih formal yakni Jogja Patriae Academy (JPA).

Berikut ringkasan obrolan Teachers Guide bersama Pak Jimmy di sela-sela kesibukan melayani tamu yang hari itu silih berganti datang.

Awal berdirinya JPA?
Awalnya, pimpinan kami di Jakarta, dari Gereja Morning Star Indonesia (MSI), ibu gembala kami menerapkan homeschooling pada anak-anaknya tahun 1995. Karena beliau melihat akibat dari pendidikan modern, buah-buahnya seperti tak respek pada orangtua, etika dan moralnya kurang, egois. Teknologi maju, informasi maju, anak -anak malah lebih malas, bukannya menjadi mandiri dalam belajar. Mereka memanfaatkan hanya untuk bermain bukan untuk alat belajar Gratification (kesenangan) saja, ingin mudah, shortcut ... Daya juang kurang karena tantangannya tak ada. Jadi daya hidup melemah. Kalau ada masalah, mereka cenderung lari.

Hal seperti inilah yang menyebabkan beliau menarik anaknya dari sekolah. Memang pergumulannya sulit, karena seperti berenang melawan arus. Apalagi tahun 1995 masih awal-awal. Setelah dua tahun beliau mempertimbangkan, akhirnya diputuskan melakukan homeschooling.

Tahun 2002 sampai sekarang ini kami di rumah. Bersama beberapa orangtua yang telah bergabung. Kini lebih terstruktur, ada kurikulum, ada legalitasnya, dan gedungnya, ada hari-hari sekolah di hari tertentu.

Yang di Jakarta menempati gedung Morning Star Academy di daerah Kuningan, Jakarta. JPA ini adalah semacam sister school MSA.

Semi homeschooling, begitu pak Jimmy mengistilahkan. Esensi homeschooling tak hilang, karena tetap berdasar nilai-nilai keluarga, dan mengatasi keterbatasan ilmu yang dimiliki orangtua. Definisi homeschooling dalam kerangka pembelajaran?

Esensinya terletak pada keterlibatan orangtua yang lebih besar. Saat ada orangtua ingin bergabung, yang ingin kami ketahui adalah apakah mereka sanggup melibatkan diri sepenuhnya dalam proses pendidikan anak-anak mereka.

Alasan terbaik untuk homeschooling…
Banyak faktor. Bisa karena nilai-nilai yang negatif yang berkembang di luar, kurikulum yang berat di sekolah formal. Ada orang tua tak mau kehilangan waktu berharga bersama proses tumbuh kembang anak mereka.

Banyak orangtua merasa, setelah anak-anak besar, sulit ’masuk’ dalam kehidupan anak-anak mereka. Mereka menyesal dan berharap waktu dapat diputar kembali. Hubungan terjalin sebatas kebutuhan ’fasilitas’, namun tanpa komunikasi. Masing-masing hidup sendiri-sendiri meski serumah. Menurut saya, itu alasan terpenting melakukan homeschooling.

Jadi, Sekolah atau Homeschooling…
Sebenarnya ini bukan dikotomi ya. Kalau anak dikirim ke sekolah umum namun masih dapat mengatasi faktor-faktor yang cenderung mengkhawatirkan, itu baik-baik saja. Atau, sepanjang orangtua bisa masuk dalam kehidupan anak. Di sekolah umum, orang tua harus bekerja dua kali, masih harus memberikan les tambahan pada anaknya. Belum lagi tentang etik dan moral, juga nilai.

Merujuk pada keberhasilan Morning Star Academy di Jakarta, orang tua dan anak sama-sama happy. Beban pelajaran tidak besar, dan masih punya banyak waktu melakukan minat musik atau olahraga.

Keterlibatan anak-anak di masyarakat harus jadi kepedulian orang tua. Sayangnya yang bergabung dalam komunitas, seperti MSA di Jakarta, adalah orangtua yang sudah putus harapan pada perilaku anak-anaknya yang kini tingkat SMP atau SMA. Jadi persoalannya bukan terletak pada homeschooling atau tidak, namun pada sedalam apa keterlibatan orangtua.

Sesungguhnya tidak perlu ada dikotomi antara sekolah vs homeschooling. Orangtua punya tugas untuk terlibat dalam pendidikan, dan sekolah adalah salah satu sistem pendukungnya.

Kelebihan homeschooling?
Yang saya tahu, anak tumbuh kepercayaan diri tinggi, unik, berinisiatif, dan yang terpenting tahu kapan belajar, tanpa didorong-dorong. Bisa sangat melengkapi clues yang hilang. Output yang kami harapkan adalah kuat secara akademik, moral, dan people skill (berinteraksi dengan orang dan memberi manfaat pada lingkungan).

Kurikulum?
Kami mengadaptasi kurikulum. Ada umbrella program dari Classical Christian School. Materi preschool dari K3, 4, 5 kami ambil dari Amerika. Pada tahap ini anak sudah diajarkan membaca, minimum kombinasi tiga huruf (dalam bahasa Inggris), seperti cat, rat, fat, sad. Jadi ada phonics, reading, dan math.

Tingkat elementary, misalnya math mengadopsi kurikulum Singapore. Kami mengintegrasikan pelajaran agama Kristen dalam keseharian. Bahkan sejarah, misal tentang terbentuknya bangsa-bangsa, kami sampaikan dalam perspektif Kristiani. Namun kami tidak memaksakan ini kepada yang tak beragama Kristen. Yang kami ajarkan adalah nilai-nilai universal, seperti respek pada orangtua, sikap bertanggung jawab.

Anggapan bahwa homeschooling secara akademis lebih rendah kualitasnya, kami rasa tidak benar. Tergantung apa kurikulum dan bagaimana itu diaplikasikan. Kalau di Jakarta, mengadopsi SAT (Stanford Achievement Test) dari tingkat elementary hingga high school. Mereka mendapat international degree, dan bisa kuliah di universitas negeri di Indonesia (program internasional) atau melanjutkan ke luar negeri.

Dulu yang ikut ujian kejar paket (Depdiknas setara SMA) adalah kalangan menengah ke bawah, atau orangtua yang baru mencari ijasah. Kini banyak kalangan menengah ke atas, dengan berbagai alasan, salah satunya pelaku homeschooling. Komunitas membantu menyiapkan anak-anak melewati tes tersebut.

Kami di sini menggunakan pendekatan klasikal yang menekankan proses, mengajarkan cara belajar, menekankan nilai legasi, dan budaya, menekankan history, literature, dan humanities, serta pengudusan (ruh) sebagai bagian utama. Bahasa Indonesia ada dalam kurikulum, juga performing arts untuk mengenalkan budaya nasional.

Ada guru yang mengajarkan beberapa materi. Kriteria Guru adalah yang dapat menjadi teladan, sebab ia adalah orang yang impart (membuka dan menyampaikan) hidupnya kepada anak didik. Tapi sekarang sulit menemukan itu, sebab pendidikan menjadi industri. Anak cenderung bullying, dan Guru pun melakukan bullying lebih dahysat lagi kepada siswanya.

Kendala utama menjalankan homeschooling ...
Orang tua! Kami butuh komitmen orang tua untuk terlibat apalagi lingkungan masyarakat kadang masih memandang sebelah mata. Kami menjalankan semi homeschooling yang lebih tertata: secara legal, terstruktur, dan terukur. Ada banyak pelaku homeschooling yang menerapkan sistem lain, misalnya independen total dengan kurikulum dan jam belajar kurang jelas.

Pesan untuk Guru, praktisi pendidikan, dan masyarakat ...
Jangan marah melihat kondisi sekarang. Harus berpikir jalan keluarnya. Tak bisa menunggu pemerintah melakukan perbaikan, harus memulainya sendiri. Orangtua mesti terlibat dalam pendidikan, jangan menyerahkan sepenuhnya pada sekolah. Sekolah dan Guru, khususnya saya pribadi, it’s a calling (panggilan). Kalau guru harus disertifikasi, mestinya etika moralnya yang tersertifikasi. Mengingat guru adalah panggilan hati. Mari kita lakukan saja yang terbaik.

Pak Jimmy! Bersama kita hantarkan anak didik menuju pemerdekaan pendidikan! TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Desember 09, 2009

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER

Sebuah fakta dan data disajikan oleh Sukro Muhab, ketua Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) di seminar yang diadakan oleh SiMAk Bangsa, sebuah komunitas yang sangat peduli pada urgensi pendidikan karakter.

Korupsi:
* Dana BLBI yg diselewengkan: Rp. 130,6 trilyun
* Subsidi rekap bank: Rp. 40 trilyun
* Kebocoran APBN 30%
* Pencurian kayu: Rp. 90 trilyun
* Pajak digelapkan : Rp. 240 trilyun

Indikator Kehancuran Moral :
* Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
* Penggunaan kata-kata kasar dan buruk
* Tumbuhnya geng-geng/premanisme
* Meningkatnya perilaku menyimpang/merusak
* Semakin kaburnya pedoman moral
* Menurunnya etos kerja
* Semakin rendahnya rasa hormat pada orang tua dan guru
* Rendahnya rasa tanggung jawab invidu dan warga negara
* Membudayanya perilaku ketidakjujuran
* Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama

Dasar-dasar Pendidikan Moral

Sesungguhnya ajaran agama mengajarkan kebaikan. Contohnya adalah pada ayat ini:
1. Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah yang fitrah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Al Quran -Ar Rum:30)

2. Dalam tubuh terdapat sepotong daging, apabila ia baik maka baiklah badan itu seluruhnya dan apabila ia rusak, maka rusaklah badan itu seluruhnya ... Hadits Bukhari Muslim)

Tujuan Pendidikan Nasional (UUD,UU, PP) juga telah mengundangkan perlunya pendidikan secara menyeluruh atau integrated holistic education system. Realitanya, pendidikan masih berkutat pada pemberian bekal agar lulus Ujian Nasional, atau lulus seleksi mahasiswa baru.

Proses menumbuhkan keimanan, ketaqwaan, serta akhlak mulia sangat penting, tapi terabaikan. Tujuan pendidikan itu jelas menjadi terabaikan!

Persoalannya, apakah buku-buku pelajaran ada mengkaitkan materi sains dengan aspek keimanan & ketaqwaan? Tampaknya belum.

Apakah ada guru yang bisa mengkaitkan itu? Tampaknya belum semua Guru bisa. Apakah guru mau mengkaitkan materi pelajaran dengan aspek keimanan dan ketaqwaan? Belum semuanya mau.

