Desember 29, 2010

Pendidikan Karakter INDONESIA PUNYA TAMAN SISWA !

cover story

Sebuah pengalaman berkunjung ke seorang kenalan. Di sebuah desa di Pakem, Jogjakarta. Kawasan sejuk ini kini banyak dihuni oleh keluarga yang penat dengan kebisingan kota. Di bawah kaki gunung Merapi nan pongah.

Kami dikenalkan pada sebuah keluarga untuk urusan contoh rumah joglo. Sebut saja keluarga Hervia. Sangat berada. Kami datang sekeluarga besar. Anak-anak kami, keponakan, bude, eyang. Sambutan hangat di awal kedatangan kami sudah menimbulkan selera kekeluargaan yang hangat. Tak hanya obrolan yang jelas nuansa ikhlas, suguhan makanan minuman disajikan dengan santun sang pembantu. Keakraban langsung meruyak hingga larut dan kami kami menerima tawaran untuk menginap.

Sang putra lelaki, yang lulus dari Universitas di Singapura, menemani anak-anak dan keponakan kami yang berusia SD -SMP. Celotehan riang kerap terdengar. Semua merasa diterima dengan sangat memuaskan. Januh dari kesan basa basi. Tutur kata dan gaya mereka menerima tamu tak terlalu mudah kita temui saat ini. Kesantunan, keramahan, dan keikhlasan yang sangat berkesan.

Kami memperbincangkan nikmat yang baru saja kami alami. Kami bahas, apakah karena mereka keluarga yang bersentuhan dengan pendidikan Jawa, yang dikenal dengan nilai-nilai adiluhung? Tapi mereka lama tinggal di luar negeri. Bahkan sang Bapak mantan pejabat yang cukup dikenal publik. Bagaimana ayah, ibu dan anak bisa memiliki karakter yang sama? Sebuah kemewahan di jaman yang serba hedonistik.

APA KAITANNYA DENGAN PENDIDIKAN?

Jelas! Sangat berkaitan. Perilaku dan sikap bukankah dibentuk, dibangun, dibiasakan? Bila kita ingat pencapaian tertinggi dan paling esensi dari pendidikan adalah moralitas, integritas, dan orisinalitas, mestinya kita bisa sensitif mencermati dan meRASAkan saat mana nilai-nilai dan orisinalitas itu bersentuhan dengan humanisme.

Hiruk-pikuk persoalan keluarga, masyarakat, negara dan dunia, semua bermuara pada pendidikan. Cara berfikir, bertutur dan membangun komunikasi akan mudah dibedakan dari yang ‘biasa-biasa’ saja.

Ki Hadjar Dewantara menguraikan ilmu adab atau ethik dalam hidup manusia, terutama mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat merupakan perbuatan. Ethik berasal dari kata ethos yang berarti watak. Adab artinya keluhuran budi.

Adab menghasilkan kehalusan , kesusilaan lahir batin. Apa yang disebut kebaikan dan kejahatan, baik dan buruk, tergantung sikap jiwa manusia dan relatif. Ada yang universal: jujur, suka menolong, dianggap baik secara universal. Membunuh, mencuri, secara umum tentu saja buruk.

Lebih jauh Ki Hadjar Dewantara mengajarkan, bahwa sikap manusia terjadi dari tabiat asli tiap manusia.Tabiat asli atau pembawaan ini disebut genotype, yang bisa bersifat kejiwaan dan atau kejamanian, baik yang herediter (menurun) maupun yang atavistis (diperoleh). Genotype yang terbentuk karena pengaruh keadaan, yakni kodrat dan masyarakat atau jaman, terutama karena pengaruh pendidikan, maka terbentuklah phenotype atau sifat jadi, sifat yang terbentuk kemudian.

DIMANA PERAN GURU?
Pada kehidupan kini, yang sudah sangat terjerat oleh arus informasi dan teknologi yang ‘mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat’, peran Guru sebagai penyeimbang kehidupan jauh lebih penting daripada sekedar pengabar ilmu.

Rame-rame praktisi pendidikan dan para cerdik pandai menggelontorkan pentingnya character building, sesungguhnyalah semua sifat dan sikap itu sudah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Mengapa tak dapat menjadi ciri watak bangsa? Mungkin kita lupa ‘membungkus’nya menjadi sebuah ajaran yang terintegrasi, turun temurun dan selalu up to date. Bukankah kebaikan itu sifatnya universal. Berlaku secara umum?

