Oktober 30, 2010

Manipulatives From A to Z

Lesson
Quick Ideas for Grades 1-2
Math Practice


Aces Never throw away a deck of playing cards. They have dozens of math applications: counting, sorting, probablility, and card –house engineering, just to name a few.
Bolts Stock up at the hardware store. Nuts, bolts, and screws are perfect for counting, weighing, and sorting.
CDS Save the free ones you get in the mail. Trace for perfect circles, or challenge kids to create a giant, symmetrical design for your bulletin board.
Drums Play various beats and talk about rhytm, counting, and patterns. (Make your own by stretching a balloon across an oatmeal canister.)
Eye Charts Measure and count the letters. You can also measure the distances from which kids can read the different lines on the chart.
Flashlights have kids bring one from home. Then turn off the lights and play with shadows. Talk about symmetry and shape.
Google FYI, this popular search engine as also a calculator. Enter a problem (such as 5+7) into the search field and the answer pops up.
Holograms Pick Up one or two hologram postcards and use them as a starting place to talk about 2-D and 3-D
Ice Cube Trays use for sorting small objects, measuring, or counting by 2s (have kids put a bean in every other slot).
Junk Mail Try catalog math.Invite kids to calculate various purchases. Or host an engineering challenge –who can build the strongest bridge from credit card offers?
Kisses (the chocolate kind). Not for every day, but a fun valentine’s day treat. Estimate how many are in jar, or do some nutrition math.
Lunch Trays Borrow some from your cafeteria. Then use them as a surface to create simple graphs with string and counters.
Magic Eight Ball A fun way to talk about probability. How wmany possible answers are there? How many are ‘good’ answers/ how many are ‘bad?’
Notebooks Invite kids to keep math journals -a place to work out their thinking and keep track of what they find interesting and confusing.
Origami paper this stuff is bright, colorful, and cheap –and a great way to talk about 2-D and 3-D shapes, folding, and symmetry.
Phones Bring in an old cell, handheld, or even rotary phone. Put it in your math center and invite kids to practice writing and dialing phone numbers.
Q-Tips Use a cheap, disposable paintbrushes. Write math problems using invisible ink.
Race Cars Invite kids to bring in toy cars from home. See how far they can go with a gentle push. How many red cars do students own? Blue? Green?
Stamps Cut canceled ones off your mail. Sort by colour and shape, or add up how much they all cost together.
Toilet Paper Tubes You’re probably already saving these. Use them to talk cylinders or as sorting containers.
Utensils Plastic silverware, potato mashers, and other kitchen gizmos make for great pointers and fun tools for your math center.
Vegetables Sugary treats are so last century. Count tomato seeds or weigh grees beans. Edamame (soybeans) are perfect counters.
Wooden Blocks Endless opportunities here: who can built the tallest tower? How many blocks tall is the teacher? How much dose a block weigh?
X-rays Doctors and hospitals are often willing to donate old films. Count those ribs and measure that ulna!
Yarn Love those craft store teachers discounts. Use yarn as a flexible ruler. Weave on a cardboard loom and make patterns. Glue onto paper to make shapes or numbers.
Ziti Pasta shapes equal hours of math learning. Make patterned necklaces, measure and pour,or build noodle sculptures. TG

Hannah Trierweiler
Sources: Instructor, Scholastic, Jan/Feb 08,p. 57

Sejarah? “Bosan Ah!”

Gunakan Audio Visual, Siswa akan Bergairah

Saat mendengar kata ‘sejarah’, terbayang kebosanan, apalagi jika pelajaran tersebut disampaikan secara monoton pada jam-jam terakhir menjelang pulang sekolah. Sebagai Guru sejarah, apa yang harus kita perbuat menjumpai sikap para siswa yang tidak suka pelajaran yang akan kita bawakan?

Bukan tanpa sebab jika pelajaran sejarah diberi anggapan menjemukan, kuno, tidak penting, dan tak ada korelasinya dengan ilmu pengetahuan serta teknologi terbaru. Sejarah membosankan karena cara penyampaian materi yang monoton, bercerita saja, dan diskusi interaktif siswa tidak dapat terbangun.

Keadaan itu diperparah jarangnya kompetisi sejarah antar sekolah, serta sedikitnya minat siswa untuk membaca buku-buku sejarah di perpustakaan. Tak terdengar ‘Olimpiade Sejarah’ sebagaimana Olimpiade Fisika. Minat siswa meneliti pun belum tumbuh. Siswa apriori, karena pelajaran ini tak diujikan secara nasional.

Empat belas tahun yang lalu, di masa awal mengabdi sebagai guru sejarah pada SMA Don Bosko Semarang, saya mengalami krisis percaya diri saat akan menyampaikan materi di depan para siswa.

Semangat baru mulai muncul, karena perkenalan saya dengan OHP dan komputer. Pelajaran sejarah jadi menarik, ketika saya menyajikannya dalam bentuk audio visual. Tayangan visual situs-situs kerajaan Hindu dalam bentuk candi sangat mengundang rasa penasaran siswa. Beberapa bagian relief candi yang terkesan melanggar UU pornografi dan pornoaksi, sah-sah saja dijadikan media belajar.

Banyak siswa terlihat aktif dan antusias bertanya. Saya senang, materi pelajaran terserap dengan baik. Gambar patung, relief atau lukisan di masa lalu ternyata lebih mudah dipahami ketimbang melalui membaca buku sejarah saja. Film animasi tentang evolusi manusia, pola hidup jaman prasejarah dan awal peradaban umat manusia ternyata sangat membantu proses pemahaman. Sejarah yang semula begitu abstrak, menjadi jelas, karena disajikan secara konkrit.

Tradisi sekaten, grebeg Syawal, dan Grebeg Maulud di Yogyakarta dan Surakarta dalam bentuk CD bisa digunakan untuk menjelaskan sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Begitu pula dengan film dokumenter tentang pergerakan nasional, Proklamasi RI, revolusi fisik, peristiwa Malari sampai gerakan reformasi dapat dipakai untuk menjelaskan sejarah Indonesia secara lengkap.

Saya sudah membuktikannya, dalam wujud peningkatan prestasi siswa hingga menjadi juara 2 dalam Kompetisi Sejarah antar SMA se-Karesidenan Semarang yang diadakan di UNNES pada tahun 2008 lalu.

APA yang HARUS DILAKUKAN?


• Manfaatkan internet untuk mencari gambar-gambar situs sejarah, ataupun film-film animasi tentang evolusi manusia. Gunakan gambar atau film dalam bentuk tayangan untuk melengkapi materi yang dibuat dalam bentuk “power point”.
• Jelaskan materi secara singkat. Biarkan para siswa mengamati tayangan lebih lama, dan berilah keleluasaan untuk bertanya pada guru.
• Ciptakan situasi belajar dalam bentuk diskusi informatif. Kembangkan komunikasi timbal balik yang seimbang. Guru jangan ceramah.
• Konsisten memberikan catatan dan nilai yang transparan bagi siswa. Obyektifitas harus dijunjung tinggi.
• Ciptakan relasi akrab dengan siswa. Jadilah pendengar yang baik. Jangan lupa berilah senyuman dan sapaan yang baik, sebelum maupun sesudah mengajar.

Sejarah adalah pelajaran tentang aktifitas manusia di masa lalu, yang hanya dapat dihadirkan kembali secara jelas dalam bentuk dokumen dan situs. Siswa akan mampu memahami jika guru mampu menghadirkan dokumen dan situs sejarah dalam bentuk tayangan audio visual.TG

Penulis: Anna Marlupi
Guru SMA Don Bosco, Semarang
Pemenang Lomba penulisan, pada pelatihan Literasi untuk Guru, Menjadi Guru yang Gemar Menulis

Ide Pembelajaran Komunikasi (English)

Lesson

1. Uncle Bob's Hamster

Mata ajar : Bahasa Inggris
Judul : Uncle Bob’s Hamster
Unsur kebahasaan: penggunaan adjectives/kosakata
Ketrampilan : berbicara/menulis
Lingkup kebahasaan: binatang

Katakan pada siswa, bahwa Anda mempunyai seorang paman yang bernama Bob. Paman Bob memiliki seekor hamster. Siswa diminta mendiskripsikan hamster tersebut dengan cara menulis kalimat dengan menggunkana kata sifat yang paling cocok. Boleh menghadirkan seekor hamster ke kelas agar lebih kontekstual. Tantangan dapat ditambah dengan cara mengatakan pada siswa, bahwa huruf pertama dari tiap kata sifat harus berbeda dan mengikuti alphabet.

Tulis kalimat pertama: Uncle Bob’s hamster is angry di papan tulis.

Tunjukkan kata angry dimulai dari a, seterusnya siswa bergiliran mencari kata sifat yang sesuai.

Uncle Bob’s hamster is big, cute,dan seterusnya. Tentukan batasan waktu agar siswa dapat menjawab dengan cepat.

Kegiatan ini dapat dipermudah dengan menyediakan daftar kata sifat tapi tidak ditulis secara urut abjad. TG

2.PASS the BALL
Unsur kebahasaan: tata bahasa/kosakata
Ketrampilan : berbicara
Media : tape recorder, kaset, bola.

Cara bermain:
1.Mainkan musik
2.Siswa mengoper bola kepada siswa sebelahnya. Bisa dalam lingkaran atau tetap di bangku duduk.
3.Ketika musik berhenti, siswa yang memegang bola harus menjawab pertanyaan atau berbicara tentang sebuah gambar
4.Jika siswa tak ingin manjawab, katakan ‘pass’
5.Ketika musik mulai lagi, bola terus diputar
6.Sesekali bisa katakan ‘change/ganti’. Bila akan berputar arah

Guru bisa mengajarkan ‘benda-benda di sekitar sekolah’ (things around the school). Tunjukkan beberapa gambar sekolah lengkap dengan ruangan dan benda-benda yang relevan. Kelas dapat dibagi dalam beberapa kelompok, agar semua mendapat giliran lebih banyak.TG

Sumber:
Asyik Belajar dengan PAKEM Bahasa Inggris. UNICEF.

Oktober 29, 2010

Spelling Bee, AGAR TAK SEKEDAR BERGUMAM SEPERTI LEBAH

Lesson



stewardess’
‘what’s the definition?’
‘a person who serves passengers on aship, plane, etc’

‘es- ti- i - double yu – e – ar – di – i– double s’ eja seorang anak usia SD kelas 6, dengan fasih dan dialek bagus seperti native speaker.

‘That’s correct’
balas Ms. Chacha sang juri yang segera memberi kata berikutnya. Jika ada yang tak jelas, peserta akan meminta definisi atau petunjuk. Jika tetap tak bisa, disarankan mengatakan ‘pass’, agar tak di-delete.

Sejumlah anak bisa menembus di atas 15 kata, meski ada yang hanya mampu 3 kata langsung gugur. Ya, itulah pertandingan kecepatan, ketepatan pendengaran, dan wawasan serta perbendaharaan kata dalam bahasa Inggris yang dinamakan spelling bee.

Ernesto Aryo, direktur The Future yang baru saja menggelar kompetisi antar siswa SD, mengatakan bahwa spelling bee ini merupakan cara belajar yang fun, untuk memberi stimulasi pada anak bahwa belajar bahasa Inggris itu menyenangkan. Spelling bee ini kan salah satu bentuk games.

Mengapa Bee?
“Dalam bahasa Inggris, bee itu menggumam …emmm…..emmmm….. Kumbang itu kan bergumam. ‘mmmmm…mmmmm….. Nah, spelling bee menajamkan spelling, mengeja huruf, pemahaman kata, yang harus diucapkan, dilafalkan, bukan digumamkan!”, jelas Pak Aryo yang pernah tinggal di luar negeri dan mengikuti perkembangan spelling bee.
Apa yang dicari dan diunggulkan pada spelling bee?