Seriuskah Depdiknas melaksanakan amanat seperti tertuang dalam Tujuan Pendidikan Nasional, fungsi dan tujuan dalam Kurikulum KTSP? Tampaknya kurang serius.

Kalau begitu, apa saja hasil pembelajaran di sekolah? Tampaknya hanyalah: pengetahuan tentang materi dan sedikit keterampilan laboratorium/berbahasa. Apa dampak selanjutnya? Terciptanya generasi yang menganggap bahwa antara ilmu dan agama/moral tidak ada kaitan sama sekali.

Dalam memanfaatkan ilmu sama sekali tidak mengindahkan etika agama, moral dan kemanusiaan. Bangga dengan ilmu yang dikuasainya sehingga dia tidak mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.

REKOMENDASI
Perlunya pembelajaran terpadu antara ilmu dan agama digunakan sebagai alat untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa.

Kapan mata pelajaran dapat digunakan sebagai alat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan tersebut?

Apabila kegiatan pembelajaran dapat menumbuhkan kesadaran bahwa:
1. Menutut ilmu itu wajib hukumnya, sedangkan ilmu yang kita pahami itu amat sedikit.
2. Mengantarkan siswa mengenal kebesaran Allah SWT.
3. Mengantarkan siswa untuk pandai bersyukur pada Allah SWT.
4. Mengantarkan siswa untuk patuh dan takut pada Allah SWT.
5. Mengantarkan siswa untuk menjadikan segala ciptaanNya sebagai fakta & data
pengembangan Ilmu.
6. Perintah dan ketetapan Allah SWT betul-betul bermanfaat bagi kita.

Yang terjadi di kelas, pembelajaran tidak menyentuh pada fakta faktual yang menjadi persoalan bangsa. Misalnya, pentingnya energi aktivasi. Apa yang terjadi seandainya tidak ada energi aktivasi?

Suplai oksigen (O2) di udara akan menipis atau oksigen habis sama sekali karena bereaksi dengan gas-gas yang lain. 2H2(g) + O2(g) → 2H2O(l) ΔG = -237,2 kJ/mol.
Contoh ini membangkitkan kesadaran kita, bahwa apa ketetapan Allah SWT adalah yang terbaik bagi kita. Kesadaran bahwa larangan-larangan yang ditetapkan oleh Allah SWT betul-betul bermanfaat bagi kita. Misal, larangan minum minuman keras.

Mengapa? Coba kaitkan dengan reaksi kimia. Bagaimana caranya memunculkan kesadaran akan kebesaran dan rasa syukur pada Allah SWT? Dengan memahami ilmu secara mendasar dan tepat (tidak terjadi salah konsep).

Contoh, pemahaman tentang air. Kita tahu, molekul air dapat berhidrogen antarmalukis molekul. Pada air, molekul-molekul membentuk ikatan hidrogen antarmolekul. Apa pengaruh ikatan hidrogen?

Pada suhu ruang, air berwujud cair. Bagaimana kalau antar molekul air tak ada ikatan hidrogen? Pada suhu di bawah 100ºC, air sudah mendidih. Bayangkan, tak akan ada organisme yang dapat hidup di bumi.

Misal, makanan. Apa yang terjadi seandainya padi mogok berbuah? Untuk dapat sepiring nasi, terpaksa kita mensintesisnya di laboratorium –tapi nyatanya kita belum bisa mensintesis nasi!

Seandainya pun bisa, pasti sepiring nasi akan sangat sangat mahal. Untuk dapat hidup, kita sangat tergantung pada rahmat dan kasih sayang dari Allah SWT! Nah, masih banyak contoh lain. Burung, bila kelebihan makannya disimpan sebagai karbohidrat, ia makin bertambah gemuk sehingga tak ada satu pun yang bisa terbang.

Ada keteraturan pada alam semesta: bumi mengedari matahari sehingga malam dan siang silih berganti. Suhu bumi menjadi tidak ekstrim sehingga nyaman dihuni manusia, hewan, dan tumbuhan.

Bagaimana kalau malam terjadi terus-menerus? Atau siang terus? Bagaimana dengan keteraturan dalam metabolisme makanan di tubuh kita? Bila makanan kita di dalam tubuh langsung dibakar menjadi CO2 dan H2O, satu piring nasi sudah cukup membakar habis seluruh tubuh!

Allah telah memberi perintah: makan makanan yang baik dan bergizi. Persoalannya: dapatkah guru-guru menyiapkan kegiatan pembelajaran yang mengembangkan keimanan/ ketaqwaan siswa? Pasti dapat.

Cara Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Keimanan dan Ketakwaan:
(1) Banyak belajar baik materi pelajaran yang diampu ilmu agama.
(2) Mengamalkan perintah semua perintah Allah.
(3) Menjauhi semua larangan Allah.
(4) Dapat menjadi tauladan bagi siswa.
(5) Menyadari profesi guru itu amal da’wah.

Coba renungkan, banyak materi kita ajarkan, tapi tak menyentuh sendi pembentukan karakter. Fakta di atas kiranya jangan menjadi wacana belaka tanpa upaya menjadikan siswa lebih baik. Jadi, yang kita lakukan sebagai Guru di depan kelas, amat berkaitan dengan persoalan bangsa? Sukro Muhab (juga kita semua mestinya) amat prihatin dengan keadaan ini.

Beliau tak hentinya bergerak ‘memasarkan’ pentingnya sekolah mengadopsi segala materi ajar agar berkaitan dengan pembentukan karakter siswa, karakter bangsa!TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

SEKOLAH RAMAH ANAK ala CIKAL

Sekolah bagus, Guru bagus, pembelajaran bagus, itu sebuah keniscayaan. Masih dibutuhkan lagi ide dan kreatifitas yang menunjang itu semua menjadi penguat
kehidupan sekolah.

Sekolah CIKAL, baru-baru ini meluncurkan deklarasi ‘Sekolah Ramah Anak’ (SRA) sebagai kelanjutan konferensi Sekolah Ramah Anak yang diadakan pada Mei 2009.

Menurut UNICEF, Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang menjamin pengadaan lingkungan yang aman, situasi emosi yang tentram dan terbuka terhadap perkembangan psikologis anak.

Menurut Shaffer (1999), SRA didefinisikan sebagai sekolah yang mengembangkan
lingkungan belajar yang mudah dipelajari anak dan kondisi yang memotivasi. Guru dituntut lebih terbuka dan memperhatikan kesehatan dan keselamatan anak selama di sekolah.

13 Kriteria SRA menurut Unicef:
1. Merefleksikan dan menjalankan hak anak di sekolah.
2. Memandang anak dengan utuh, sebagai bagian dari keluarga, sekolah dan komunitas.
3. Berpusat pada kemajuan siswa.
4. Peka pada perbedaan gender dan ramah pada siswa perempuan.
5. Lebih mengutamakan kemajuan kualitas hasil belajar.
6. Memberikan pendidikan yang relevan pada kehidupan.
7. Fleksibel menyikapi perbedaan.
8. Terbuka pada pendidikan inklusi serta menghormati persamaan kesempatan.
9. Menunjang kesehatan mental dan fisik anak.
10. Menyediakan pendidikan terjangkau dan mudah diakses.
11. Menguatkan kapasitas, nilai-nilai, komitmen dan status guru.
12. Fokus dan melibatkan keluarga.
13. Fokus dan melibatkan lingkungan sekitar sekolah.

Yel-yel SRA didengungkan bersamaan dengan mini drama dan penandatanganan deklarasi. Dampak SRA diharapkan dapat mengurangi bullying (pelecehan).

Agar sekolah semarak dengan berbagai kegiatan, munculkan yang kegiatan yang berbeda. Ketika kita tak bisa menjadi yang pertama (the first), tak bisa juga menjadi yang terbesar (the best), masih ada kesempatan untuk unggul, yakni menjadi yang different.TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Desember 06, 2009

GURU NYAPU NGEPEL? Gak Lah Yauww...


Setiap sekolah memiliki kebijakan. Ada yang popular, ada juga yang terdengar ajaib. Syahdan, beberapa Guru keluar dari sebuah sekolah yang bernuansa sejuk, berkolam renang, dan megah. Sekolah ini menerapkan aturan yang dirasa tak menghargai harkat Guru.

”Di sekolah saya, kelas adalah tanggung jawab guru. Lengkap dengan segala tanggung jawab kebersihannya. Artinya, kami harus menyapu, mengepel, dan membersihkan semua peralatan kelas. Janitor atau office boy hanya membersihkan teras kelas saja,” begitu jelas Bu Sinta, sarjana kependidikan, saat memberi alasan kepindahan pada pimpinan sekolah barunya, setelah memutuskan keluar dari tempatnya mengajar selama ini.

“Saya suka malu pada orang tua kalau kedapatan sedang menyapu. Bukannya mau jaga imej, tapi koq saya merasa tidak enak. Jadi saya suka pulang telat atau datang jauh lebih pagi untuk menyapu dan ngepel. Tidak enak melihat kelas kotor. Risih rasanya. Apalagi kami sering duduk di bawah,” urai Guru lain yang juga ikut hengkang dari sekolah tersebut. ”Kecuali sekolah memang tak mampu menggaji pegawai kebersihan dalam jumlah cukup. Maka Guru pun dapat turun tangan. Sekolah kami itu cukup punya dana. Ini hanya semata kebijakan yang katanya untuk melatih integritas kami sebagai Guru.”

Kebijakan sekolah pada kebersihan sudah tentu prioritas. Makin banyak sekolah menerapkan sistem kebersihan dengan standar hotel berbintang. Bahkan sampai dikerjakan pihak ketiga (outsourcing).

Bagaimana menurut Anda? Ini masalah sepele, namun terjadi di depan mata. Apakah integritas dan loyalitas sebagai guru hanya bisa diukur dari ngepel dan menyapu kelas? Kearifan sang pimpinan sekolah membuat aturan harus selaras dengan segmentasi sekolah.

Andai orang tua siswa dari kalangan the have, kualitas guru pun tak sembarang hanya ‘sekedar mau mengabdi’. Ukuran profesionalitas tak diukur dengan hal-hal ini. Ada indaktor yang jauh lebih tajam: sikap keinginan memperbarui metode mengajar, misalnya, lebih patut diukur ketimbang mau menyapu ngepel. Iya nggak?