FAKTOR PERKEMBANGAN MANUSIA
Ada dua faktor yang menentukan. Internal dan eksternal. Faktor yang dibawa sejak dilahirkan. Ada yang diewariskan oleh orang tua, ada yang tidak. Yang eksternal tentu saja pendidikan, pergaulan masyarakat keadaan alam sekitar, iklim, dan sebagainya.

Mana yang lebih menentukan?

Coba kita ikuti aliran/ faham yang mengawali:
a. Aliran NATIVISME: perkembangan anak hanya ditentukan oleh nativusnya, yakni faktor dalam dan bakat yang ada. Faktor luar, termasuk pendidikan, tak dapat mengubah ‘loyang menjadi emas’. Tugas orang tua tinggal berdoa pada Tuhan, agar anak terlindungi dan menjadi orang yang baik.
b. Ditentang oleh aliran EMPIRISME ( serba pengalaman). Tokohnya John Locke dari Inggris. Bayi yang baru lahir adalah bak kertas putih bersih. Sering terdengar sebagai teori tabula rasa. Anak akan menjadi baik, tergantung pengaruh liuar berupa pengalaman, pendidikan, pergaulan. Kaum empiris tak mengakui pembawaan, bakat. Kaum BEHAVIORISME mendukung aliran ini, yang mengatakan: “ berilah sepuluh bayi pada kami, dan akan kami berikan sepuluh tipe manusia yang anda minta”.
c. Aliran KONVERGENSI, yang menyeimbangkan dua faktor. Perkembangan anak merupakan resultante luar dalam.

Ki Hadjar Dewantara ada pada teori ke tiga. Trikotomi Cipta (bercipta yang benar dan baik); Rasa (halus dan indah), dan Karsa (sopan, bermoral) adalah fungsi jiwa manusia yang juga dicermati oleh Benyamin Bloom dengan tiga domainnya.

Keluarga, perguruan dan sekolah serta masyarakat harusnya saling kerja sama (selama ini pernyataan ini lugas kita katakan – meski makin kendur dan makin mundur bukan?).

Simak kembali faktor luar yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak:
1. Faktor agama sebagai dasar penanaman moral dan keibadahan
2. Pergaulan sosial yang luas dan demokratis, untuk mendidik kemasyarakatan dan kesosialan anak
3. Keadaan ekonomi yang baik, agar gizi terpenuhi
4. Perkembangan ilmu dan teknologi yang memadai dan sesuai perkembangan jaman
5. Seni budaya untuk mengimbangi intelektual; dan ketrampilan agar terbangun kepribadian harmonis.

Refleksi! Kelima faktor luar yang menjadi amanah pada kaum Guru, mana yang kini lepas? Nomer dua? Ya, seringkali kita mendapati siswa yang tak boleh bergaul dengan sekitar akibat lingkungan tak mendukung, tidak aman, berkata jorok, main pukul, dan sebagainya. Orang tua sudah merasa melakukan hal terbaik manakala menyediakan berbagai alat dan mainan yang sangat bersifat individual. PSP, Nintendo dan sejenisnya. Akibatnya?

Atau faktor nomer lima? Yang kerap terpinggirkan dan mengalah akibat tuntutan pendidikan yang hanya menyiapkan anak untuk lulus ujian (kognisi) semata. Rakus menelan ilmu-ilmu hafalan demi sebuah kebijakan!

Kembali pada cerita pertemuan dengan keluarga ibu Hervia di atas. Benang merahnya adalah, keluarga tersebut telah melakukan proses tumbuh kembang secara harmonis. Mereka berilmu tinggi, bermartabat, dan membahagiakan orang lain secara tulus. Buktinya? Kami semua merasa sangat bahagia. Seminggu cerita kami tak habis membahas kebaikan mereka. Ikan bakar, panekuk empuk, jus buah naga, pisang goreng dengan gula merah, yang dibuat sendiri oleh tuan rumah di dapur yang ditemani oleh pembantuyang diajak bertutur secara halus, mengajak kami bercengkrama dengan egaliter, menata ruang dengan tatanan ala jamuan orang ‘gedean’, lengkap dengan bunga cantik kreasi nyonya rumah yang memang seorang penata bunga langganan kedutaan besar di Jakarta, dan senyum hangat yang tak henti tersungging.

Tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan sempurna. Dan pelajaran kehidupan keluarga Ibu Hervia telah membahagiakan kami.

Pekerjaan rumah yang teramat besar menantang para Guru masa kini untuk membongkar kembali ambisi pencapaian kecerdasan material semata. Ayo! TG

*) Bagian terakhir dari coverstory majalah Teachers Guide edisi No. 10/vol 04- tahun 2010.