“Ini yang paling cocok untuk siswa SD. Kalau siswa SMP sudah bisa dengan cara debat. Mengenalkan kata dalam bahasa inggris yang agak berat. Masing masing ada temanya. Ada house, body. Kalau mereka teliti, pasti ada satu set yang setema. Tapi ini bisa beda-beda di tempat lain.

“Kalau di Indonesia, ini cocok, karena bisa mendorong anak belajar bahasa Inggris lebih fun. Ini kan fun learning. Bahasa itu juga bakat. Setiap skill itu menurut saya bakat. Ada seorang murid, yang berkali-kali, repeat, ngulang pass, repeat, pass. Tapi sampai intermediate 4, akhirnya stuck sampai di situ. Dia tak tahu apa-apa. Untuk anak seperti ini, bahasa menjadi tak menyenangkan. Bisa sih bisa. Tapi tak terlalu berkembang.”

Apa manfaatnya?
“Keberanian maju. Lantas berani bicara. Ujungnya public speaking. Di Indonesia ini akan lebih berguna.”

Bagaimana supaya jangan jadi drilling?
Spelling bee murni pengenalan kata yang berbeda dengan yang dipelajari di sekolah. Caranya adalah dengan memperbanyak membaca. Ya, membaca! Membaca sangat mengembangkan segalanya. Perbendaharaan kata, grammer. Buku buku yang ringan saja,” lanjut Pak Aryo



Di Amerika sangat menonjol ya?
“Sangat! Dikompetisikan secara nasional dan dinikmati oleh berbagai kalangan. Yang menang, biasanya bukan dari warga negara Amerika asli, kebanyakan orang kulit hitam, China, dan India. Dan kata yang dilombakan sungguh kata yang tak biasa. Kesulitan tingkat tinggi. Kemampuan mereka untuk meminta clue atau petunjuk arti kata yang dilontarkan sang juri tergantung kecerdasan berbahasa atau kompetensi berbahasa. Kita masih ketinggalan dibanding Singapura atau Malaysia.”

Coba simak film "Akeelah and the Bee".
Alkisah, ada seorang gadis kulit hitam, Akeelah Anderson. Diperankan oleh Keke Palmer. Film ini memberikan gambaran, betapa Spelling Bee di Amerika menjadi perlombaan yang diapresiasi dan menjadi kenikmatan para penonton, mirip suporter futsal. Yang sangat menarik disimak adalah cara guru mengajar dan memberi motivasi. Luar biasa.

Akeelah semula gadis yang menarik diri akibat pola asuh single parent yang mendominasi kehidupannya. Sang ibu yang tak menyetujui anaknya mengikuti kontes, belakangan baru mengaku bahwa alasannya tak tega dan tak ingin melihat putrinya kalah dan mengalami kesedihan.

Pak Larabee mengajarnya dengan cara yang sangat hebat. Lompat tali, tetabuhan, dan mengajak membaca bersama. Tak heran jika Akeelah dan peserta kompetisi lain mampu menggali definisi kata yang dimaksud, sebelum mulai mengeja. “Logorrhea ….”. Di kamus Longman saja tak bisa kita temukan.

Sering terlihat, guru di sekolah-sekolah kita mengajar spelling bee dengan cara konvensional. Drilling dan dihafal. Mestinya diganung dengan cara telaah makna kata. Dan itu tadi, membaca!TG

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

SOAL MATEMATIKA YANG ANEH (1)

Lesson


Janganlah menganggap bahwa
satu-satunya fungsi puzzle
hanyalah untuk kesenangan.
Puzzle adalah sebuah cara belajar matematika.
Bahkan, cara yang terbaik.”

MARTIN GARDNER

“Pada suatu hari berlabuhlah kapal besar di dermaga pelabuhan. Tinggi kapal itu 20 meter. Hari itu turun hujan lebat. Ternyata air setiap 1 jam naik 0,5 meter. Berapa jamkah kapal itu akan tenggelam?”

Secepat kilat soal ini dijawab oleh beberapa rekan guru di sesi training saya. Sebagian besar guru menjawab kapal akan tenggelam dalam waktu 40 jam. Alasannya adalah karena air setiap jam naik 0,5 meter, maka selama 40 jam air akan setinggi 20 meter (40 jam x 0,5 meter). Itu artinya, kapal akan tenggelam.

Namun, ada juga guru yang memberikan jawaban seperti ini, “Kapal itu tidak akan tenggelam. Jika air laut naik, maka kapal pun akan ikut terangkat naik. Artinya, posisi kapal akan selalu berada di atas permukaan air tak peduli berapa pun ketinggian air akan naik setiap jamnya.” Bagaimana menurut Anda?

Soal selanjutnya saya berikan seperti ini, “1.384 + 793 = …” Tak lebih dari 15 detik, serempak semua guru menjawab “ 2.177 ”.

Tetapi, apa yang terjadi ketika saya memberikan soal berikut ini.
Maaf gambar tak dapat diplacement.)

Tak ada lagi koor serempak untuk menjawab soal ini. Bahkan, mereka langsung berinisiatif sendiri untuk saling berdiskusi membahas soal tersebut. Anda punya cara sendiri untuk memecahkan soal ini?

Ada juga soal lainnya: “Tiga orang bersaudara mendapat surat wasiat pembagian harta peninggalan 17 ekor sapi yang hanya berupa surat. Isi surat begini: Si sulung harus mendapat bagian setengah. Si tengah mendapat bagian sepertiga. Si bungsu mendapat bagian sepersembilan. Sapi harus dalam keadaan hidup dan tidak boleh dijual dulu. Harta warisan lain, dibagi sama rata.”

Pada pembagian 17 ekor sapi itu, terjadi pertengkaran lantaran sapi tak boleh dipotong. Karena tidak menemukan akal cara membagi, mereka pun ke pengadilan. Ternyata, pengadilan pun tak mampu.

Alkisah, muncullah seorang yang terkenal pandai di desanya. Setelah membaca isi surat wasiat itu, dia dapat membaginya secara adil sesuai wasiat. Apa kira-kira yang dilakukan si pandai memecahkan warisan itu?

Nah, kegelian luar biasa terjadi ketika ada seorang guru yang bisa menyelesaikan soal tersebut dalam waktu kurang 10 detik. Dengan pe-de beliau langsung menjawab, “Si sulung dapat bagian 8,5 ekor sapi, si tengah dapat bagian 5,7 ekor sapi, si bungsu dapat bagian 1,9 ekor sapi.”

Saya langsung bertanya, “Bisakah ditunjukkan 5,7 ekor sapi itu seperti apa? Bukankah akan berselisih jika pembagiannya seperti itu".

Guru tersebut langsung tersenyum sambil spontan berkata, “Eh iya, 5,7 ekor sapi seperti apa ya?”

Anda punya solusi untuk memecahkan soal ini?

Terakhir, saya berikan kasus seperti ini. “Pak Ahmad dan Pak Amin bertetangga baik. Suatu hari Pak Ahmad hendak ke kota membeli susu, 4 liter. Karena tak punya botol susu besar, dia meminjam milik Pak Amin. Rupanya, pak Ahmad pun mau membeli susu 4 liter juga, minta tolong sekalian dibelikan. Di pasar, susu 8 liter itu pun di satukan dalam satu wadah, karena ada tempat lain. Sesampai di rumah pak Amin, ternyata wadah penyimpan tersedia tiga kaleng dengan ukuran berbeda: 8 liter, 5 liter, dan 3 liter. Apa kiat Pak Ahmad, agar dapat menakar 4 liter susu kepunyaannya dengan menggunakan 3 kaleng itu?”

Soal yang aneh. Itulah komentar beberapa guru yang menjawab. Benarkah soal matematika ini memang aneh? Apakah soal ini dapat melatih keterampilan berpikir kritis -logis siswa? Nantikan jawabannya di edisi mendatang.



Asep Sapa’at
Trainer Pendidikan
Lembaga Pengembangan Insani - Dompet Dhufa







Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

Pembelajaran Kontekstual, Pembelajaran (yang) Sebenarnya

Lesson


Pembelajaran Kontekstual (contextual teaching & learning) seharusnya benar-benar menjadi falsafah bagi para Guru. Bagaimana agar materi budi pekerti dan matematika kontekstual? Seperti apa metoda pembelajaran kontekstual dapat masuk (terintegrasi) dalam semua materi pembelajaran, seperti matematika, sosial, agama, seni, atau olahraga?

Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan konsep dengan kehidupan nyata, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuannya dan penerapan sehari-hari.

Guru terkadang berpikir instan, mengenalkan rumus tanpa dikaitkan dengan konteks sehari-hari. Cara instan ini ‘menyebalkan’, membuat pusing dan bingung saat harus menemukan strategi dan solusi pemecahan masalah. Lupa harus menggunakan rumus yang mana.

PINTAR MATEMATIKA & SOPAN SANTUN
Materi character building (budi pekerti) kini hangat diangkat kembali untuk melihat perkembangan paradigma pendidikan. Dulu, konten budi pekerti bermuara pada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila. Kini, disatukan dengan materi studi sosial/ilsos (ilmu sosial) yang di dalamnya terdapat Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Dipisah atau diintegrasikan akan tetap bermakna jika diaplikasikan dengan metode dan strategi yang efektif dan menantang.

Keteladanan adalah pilar yang utama di samping pembelajaran dan pembiasaan. Melalui studi kasus, games, nonton film, ditemukan strategi pembelajaran yang menarik. Keteladanan menggunakan magic words seperti terima kasih, permisi, maaf, dan perlu bantuan - dapat menjadi contoh bagi siswa jika Guru konsisten menerapkannya.

Pada suatu kesempatan pelatihan Guru (yang diadakan di Semut-Semut the Natural School), diberikan beberapa contoh permainan, yang sarat dengan pembelajaran budi pekerti.

1.Permainan menemukan alas kaki/sepatu:

Media: kertas bekas dipotong kecil, alat tulis, wadah (tempat)

Cara Kerja:
Guru diminta memperhatikan alas kaki atau sepatu yang dikenakan rekan sejawat. Tuliskan nama masing-masing di secarik kerta, kumpulkan dalam satu wadah. Setelah itu wadah berisi nama-nama Guru itu diedarkan kembali. Tiap Guru mengambil kertas bertuliskan nama orang lain. Dalam hitungan tertentu Guru sudah kembali ke ruangan dengan membawa sepatu sesuai nama yang tercantum. Instruksinya: “Kembalikan sepatu milik teman!”

Beragam ekspresi tampak. Ada yang memberikan dengan hanya berkata “Nih punya mu! sambil dilempar); Ini betul kan sepatumu? Eh… salah ya, ahh… kucari lagi ya!” Sedang si penerima mengatakan: “ Ya ya… ini sepatu baruku; Haa..haa.ha.., enak juga ada yang ngambilin sepatu gua!” …

Guru belum sadar, bahwa instruksi ini sesungguhnya akan melihat sejauh mana cara memberi dan menerima barang dari orang lain.

Kasih sayang dan kesantunan diusung. Saat memberikan dan menerima alas kaki, pemberi dan penerima seharusnya menerapkan magic word: tolong, permisi, maaf, terima kasih. Pesan moral dari permainan ini adalah menunjukkan arti kepedulian terhadap orang lain, kompak, dan menghargai perbedaan.