Pendapat sang kepala sekolah yang mewajibkan guru bersih-bersih kelas mungkin lantaran ingin mendapatkan jiwa guru yang sesungguhnya. Kini bukan jamannya melacak sikap profesional atau kepribadian Guru dengan ‘merendahkan’ derajatnya. Sekali lagi, bukan nyapu ngepel itu rendah, namun serahkan saja pada ahlinya, para janitor yang lebih terlatih. Semua pada tugas dan kewajibannya masing-masing.

Kalau ditelaah, di sini sungguhnya terjadi dua kali kesalahan. Memboroskan biaya operasional karena pekerjaan murah dikerjakan oleh orang yang bergaji tinggi (Guru notabene bergaji lebih baik dari janitor). Kedua, sekolah menghilangkan kesempatan (waktu) Guru mengevaluasi siswa secara lebih cermat, yang menjadi tugas pokoknya. Akibat jangka panjang, tentu saja mutu sekolah akan menurun. Dengan investasi sebegitu besar, sekolah dilumpuhkan oleh kebijakan yang merugikan. Konon sekitar 40 guru keluar bersamaan dengan bu Sinta tadi.

Masih banyak cerita ajaib yang sesungguhnya berniat baik, namun manfaatnya sedikit bahkan lebih banyak merugi. Misal, makan siang. Guru baru, apapun jabatannya, harus melalui ‘masa mapram’ dengan menjalani kewajiban sebagai pemungut bola di lapangan golf mini sebuah sekolah. Yang lebih seru, guru baru itu tak boleh makan dengan menu serupa dengan guru seniornya. Kejadian tuh, seorang teman guru berlinangan air mata gara-gara tak boleh mengambil lauk ayam goreng, dengan alasan: masih guru baru! Huahhh……… TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Desember 04, 2009

SEKOLAHNYA MANUSIA

Sekolah unggul itu bukan berdasar input, melainkan proses
Ini adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh Munif Chatib, konsultan pendidikan dan manajemen, serta Direktur Sekolah YIMI Gresik. Judul yang terdengar agak ‘sarkastik’ namun terbukti nyata. Dan fakta membuktikan bahwa sekolah kita selama ini banyak yang tak menjadi sekolahnya manusia, melainkan sekolahnya robot, dan sekolahnya lumba-lumba. Anak dianggap sama setara dan seragam.

Intisari pemikiran Munif Chatib adalah pernyataannya yang keras bahwa sekolah unggul bukan berdasar input, melainkan berdasar proses -the best process, NOT the best input. “Betapa cantiknya proses belajar di kelas apabila guru memandang semua siswa pandai dan cerdas, dan para siswa itu merasakan semua pelajaran yang diajarkan mudah dan menarik,” begitu kata Munif yang kini melatih banyak sekolah dan Guru.

Lebih lanjut Munif mengatakan: “Jika keluar dari kelas, semua siswa mendapatkan
pengalaman pertama yang luar biasa dan tak akan dilupakan, dan ini terjadi pada jutaan kelas di sekolah-sekolah di Indonesia, pasti negara ini akan menjadi negara maju yang diperhitungkan dunia. Wow … dahsyat ya!” jelas Munif dengan bahasa yang medhok dialek Jawa Timur-an.

“Di setiap sekolah mana pun dan kualitas apa pun, siswa adalah amanah. Guru adalah orang yang paling bertanggung jawab. Sekolah unggul adalah sekolah yang memiliki guru dengan sekarung ide gaya mengajar. Penyelenggara sekolah yang profesional adalah lembaga atau orang yang selalu memikirkan kesejahteraan gurunya.” Nah… kesindir nggak!

Sekolahnya manusia, memberi tamparan pada guru dan sistem sekolah yang mendewakan nilai dan ranking. Ada alat riset yang dinamakan Multiple Intelligences Research (MIR), yang digunakan saat penerimaan siswa baru dan setiap kenaikan jenjang. Hasil MIR membantu Guru mendekatkan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa.

Dalam bukunya ’Sekolah Manusia’, termuat pidato Howard Gardner, pakar kecerdasan majemuk, di Harvard University, 1984. Meski kita tak mendengar langsung dan sesudah disuarakan sejak 25 tahun yang lalu, mengapa tak jua kita meluruskan perjuangan kita memerdekakan dan menemukan potensi anak didik?

“Suatu pemandangan umum yang dijumpai hampir di mana pun di Amerika Serikat dewasa ini adalah ratusan siswa masuk dalam aula berukuran besar untuk ujian. Mereka duduk dengan gelisah, menunggu bungkusan bersegel diberikan. Pada jam yang sudah ditentukan, buku soal dibagikan, instruksi singkat diberikan, dan ujian formal di mulai.

Aula itu sunyi saat siswa di masing-masing bangku memegang pensil 2B dan menghitami lingkaran yang menjadi jawaban di lembar tersendiri. Beberapa jam kemudian, ujian berakhir dan buku soal dikumpulkan. Beberapa hari kemudian, lembar berisi nilai diumumkan. Hasil ujian pagi itu menjadi faktor yang amat menentukan dalam keputusan masa depan masing-masing siswa.

Masyarakat kita telah menerima model ujian formal sampai tingkat yang berlebihan. Saya percaya bahwa berbagai aspek dari model aktivitas belajar dan penilaian yang saya sebut ’belajar dalam konteks’, dapat diperkenalkan kembali dengan memberikan manfaat ke dalam sistem pendidikan kita.

Berdasarkan hasil penelitian saya dan rekan Collins, Brown, dan Newman tentang asal-usul tes standard dan pandangan satu dimensi kegiatan mental yang merupakan implikasi metode pengujian, saya menyarankan perlunya pandangan yang lebih luas mengenai pikiran manusia dan mengenai manusia berlajar, daripada yang diinformasikan oleh pemikiran sebelumnya.

Saya yakin, kita harus meninggalkan jauh-jauh bermacam tes dan berbagai kaitan dengan tes, dan sebagai gantinya mencari sumber informasi yang lebih alamiah tentang bagaimana orang di seluruh dunia mengembangkan kemampuan-kemampuan yang penting bagi hidup mereka. Tugas saya di sini adalah memperkirakan bentuk pendidikan dan model penilaian yang berakar kuat dalam pemahaman ilmiah saat ini dan yang memberikan kontribusi untuk memajukan pendidikan di negara Amerika yang tercinta ini.”
TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Desember 03, 2009

GLOBAL CITIZENS

teaching skill: KEWARGANEGARAAN DUNIA, APAKAH ITU?

Tujuan:
Untuk menyadarkan siswa bahwa mereka berpotensi melakukan perubahan; untuk bertindak sesuai keputusan kelompok; berkompromi; rasa hormat harga diri dan tumbuh dengan perbedaan dan keberagaman; yakin bahwa sesuatu akan dapat menjadi lebih baik; dan individu-individu dapat membuat satu perbedaan.

Harus berbuat apa:
Anda akan membutuhkan satu set yang berisi sembilan poin tertulis di bawah, perkelompok terdiri dari empat atau lima orang.

Tiap poin tertulis pada salinan kertas tersendiri.
1. Saya berusaha mengerti apa yang orang lain rasakan.
2. Saya adalah penting sebagaimana orang lain.
3. Tiap orang sederajat dengan saya, namun berbeda dengan saya.
4. Saya tahu apa adil dan tidak adil, dan berusaha untuk lakukan hal benar.
5. Saya memelihara lingkungan dan tidak membuang sampah sembarangan.
6. Saya berusaha untuk menolong orang lain dan tidak memerangi mereka.
7. Saya mempunyai ide-ide sendiri tetapi saya dapat mengubah mereka ketika sadar mereka salah.
8. Saya ingin belajar lebih banyak tentang dunia.
9. Saya rasa saya bisa mengubah hal-hal di dunia.

Dalam kelompok-kelompok diskusi kecil, minta siswa-siswa untuk menempatkan pernyataan-pernyataan ini disusun menurut kepentingan. Model gambar berlian, pernyataan paling penting ada di puncak dan yang kurang penting di dasar. Pernyataan-pernyataan kepentingan yang sama ditempatkan bersampingan.

Siswa-siswa membutuhkan kerja sama dan memberi alasan untuk mendapatkan pandangan tiap individu. Setelah sekitar 15 menit membahas aktivitas sebagai satu kelas keseluruhan, tiap kelompok menjelaskan hasil diskusi mereka, mengapa. Ajak
siswa-siswa di kelompok-kelompok agar dapat menunjukkan hal-hal yang penting.

Sebagai contoh, untuk poin pertama, sarankan peserta agar mendengarkan yang lain. Tanya pada yang lain apa yang salah dan bagaimana perasaan mereka, atau bantu orang lain yang sendirian.

Satu hal yang sulit siswa lakukan mungkin, ”Saya penting sebagaimana orang lain.”
Mungkin Anda bisa memberikan mereka beberapa contoh, seperti : ”Saya sangat baik di …” atau ”Saya membantu di dalam kelas dengan …”

Disarankan kepada siswa-siswa yang menunjukkan bahwa mereka Global Citizens (kewarganegaraan dunia), dapat memamerkan karyanya.

Hasil yang diharapkan:
Perhargaan akan diri sendiri siswa meningkat. Siswa merasa penting, berharga, mampu bertanggung jawab, dan dapat melakukan perubahan.TG



*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Desember 01, 2009

DUNIA SUDAH BERUBAH

Pada sebuah seminar Guru yang diadakan oleh Provisi Education, dengan nara sumber Romy Cahyadi, dipaparkan fakta-fakta yang melingkupi kehidupan manusia saat ini:

* Akses Wikipedia dan Google
* Saat ini ada 540.000 kata dalam bahasa Inggris: 5 kali lebih banyak daripada masa hidup Shakespeare
* Saat ini banyaknya teks yang dikirim dan diterima dalam sehari melebihi populasi manuisa di bumi (6 milyar jiwa)
* Setengah dari yang dipelajari pada tahun pertama akan menjadi kadaluwarsa di tahun ke tiga
* Sepuluh (10) top profesi di tahun 2010 belum eksis di tahun 2004
* Orang akan lebih mudah berganti pekerjaan, karena lebih mudah mempelajari kompetensi baru dengan kemampuan belajar lebih tinggi dan menggunakan cara belajar gaya baru lebih banyak cara belajar gaya baru
* Masalah dunia semakin tergantung dan saling terkait dengan perubahan iklim global
dan krisi ekonomi

Tuntutan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh lulusan sekolah kemudian dideretkan sebagai berikut:
1. Academic achievement
2. Literacy
3. Numeracy
4. Basic computer skills
5. Time management skills
6. Communication skills
7. Interpersonal skills
8. Team working skills
9. Problem solving skills
10. Comprehension of business process
11. Research and analysis skills
12. Leadership skills


Selain pelajaran inti seperti yang sudah kita kenal selama ini, yakni matematika, bahasa, sains, Pkn, IPS, hasta karya, juga ada kelompok pelajaran yang disebut sebagai pelajaran abad 21, yang meliputi global awareness, financial, economic, business & entrepreneurship literacy, civic literacy, health literacy , learning & innovation skills.

Semua pembelajaran harus mengandung unsur Creativity & Innovation, yang di dalamnya termuat materi think creatively, work creatively with others, critical thinking & problem solving, communication & collaboration with people from diverse backround, effectively verbal & written for different purposes.

Kebiasaan manusia ke depan bertambah secara khusus, untuk menyesuaikan dengan dunia usaha dan karir sesorang agar survive dan berkembang, menyangkut life & career skills yang harus dimiliki, yakni:
* Initiative & self direction – managed goals & time, work independently, be self directed learners
* Flexsibility & adaptability – adapt to change, open to different views, able to work to reach compromise
* Social & cross cultural skills – interact effectively with others,
works effectively in diverse team
* Productivity & accountability –manage projects, produce results
* Leadership & responsibility guide & lead other, be responsible to others

BAGAIMANA KITA MULAI?
Apa yang bisa kita lakukan agar proses pembelajaran di sekolah dapat melatihkan tuntutan perubahan tersebut? Salah satu letak keberhasilannya ada pada kepala sekolah, yang harus sukses memimpin sekolah masa kini.

TAKSONOMI BLOOM, harus dikuasai setiap Guru, agar dapat mengajar dengan sepatutnya.

Alvie Kohn dalam bukunya ‘Memilih Sekolah Terbaik untuk Anak’, memberi gambaran pelajaran matematika sebagai berikut:
“Menurut kalian, ada berapa banyak pensil yang ada di sebuah sekolah?
Apakah ada cara yang memungkinkan kita tahu, tanpa harus menghitung satu persatu?”

Sangat mengasyikkan. Siswa menghabiskan waktu untuk mengabstraksi, membandingkan, meyakinkan, mengklasifikasikan, menyimpulkan, mengatur, menemukan, menggambarkan, membuat pola, memvalidasi, mengukur, mensitesiskan dan mengurutkan tingkatan. Inilah jenis kegiatan yang dianggap menjadi karakter kerja ahli matematika.

Guru harus serius mencari soal dan kegiatan nyata yang bisa menyediakan kesempatan anak bernalar numeris. Artikel berita di koran pagi bisa menimbulkan pertanyaan probabilitas, memasak menyediakan soal pecahan yang otentik, mengabsen anak bisa dijadikan probabilitas; ‘berapa proporsi anak di kelas yang absen hari ini?’ misalnya.

Sering ditemui soal cerita seperti ini: ‘sebuah kereta berangkat dari Gambir ke arah barat dengan kecepatan 105 km/jam…..’ Bandingkan dengan perintah Guru yang meminta siswa membandingkan berat dua permen karet bergula dan tanpa gula sebelum dan sesudah dikunyah. Di sinilah proses perkiraan, pencatatan hasil, menjumlah, membagi, mengalikan, sekaligus menggunakan desimal, dan menyimpulkan.

Di kelas yang mana siswa bisa melihat matematika sebagai sesuatu yang relevan, menarik dan merupakan sesuatu yang berhasil mereka lakukan? ½ + 1/3 = ------------- adalah simbol yang diberikan pada siswa. Sekarang bayangkan jika siswa diminta menerangkan dengan kata-kata dan angka: ‘mengapa ½ +1/3 hasilnya bukan 1/5?’ Pertanyaan mana yang lebih membuat Guru tahu cara berfikir siswa?

Mengacu pada perubahan dunia yang mengakibatkan perubahan proses belajar di atas, yang harus dihentikan adalah mengajar siswa dengan pengajaran tradisional.
Piaget mengatakan: ‘kekuatan penalaran secara pribadi yang dapat dilakukan dengan bebas, dijamin bukan dengan mengetahui teorema pytagoras, melainkan dengan menemukan kembali keberadaan dan kegunaan.

Tujuan pendidikan bukan untuk mengulangi dan menghafal kebenaran yang siap pakai, melainkan sesorang bisa berpendidikaan dengan belajar menguasai kebenaran itu melalui usahanya sendiri.’

Siswa bisa dikatakan benar-benar belajar saat mereka tidak diberi penggaris, tetapi diminta menemukan konsep penggaris, saat mereka membentuk sendiri konsep rasio, menciptakan kembali hubungan konstan menakjubkan antara ketiga sisi segitiga siku-siku dan menemukan hubungannya dengan disain benda sesungguhnya.

Mulai saja membongkar cara pengajaran Anda, agar siswa berjalan menuju masa depannya dengan penuh bekal dan latihan sesuai yang dibutuhkan jaman mereka, bukan jaman kita. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

November 30, 2009

KEGELISAHAN PIMPINAN SEKOLAH


Upaya Pembekalan Siswa Melalui Pembelajaran Abad 21
Bu Pandu gelisah. Sudah sebulan ini dia resah. Sebagai pemilik sekaligus manajer sekolah, Bu Pandu sangat peka dengan denyut kemajuan sekolah, mulai dari kemajuan siswa, kekompakan guru, keluhan orang tua, hubungan dengan tetangga sekolah hingga lalu lalang kemajuan ilmu pendidikan yang kini makin mengerucut ke arah nilai-nilai moral dan ketrampilan hidup.

Kegelisahan Bu Pandu sangat beralasan. Sepuluh tahun sudah, sekolah yang mengusung pemerdekaan pendidikan berlangsung dengan dinamis. Jumlah siswa, jalinan kerjasama, pengakuan pihak lain makin meningkat. Demikian juga dengan jumlah Guru yang terus mengalami pertambahan.

Bu Pandu yang selalu menempatkan diri secara egaliter dengan para Guru kini makin terbantu dengan para senior teacher yang sudah diangkatnya menjadi kepala-kepala divisi dan koordinator level. Namun kepekaan, sensitivitas, kecermatan pada kemajuan ilmu, serta ide futuristik agaknya belum berhasil Bu Pandu tularkan pada para punggawanya. Feeling itu sulit diterjemahkan. Mekanisme kaderisasi tak semudah teori. Jasa layanan sekolah memang unik dan multi dimensi, karena semua yang dilayanai harus mendapat perHATIan yang privat.

21st Century Content
Kegelisahan Bu Pandu kali ini dipicu demi melihat performa siswa yang tampak kurang patut. Sampah mulai terlihat bertebaran, meski dalam skala kecil. Asumsinya, siswa (dan Guru) mungkin tak memungut sampah yang terlihat dan otomatis memasukkan ke keranjang-keranjang sampah yang ada. Pun ketika ada tamu sekolah datang, para siswa terlihat tak perduli. Celetukan bernada bullying makin kerap terdengar.

“Wah… ada yang miss nih,” bisik Bu Pandu pada dirinya sendiri. Segera ia mengumpulkan para kepala divisi dan koordinator untuk mendengarkan keluhan dan rasa yang biasanya disampaikan Bu Pandu setiap hari Senin.

“Saya fikir ada missing link. Coba kita cermati lagi lesson plan guru. Lihat pula silabus dan parents letter yang berisikan rencana pembelajaran. Dari situ lah bisa terlihat apa gagasan yang ada di kepala para Guru."

“Jangan terjebak pada target akademis semata. Coba seimbangkan lagi dengan nilai-nilai moral dan school beliefs yang sudah ada. Ingat, penting menjadikan anak pandai. Tapi lebih penting lagi menjadikan mereka anak yang baik. Tidak mengada-ada koq. Saya coba cermati kembali uraian penjelasan di lembar KTSP, di UU Sisdiknas, dan berbagai referensi yang sudah menandaskan pentingnya ketrampilan dan sikap siswa menghadapi era global ini.” Begitu Bu Pandu.

“Coba kalian lihat bagan ini,” Bu Pandu menggelar bagan yang berisi potongan setengah lingkaran, yang menampilkan konten pembelajaran yang mendesak disikapi melalui program dan aktivitas di luar kurikulum baku.

“Kurikulumnya tetap dengan KTSP. Namun harus dikembangkan materi life skill, thinking skill, ICT literacy. Dan satu yang paling mendesak, adalah materi abad 21 atau 21st century content. Kita bukan latah atau sekedar ikut tren. Namun inilah esensi pendidikan kini yang terus bergerak mengikuti perkembangan jaman dan ilmu pengetahuan. Ilmu tentang leadership, eksistensi dan hakekat manusia, NLP, dan spiritual, kini menyeruak dan memikat. Dulu kita hanya bisa berwacana mengenai kecerdasan emosional. Kini semua itu lebih jelas dan sangat dekat dengan pendidikan, tepatnya dalam keseharian pembelajaran di kelas-kelas,” panjang lebar Bu Pandu menjelaskan.

Para Guru tampak mahfum, mengangguk – tersentuh akan hati pimpinannya yang ‘super woman’ itu.

“Kalian pelajari ya. Ada jabaran yang sangat gamblang ditulis oleh Eileen Rachman, konselor ternama. Beliau menjabarkan bakat-bakat emosional yang bisa diamati sejak kecil, yakni:

1. Penyabar dan mampu menahan/mengendalikan diri
2. Mudah beradaptasi dengan lingkungan, memiliki inisiatif dan kreatif
3. Peduli pada teman dan saudaranya
4. Mandiri dan bertanggung jawab
5. Memiliki empati yang besar dan bisa memahami perasaan orang lain, mampu menyelesaikan konflik, pandai bergaul dan bersahabat, bisa mempengaruhi orang lain dan berkomunikasi dengan nyaman
6. Mempunyai cita-cita dan impian, optimis, percaya diri, gigih, ulet, memiliki dorongan untuk maju, menyukai tantangan dan suka dengan hal-hal baru.”

“Nah, keenam hal di atas coba kalian terjemahkan menjadi pelajaran abad 21. Tak perlu membebani atau menambah jam belajar. Integrasikan saja dalam mata pelajaran inti, namun dengan memikirkan aktivitas dan program. Ini yang sering disebut sebagai hidden curriculum, yang bisa menjadikan mutu sekolah berbeda-beda. Paham kalian? Ada yang mau ditanyakan?”

Pak Kris, kepala divisi kesiswaan angkat tangan, “Apa benefitnya jika kita
mengajarkan ini, Bu?”