2.Permainan membentuk kelompok dengan kriteria ukuran (sepatu, baju, umur, berat)

Guru diminta berkelompok @ 5 orang dengan kriteria ukuran tertentu, misalnya ukuran sepatu yang sama, baju, tahun kelahiran, dan lain-lain. Setelah terbentuk, kelompok lain diminta menebak kriteria yang digunakan kelompok lain.
Kegiatan ini membantu memupuk nilai kerjasama, persamaan dalam perbedaan, silaturrahim melalui komunikasi, dan kasih sayang.

3.Permainan saling bertelepon antar teman dalam satu kelompok
Masih dalam kelompok, guru diminta menelpon teman. Kegiatan ini diarahkan pada pembelajaran sikap menghargai pada orang lain, yakni saat fasilitator sedang berbicara, hendaknya tidak mengaktifkan telepon seluler. Cara bicara mengajarkan berkomunikasi dengan santun.

4.Permainan kucing dan tikus
Media: tali plastik dibentuk lingkaran berukuran besar dan kecil
Cara: Ingat cara bermain kucing dan tikus? Biasanya kucing menangkap tikus dengan berlari secepat mungkin. Kucing di luar lingkaran berusaha menerobos ke dalam lingkaran menangkap tikus.

Tapi permainan kali ini berbeda. Tali berukuran besar diumpamakan kucing, dan tali lebih kecil sebagai tikus. Instruktur memberi tali berukuran kecil. Lalu peserta tersebut dengan cepat memasukan dari kepala dan mengeluarkan melalui kaki, digeser ke peserta sebelahnya, demikian bergantian.

Kira-kira sudah lewat 2 peserta, instruktur memberikan peserta pertama tadi tali berukuran besar (kucing) dengan proses sama serta berusaha mengejar tali ukuran kecil (tikus). Jika ada peserta mendapatkan 2 jenis tali, maka keluar dari lingkaran. Jumlah tali bisa ditambah sesuai jumlah peserta dengan perbandingan sama antara ukuran besar = ukuran kecil.

Kegiatan ini ditujukan pada penanaman nilai-nilai strategi yang tepat, sportivitas, dan cekatan.


Contoh pembelajaran kontekstual pada materi matematika yang diintegrasikan dengan budi pekerti.

Perkalian (minum obat, saat makan, dan rencana membeli sesuatu)
Perkalian dekat dengan siswa. Ketika minum obat, tertulis di resep 3 x 1 sendok makan, berarti diminum pagi, siang, dan malam, masing-masing 1 sendok makan. Nilai yang diusung adalah disiplin diri. Mengapa? Jika salah dosis bisa berakibat buruk bukan?

Menghitung keliling kebun atau rute lari saat materi olah raga
Menghitung keliling bangun di samping bukan dengan cara dijumlahkan satu persatu
(masing-masing bangun datar dihitung kelilingnya lalu dijumlahkan – keliling bangun 1 + bangun 2 + bangun 3).
Kontekstual pembelajaran berarti hitung dengan cara mengukur sisi luar yang ada.

Memahami perbedaan isi dan volume air minum mineral. Mengapa isi air minum dalam botol tidak penuh (masih ada ruang kosong sedikit)?

Mengaitkan isi air botol mineral yang berbeda ukuran (600 ml, 800 ml, 1.500 ml) pada benda/ produk lain yang sama satuannya (menggunakan satuan liter) seperti minyak tanah, bensin, shampoo, produk kecantikan, dll. Lalu diarahkan pada konversi satuan atau perubahan dan tingkatannya. 1 liter air = 1000 ml air

Menemukan benda atau produk yang menggunakan satuan kg, ons, ½, ¼, km, meter, hektar/are, dalam kehidupan sehari-hari:
Kg = telur, padi, beras, tepung, udang, kambing, …
Kg/ons = ikan teri, bumbu dapur, sayuran, …
Km = kecepatan kendaraan, jarak, skala,…
Meter = ubin, asbes, batu bata, genting, tanah, bahan pakaian, kabel, tambang, …
Are = tanah, kebun, sawah,

Perbedaan 1 kg kapas dengan 1 kg pasir. Sama berat tetapi berbeda muatan (banyaknya)
Berbagi roti, kue tart, cokelat sebagai pembelajaran pecahan
Berbelanja dengan potongan kertas dari swalayan dan diestimasikan dengan keuangan serta presentasi diskon belanja

Pergi dan mencatat perubahan, urutan, dan perbandingan pada bilangan desimal ketika mengisi BBM (bahan bakar minyak) di POM bensin

Ada beberapa kesimpulan yang penulis sarikan dari pembelajaran kontekstual.
• Real World Learning (pengalaman nyata)
• Dekat dengan kehidupan nyata
• Berpikir tingkat tinggi
• Berpusat pada siswa
• Siswa aktif, kritis, dan kreatif
• Siswa praktek, bukan mengkhayal
• Pengetahuan bermakna dalam kehidupan
• Perubahan perilaku
• Learning, bukan teaching ; pendidikan (education), bukan pengajaran (instruction)
• Pembentukan ‘manusia’ (sejalan dengan teori Multiple intelligences)
• Memecahkan masalah
• Siswa ‘akting’ guru mengarahkan
• Hasil belajar diukur dengan berbagai cara, bukan hanya dengan tes

Box
Urutan belajar:

1.Activating knowledge
2.Acquiring knowledge
3.Understanding knowledge
4.Applying knowledge
5.Reflecting knowledge

7 komponen CTL (Contextual Teaching & Learning)
1.Konstruktivisme
2.Menemukan
3.Bertanya
4.Masyarakat pembelajar
5.Pemodelan
6.Refleksi
7.Authentic assessment

Karakteristik pembelajaran CTL

1.Kerjasama
2.Saling menunjang
3.Menyenangkan, tak membosankan
4.Belajar dengan bergairah
5.Siswa aktif
6.Share dengan teman
7.Pembelajaran terintegrasi
8.Menggunakan berbagai sumber
9.Siswa kritis guru kreatif dan inovatif
10.Dinding kelas dan lorong penuh hasil karya siswa
11.Laporan pada orang tua
12.Portofolio siswa

Penulis: Mulyana
Disarikan dari pelatihan matematika oleh Ibu Nina Anggerina
RAKER Guru Semut-Semut The Natural School

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

Ice Breaking Persiapan UASBN dan UN

INSPIRING


Setiyo ‘Trainer Berhonor 2 M’ Iswoyo *)

Dalam menghadapi UASBN atau UN, berbagai persiapan dilakukan. Mulai dari training motivasi, dzikir bersama, muhasabah (renungan), try out, bimbingan belajar dan latihan soal yang biasa dilakukan secara intensif pada semester akhir kelas 6, 9 dan 12.

Biasanya, program pengayaan dilakukan setelah selesai jam sekolah atau setidaknya pada siang hari. Siswa cenderung kehabisan energy. Perlu pengkondisian utuk melibatkan mereka. Lakukan teknik ice breaking!

CONTOH ICE BREAKING
TES 7 MENIT

a. Waktu : 7 menit
b. Alat dan bahan : Lembar soal sebagaimana contoh di bawah
c. Aturan main : Mintalah siswa mengerjakan soal dengan cermat

Lembar Soal :
Tes 7 menit
Baca dengan baik dan seksama seluruh pertanyaan di bawah ini SEBELUM mulai menjawab. Waktu mengerjakan soal 7 menit. Peserta yang paling cepat dan benar dalam menjawab akan mendapatkan penghargaan.
Jawaban dituliskan di balik lembar soal.

1. Tuliskan nama di bagian kanan bawah
2. Tuliskan tanggal lahir di sebelah kiri atas dan beri lingkaran
3. Tuliskan alamat rumah di tengah kertas, tulis dengan HURUF BESAR
4. Tuliskan 2 nama guru yang favorit
5. Tuliskan mata pelajaran yang disenangi
6. Jika punya HP, tuliskan nomor HP
7. Tuliskan 3 makanan kesukaan
8. Bagaimana cara menyelesaikan kasus Bank Century yang sekarang menjadi sorotan? Cukup uraikan dengan 4-5 kalimat.
9. Majulah ke depan kelas, teriakan dengan suara lantang : AKU SUKSES UN
10. Bukalah sepatu, taruhlah di dekat meja guru
11. Jika sudah selesai mengerjakan nomor 10, tuliskan cita-cita Anda di pojok kanan
12. Segera berdiri dan tepuk bahu kanan teman terdekat Anda lalu berikan senyuman terbaik!
13. Katakan: ”Teman, saya sudah selesai, mengapa kamu begitu lambat…ada yang bisa saya bantu?”
14. Sambil kembali ke tempat duduk teriakan dengan lantang: “Yes-yes-yes…akulah manusia tercepat !
15. Buatlah tanda tangan sebagus mungkin di tengah kertas, kumpulkan kertas jawaban di meja guru dan kembali ke tempat duduk dengan tenang
16. Teriakkan : SAYA SIGAP MENGERJAKAN SEGALA HAL!
17. Tepuk tangan 5 kali sebagai tanda telah menyelesaikan soal
18. Kerjakan hanya soal nomor 5, 7, 15
19. Tuliskan 4 nama teman akrab
20. Tuliskan 3 tokoh idola

• Perwakilan siswa menyampaikan komentar atas permainan
• Ulasan : kecepatan dalam mengerjakan soal ujian adalah satu hal yang penting, namun kecepatan tanpa kehati-hatian, ketepatan dan ketelitian akan membawa kerugian.
Dalam simulasi tes 7 menit tersebut, mayoritas siswa akan langsung mengerjakan soal tanpa memperhatikan instruksi yang diberikan, yaitu membaca seluruh soal terlebih dahulu sebelum mengerjakan. Siswa yang teliti hanya akan mengerjakan soal nomor 5, 7 dan 15, sebagaiman instruksi dalam nomor 18.

HURUF AKHIRMMU HURUF AWALKU

a. Waktu : 10 menit
b. Alat dan bahan : -
c. Aturan main :
• Seluruh siswa membentuk lingkaran besar
• Permainan dimulai dengan meminta seorang siswa menyebutkan 1 nama. Nama yang disebutkan bebas, tidak harus nama sendiri atau nama temannya.
• Siswa di sebelah kanan menyebutkan 1 nama dengan syarat : nama yang disebutkan berhuruf awal yang sama dengan huruf akhir dari nama yang disebutkan sebelumnya. Misalnya : AntoN, NununG, GunawaN, NadiA, Asri dst.
• Syarat berikutnya : setiap siswa hanya diberi waktu 3 detik untuk berpikir dan menyebutkan nama. Jika waktu berpikir terlalu lama, permainan diulangi dengan variasasi nama yang berbeda. Nama yang telah disebut tidak boleh disebutkan lagi.
• Mintalah siswa memberikan tanggapan atas permainan.
• Ulasan : Permainan ini melatih kecepatan berpikir dan kesigapan yang harus dimiliki siswa ketika menghadapi situasi yang mendesak.
Contoh ice breaking di atas adalah sebagian kecil permainan yang bisa digunakan. Ada banyak permainan yang bisa kita gali dari berbagai sumber. Salah satu sumber ice breaking adalah siswa. Ada baiknya kita meminta siswa untuk memperagakan permainan yang mereka miliki. Selain permainan, siswa juga bisa diminta untuk memberikan tebak-tebakan. Biasanya para siswa mampu memunculkan tebakan yang lucu untuk menghidupkan suasana.
Hal lain, kegiatan latihan soal dapat juga dilakukan di luar kelas. Misalnya di koridor, di halaman sekolah atau tempat lain yang nyaman dan teduh. Strategi ini akan membantu mengurangi kejenuhan selama kegiatan berlangsung. Semoga Bermanfaat.