“Kemampuan dan ketrampilan itulah sesungguhnya yang akan mengantarkan siswa pada keberhasilan hidup di masa datang. Memang faktor lingkungan dan keluarga akan berpengaruh. Namun setidaknya kita bisa memberi dasar. Gagal memiliki kemampuan dan ketrampilan ini, akan menggagalkan semua tujuan-tujuan hidup, meski seorang siswa memiliki kecerdasan intelektual sangat tinggi. Ratusan fakta dan testemoni telah membuktikan. Kita sendiri pun bisa merasakan, betapa nyaman dan menyenangkan berinteraksi dengan orang dengan kemampuan ketrampilan hidup seperti di atas. Ada yang pintar tapi menyebalkan, hmmmm….. nggak ngenakin! Iya kan!”

“Lebih lanjutnya kalian perhatikan lagi jabaran ini ya,” pinta Bu Pandu, kini
dengan membuka layar dan LCD nya melalui netbook mininya yang keren.

21st century content juga memuat materi tentang kesadaran global dan up to date news. Ketrampilan keuangan, ekonomi, bisnis, entrepreneurship, kesadaran kesehatan, kesejahteraan, dan warisan budaya. Semua itu akan lebih bermakna jika dihubungkan dengan tingkat spiritual yang akan memudahkan siswa memahami betapa semua ilmu itu muaranya adalah syukur dan ikhlas pada Tuhan,” kembali panjang lebar Bu Pandu memandu para calon penerusnya.

“Oke. Ini tak mudah. Tapi kalian tahu, kini saatnya sekolah mencerna dan mengaplikasikan wacana ini menjadi pembelajaran keseharian,” tandas bu Pandu bijak.

“Dari mana kita memulainya,Bu?” tanya bu Kinta, koordinator level.

“Saya akan bantu untuk melihat silabus. Kalian bantu saya mensupervisi lesson plan Guru. Dulu kan kita pernah meminta mereka memasukkan nilai-nilai kehidupan (values) yang sesungguhnya sudah termaktub dalam school beliefs, yang meliputi dimensi keTuhanan dan kemanusiaan.”

“Nah, saya lihat, lesson plan Guru sudah mulai ‘lari’ dari kontekstual. Jadikan tema sebagai pengikat. Buka lagi tata berfikir model UbD (Understanding by Design) yang menuntun kita membuat essential question, sebagai tolok ukur kebermaknaan.”

“Misalnya, ketika tema makhluk hidup, pada materi Agama Islam, terkandung kompetensi dasar tata cara sholat. Indikator yang kalian tulis jangan hanya ‘siswa mampu melakukan gerakan sholat dengan benar; siswa mengenal bacaan sholat’. Bukannya hal itu keliru, namun tidak menghujam pada akar masalahnya, mengapa kita sebagai makhluk hidup harus sholat? Ini bisa dicari dari ‘8 gagasan besar’ atau menggunakan pendekatan 5W+1H, atau memakai six thinking hat dari Edward de Bono. Kita sudah pernah bahas ini, meski tak mendalam. Mari kita telaah lagi," ajak bu Pandu sambil menyerutup coffee latte kesukaannya.

“Kita akan ketemu lagi minggu depan. Saya harap kalian sudah membawa kertas kerja berisi gagasan-gagasan hebat. Saya akan upayakan segera memanggil konselor yang akan membimbing kita memahami setiap tema yang dijabarkan dengan pendekatan spiritual. Terimakasih ya. Kapan pun ada gagasan, jika tak ketemu saya, silakan kirim melalui imel saya.’’

Selepas sore, wajah Bu Pandu sudah sumringah kembali. Dia sudah mengeluarkan
uneg-uneg dan kegelisahannya.

Dalam doanya di malam hari, Bu Pandu memohon: “Ya Allah, berikan kemudahan hamba bertutur, agar mudah lisan ini, dan mudah orang lain memahami maksud hamba”. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

PANDUAN MENELITI KUALITAS KELAS

STANDAR SEKOLAH, PENENTU POSITIONING


Beragam upaya peningkatan kualitas sekolah dilakukan untuk mencapai hasil proses belajar mengajar yang maksimal. Tidak hanya pada ranah manajemen kelas, metode, perkembangan anak, lesson plan, dan beragam urusan layanan pengajaran saja. Kini brand atau merk menjadi penting, berkaitan dengan kompetisi dan eksistensi serta posisioning yang ditargetkan.

Pemerintah telah menetapkan sebuah standar, yang dimaksudkan untuk mendorong sekolah agar senantiasa meningkatkan kualitas dan standar. Diawali dengan kategori Sekolah (dengan) Pelayanan Minimal (SPM), seterusnya ada Sekolah (ber) Standar Nasional (SSN), dan Sekolah (rintisan) Berstandar Internasional (SBI).

Tingkatan ini didahului dengan pelaksanaan akreditasi sekolah yang akan menentukan posisi sekolah berada di klasifikasi A,B,C, atau D. Dahulu kita kenal dengan sebutan Terdaftar, Diakui, Disamakan. Semua penetapan itu tentu akan berimplikasi pada bentuk komunikasi publik.

Pentingkah standar sekolah sebagai komunikasi publik?
Berdasar teori manajemen marketing, penetapan standar adalah sebuah positioning. Sekolah pun harus menempatkan eksistensinya pada posisi yang tepat. Setiap segmen memiliki ke khas-an yang patut dipelajari demi keberlangsungan sekolah.

Dilihat dari sisi karakteristik konsumen, ada istilah 6-O, yakni object (apa yang dibeli); objective (mengapa membeli); occupant (siapa konsumennya); occasion (kapan membeli); operation (bagaimana membelinya); organization (siapa yang terlihat dalam pembelian).

Sekolah dapat mencermati tiga O saja, yakni : objective, occupant, dan organization untuk menggunakan standar sekolah sebagai komunikasi publik.

Objective adalah alasan memilih. Ada yang memilih sekolah di perguruan Islam karena mencari pendidikan agama, atau alasan sekolah yang sudah pengalaman dan memilki jaringan luas. Tujuan konsumen memilih sekolah sangat kuat dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomis, dan psikologis. Pembicaraan tentang sebuah sekolah antara orang tua di tempat gaul bergengsi, akan menjadi pertimbangan kuat orang tua lain, dibanding menelaah secara cermat proses pembelajaran dan hakekat pengajaran.

Occupant adalah model perilaku konsumen berdasar tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, mobilitas, dan selera. Hal ini harus diperhatikan, karena setiap segmen memiliki standar layanan yang berbeda. Sekolah berlabel kurikulum internasional tak geming dengan standar nasional yang diyakini masih jauh di bawah standar internasional. Bahkan mereka akan cenderung mempertanyakan, mengapa sekolah publik menjadi latah ikut menggunakan label ‘internasional’, di saat guru dan pengelolanya masih menggunakan mind set usang.

Organization, melihat keputusan pemilihan dari pihak yang terlibat. Seorang bapak secara tegas memilihkan anaknya harus masuk sekolah berlabel SSN. Sementara di keluarga lain, keputusan anak lebih diperhatikan, meski alasannya hanya lantaran di sekolah itu banyak teman.

Orang tua memilih sekolah dengan perilaku yang berbeda. Tidak tidak sama seperti membeli jasa lain yang proses pembeliannya tanpa perencanaan atau impulse buying. Sekolah berbeda dengan produk/jasa lain. Karena itu, kurang tepat jika promosi sekolah dilakukan di pusat perbelanjaan atau mall. Masyarakat akan menentukan pilihan atas dasar pertimbangan yang tidak tergesa gesa.

Menempatkan positioning sekolah dalam standar yang dibutuhkan masyarakat adalah tugas manajemen sekolah. Lakukan pertemuan antar bidang. Membidik calon siswa berarti membedah perilaku dan karakter orang tua. Untuk itulah, standar sekolah dirasa perlu untuk menembak jitu sasaran. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

November 15, 2009

Working with Your Principal

A principal who truly serves as an instructional leader is of immense value to any school. The role of the building principal and the nature of school leadership are being redefined as increasing numbers of schools turn to site -based management, total quality schools, teaming, restructuring, peer coaching, decentralization, and other paradigm shifts.

Whatever the exact configuration of leadership functions in a specific building, teachers and their principal are locked in an interdependent relationship. They need each other to succeed.

The less friction and stress between principal and teacher, the more enjoyable both will find their jobs. There is also evidence that the quality of the teacher-principal relationship greatly influences the overall school climate, which in turn affects the success of student in the classroom.

Investing in a positive, professional teacher-principal relationship should be a top priority for any beginning teacher. While some principals are more talented leaders than others, students are ultimately the winners when building principals and teachers can work in harmony. No one gains and ultimately students lose when a poisonous, adversarial relationship exists between principal and teachers. Successful teachers strive to develop partnership with their principals.

1. Keep your principal informed of both budding problems and your triumphs. Don’t wait to surprise them with major problems. It is best for them to have ample information directly from you, before they hear about problem from others. No decision can be better than the information upon which it is based. Take time to communicate your interest and needs.

2. Avoid only visiting your principal when you have problems. Share some good news or ask his or her advice. Invest time in nurturing a positive relationship. If you are experimenting with a new instructional technique or a novel assignment, alert your principal and seek his or her support. Only through frequent interactions does mutual trust evolve.

3. When your principal has done something considerate or particularly helpful, drop him or her note. Let the principal know his or her efforts are appreciated. Like department stores, principals often only hear the complaints.

4. For special achievements send a solicited letter of recognition or support for your principal to the superintendent. Anytime you want to give someone major recognition, don’t just tell them, tell their superior. Avoid dumping your problems on your principal. Especially avoids sending kids to the office for misbehavior unless it involves persistent or serious infractions, such as fighting. You will be creating an impression that you cannot control your own classroom if you have to rely on the principal to solve your student behavior problems on a daily basis.

6. Avoid backbitting or ridiculing your principal, even he or she falls short of your expectations. It simply isn’t professional and it really doesn’t accomplish anything positive. Don’t join in the game even if others are playing.

7. If you have a complaint or disagree with the principal on an issue, communicate your case clearly and rationally. This never calls for yelling, name calling, or sarcasm. Stick to the facts. If you have difficulty controlling your emotions in direct conversation, articulate your position in a letter. Remember, you still have to work with him or her tomorrow. Your aim is to influence the principal’s decision, not to alienate him or her. In all contact act maturely and professionally.

8. Choose your battles carefully. In any relationship you only have a limited amount of credit available in the other’s emotional bank account. Don’t squander your assets on a minor skirmishes. Save it ofor the truly important issues. If rarely complain, you are more likely to be heard when you do.

9. When you take a problem, prepare at least one or two possible solutions. Anticipate the consequences of each, the risks, and the resources needed. Be succinct in your presentation. Be rational in what you expect the principal to do to solve your problems.

10. Find opportunities to make your principal look good. Publicizing in the community the outstanding achievements of students is one way this is attained. Any noteworthy school accomplishment reflects positively upon the building principal.

11. Don’t make the principal’s job more difficult than it need to be. Submit grades, attendance records, and report on time. Some amount of paperwork has to be done to make a school work smoothly. It may sometimes be inconvenient, but must be done. Avoid using the prime for principal’s time for petty problems.

12. Try to see things from the principal’s point of view. It is not an easy job. They have many interests to please: teachers, non-certified staff, boards of education, central office, students, parents, and tax payers. Most every decision they make irritates someone, especially with the limited resources available to most schools. They are also sometimes obliged to enforce school policies they may not like. Be a bit empathetic. That doesn’t mean you have to sacrifice your principles, that you shouldn’t advocate for those issues to which you are passionately committed. However, recognize you won’t always get what you want when you want it.

13. Take the initiative in inviting your principal to visit your classroom. If you have particularly interesting or successful lesson coming up, try to schedule an observation. Strive to view the principal as an instructional ally, even if you do disagree on your teaching effectiveness.

14. Avoid interpreting criticisms of your teaching effectiveness as personal attacks. No teacher is perfect. Avoid becoming defensive. Reality-test any criticisms by asking other administrators or teachers to observe your teaching. Invite the principal to observe you again to reassess your teaching. A goal you both should share is to provide the best instruction possible to all your students. Build on that common purpose.

15. Avoid asking for special privileges. It unfairly puts the administrator on the spot. If you have a request for special resources or exemption to school policies, consider how your fellow teachers will accept the request if it is granted.

16. Share article you read on school improvement practices. Occasionally, ask her opinion on an educational trend to innovation.

17. Show your principal, you are thinking of him or her. Small considerations such as birthday card, a holyday card, homemade cookies, or a vacation postcard are fruitful investment in a positive relationship. TG

Sources:
Classroom Teachers Survival Guide
-Ronald L. Partin, New York.


*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

November 13, 2009

DARI GURU NYASAR MENJADI GURU BENAR


Mengajarkan Siswa Memiliki Karakter yang Baik!
Sebuah Kritik untuk para Guru.


Halo para Guru, Anda berada di mana? Menjadi GURU DASAR, GURU NYASAR, GURU BAYAR atau GURU BENAR?

Pada sebuah pelatihan pembentukan karakter yang dilangsungkan oleh Yayasan SiMAk Bangsa (Sinergi Membangun Anak Bangsa) di Hotel Sultan Jakarta, seratusan Guru mengikuti paparan Mashuri, seorang ‘Guru Benar’ asli Sidoarjo.

Konteks ini disambungkan dengan persoalan hancurnya kejujuran bangsa, yang sangat tampak melalui pelaksanaan Ujian Nasional yang dipenuhi tidakjujuran mencengangkan. Meski kini banyak terdengar sekolah mengadopsi nilai-nilai character building (CB), alih-alih menjadikan siswa berperilaku patut, sering hanya sebatas jargon ‘jualan’ sekolah agar tampak up to date.

Kriktik Pak Mashuri yang penampilannya ‘sangat guru’ -kurus, rambut belah pinggir, kemeja agak kebesaran (ini pengakuan sendiri lho), sangat mendasar. Mashuri membongkar komitmen dan keberadaan eksistensi Guru : mau jadi Guru Dasar, Guru Nyasar, Guru Bayar, atau Guru Benar? Banyak peserta mesem-mesem, mengukur diri ada di posisi mana ya saat mendengar uraian Mashuri.

Guru Dasar. ”Sejak lahir sudah ada ‘cap’ di kening kelak menjadi Guru. Guru adalah cita-cita sejak kecil. Ditempuhnya jurusan kependidikan. Secara fisik, biasanya berpostur kurus kecil, rambutnya belah pinggir, sederhana, ada aura Guru memancar. Meski sudah berpetualang jadi pegawai, kerja serabutan, caleg, pilihan akhirnya kembali ke sekolah.”

Guru Nyasar. “Tidak bercita-cita jadi Guru, terpikir pun tidak. Latar belakang tak bersentuhan dengan keguruan. Yang terpikir justru: ‘orang pandai tak ada yang mau jadi Guru!’. Nyasar masuk IKIP gara-gara tak diterima di PTN pilihannya. Ini nyasar, tapi di jalan yang benar! Ketika akhirnya mengajar di muka kelas, ia meluruskan niat sejalan dengan waktu.”

Guru Bayar. “Nah, mereka ini sibuk menghitung bayaran. Bisa saja sukses berkarya jadi Guru, namun tergantung besaran bayaran. Golongan ‘pas bandrol’, datang-pulang sesuai jam. Sering juga mencuri jam pulang guna ‘nyambi’. Kalau ketambahan tugas, berhitung antara waktu dan doku. Waktu tersedot les anak-anak, hingga tak cukup belajar. Karena ’itung-itungan’, rejekinya pun dipas-paskan Tuhan yang juga ikut berhitung. Jika ikhlas jadi Guru, sesungguhnya Tuhan membuka pintu rejeki dari jalan lain – berjodoh orang kaya, tinggal di mertua indah...” Selorohnya.

Guru Benar. ”Meski awalnya nyasar-nyasar, ia kemudian bergerak menuju Guru Benar. Di sekolah saya, semua guru dibina menjadi guru benar. Guru wanita, misalnya, perlu tahu persis kapan jadwal menstruasi siswa wanita. Bila perlu Guru menyediakan sampoo dan handuk agar bisa berhadas besar dan ikut olahraga. Guru model ini selalu berusaha memberi yang terbaik. Penampilannya baik, tak lugu. Cenderung malah vokal memperjuangkan sesuatu. Niatnya lurus, dan merasa BAHAGIA menjadi guru.” Demikian pesan Pak Mashuri.

Pendidikan Karakter
dan Persoalan Bangsa

Karakter bangsa lahir dari karakter sekolah, yang dilahirkan oleh karakter kelas. Ketika kekalahan perang melanda negaranya, seorang presiden AS John F Kennedy mengatakan: “What's wrong with our classroom?”

Kalah perang disinyalir berawal dari persoalan di ruang kelas. Seorang anak beruraian air mata mengingat ayah bertugas militer di Irak. Ia sangat kangen. “Seandainya saja semua orang di dunia diajarkan cara menjalankan kehidupan seperti yang diajarkan di A.B.Combs (sebuah sekolah sarat pelajaran kehidupan – seperti yang diceritakan dalam ‘Leader in Me’, Stephen R Covey- red ) pasti ayah saya tak berada di Irak.”

Berkarakter itu hasil dari sebuah proses pendidikan. Apakah sertifikasi Guru bisa menjadi pisau pemotong antara guru baik dan guru tak baik? Mau pilih mana, menjadi guru baik atau guru pintar? Dua-duanya.

Paradigma yang Sengaja Dihancurkan
Menurut Mashuri, jelas ada masalah di sistem pendidikan kita. Kalau ingin anak berkarakter, Guru pun harus berkarakter baik. Apakah Guru disiapkan untuk itu? Masalahnya adalah pada kepribadian dan moral guru.

“Pernahkan ketika akan lulus didoktrin menjadi guru berkarakter? Tak pernah diajarkan! Mestinya selama 4 tahun belajar di kampus, ini digarap! Menjadi karakter guru yang siap mengajar, siap mendidik, siap berdakwah (hal yang benar) dan siap berkembang,” jelas Mashuri.

Untuk mendapat guru yang baik, sekolah harus mendidik sendiri gurunya. Memang tak ada Guru yang siap pakai -- guru pintar saja banyak! Di sekolah hebat, para Guru itu dilatihkan terus-menerus, bukan bentukan produk pendidikan formal atau pemerintah (maaf-red).

Sikap jelek seorang Guru, melontarkan sikap bullying, suka marah, lalu menghukum, membandingkan orang, serta kurangnya rasa peduli, kasih sayang dan kemanusiaan. Jangan jadikan siswa pintar otaknya namun jiwanya gelap! Penampilan jelek guru, busana tak serasi, sepatu berantakan, tampil lesu, mestinya sudah tak ada lagi. Benahi kelas terlebih dulu, sebagai wadah melesatkan potensi siswa. Mutu sekolah adalah mutu guru, BUKAN mutu siswanya.

Terhadap sikap belajar, pada seminar itu pegiat anti bullying Dhiena Haryana menegaskan, seleksi dan perangkingan nilai siswa sejatinya adalah bullying terselubung. Katakan pada siswa “Kamu boleh tak mendapat ranking (jika sekolah masih menganut ranking). Yang tak boleh adalah TIDAK BELAJAR!”

Jangan menghancurkan sikap respek dan kepedulian. Di raport siswa, keterangan ini: “Angka-angka ini adalah indikator sementara. Tak boleh dilecehkan. Jika hasilnya belum seperti harapan, masih banyak potensi penting lain yang perlu diperhatikan.”

Sahabat Guru, renungan ini semoga mendorong membenahi karakter kita agar patut berdiri di muka kelas. Bersiaplah bertranformasi dari Guru Nyasar menuju Guru Benar!TG

Bu Jemima dan Bu Kunti


Best Practices dalam perbandingan teknik mengajar seni budaya

Seorang Guru, sebut saja Bu Jemima (bukan nama sebenarnya), 43 tahun, belum menikah. Menjadi Guru sejak usia 23 tahun selepas sekolah tinggi keguruan bidang Bahasa Indonesia. Kini menjabat wali kelas sebuah SMP Negeri di bilangan Jakarta Selatan dengan predikat SSN (Sekolah Standar Nasional).

Mengajar seni budaya adalah tugas wewenangnya saat ini, di samping Bahasa Indonesia, untuk kelas VIII. Seni, sebuah materi yang sesungguhnya sarat dengan pembentukan karakter siswa, mulai dari ketrampilan, kreativitas, ketekunan, pengembangan ide, pencarian referensi, dan segudang muatan pengembangan otak kanan.

Alih-alih menyenangkan hati siswanya, Bu Jemima yang sering berdandan ala tante Sun (berblazer, rok span mengecil sebatas betis, alis bak bulan sabit dan pemerah bibir merona, berjalan dengan payung sebagai tongkat), kerap menimbulkan kecut hati siswanya yang mulai beranjak remaja.