*) Lead Trainer di YLC (Yasmin Learning Center) Jakarta. Bersama tim Trainer dari YLC, mendedikasikan diri untuk memberikan training gratis bagi guru atau sekolah yang berkeinginan maju namun terkendala biaya, training parenting gratis bagi orang tua siswa dari keluarga tidak mampu serta training motivasi gratis bagi remaja. Hingga mendapat julukan ‘Trainer berhonor 2 M’, artinya setelah training, akan mendapat penghargaan dari panitia berupa ucapan: Makasih Mas. Penulis dapat dihubungi di : iswoyo2000@yahoo.com

*) Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

Oktober 25, 2010

Ikuti Ujian Nasional dengan Senyuman BELAJAR MEMINIMALKAN STRESS SAAT UJIAN

Foto: Dr. Eva J. Hoffman


Lelah berdebat soal penyelenggaraan Ujian Nasional, Ujian Akhir Semester Berstandar Nasional (UASBN di jenjang SD)? Meski menang di pengadilan, tak menyurutkan pemerintah untuk tetap menggelar UN tahun ini. Gosipnya, karena dana sudah dialirkan, tak mungkin ditarik kembali.

Polemik lalu berserak tak hentinya menghujat UN. Sementara pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh, mengatakan : “UN kali ini diperbaiki. Ada 4 syarat yang konon tak boleh saling menjatuhkan. Pertama, lolos Ujian Nasional. Kedua, lolos Ujian sekolah. Ketiga, lolos penilaian akhlak dan perilaku. Dan ke empat, tuntas menjalankan seluruh program.

Manalah yang diperbaiki? Kalau empat syarat itu dijadikan pedoman, bagaimana kalau keadaannya dibalik? Anak tak lulus UN, namun perilakunya sangat santun dan terpuji. Lulus nggak nih anak? Ternyata jawabannya ‘tetap tidak lulus’! Inilah yang tak patut. Dikatakan bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan. Jadi mana yang diperbaiki, bukankah ditambah syaratnya?!

Kecerdasan majemuk jelas belum tersentuh. Jauh panggang dari api. Apalagi mengemas tata cara Ujian agar siswa tak mengalami pengerdilan otak.

JENIS SOAL
Menteri M. Nuh memberi penjelasan pula tentang jenis soal yang seringkali dikeluhkan. Menurutnya, selain memperbaiki mutu pendidikan, pihaknya akan memperbaiki soal UN. Soal harus diyakini bahwa memang betul mencerminkan kemampuan anak dengan spektrum yang lebih lebar. Jangan sampai soalnya susah semua. Kira-kira Anda bisa menterjemahkan maksud pernyataan pak Menteri ini?

Angie Siti Anggari, principal Sekolah Tara Salvia di Bintaro-Tangerang berkomentar, jenis soal yang dibuat secara nasional secara umum cukup maju. Tak hanya berhenti pada tataran kognitif, melainkan sudah menyentuh substansi multi kecerdasan. Namun pada ujian ujian tingkat wilayah (propinsi, kabupaten, kecamatan), jenis soal masih payah.

“Menurut saya, yang penting saat ini adalah mencari solusi. Kita tahu pemerintah keukeuh dengan pendapatnya. Biarkan saja. Aroma politis lebih kuat. Kita yang bergerak di praksis pendidikan bisa mencari jalan keluar dengan melakukan penguatan pada guru dan siswa,” jelas Angie Siti Anggari.

Mungkin nggak ya, siswa menjalani ujian dengan didahului games, agar tercapai alfa zone, sebelum otak siap dipekerjakan secara maksimal? Lha wong yang jaga Ujian kan dari guru sekolah lain, ditambah tenaga dari kepolisian! Untuk tahun ini akan ditambahkan tenaga dari Perguruan Tinggi.

Kecurangan yang dilakukan para oknum di sekolah menyebabkan pemerintah secara narsis mengirim tenaga kepolisian untuk mengawal soal hingga diserahkan ke diknas setempat. Jadi pada tataran praktik penyelenggaraannya juga masih penuh syak-wasangka. Bagaimana mau memperbaiki konten? Demikian pemikiran pihak yang menolak UN.

STRATEGI ITU
Pada beberapa pertemuan yang Teachers Guide ikuti, sesungguhnya para penyelenggara pendidikan setuju Ujian Nasional tetap perlu diadakan. Namun dengan segala persyaratan yang memenangkan siswa. Bagaimana bentuknya? Pihak yang menghujat UN sampai kini juga belum menemukan ramuan jitu.

Kita telaah lebih lanjut bagaimana menyikapi ujian dengan strategi. Paparan Dr. Eva J. Hoffman, pada materi ‘Stress – Free Exams’ mungkin dapat membantu kita memperkuat siswa dengan strategi ‘30 detik penting bagi perbaikan otak’ :

a. Minumlah segelas air (jika tak diperbolehkan saat ujian, minumlah sebelum memasuki ruangan)
b. Tarik nafas perlahan
c. Usahakan untuk tersenyum (otak akan memproduksi ‘hormon senang’ yang disebut endorfin)
d. Regangkan pergelangan tangan dan kaki, lalu tarik nafas sambil menekan ujung lidah ke langit-langit rongga mulut, keluarkan nafas melalui mulut sambil membuat lidah rileks. Ulangi terus menerus hingga jantung berdegup normal.
e. Tambatkan jangkar ketenangan dan kedamaian milikmu. (lihat boks)

BOKS:
TAMBATKAN JANGKAR

Jangkar adalah simbol stabilitas dan keamanan. Benda ini berbentuk seperti kait dan mampu menahan apa pun agar tetap di tempatnya. Artinya, berlatihlah untuk selalu tenang, sabar dan fokus layaknya sebuah jangkar.

Jangkar menjadi alat bantu yang mengingatkan pada seseorang, situasi, bau-bauan, lagu, aroma, yang dapat memicu ingatan pengalaman. Saat menghadapi ujian, tautkan jangkar pada perasaan dengan contoh sebagai berikut:

LANGKAH I: Pilih jangkarmu
Jangkar Visual: liontin; cincin; simbol (pelangi, matahari, lingkaran); bayangan pemandangan indah atau seseorang.
Jangkar Sentuhan : menekan jempol dengan telunjuk; mengepalkan tangan; menekan titik positif (lekuk kecil di atas alis mata; dua tulang lekukan di bawah tulang leher, di kedua sisi tulang sternum; bagian belakang leher – pijat dengan menarik kulit dari tulang belakang, bentuk huruf X dengan telunjuk, lihat beberapa saat, bernafaslah teratur).
Jangkar Aroma: deodorant; minyak aromaterapi; parfum

LANGKAH 2: Ingat dan bayangkan sebuah situasi
Ketika merasa tenang dan damai…
a. Pejamkan mata dan berusaha membayangkan situasi tersebut
b. Nikmati perasaan rileks, bayangkan situasi itu secara jelas dan berwarna. Jika mungkin, dengarkan suara di sekeliling.

LANGKAH 3: Gunakan Jangkarmu.
Ketika sedang merasa amat tenang dan damai, ingatlah jangkarmu. Bayangkan dalam pikiran, atau gerakkan tangan mengikuti bentuknya (secara sadar, hubungkan diri dengan ketenangan dan kedamaian, bayangkan sentuhan atau aroma yang menjadi jangkarmu)

LANGKAH 4 : Perkuat Jangkar.
a. Buka mata dan hitung mundur dari 10 hingga 1. Atau gerakkan tangan hingga merasa rileks
b. Ulangi langkah 2 dan 3, sambil terus membuat banyangan sejelas mungkin
c. Ulangi langkah tersebut sekali lagi
d. Buka mata dan hitung mundur dari 10 hingga 1

LANGKAH 5: Tambatkan
Jangkar. Gunakan jangkar dan cek apakah sudah merasa tenang dan damai dengan melihatnya atau dengan bergerak. Ulangi tahap 2 dan 3 sebanyak mungkin hingga jangkarmu membawa ketenangan dan kedamaian.

Biasanya, ujian sekolah mengandung konsep jangkar negatif. Seringkali dikaitkan kata ‘ujian’ dengan rasa gelisah, cemas, gugup, dan stress tingkat tinggi. Jangkar macam ini tak berguna dan harus dihilangkan.TG

Sumber:“Sukses Ujian Tanpa Stress” –Dr. Eva J. Hoffman. Penerbit Gagas Media


Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

Guru Olah Raga Bergaya

Olahraga



Saat pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan atau lebih kerennya pelajaran olahraga, banyak dijumpai siswa yang tidak berminat, ogah-ogahan bergerak, malah bermalas-malasan dan hanya duduk-duduk di lapangan.

Sebagai Guru penjaskes, saya sering melontarkan joke menyindir: “Kalau di dalam kelas kepengennya jalan-jalan, tapi saat olahraga kepinginnya duduk-duduk!”.

Saya berusaha keras mengubah siswa seperti itu, tak hanya sekadar melaksanakan jadwal olah raga satu minggu sekali selama dua jam pelajaran. Yaitu, bagaimana dengan olahraga yang benar akan menjadikan siswa sehat jasmani dan rohani. Bisa kita bayangkan, setiap hari siswa sudah dijejali mata pelajaran, tugas kelompok, pekerjaan rumah, yang kadang membuat mereka stress, enggan masuk sekolah karena takut dengan pelajaran tertentu.

Ini yang Saya Lakukan:
Saya memberikan pemahaman pada siswa, bahwa pelajaran penjaskes tidak hanya untuk mendapatkan nilai dengan kriteria ketuntasan mengajar (KKM). Melainkan juga agar badan kita menjadi bugar sekaligus menghilangkan kejenuhan serta mengurangi kepenatan di dalam pelajaran.

1) Pada saat melakukan pemanasan, seringkali guru penjaskes terjebak pada rutinitas yang membosankan. Cara mengatasi, misal salah satu siswa diminta maju ke depan dan memimpin teman-temannya melakukan pemanasan. Sebaiknya pemanasan diiringi musik.
2) Ada aturan yang harus kita buat bersama antara guru dan murid sebelum atau di awal pelajaran.
3) Penampilan guru yang ‘oke’. Tidak harus berbusana mewah atau mahal, cukup tampil rapi dan enak dipandang, sehingga siswa terkesan akan sang guru olahraga yang pantass jadi panutan.
4) Tidak sekedar ’memerintah’. Karena merasa tua atau lama menjadi Guru penjaskes, banyak Guru yang sekadar memberi perintah. Usahakan Guru memberi contoh-contoh gerakan. Pasti siswa akan antusias dan bangga, Guru olahraganya tak sekadar memberi instruksi namun trampil melakukan gerakan-gerakan.
5) Sebelum pelajaran usai, beri motivasi hidup sehat.
6) Jangan pelit memuji gerakan siswa, meski tak sempurna. Ingat, yang kita hadapi bukan atlet, tetapi seorang siswa.
7) Sikap disiplin tapi tidak galak. Seringkali Guru olahraga ditakuti siswa –sudah galak, ringan tangan pula.

Marilah kita hilangkan kesan galak tetapi tetap disiplin. Dalam pembelajaran penjaskes, tanpa kedisiplinan, akan berakibat cidera. Tumbuh sebersit harapan saya sebagai Guru olahraga, semoga anak bangsa ini lebih sehat dan cerdas.

Amien Ariytna
Guru Olah Raga, tinggal di Semarang, Jawa-Tengah
Salah satu pemenang lomba menulis, dalam workshop Letirasi untuk Guru - Menjadi Guru yang Gemar Menulis, diselenggarakan oleh LPK Fun&Smart Home, Majalah Teachers Guide, Depdiknas Kota Semarang.


Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

Build! Jangan Do. Business! Bukan Busyness

Edu Coach by ActionCoach


Sebuah pertanyaan dan tantangan bernada komersialisasi pendidikan tercetak di sebuah selebaran:
“Apakah Anda yakin, sekolah Anda akan mampu bersiang di tengah kompetisi yang makin ketat dan menuntut? Kalau Anda tidak mampu menjawab ‘ya’ dengan penuh percaya diri, maka Anda dan Kepala Sekolah Anda harus meluangkan waktu menghadiri seminar ini.”

Diterakan pula: “7 hal penting yang akan dikupas dalam seminar ini“ :
1. Bagaimana mendirikan fondasi yang kuat bagi sekolah yang sehat, menguntungkan dan langgeng?
2. Mengatasi persaingan biaya tanpa menurunkan biaya sekolah Anda.
3. Jurus praktis dan jitu menambah jumlah siswa hingga kapasitas penuh, bahkan menolak calon siswa
4. Mengapa 80% bisnis (termasuk sekolah) tidak bertahan lebih dari 5 tahun?
5. Bagaimana bekerja lebih sedikit namun menghasilkan lebih banyak pada bisnis sekolah Anda.
6. Membangun tim kerja yang solid, loyal, dan berinisiatif maju
7. Mengapa sekolah juara terus juara, dan sekolah kelas dua semakin tertinggal hari demi hari?

Agak jengah juga membaca tantangan itu. Bagaimana sebuah sekolah secara persis disandingkan dengan pemikiran bisnis. Sekolah kini memang menjadi lembaga bisnis. Kiprahnya sebagai lembaga sosial memang telah luntur diterjang arus komersialisasi pendidikan.

Seminar yang dipandu oleh seorang coach ini memang sengaja diperuntukkan bagi sekolah swasta. Adalah Han Budiyono, yang memiliki sebutan ‘Tiger’ dari Action Coach --sebuah perusahaan kelas dunia yang mengkhususkan diri di bidang Business Coaching. Perusahaan yang didirikan oleh Brad Sugars sejak 1993 itu kini telah memiliki perwakilan di 28 negara dan 600 kota dunia, termasuk Indonesia.

Han Budiyono adalah co master licensee yang saat ini menjabat sebagai direktur utama Action Coach Jawa Timur & Bali. Yang khusus, coach Han memiliki minat dan ketertarikan tinggi di bidang pendidikan.

Oke lah…… kita intip ajaran Han saat berbicara di tengah acara yang kurang pas, karena diadakan berbarengan dengan pelantikan pengurus BMPS kota Depok. Peserta yang tadinya mengharap dapat berpuas diri mencermati ajaran coach, sudah hilang moodnya manakala pelatihan baru mulai setelah seremoni penuh birokrasi tersaji bertele-tele.

Han bertanya pada peserta dengan nada lantang : “Apakah sekolah Anda sudah beroperasi 10 tahun? Apakah sukses? Maju? Tambah murid dan Guru? Kenyataannya , banyak bisnis gagal sebelum menginjak usia 10 tahun. Mengapa? Karena yang dilakukan hanya DO, bukan BUILD!” (Nah lho …..)

Samakan persepsi dulu, bahwa sekolah adalah sebuah bisnis (singkirkan dulu segala argumen jika tak sepaham). … “Business tak sama dengan busyness,” jelas Han.
“Definisi bisnis, adalah terbangunnya sebuah lembaga komersial (sekolah kan tak gratis - yang swasta-, maka dianggap komersial-red) yang menguntungkan, dan bisa berjalan ‘TANPA SAYA’. Ini banyak terjadi pula di sekolah yang dipimpin oleh pendiri sekolah, yang masih mengawal operasional sekolah day by day, karena tak memiliki orang kepercayaan sekuat penggagasnya.

Diajarkan mengenai 6 langkah sukses, yakni Mastery (menyangkut waktu, tim dan uang). Ke-dua adalah Niche (menciptakan sesuatu yang unik). Selanjutnya, Leverage, Team, Strategy dan Result.

Penggagal Kemajuan Sekolah

Secara mendasar, setiap orang harus membuat kemudahan mengelola sekolah. Dua hal yang membuat hal sederhana menjadi rumit adalah kebiasaan menyalahkan orang lain dan membuat alasan. Misal, menyalahkan sistem Diknas, nyalahin Guru yang tak cerdas, nyalahin sekolah lain yang masih berkutat pada bidang akademis semata. Ke-dua, kebiasaan menunda pekerjaan. Dua hal ini deicermati coach Han sebagai penggagal kemajuan.

Kebanyakan kepala sekolah tak bisa membaca laporan keuangan! Arus kas, rugi laba, balanced, dan uang masuk keluar. Padahal semua itu perlu untuk dasar pengambilan keputusan, kebijakan, agar tak ngawur ...

Pada level Mastery, pelajari beda antara penting dan mendesak. Persoalan jika sudah menjadi penting dan mendesak, akan mendatangkan stress. Kerjakan yang penting sebelum menjadi mendesak! Coach mengajarkan konsistensi, yang terbukti lebih penting daripada brilliant.

Menghadapi awal tahun ajaran baru, di mana semua sekolah melakukan upaya marketing, jangan salahkan keadaan ekonomi. Alasan daya beli menurun seringkali menjadi legitimasi kurangnya siswa. Padahal yang terjadi adalah melemahnya daya jual. Coba lihat, kalau dalih daya beli menurun mengapa tiap tahun tetap ada jenis mobil baru yang ditawarkan?

Sekolah seringkali tak sungguh-sungguh mengawal marketing. Waktu dan perhatian habis mengurus bagian produksi, konten, kurikulum, program, yang menjadi ruh pendidikan. Namun marketing sekolah adalah masalah edukasi dan komunikasi.
Coba para kepala sekolah, tahukah Anda apa saja keunggulan sekolah yang Anda pimpin? Atau sebaliknya, jangan-jangan hanya Anda yang tahu. Guru, staff, orang tua siswa, jangan-jangan hanya tahu sebatas yang tertera di brosur. Soal hidden curriculum yang menjadi pembeda sekolah, tak pernah dikomunikasikan.

Apalagi soal profit. Coach yakin tak banyak kepala sekolah yang bisa melakukan hitungan jumlah calon pelanggan x prosentase keberhasilan. Jumlah pelanggan x frekuensi pendaftaran x nilai transaksi = omset x marjin laba = PROFIT. Bingung kan?......

Jadi, mengapa sekolah nomor 1 tetap menjadi nomor 1, sekolah nomor 2 menjadi makin tertinggal? Coach bilang, sebabnya adalah pada perbedaan cara berfikir. Sekolah nomor 1 tahu, mana yang bersifat konsumtif, mana yang investasi. Mereka sudah bisa membedakan mana yang perlu efisiensi, yang diartikan sebagai kesanggupan memilih yang lebih mahal, namun lebih tahan lama . Misal, dalam menentukan alat peraga belajar. Balok yang dipilih jelas bukan sembarang produk kayu yang dijual tanpa memperhatikan presisi. Mereka memilih yang berkualitas.

Optimalisasi, Efisiensi, dan Maksimalisasi

Membuat sekolah berkembang sesungguhnya tak sulit. Berawal dari yang kecil, tepat guna (sesuai kebutuhan) dan konsisten.

Ada peserta yang bertanya: “Coach, strategi apa yang membuat sekolah bisa melonjak jumlah siswanya?”
Coah menjawab, “Jangan berfikir strategi jika belum bisa konsisten! Pikirkan! Bagaimana dengan hasil yang lebih besar, namun bekerja lebih sedikit? Caranya adalah dengan membentuk the winning team. Lebih baik menonjolkan salah satu kekuatan sebagai diferensiasi, daripada biasa-biasa saja di semua bidang. Misalnya, menonjol di pendidikan inklusinya. Menang di metode bahasa asingnya, dan sebagainya.”

Nah, pernahkah Anda mendengar pernyataan seorang pemilik sekolah berkata seperti ini: “ Jelas saja sekolah saya tak bisa maju. Orang-orang saya jelek kemampuannya!”. Inilah penggagal kemajuan itu. Coba sang pemilik ini mau menunjuk dirinya sendiri sebagai penanggung jawab, dengan melakukan refleksi. Jangan-jangan bukan tak punya orang yang cakap. Apakah orang yang cakap tadi mau bekerja di tempat Anda? Ini persoalannya!

Membentuk winning team, pertama kali adalah dengan memasukkan orang-orang yang sama tujuan. Istilahnya, “masukkan orang-orang yang tepat ke dalam bus”. Seleksi penumpang dari awal. Artinya, seleksi guru, seleksi orang tua, harus makin cermat dan sesuai dengan nilai-nilai sekolah yang akan dikembangkan.

Perhatikan bagan ini:
Aktif
D (dominan)-manager, pendobrak I (Intim) marketing
C (cermat)-teknisi S (sabar, stabil)
Pasif

Masing-masing D-I-C-S itu ada fungsinya. D adalah pendobrak, penggagas pekerjaan. Ini pimpinan. Sejumlah 99% pekerjaan tentu tak tuntas sendirian. Jadi perlu orang C. Semua pihak harus saling belajar dan mendukung. D harus belajar dari S, agar tak suka memotong pembicaraan orang, misalnya. Kalau bisa mengharmonisasi D-I-C-S, the right man on the right place, maka proses operasional sekolah akan EFEKTIF.

Jika Anda seorang pemilik sekolah, tugas Anda bukan melayani customer, melainkan men-support tim Anda, memuaskan tim, agar mereka bisa bagus melayani customer, dan membawa bisnis itu menyenangkan bagi Anda, pemiliknya!

Sampai pada tahap 4 (Team), jika sudah stabil, cukup! Jika sudah mapan semua, baru beranjak ke nomor 5, yakni Sinergi, dengan membuka cabang, diversifikasi, dan lain sebagainya.

Pertanyaan lain yang menarik dari salah satu peserta adalah: “Sekolah saya baru berdiri. Belum punya murid. Kami menjual program. Sementara orang tua mencari contoh lulusan sebagai hasil akhir. Sementara kami pun tak menjual fasilitas. Bukan itu ‘jualan’ kami. Kami lebih punya idealisme. Bagaimana coach?”

“Tak ada testemoni (pengakuan),” jawab coach Han. “Berikan saja garansi. Misal, bagi anak yang tak bisa ikuti materi, akan diberikan pengayaan khusus. Sejak awal harus dihitung untung ruginya. Tapi ingat, ini kan jasa pendidikan. Ciptakan rasa, apa yang Anda sampaikan, layak mereka bayar!” demikian penjelasan coach.

Sebagai penutup, coach Han berpesan, agar pengelola sekolah selalu mengasah team penjualan (marketing siswa). Produk bagus belum tentu bisa dijual. Apalagi produk jelek. Bikin perencanaan yang baik, dan jalin aliansi strategis dengan pihak lain.
Bagaimana rasanya? Sejalan saran dan cara berfikir bisnis ala coach untuk sekolah Anda? Jika tidak, sudah kami ingatkan, bahwa acara ini sudah diisyaratkan berbau bisnis sejak penawaran awal. Tinggal Anda pilah sendiri, mana bagian yang cocok, mana yang tidak.

Seringkali kita bisa temui, sekolah yang dikelola tanpa rancangan bisnis pun bisa eksis, dengan ketulusan dan keberkahan yang selalu dicari. Ini memang tak ada hitung-hitungannya. Renungkan! Jangan pula gegabah, meski sekolah adalah sebuah perjuangan, ketulusan, lantas tak dikelola dengan benar. Mengalir saja. Ya …, yang model begini langsung babal ketilep (bubar) juga banyak! Lengkapi diri Anda dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan, agar ‘nyawa’ sekolah tetap menyala. Bisa dipelajari. Yakin!TG

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

Gaya Sekolah Menjaring Calon Siswa

Marketing















Terpampang sebuah billboard besar di perempatan jalan utama:

Pendaftaran
Telah Dibuka untuk TK, SD, SMP, dan SMA:
Pendaftaran bulan Novemberdiskon 40%
Desember diskon 35%
Januari ’10 diskon 30%
Februari ’10 diskon 25%
Maret ’10 diskon 20%
April ’10 diskon 15%
Mei ’10 diskon 10%
Juni ’10 diskon 5%
Daftarkan Segera! Tempat Terbatas !


Di Padang, sebelum gempa melanda, sebuah billboard ukuran sekitar 5 x 3 meter menyolok terpasang di depan sekolah SMP yang berada di jalan utama :
Sekolah Bertaraf Internasional. Fasilitas : Gedung milik sendiri, Kolam Renang, Bahasa Inggris, Komputer, ….. (bla bla bla …). Di sampingnya, foto kepala sekolah, seorang ibu setengah baya berkebaya, besar sekali ukuran gambarnya!

Melihat publikasi sekolah yang pertama, seorang rekan berkomentar: “Mirip iklan factory outlet ya, banyak amat diskonnya. Tiap bulan beda lagi” . Sedangkan untuk iklan sekolah ke dua,saya sendiri bergumam: “Lha, narsis bukan hanya milik anak ABG dan para caleg. Kepala Sekolah pun pengin menunjukkan mukanya di depan khalayak ramai.”

Publikasi dan publisitas, adalah sebuah keniscayaan untuk membuat komunikasi dengan masyarakat luas. Di jaman informasi ini, komunikasi bisa dilakukan dengan teknologi. Meski internet dan jaringan maya melanda semua lini kehidupan, media konvensional macam spanduk, billboard, dan poster masih marak dilakukan.
Tidak semua masyarakat pengguna sekolah mencari informasi melalui internet. Demikian alasan para pemilki sekolah yang menggelar spanduk rentang dan hanging banner, billboard atau papan iklan.

Masalahnya isi pesan yang akan disampaikan, kini makin mirip dengan iklan komersial produk dan jasa lain. Persaingan menjadi alasan juga. Bahkan memulai pendaftaran saat semester satu belum juga usai sudah seru dilakukan para marketer sekolah.
Hingga kini tak ada aturan bagaimana sekolah dikomunikasikan. Semua terserah praktisi dan selera pemilik sekolah. Sekolah negeri praktis tak melakukan promosi sekolah. Anggaran menjadi kendala, meski kadang arogansi sekolah favorit menjadi isu utama.

“Kalau di sekolah negeri, apalagi yang telah menjadi pilihan, tak berpromosi saja kami diserbu calon siswa. Sistem penerimaan yang menggunakan NEM juga menjadikan anggaran promosi di sekolah negeri tak perlu dibuatkan mata anggaran,” kata seorang kepala sekolah SMP Negeri.

Akan halnya kepala sekolah sekolah swasta yang cukup diminati di Jakarta Selatan, “Sekolah kami dikenal sebagai sekolah berbiaya tinggi. Asumsi kami, dengan memasang tawaran diskon, peminat dengan segera akan mengisi jumlah kursi yang tersedia. Sejauh ini belum ada survey, apakah mereka bergegas mendaftarkan putra-putrinya karena alasan diskon. Harus diteliti dulu,” jelasnya.

Segmentasi Menentukan
Sekolah harus mempelajari segmen siswa. Ini sebuah kerja keras terkini yang dilakukan di banyak sekolah swasta besar, di kota besar. Segmen orang tua yang mengutamakan kualitas, tak tergiur dengan diskon yang ditawarkan.

Segmen tengah paling sulit. Ke atas susah karena terbentur dana, ke bawah ogah karena terlanjur memiliki tuntutan dan selera sekolah bergengsi. Segmen tengah ini lentur dengan tawaran diskon. Sedikit perbedaan diskon saja, bisa membuat keputusan berpindah ke sekolah yang lebih royal potongan harganya.

Komunitas orang tua yang status-quo, yang memilih sekolah karena faktor kepemimpinan, akan mantap memilih sekolah dengan foto sang kepala sekolah di papan besar. Mereka beranggapan, kepemimpinan yang menonjol akan membawa kemajuan sekolah. Banyak benarnya memang. Jika suatu waktu sang pimpinan keluar, pindah kerja, dibajak sekolah lain atau mengundurkan diri karena alasan lain, maka biasanya terjadi gagap dan pengenduran peminat. Wah gawat.

Mana yang lebih efektif? Belum dilakukan survey. Kata hati pasti bertolak belakang dengan promosi publikasi dua sekolah di atas. Sekolah tetaplah menjadi lembaga yang memanusiakan manusia. Tak elok jika dikomunikasikan dengan gaya komersial diskon, ataupun dengan memamerkan fasilitas dan ketokohan. Proses pembelajaran kehidupan menjadi samar-samar.

“Sekolah kan jasa, sosial bisnis, yang masih sarat dengan nilai-nilai. Jangan diobral layaknya menjual obat”, jelas seorang principal sekolah bertaraf internasional di Jakarta.

“Sewajarnya. Tak perlu muluk, disain elegan, tampilkan wall of fame atau ketercapaian yang pernah dihasilkan. Bukan menonjolkan diskon dan pamer wajah pemimpin sekolah, apalagi janji dan fasilitas. Ada sekolah yang menonjolkan program kurikulum Cambridge, padahal saat itu baru taraf merintis. Wah, setelah murid didapat, program tak kunjung diaplikasikan. Konon biaya lisensi kurikulum belum beres. Wah …., jadinya berantakan. Orang tua merasa tertipu. Sekolah lelah dengan berbagai alibi,” cerita seorang mantan praktisi sekolah di daerah Tangerang.

Orang tua calon peserta didik memilih sekolah tidak dengan cara impulse buying. Menentukan dengan cepat dan segera saat itu juga. Kebanyakan masih dengan cara lama yang lebih dipercaya, yakni komunikasi langsung. Saat open house, umumnya diperlihatkan semua faktor penunjang sekolah. “Pakai saja event atau kegiatan lain yang menyentuh langsung calon orang tua dan siswa. Dengan begitu, jumlah siswa yang diharapkan akan lebih lestari atau lebih ‘berumur lama’, dibanding perolehan murid yang dilakukan dengan sentuhan komersial”.

Nah praktisi sekolah, pelajari kembali rencana publikasi dan publisitas sekolah. Lakukan dengan lebih patut. Strategi mendapatkan siswa baru akan lebih elegan jika dilakukan dengan tatap muka dan pendalaman kekuatan sekolah yang sesungguhnya. Demikian tarik menarik nantinya akan terjadi dengan lebih alami. Akan terseleksi, orang tua dan siswa yang sama vision nya.

Masalah di belakangnya masih panjang, karena itu penjaringan siswa lebih baik tak mengandalkan tawaran diskon atau wajah pemimpin. Tetaplah mengutamakan proses belajar. Ingat : Sekolah yang unggul itu bukan the best input, but the best process.TG

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569.

Pendaftaran Sekolah Siswa Baru, BANYAK PERSYARATAN ADMINISTRATIF MAKIN BAIK?


“Jangan lupa copy rapot dari kelas satu. Juga surat kelakuan baik dari sekolah. Lainnya, Kartu Keluarga, Akte Kelahiran, pas foto, dan KTP Bapak Ibu, sudah harus diserahkan saat mengembalikan formulir ya”.
Begitu persayaratan yang ditentukan oleh sebuah SMP cukup terkenal di Jawa Barat.

Di sekolah berlabel International, bahkan diminta juga copy akreditasi sekolah asal. Yang lebih canggih, ada spanduk di sebuah Rumah Sakit cukup beken di bilangan Cibubur - Depok, yang berbunyi: “Selamat datang adik-adik Sekolah XYZ disamarkan-red) di RS ini untuk melakukan medical chek up”. Rupanya, Sekolah XYZ menetapkan persyaratan tambahan untuk siswa baru, yakni tes kesehatan. Dikerjasamakan dengan sebuah rumah sakit. Sebuah kolusi atau kerja sama? Terserah Anda memaknainya. Berapa uang tes yang dibayarkan? Tak ada jaminan anak diterima. Seleksi penerimaan siswa baru yang makin ‘centil’ saja.

Untuk apa ya kira-kira syarat berupa kertas-kertas dokumen itu? Bukankah sekolah seharusnya melakukan asesmen dan menilai performa anak saat ini, agar tetap up to date?

“Menurut saya, data itu hanya akan menambah tebal tumpukan arsip. Sekolah kami praktis-praktis saja. Yang penting saat wawancara dengan orang tua, kami menggali lebih dalam. Jika didapat komitmen dan kesamaan visi, cukup alasan menerima calon siswa itu,” jelas Bu Terry dari sebuah SMP Plus.

“Menuh-menuhin lemari arsip!” ungkap Bu Sisi, kepala sekolah SMP swasta. “Simpel simpel saja. Bukan berarti mudah. Apa kita mau melihat proses ke belakang? Yang tahu ‘kan guru SD-nya. Kita lihat saja performa saat ini. Kita jalan ke depan. Memang perlu merunut sejarah si anak. Tapi ini terbatas untuk siswa dengan kebutuhan khusus saja,” demikian alasan bu Sisi.

BAGAIMANA SEKOLAH ANDA?

Tergantung mau melihat dari sisi mana. Dengan kacamata positif, kita akan mengesahkan alasan yang cukup masuk akal, bahwa persyaratan siswa baru jenjang SMP atau SMA kini banyak yang meminta data diri sejak anak usia dini.

“Sebagai sekolah yang mulai banyak siswa, kami tak mampu menseleksi satu - persatu dengan cermat. Data diri anak akan membantu penelusuran pencapaian masa lalu, konsistenkah? Fluktuatifkah? Nilai rapor akan membantu kami menelusuri minat dan bakat serta potensi akademis. Semua data akan kami sampaikan ke bagian kependidikan dan kesiswaan, untuk dicocokkan dengan hasil testing,” papar pak Adnan, ketua bagian pendaftaran sebuah SMP ngetop.

Muharani Meisara,
principal Sekolah Mutiara Bunda di Bandung memberi penguatan pada alasan di atas. Ada tiga hal yang harus dicermati. Apakah surat-surat itu bagian dari persyaratan semata, bagian dari tahapan seleksi, atau bagian dari asesmen? Yang paling tepat tentu saja menjadi bagian dari seleksi, dan bukan kelengkapan administratif. Sekolah lanjutan setingkat SMP atau SMA mestinya menerima siswa baru bukan dari hasil Ujian Nasional saja, melainkan secara komprehensif melihat dari berbagai laporan sebelumnya.

Secara lebih khusus, ada juga permintaan laporan per-bidang studi. Ini biasanya muncul setelah terlihat potensi calon siswa yang menonjol, atau sebaliknya melihat kelemahan di materi tertentu.

Data tertulis itu memang bisa diterjemahkan macam-macam. Namun jangan menjadi stigma atau labeling jika melihat data siswa selama SD lalu memutuskan: “Ooo … kamu tak boleh masuk sekolah ini, karena masa lalu yang buruk!”. Ini kan subyektif. Pada kasus ini, asesmen terbaru mestinya lebih diperhatikan.