“Saya nggak suka kalian cekakak cekikik selama pelajaran saya.” Begitu sering komentarnya. Dan berikut sejumlah komentar lainnya yang ’menarik’ untuk dicatat:

”Hari ini kalian menggambar pola batik seperti yang Ibu contohkan, dan kalian harus memberi warna menggunakan cat air. Ingat dengan cat air! Tidak yang lain!”

“Keluarga saya tuh semuanya pinter-pinter, nggak ada yang dungu kayak kalian”.
”Biasanya saya ngajar di kelas unggulan. Tahun ini saja saya apes, saya ditunjuk jadi wali kelas yang anaknya ndableg keras kepala) seperti kalian!”

”Lihat anak-anak OSIS itu. Hampir semua adalah bekas anak didik dimana saya jadi wali kelasnya. Coba saja lihat Andi Mikail yang semua pekerjaannya serba rapi dan cepat. Tidak seperti si Brian Tifani yang pemalas”.
(sementara Brian ada di kelas itu terlihat nyengir kuda)

”Lha… Diah, ini gambar batikmu koq jelek bener. Berantakan! Gimana sih kamu.”

“Saya ini jahat lho. Dari luarnya saja kelihatan baik. Nanti kalau sudah saya tegur, dan tak ada perbaikan, saya bisa nggak kasih nilai!”

Ancaman, hardikan, teguran, dan bullying yang dilancarkan Bu Jemima full didasari dan disadarinya sebagai bentuk motivasi. Dia sangat yakin dengan beliefs yang
ada pada jiwanya, bahwa siswa hanya bisa diperbaiki dengan kata dan kalimat perbandingan yang telak.

Kekonyolan ini berlangsung belasan tahun. Nah, apa yang terbenam dalam memori anak? Apa yang bisa diharapkan dari sebuah pelajaran seni yang seharusnya menjadi tempat siswa merasa dua tambah dua tidak harus empat? Bagaimana mau mendukung kesadaran
ekonomi kreatif jika apresiasi seni saja terjebak pada ranah kognitif?

Perbandingan Mengajar
Di saat bersamaan, tak jauh dari tempat Bu Jemima mengajar, tersebutlah sebuah sekolah tanpa label. Siswanya tak sebanyak SMP Negeri tentu saja. Pemandangan menyenangkan tertangkap. Bu Kunti (nama samaran), dengan busana casual sopan. Aromanya wangi lembut. Senyum selalu tersungging.

Jebolan universitas kependidikan bidang seni ini menghidupkan suasana belajar seni dengan hook atau scene setting yang menggairahkan. Siswa diminta untuk memberi ekspresi yang sesuai setelah melihat tayangan slide yang sudah dia persiapkan.

“Seni akan membuat hidup kalian lebih indah. Kalian bisa saling memberi semangat dan menghargai pekerjaan orang lain. Tak ada karya yang jelek. Semua karya dapat diapresiasi melalui berbagai sudut penilaian. Ibu tak akan menggunakan nilai, melainkan dengan narasi dan kesempatan berpameran bagi yang lebih produktif. Ada yang mau memberi usul?” Kalimat Bu Kunti menggelinding bagai harmoni di kelas yang sibuk dengan aneka ungkapan dan celotehan siwa.

“Oke class, kini silakan membuat sketsa dengan alat apa saja yang kalian mau. Tema kali ini adalah ‘komunikasi’. Sekarang silakan berpasangan, dan berikan cerita atau komentar mengenai kemajuan komunikasi dewasa ini. Apa yang kalian tangkap dan rasakan, itu yang kalian gambarkan melalui sketsa. Silakan bekerja.”


Sebentar kemudian terdengar musik klasik mengalun pelan dari tape recorder sederhana. Bu Kunti pun berkeliling melihat kelompok siswa. Sesekali terlibat dalam diskusi dengan salah satu siswa. Tangannya pun tampak terampil memainkan pinsil 2B nya pada kertas besar yang ditempelnya di papan tulis.

Baru beberapa bulan mengajar, sudah banyak karya dihasilkan. Semua terpampang di papan display. Di samping karya terdapat kertas komentar untuk menampung apresiasi dari teman lain. Setiap hari adalah mencari kebaikan teman. Dan siswa dilatih untuk memberi apresiasi melalui tulisan. Sesederhana apa pun itu.

Nah para Guru, bagaimana Anda membandingkan dua Guru seni ini? Ketika tulisan ini dibuat, kejadian itu baru berlangsung sekitar seminggu sebelumnya. Artinya, bukan di zaman dulu yang konon penuh tekanan dan ancaman. Saat ini pun masih sejibun sekolah menyimpan Guru dengan perangai dan mind set yang sungguh tak patut ala Bu Jemima. Tentu saja kita tak akan membiarkan hal ini berlangsung berkelanjutan bukan?

Best practices akan mendokumentasikan hal-hal yang terbukti efektif
berlangsung selama pengajaran. Kumpulkan cerita nyata yang bisa dikomparasikan, agar mudah terlihat best practice nya. Apapun alibinya, proses belajar Bu Jemima hanya akan mengantarkan siswa pada kebencian pada bidang seni. Bukan hanya itu. Dalam waktu singkat, siswa mengalami pelecehan mental yang sama sekali tak akan berdampak positif.

Ayo! Jangan menjadi Bu Jemima-Jemima yang baru. Kalau Anda merasa pernah melakukan meski dalam perspektif yang berbeda, segeralah bertobat pada Tuhan, dan jadilah bu Kunti-Kunti yang akan memberi pengayaan pada siswa. Di sinilah nilai-nilai dan karakter itu ditumbuhkan. Persembahkan pekerjaan kita sebagai pengajar pada anak bangsa di bumi pertiwi yang elok bak batu manikam. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

November 10, 2009

SEKOLAH PERLU PSIKOLOG PENDIDIKAN




Saya menyarankan , pemerintah membuat alternatif SMP bagi siswa dengan kategori lamban belajar. Berupa sekolah kejuruan setingkat SMP, berisikan ketrampilan -ketrampilan praktis yang dibutuhkan masyarakat. Begitu pula untuk tingkat SMA.







Pendidikan kita belum melihat siswa sebagai individu yang unik atau berbeda. Selama Indonesia merdeka sampai era reformasi (sekitar 53 tahun), praksis pendidikan nasional baru sampai ke masalah kuantitas, belum menyentuh peningkatan kualitas. Kebijakan pemerintah masih pada tahap pemerataan pendidikan. Sekolah Dasar dibangun besar-besaran, agar anak Indonesia usia 7-12 tahun memperoleh akses luas untuk belajar ke sekolah. Guru pun direkrut secara instan melalui program diploma dua tahun pendidikan guru sekolah dasar (PGSD).

Kebijakan ini berjalan terus sampai di suatu titik, tahun 1988, kita menyadari bahwa ada yang kurang beres dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Di saat kita bersibuk diri dengan masalah pemerataan pendidikan dan wajib belajar 6 tahun, dunia luar ternyata telah jauh memikirkan ke depan perubahan yang akan terjadi dan kompetensi apa yang dibutuhkan bagi individu untuk bersaing.

Sekarang kita berada di abad XXI, millennium ketiga yang lebih kompleks; sebuah peradaban di mana ilmu pengetahuan (knowledge) sebagai suatu kekuatan baru. Inilah wujud perekonomian global setelah depresiasi sumber daya alam besar-besaran di dekade 1980-an, di mana manusia tak lagi dapat mengandalkan sumberdaya alam (SDA) seperti tanah, mineral, minyak bumi, dan hutan. Manusia kini mengandalkan kemampuan berfikirnya, otaknya, menjadikan pengetahuan sebagai basis baru bagi kesejahteraan bangsa (Zuhal, 2008).

Perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge based economy) mematahkan pendapat sumber daya alam sebagai landasan dari ekonomi (resourced based economy). Sebenarnya sejak dua dekade lalu Alvin Toffler (Powershit,1990) mengingatkan hal ini. Toffler menyebutkan, pengetahuan akan memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Jenis pertumbuhan ekonomi tak lagi bergantung pada otot, tapi pada otak.

Sejalan dengan Harrison dan Hutington (Culture Matters: How Values Shape Human Progress, 2000), hanya pendidikan yang dapat menjadi strategi bertahan dan menang, menentukan kemajuan dari setiap masyarakat, negara, dan bangsa baik ditinjau dari sisi politik, sosial, maupun ekonomi.

Fakta masih rendahnya peringkat Indeks Daya Saing Pertumbuhan, rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia serta gambaran keluaran tertinggi pendidikan nasional masih didominasi pada tingkat Sekolah Dasar, sebagai suatu persoalan lantaran kurang dilibatkannya ilmu psikologi dalam dunia pendidikan nasional kita secara keseluruhan.

Reformasi pendidikan Indonesia, melalui penataan peraturan – yakni UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional- masih belum tuntas, belum menyentuh hal yang substansial, belum meneropong siswa sebagai seorang individu yang unik.

Kita belum belajar dari hasil pendidikan nasional 100 tahun pertama Kebangkitan Nasional. Persoalan pendidikan bukan hanya masalah fisik seperti gedung sekolah, sarana prasarana, kurikulum, laboratorium, perpustakaan, dan lain sebagainya, namun juga menyangkut peserta didik sebagai subjek.

Karakter pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya belajar, budaya, ekonomi belum dieksplore lebih dalam. Justru di sini letak masalah yang kita hadapi dengan skor-skor indeks yang dikeluarkan lembaga internasional tersebut.

Dalam praktek, sudah banyak sekolah menggunakan jasa psikolog. Sekurang-kurangnya menjelang tahun ajaran baru melalui biro psikologi atau kantor konsultan psikologi, sekolah menyelenggarakan pemeriksaan psikologis bagi calon siswa baru.

Biasanya, hasil pemeriksaan psikologis berupa psikogram digunakan untuk melihat besaran skor IQ (intelligence quotience), skor CQ (creativity quotience), dan skor TC
(task commitment) yang dijadikan dasar untuk seleksi calon siswa program percepatan belajar (akselerasi).

Ada juga sekolah yang hanya membutuhkan besaran skor IQ untuk menyeleksi calon siswa program sekolah bertaraf internasional (SBI). Dan terbanyak adalah untuk membantu penjurusan siswa SMA IPA/IPS/Bahasa, dan ke Perguruan Tinggi.