Ria Natalisa, praktisi pendidikan, melihat berbagai persyaratan administratif sekolah yang mensyaratkan ‘ini itu’ sebagai sebuah ‘kecentilan’.

“Saya lihat, kalau sekolah sudah tampak shiny, ada gairah untuk lebih menunjukkan penghargaan proses. Bahayanya, sekolah tersebut hanya mengumpulkan data statistik. Keperluannya masih sangat pragmatis. Lebih bahaya lagi, kalau data statistik itu dipakai sebagai bahan pembuat kesimpulan. Lantas muncul pendapat, lulusan sekolah A lebih buruk daripada sekolah B. Seolah cermat, padahal sekedar kolektif data. Apalagi jika sekolah sebelumnya tak melakukan penilaian anak secara komprehensif. Copy paste lagi,” tutur Lisa, yang men-de schooling kedua putranya, yang pernah menerima rapor dengan narasi atas nama teman sekelasnya. “Guru melakukan copy paste. Ini fatal!” keluhnya lagi.

Inilah sulitnya sistem di negeri kita. Masih belum berpihak pada pemerdekaan anak. Mestinya dari kelas 6 ke 7 (SMP) itu sistemnya naik kelas. Akhirnya, persoalan seleksi siswa semau mereka sendiri. Ikut trend, mengejar merek.

Munif Chatib
, penulis buku ‘Sekolahnya Manusia’ menandaskan, the best input (calon siswa sebagai input), harus diartikan jika sekolah itu memilih siswa yang masuk dengan tes kognitif. Ada yang lulus, pasti ada yang gagal. Berbeda dengan yang ingin mendapat data sebanyak-banyaknya dari calon siswa. Yang penting, data itu tak dipakai sebagai ALAT TES.

Lantas, bagaimana reaksi orang tua? “Ah ikuti saja lah, yang penting anak saya bisa masuk sekolah itu. Memang agak aneh sih, bikin surat kelakuan baik segala, kayak mau cari kerja. Formatnya juga seperti SKKB yang dikeluarkan kepolisian itu,” urai Mama Citra, yang putrinya akan masuk SMP berarsitektur minimalis .

Kita sebagai praktisi pendidikan, coba lebih cermat melihat masalah ini sebagai fenomena. Plus-minus dan tujuannya mesti bermakna. Semua harus dikembalikan untuk pemerdekaan anak.

Romo Mangun, dalam Catatan Separuh Perjalanan SDK Eksperimen Mangunan menyatakan: “… Gejala-gejala berubah sangat cepat. Banyak hal dalam tempo cepat berubah menjadi out of date. Banyak hal tak terduga muncul bagaikan meteor atau supernova. Maka kearifan: ‘jangan demi siap pakai’ harus dipertahankan mati-matian. Mitra didik mesti siap dan cukup dibekali sesuatu yang memekarkan diri, serta kepribadian menghadapi perubahan mendadak dan goncangan ….”

Bukan di persyaratan yang menentukan ketercapaian pembelajaran. Proses yang berkelanjutan akan membuktikan, bahwa sekolah yang unggul adalah the best process, bukan the best input. Setuju? TG.

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

Cheerleaders Pelatihan Pendidikan

Profil

Di setiap program peningkatan mutu pendidikan, apakah itu pelatihan, seminar, kongres dan sebagainya, selalu akan kita temui sosok gesit yang sibuk mengawal acara. Sukses tidaknya acara sangat tergantung tangan dingin mereka, para arranger acara.

Pelatihan guru, sudah marak dilakukan. Namun pelatihan dengan tema dan nara sumber pilihan, dan tak melibatkan banyak peserta, dengan tujuan fokus dan efektifitas, perlu penanganan dan rasa.

Ada dua sosok wanita yang menarik kita kenali. Ada Rida Suryaningtyas, yang aktif di ANPS (Asosiasi Sekolah Nasional Plus). Sosok berikutnya, Diana Karnani, dapat kita temui saat berinteraksi dengan Nett Academy, lembaga pelatihan yang kerap mengundang praktisi pendidikan tingkat dunia ke Indonesia.


Ridya Suryaningtyas
Ada Ridya Suryaningtyas, sebagai Executive Assistant di Sekertariat ANPS. Berkantor di Sekolah Tiara Bangsa-ACS International, Jakarta Timur. Ridya mampu berperan sebagai traffic arranger, yang mengatur mulai dari proses informasi, rekrutmen peserta hingga jalannya acara yang digelar oleh sekumpulan cerdik pandai pendidikan dan sekolah bertaraf internasional.

Gesit, cerdas dan sangat cekatan. Anggota ANPS yang sebagian besar adalah orang asing yang bekerja sebagai praktisi pendidikan di Indonesia, telah merasakan layanan yang memuaskan dari seorang Ridya. Bahasa Inggrisnya sangat Inggris! Wajahnya manis. Penampilannya simple. Cara kerjanya? Nampaknya perfect!


Foto: Ridya Suryaningtyas

Lulusan mekatronik Swiss German University ini sempat mengajar di Tutor Time setelah meraih gelar insinyurnya. Passion-nya memang di-edukasi. Dari seorang kenalannya, Ridya kemudian bergabung di ANPS. Menurutnya, cepat ada chemistry saat dia diwawancara oleh petinggi ANPS, Daryl Forde.

Kini ia banyak bekerja sama dengan Ibu Capri Anjaya --ANPS-BI Executive Committee members, kepala sekolah SMP- ACS Tiara Bangsa. Sehari-hari, tumpahlah pekerjaan yang terkait administratif dan informatif di tangan Ridya.

Saat menjadi pemegang kendali acara di Forum Leadership ANPS di Bali akhir tahun lalu, Ridya sendirian menjadi partner para pejabat ANPS dan peserta acara bergengsi itu. Tutur bahasa Inggrisnya sangat nyaman terdengar. Semua dilayani dengan keramahan. Tak salah, jika di akhir acara, Ridya mendapat apresiasi karangan bunga tangan cantik, sebagai ungkapan terima kasih.

Yang lebih mengesankan, sesaat sebelum acara ditutup, Ridya beserta sang adik menyuguhkan salah satu performa yang biasa ditampilkan oleh siswa sekolah nasional plus. Semacam dance diiringi lengkingan nada indah, dipadu iringan musik klasik dunia. Gaya dan lentingan tubuhnya yang langsing menghasilkan tepuk tangan panjang, mengiringi gerak tubuhnya yang konon terbiasa mengikuti rehearsal siswa-siswi sekolah keren-keren itu. Pertunjukan kecil yang berkesan.

Ridya mampu menjadi event organizer handal di bidang pendidikan yang tampaknya sangat disukainya. Keinginanya ke depan, ia ingin memiliki sekolah sendiri. Hmm………, pengalamannya mendalami konten pendidikan dan cara melayani para praktisi pendidikan berkelas dunia tentunya akan menjadikannya lebih gandes- luwes saat nanti mendirikan sekolahnya sendiri.


Diana Karnani

Diana Karnani, begitu namanya . Menempuh pendidikan di Universitas Gadjah mada, Diana nampak beda saat menjadi host bagi sejumlah pelatihan, di bawah bendera Nett Academy. Berikut petikan obrolannya dengan Teachers Guide:


Foto: Diana Karnani

Pendapat Anda secara umum proses pendidikan di negeri kita?
Ada perkembangan dibanding 10-30 tahun lalu, tapi masih perlu dilakukan pembenahan. Mesti dijaga agar terus berkembang ke arah yang lebih baik dan merata. Saya tak berbicara tentang nilai ujian nasional sebagai tolok ukur, karena cakupan pendidikan terlalu luas untuk sekedar diukur dengan cara itu.

Pekerjaan rumah paling mendesak adalah melihat kembali filosofi dan tujuan global pendidikan kita. Misalnya filosofinya Pancasila dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Perancang sistem pendidikan kita mesti mempercayai, memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kalau tujuan pendidikan membentuk ’manusia seutuhnya’, perancang sistem pendidikan mesti mendefinisikan ’manusia utuh’ dalam arti sesungguhnya, serta mencita-citakan ‘manusia-manusia seutuhnya’ terwujud di bumi ini. Sudahkah itu dilakukan? Berikutnya, merumuskan tolok ukur yang menunjuk Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai core values, serta rumusan tolok ukur tercapai-tidaknya tujuan pendidikan.

Penjabaran ke tujuan-tujuan pendidikan yang lebih praktis adalah tahap berikutnya. Sebelum merancang dan merevisi ’cara’ mencapai tujuan-tujuan pendidikan tersebut, mesti lebih dahulu mengevaluasi efektivitas sistem pendidikan dan selalu mengikuti perkembangan terkini. Memerlukan refleksi ke dalam dan ke luar sebelum melakukan koreksi.

Pembenahan sistem pendidikan mesti dijalankan secara gradual, dengan visi jauh ke depan, tapi dimulai dengan pembentukan fondasi yang kuat dengan upaya untuk mengatasi kendala-kendala yang ada. Tidak mudah tapi harus dimulai. Perlu waktu, konsistensi serta manajemen perubahan yang rapi.

Sejak kapan berkiprah di dunia pendidikan? Bagaimana awalnya dan apa saja yang telah dilakukan?
Awalnya memberikan les privat ke anak-anak dan merasakan nikmatnya. Tahun 2003 mulai mengajar secara formal di sekolah national plus. Dari situ saya menemukan, beberapa pendekatan yang saya lakukan kurang efektif di kelas. Saya terpacu untuk mencari tahu lebih banyak, terus belajar, dan sedikit demi sedikit merevisi cara mengajar.

Tahun 2005 saya bergabung dengan tim management & development di sekolah tersebut dan lebih berkiprah dalam pengembangan kurikulum. Pelajaran yang saya dapat: pendidikan itu tak melulu soal pengetahuan dan keterampilan akademik. Untuk mengajarkan ’pemahaman’, sebagai Guru kita perlu memahami tipe/gaya setiap anak. Selain itu, pendidikan di sekolah itu seharusnya bisa lebih berperan mengajarkan ketrampilan hidup dan pengembangan sikap hidup, dan ini akan efektif hanya jika si guru bisa menjadi model dalam menyikapi kehidupan.

Saya makin yakin, pendekatan yang paling tepat digunakan adalah metode holistik. Tahun 2007 saya mengembangkan konsep pengembangan diri yang terintegrasi dengan pengembangan profesi Guru. Saya yakin, hanya Guru yang bisa melihat dirinya secara utuh yang bisa melihat seorang anak secara utuh pula. Konsep itulah yang saat ini dijalankan Nett Academy Teacher Intensive Program.

Yang saya amati, setelah mengikuti program tersebut, sangatlah kentara perkembangan para guru peserta dalam hal kematangan, ketrampilan, serta keterlibatan ’hati’ dalam menjalankan profesi.

Banyak pihak senang dengan gaya Diana menjalin hubungan dengan para praktisi pendidikan ...
Saya melakukan apa yang saya yakini. Seperti halnya Republik ini yang memiliki Pancasila sebagai core values-nya, saya juga punya (Nurture, Equip, Teach & Train) dalam lingkup training center ini, yang menjadi acuan ketika memilih trainer, merancang aktivitas, melakukan asesmen.

Semua selalu bermuara di filosofi dan berujung pada praktek. Selain itu, saya berusaha agar semua pihak yang terkait selalu fokus pada learning, apakah itu siswa, trainer, maupun pelaksana & perancang program, semua belajar bersama dan saling belajar satu sama lain sehingga semua bertumbuh dan berkembang bareng-bareng.