Namun peran psikolog di sini masih di luar lingkaran sekolah, hanya sesuai pesanan alias ‘tukang tes’. Kompetensi lain yang dimiliki psikolog masih belum digunakan, terjadi pemubaziran ilmu. Padahal psikotes tak sekadar mengetahui besaran skor IQ, banyak hal dapat diketahui dari pemeriksaan psikologis itu. Saya meyakini sekolah membutuhkan psikolog yang dapat memahami dan menindaklanjuti hal-hal yang ada dalam psikogram.

Saya menganjurkan, jika ada kesempatan revisi UU Sisdiknas No. 20/2003, psikolog harus dimasukkan sebagai salah satu unsur tenaga kependidikan. Dengan memiliki tenaga psikolog di dalam sekolah, mudah membantu siswa yang bermasalah sedini mungkin.

Psikolog Pendidikan mempelajari hal-hal tentang prevalensi seperti ADHD, kesulitan belajar, dyslexia, gangguan bicara, serta gangguan ketidakmampuan seperti keterbelakangan mental, cerebral plasy, epilepsy, dan buta.

Psikolog dapat membantu orangtua lebih memahami kondisi keseluruhan yang ada dalam diri siswa, untuk memilih intervensi pendidikan yang lebih tepat guna mengoptimalkan potensi baik siswa.

Psikolog Pendidikan mempelajari perkembangan sosial, moral dan kognitif anak. Ia dapat memahami karakteristik pembelajar usia sekolah, usia remaja, usia dewasa muda, dan usia dewasa madya serta usia lanjut, karena ia memiliki wawasan tentang perkembangan manusia.

Di samping itu, seorang Psikolog Pendidikan mampu melihat perbedaan individual seperti kecerdasan, kreativitas, gaya belajar, dan motivasi. Karakteristik berbeda di setiap siswa memerlukan tantangan berbeda dalam pembelajarannya.

Psikolog Pendidikan mampu meriset untuk melihat tingkat minat, tujuan pribadi, dan pendapat mereka tentang sebab sukses atau kegagalan mereka. Seorang Psikolog Pendidikan diharapkan mampu membangkitkan motivasi siswa.

Psikolog Pendidikan juga menguasai aplikasi desain instruksional dan teknologi, sistem tutoring intelijen yaitu suatu sistem komputer yang menyediakan umpan balik kepada manusia tanpa intervensi manusia, berbagai metoda belajar mengajar seperti belajar kooperatif (cooperative learning), belajar kolaboratif (collaborative learning), belajar berdasarkan masalah (problem based-learning) dan penggunaan
komputer untuk mendukung belajar kolaboratif.

Psikolog Pendidikan membantu mengumpulkan informasi bagi Guru dan orangtua ketika siswa mempunyai masalah akademik atau perilaku. Mereka menolong mengevaluasi kemampuan berfikir siswa dan melakukan pemeriksaan psikologis dari sisi kekuatan dan kelemahan siswa. Bersama-sama, Guru, orangtua, dan psikolog pendidikan memformulasikan rencana untuk menolong siswa belajar lebih efektif.

Psikolog Pendidikan bekerja sebagai konselor dan juga dapat mengevaluasi kepantasan dari program akademik, prosedur manajemen perilaku dan pelayanan lain di
sekolah.

Di Amerika Serikat, psikolog pendidikan/sekolah merupakan salah satu jenis pekerjaan yang paling cepat berkembang dengan pertumbuhan 26%. Satu dari empat psikolog bekerja dalam setting pendidikan. Sementara di Indonesia kebanyakan psikolog terserap di dunia industri.

Pekerjaan sebagai psikolog pendidikan/ sekolah belum popular. Hanya sekolah-sekolah swasta papan atas yang telah menggunakan jasa psikolog pendidikan/sekolah.

Di sekolah, kita banyak temui siswa yang stres, putus sekolah, atau salah tempat. Persoalan ini dari perspektif psikologis berkait erat sekali dengan adanya individual differences, sehingga bila stress terjadi itu adalah normal disebabkan ketidaktepatan antara kapasitas intelektual siswa dengan jenis sekolah, antara kapasitas intelektual dan tuntutan pekerjaan, antara minat dan jenis pekerjaan yang dihadapi.

Dalam klasifikasi taraf kecerdasan, ada taraf yang disebut slow leaner (lamban belajar). Siswa dalam taraf ini, tentu saja tak cocok di sekolah regular maupun SLB. Taraf kecerdasannya masih sedikit lebih baik dari anak-anak keterbelakangan mental di SLB. Namun tempo kerja mereka lamban memahami pelajaran, juga tidak membuat mereka sesuai dengan siswa biasa. Kalau kesemuanya disatukan, yang terjadi adalah rasa frustasi. Siswa yang memiliki taraf kecerdasan jauh lebih baik, bisa tak termotivasi dalam mengikuti kelas.

Sebaiknya anak-anak dengan kategori slow learner ini memiliki jenis sekolah tersendiri agar harga diri dan kesehatan mental mereka terjaga. Fenomena anak slow learner cukup banyak terjadi di sekolah-sekolah. Kalau saja ada 52,9 juta anak usia sekolah (BPS,2006) –maka jika 22,5%nya tergolong IQ 70-89 diperkirakan ada 10,5 juta anak usia sekolah tergolong slow learner.

Mereka ini sangat sulit menamatkan jenjang Sekolah Dasar sekali pun. Kalau pun tamat SD, anak mengulang kelas beberapa kali, dan amat rendah kemampuan dasar calistung (membaca, menulis, berhitung).

Melihat daya saing SDM Indonesia dan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang juga masih jauh ketinggalan dengan negara serumpun sekalipun, sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang pendidikan formal yang ada.

Pendidikan formal (wajar 9 tahun) hanya tepat untuk anak dengan taraf kecerdasan rata-rata (IQ 90-109) Skala Wechsler. Padahal secara statistik, diasumsikan mereka yang mampu tamat SD berjumlah 45%, mampu tamat SMP 22,5%.

Saya menyarankan, pemerintah membuat alternatif SMP bagi siswa dengan kategori lamban belajar. Berupa sekolah kejuruan setingkat SMP, berisikan ketrampilan-ketrampilan praktis yang dibutuhkan masyarakat. Begitu pula untuk tingkat SMA, siswa yang memiliki potensi kecerdasan yang hanya rata-rata atas, sebaiknya diarahkan masuk SMK, agar nantinya terserap di dunia kerja. Tak perlu masuk universitas, cukup melanjutkan ke program vokasional, dan menjadi spesialis dalam bidang minatnya.

Bagi siswa dengan taraf kecerdasan I45 ke atas (Skala Wechsler) bisa diproyeksikan terus belajar sampai jenjang setinggi-tingginya ke negeri –negeri yang memiliki reputasi dalam sains dan teknologi. Mereka yang berbakat ademik ini harus dipersiapkan sebaik-baiknya menjadi SDM unggulan untuk menghadapi perubahan besar di masa depan. Siswa berbakat intelektual tinggi (highly gifted) seharusnya diarahkan dalam pendidikan yang berbasis iptek. Menurut Zuhal (2008), ada lead time yang panjang bagi siswa untuk mencapai tahap dalam menguasai pengetahuan dan teknologi.

Untuk membantu mewujudkan semua di atas, perlu dibangun peran psikolog dalam sistem pendidikan nasional. Saya membayangkan akan ada pemeriksaan psikologis besar-besaran pada peserta didik. Mungkin secara bertahap dulu di tingkat SMP, karena saat ini sudah banyak tersedia SMK meski pun masih perlu lagi banyak dipersiapkan SMK-SMK dengan jenis yang lebih spesifik agar tiap lulusannya dapat berkiprah di dunia kerja dengan merasa berhasil. Rasa keberhasilan, kebahagiaan ini pada gilirannya akan memperkuat kesehatan mental seseorang.

Dan yang jelas, individu akan memiliki pengakuan (harga diri) dari luar berupa imbalan atas hasil karyanya. Berarti, dengan bekerja sesuai kompetensi, akan membuat jumlah angka pengangguran berkurang. Dan ini berarti akan menaikkan daya saing bangsa.

Pemeriksaan psikologis di tingkat SMP juga akan membawa APM untuk SMA menjadi tinggi, karena pemerintah hanya mengerahkan siswa yang mampu melanjutkan SMA dan diproyeksikan akan berhasil menamatkan pendidikan tingginya.

Jadi dengan adanya psikolog di sekolah, khususnya di Sekolah Dasar dapat mengarahkan anak dengan pilihan pendidikan dan karier yang tepat. Tidak harus semua anak SD masuk SMP, karena kapasitas intelektual kurang sekali IQ 70-90. Jika mereka tak diarahkan ke sekolah kejuruan setaraf SMP, bagai buah simalakama. Jika putus sekolah dan langsung bekerja sebagai buruh atau tenaga kasar, maka upah yang diperoleh pun rendah.

Pada suatu masa Drost (2000) menyatakan kefrustasiannya bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia tempat semua anak harus mempunyai kemampuan intelektual yang sama. Semua perguruan tinggi di Indonesia amat tidak puas dengan mutu lulusan SMA. Mengapa? Ternyata yang layak lulus UMPTN hanya sekitar 10%, lainnya diluluskan
karena ada tempat.

Dan ini juga berlaku untuk perguruan tinggi swasta. Yang ditolak perguruan tinggi bermutu, lari ke ratusan PT swasta yang mau menerima mereka. Maka, sebagai contoh, nilai rata-rata dan yang diterima di UI adalah 7,8%, sedangkan di sebuah PTN di luar Jawa hanya 4,9%. Akibatnya, yang gugur secara nasional di PTN 85%, dan masuk di PTS 90%.

Pesan yang ingin disampaikan, adalah sistem sekolah saat ini belum mengakomodasi kebutuhan suksesnya generasi muda di masa depan. Di sisi lain, pendidikan bagi anak berbakat intelektual tinggi harus khusus. Mereka ini tulang punggung masyarakat berbasis pengetahuan.

Psikolog sekolah dapat melatihkan ketrampilan berfikir kreatif, kerjasama, pemecahan masalah, dan lainnya. Keberadaan psikolog sekolah sebagai tenaga kependidikan di sekolah, akan lebih mengoptimalkan kualitas keluaran pendidikan nasional di masa depan. TG

Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi.
Disarikan dari pidato pengukuhan
sebagai Guru Besar Tetap
Ilmu Psikologi Pendidikan pada
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
Juli 2009.


*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569