Komunikasi sangat hangat dan feedback mengalir ke semua pihak tanpa terkecuali, semua saling menghormati dan saling mengapresiasi. Ketika kembali ke lingkungannya, masing-masing punya bekal ilmu atau keterampilan baru untuk dibagikan, tindakan nyata yang bisa dimodelkan, atau semangat yang bisa ditularkan.

Ke depan masih punya mimpi apa?


Masih ingin berkonsentrasi untuk membantu guru-guru agar mampu menjalankan perannya secara optimal dalam mewujudkan ’pendidikan yang utuh’. Dalam jangka panjang, saya berharap ini akan menimbulkan efek berantai positif ke masyarakat negeri ini karena makin meningkatnya peran aktif ’manusia-manusia utuh’ masa depan yang lahir dari sistem pendidikan yang utuh. Pada saatnya nanti saya juga ingin berpartisipasi dalam membantu proses pengembangan diri pada anak-anak dan remaja. Selain itu, manajemen sekolah juga perlu sentuhan, karena Guru sulit bergerak tanpa dukungan manajemen.

Banyak kata kata bertenaga yang terpajang di Nett Academy. Katanya, itu buah kerja Diana. Apa saja ya kata-kata hebat itu? Ada obsesi tertentu?
Itu 9 ragam karakter yang memiliki kekuatan. Aspirational-Organized-Knowledgeable memiliki kekuatan untuk menggerakkan (life-force), Sensible-Democratic-Resourceful memiliki kekuatan untuk menjaga keseimbangan (life-guard), Inspiring-Accountable-Caring memiliki kekuatan untuk menyembuhkan (life-healing).

Kekuatan kata-kata itu tak hanya pada keindahan maknanya, luar biasa pula pada tindakan nyata yang mengiringinya.

Setiap orang memiliki kombinasi dari beberapa kekuatan tersebut. Kalau kita bisa mengeluarkan potensi itu dari dalam diri dan mengembangkannya, akan terasa manfaatnya bagi diri sendiri, anak-anak kita, dan lingkungan sekitar.

Diana pemetik gitar di group band sekolahnya dulu. Diana, single manis yang asyik menekuni kedalaman dan keluasan ilmu kependidikan dalam bungkus yang lebih shiny. Ia kini menemukan kehidupannya selalu dalam nada-nada merdu perubahan. Nyanyi Diana, petiklah bas gitarmu hingga menggema di seluruh negeri ...... TG

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.

Oktober 24, 2010

Bupati Gorontalo Drs. David Bobihoe Akib : INSPIRATOR KEMAJUAN PENDIDIKAN INDONESIA

MGP-BE

Foto: Bupati Gorontalo Drs. David Bobihoe Akib.

Lain lubuk lain ikan, lain daerah lain siasah. Di Lampung Tengah, peran serta masyarakat amat menonjol lewat Dewan Pendidikan yang dipimpin oleh tokoh pengusaha H. Machfud S.MM, corporate relation manager PT Great Giant Pineapple. Sedangkan di Kabupaten Gorontalo, sang motor adalah Bupati Gorontalo sendiri, Drs. David Bobihoe Akib, M.Sc. M.M, sebagai pengatur kebijakan yang pro pendidikan.

“Keunggulan Gorontalo karena Bupati yang aktif,” jelas Syamsudin Tuli, ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Gorontalo. Sementara Dewan Pendidikan Kabupaten Gorontalo berperan memberi masukan, dan mengawasi kepala sekolah, monitoring komite sekolah, dan menjadi mitra Bupati.

DESA BERPERAN
Uniknya, Bupati Gorontalo David Bobihoe Akib gemar memberi wewenang dan tanggungjawab, hingga ke tingkat pemerintahan desa. Desentralisasi kewenangan ini, menjadikan lembaga musyawarah desa efektif menampung keluh kesah. Masyarakat, sebagai komite sekolah, dapat menyalurkan aspirasinya yang diteruskan sampai Pak Bupati.

Tahun 2009, desa dijadikan laboratorium pemerintah. Desa diminta menyusun RPMJD dan APBD desa. Untuk menjalankan fungsinya, desa diberi 254 kewenangan, antara lain berwenang mengatur pengelolaan pasar, ijin tambang galian C. Kewenangan serupa juga kepada kedinasan (SKPD) dan wakil bupati. “Sesuai aturan, saya hanya mengawasi. Karena itu saya bisa lebih banyak di desa, sekolah, danau, perkebunan, sawah,” jelas David Bobihoe.

Tata kelola pemerintahan memang cukup bagus. Kuncinya, pembangunan bottom up, dari desa. “Saya siapkan program, ada visi misi, kita bikin RPJMD, Renstra, lalu program tahunan. Tahun 2005 - 2006 saya bangun pendampingan SKPD secara interkoneksitas. Tahun 2007, genjot produksi pertanian untuk kemandirian pangan di semua desa. Tahun 2008 dilakukan government mobile – memerintah dari kecamatan atau desa, sebulan dua kali. Terungkap banyak masukan: bantuan salah sasaran, kemiskinan, dan sebagainya. Melalui mapping government, tiap masalah diselesaikan.

KOMITMEN
Menurut Bupati David Bobihoe, membangun daerah diawali komiten. Tidak boleh ada kepentingan pribadi. Membangun pendidikan hasilnya baru bisa dinikmati 15-20 tahun mendatang, bukan saat ini. Keliru mencetak SDM, Gorontalo akan gagal sepanjang masa. Karena itu, semua jajaran satuan kerja, stakeholder, masyarakat pemerhati pendidikan, sepakat mendukung program menjadikan masyarakat Gorontalo tuan rumah di negeri sendiri dengan membentuk SDM terbaik.

DPRD pun diyakinkan memberi anggaran pendidikan yang memadai. Tahun 2006 sebesar 26% APBD; tahun 2007 jadi 32%; tahun 2008 ke-36,8% ; tahun 2009 sebesar 36%; tahun 2010 tambah lagi jadi 41% (sekitar Rp. 126 miliar). Ini diluar gaji guru dan bantuan pusat maupun donor asing .


Agar mandiri dan cepat tanggap, tiap sekolah diberi anggaran operasional Rp. 5 juta (beli kapur, alat tulis, dsb) tanpa perlu minta ke kepala dinas pendidikan. Dikirim langsung via rekening bank, dengan pertanggungjawaban jelas.

BERSAMA DAN DISIPLIN
“Membangun daerah, termasuk pendidikan, tak bisa sendiri, harus bersama-sama. Anggaran dan wewenang telah diserahkan ke semua satker. Harus tuntas program, tuntas anggaran, dan tuntas masalah. Saya mengedepankan kultur kekeluargaan Gorontalo: tidak harus keras atau lembut. Tapi harus disiplin tinggi. Mereka yang berani melanggar saya tindak saat itu juga.”

JELI MANFAATKAN BANTUAN ASING
Bantuan asing ibarat mesin pada perahu, membuat perahu cepat berlayar dan sampai. Kini ada 7 program bantuan asing di sektor pendidikan (dari Jerman, AS, Jepang, Inggris, Bank Dunia, dan Unicef). “Prinsipnya ada gula ada semut. Buat program dahulu, lalu undang donor melihat, dan minta arahan. Meski banyak, namun tidak tumpang-tindih. Ada yang mendatangkan guru trainer (AS), memperbaiki sekolah (Australia), peningkatan mutu guru (Bank Dunia), pengembangan kurikulum (Jerman dan Unicef).

DATA PENDIDIKAN
Dibentuk lembaga untuk mencatat dan updating data kependidikan. Mengangkat pengelola data di tingkat cabang dinas. Melaksanakan lokakarya analisis data yang melibatkan seluruh stakeholder pendidikan hingga tingkat kepala sekolah dan unsur pengelola data tingkat kecamatan.

Manfaat yang didapat, validasi data untuk SD/MI dan SMP/MTs. Rekomendasi sekolah multigrade untuk 17 sekolaha di 5 kecamatan, regrouping sekolah, peningkatan kualitas guru, redistribusi guru SMP/MTs, serta rekruitmen guru baru (201 orang pada 2008).

TRANSPARANSI
Rumah dinas tak ada pos satpam dan terbuka tanpa pagar. Masyarakat dapat datang masuk, terbuka 24 jam. Mengubah birokrat korup, melalui keterbukaan tender. Siapapun, entah tim sukses, partai pendukung, keluarga, boleh ikut tender terbuka itu. Saat pengumuman di lapangan terbuka, disaksikan masyarakat. Tidak ada kong-kalikong, objektif, tanpa lobi-lobi.

Saat pelaksanaan di kecamatan, misalnya, selalu diundang mahasiswa, LSM, dan perwakilan masyarakat. Nilai proyek diumumkan, dan masyarakat serta LSM dimintaat mengawasi. Ada 27 LSM yang dibiayai mengawasi berbagai proyek di berbagai sektor.
David pernah di-PTUN-kan oleh para guru, ketika memutasi 644 guru ke desa. Ia menang, karena kebijakan itu berdasarkan suatu analisis tentang penyebaran guru. Saat ini, banyak guru desa yang malah berterima kasih ditugaskan di desa.

EFISIENSI ANGGARAN
Belum lama ini, tim pendidikan Kabupaten Rokan Hulu dan Kuantan Singingi, Riau, berkunjung mempelajari model pengelolaan anggaran pendidikan, yang menurut mereka efisien. Anggaran APBD Rp. 509 miliar, tidaklah besar. Seluruh SKPD sudah diberi dana operasional. Kepala dinas punya tunjangan di luar gaji dan jabatan, Rp. 12 juta, asisten Bupati Rp.15 juta. Jangan berfikir memotong biaya proyek, mengambil hak orang, atau meminta komisi. Mengurus ijin biaya Rp. 15 ribu, tunggu 3 jam selesai. Seluruhnya sudah terikat Pakta Integritas.

Cepat atau lambat, semua akan menuju transparansi anggaran. Karenanya, harus dipersiapkan sikap transparansi itu. Misal, biaya makan rapat 1 dos Rp. 35 ribu, harus tepat berapa ikan, telur, nasi, sendok, harga kotak. Laporan harga, biaya masuk keluar, penggunaan anggaran dan sumber dana, harus ditempelkan di sekolah, tidak ada yang ditutupi. Sehingga, secara spontan, jika ada kekurangan, orangtua mau membantu.

Gorontalo fokus pada tiga sektor pembangunan: pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Maknanya luas, tak semua anggaran ada di dinas terkait, ada interkoneksitas. Jagung masuk sekolah, anggarannya dari dinas pertanian, rumput laut masuk sekolah dari anggaran dinas perikanan & kelautan.

Foto: Pertemuan dan pelatihan Guru dalam Program BERMUTU bantuan dana asing.

ESENSI PENDIDIKAN
Kalau pendidikan maju, maka masyarakat akan pintar, dan maju berwirausaha. Ekonomi meningkat. Agama pun dikembangkan, sehingga terjaga keseimbangan. Pengajian ahad subuh tiap minggu, memberangkatkan haji para imam mesjid secara bergiliran.


Wuih……apakah setiap daerah bisa inspiring fakta-fakta ini? Asumsi kami, pendidikan Indonesia bisa maju cepat, jika program ini berjalan tanpa hambatan.TG

Tulisan ini diterbitkan dalam Majalah Teachers Guide edisi No. 10/Tahun ke IV/ 2010. Dapatkan di counter Gramedia/Gunung Agung, atau di komunitas-komunitas guru. Kehabisan? Hubungi Sirkulasi di 0812 824 22801, atau di Fleksi (021) 684 58569. Terima kasih.