November 30, 2009

KEGELISAHAN PIMPINAN SEKOLAH


Upaya Pembekalan Siswa Melalui Pembelajaran Abad 21
Bu Pandu gelisah. Sudah sebulan ini dia resah. Sebagai pemilik sekaligus manajer sekolah, Bu Pandu sangat peka dengan denyut kemajuan sekolah, mulai dari kemajuan siswa, kekompakan guru, keluhan orang tua, hubungan dengan tetangga sekolah hingga lalu lalang kemajuan ilmu pendidikan yang kini makin mengerucut ke arah nilai-nilai moral dan ketrampilan hidup.

Kegelisahan Bu Pandu sangat beralasan. Sepuluh tahun sudah, sekolah yang mengusung pemerdekaan pendidikan berlangsung dengan dinamis. Jumlah siswa, jalinan kerjasama, pengakuan pihak lain makin meningkat. Demikian juga dengan jumlah Guru yang terus mengalami pertambahan.

Bu Pandu yang selalu menempatkan diri secara egaliter dengan para Guru kini makin terbantu dengan para senior teacher yang sudah diangkatnya menjadi kepala-kepala divisi dan koordinator level. Namun kepekaan, sensitivitas, kecermatan pada kemajuan ilmu, serta ide futuristik agaknya belum berhasil Bu Pandu tularkan pada para punggawanya. Feeling itu sulit diterjemahkan. Mekanisme kaderisasi tak semudah teori. Jasa layanan sekolah memang unik dan multi dimensi, karena semua yang dilayanai harus mendapat perHATIan yang privat.

21st Century Content
Kegelisahan Bu Pandu kali ini dipicu demi melihat performa siswa yang tampak kurang patut. Sampah mulai terlihat bertebaran, meski dalam skala kecil. Asumsinya, siswa (dan Guru) mungkin tak memungut sampah yang terlihat dan otomatis memasukkan ke keranjang-keranjang sampah yang ada. Pun ketika ada tamu sekolah datang, para siswa terlihat tak perduli. Celetukan bernada bullying makin kerap terdengar.

“Wah… ada yang miss nih,” bisik Bu Pandu pada dirinya sendiri. Segera ia mengumpulkan para kepala divisi dan koordinator untuk mendengarkan keluhan dan rasa yang biasanya disampaikan Bu Pandu setiap hari Senin.

“Saya fikir ada missing link. Coba kita cermati lagi lesson plan guru. Lihat pula silabus dan parents letter yang berisikan rencana pembelajaran. Dari situ lah bisa terlihat apa gagasan yang ada di kepala para Guru."

“Jangan terjebak pada target akademis semata. Coba seimbangkan lagi dengan nilai-nilai moral dan school beliefs yang sudah ada. Ingat, penting menjadikan anak pandai. Tapi lebih penting lagi menjadikan mereka anak yang baik. Tidak mengada-ada koq. Saya coba cermati kembali uraian penjelasan di lembar KTSP, di UU Sisdiknas, dan berbagai referensi yang sudah menandaskan pentingnya ketrampilan dan sikap siswa menghadapi era global ini.” Begitu Bu Pandu.

“Coba kalian lihat bagan ini,” Bu Pandu menggelar bagan yang berisi potongan setengah lingkaran, yang menampilkan konten pembelajaran yang mendesak disikapi melalui program dan aktivitas di luar kurikulum baku.

“Kurikulumnya tetap dengan KTSP. Namun harus dikembangkan materi life skill, thinking skill, ICT literacy. Dan satu yang paling mendesak, adalah materi abad 21 atau 21st century content. Kita bukan latah atau sekedar ikut tren. Namun inilah esensi pendidikan kini yang terus bergerak mengikuti perkembangan jaman dan ilmu pengetahuan. Ilmu tentang leadership, eksistensi dan hakekat manusia, NLP, dan spiritual, kini menyeruak dan memikat. Dulu kita hanya bisa berwacana mengenai kecerdasan emosional. Kini semua itu lebih jelas dan sangat dekat dengan pendidikan, tepatnya dalam keseharian pembelajaran di kelas-kelas,” panjang lebar Bu Pandu menjelaskan.

Para Guru tampak mahfum, mengangguk – tersentuh akan hati pimpinannya yang ‘super woman’ itu.

“Kalian pelajari ya. Ada jabaran yang sangat gamblang ditulis oleh Eileen Rachman, konselor ternama. Beliau menjabarkan bakat-bakat emosional yang bisa diamati sejak kecil, yakni:

1. Penyabar dan mampu menahan/mengendalikan diri
2. Mudah beradaptasi dengan lingkungan, memiliki inisiatif dan kreatif
3. Peduli pada teman dan saudaranya
4. Mandiri dan bertanggung jawab
5. Memiliki empati yang besar dan bisa memahami perasaan orang lain, mampu menyelesaikan konflik, pandai bergaul dan bersahabat, bisa mempengaruhi orang lain dan berkomunikasi dengan nyaman
6. Mempunyai cita-cita dan impian, optimis, percaya diri, gigih, ulet, memiliki dorongan untuk maju, menyukai tantangan dan suka dengan hal-hal baru.”

“Nah, keenam hal di atas coba kalian terjemahkan menjadi pelajaran abad 21. Tak perlu membebani atau menambah jam belajar. Integrasikan saja dalam mata pelajaran inti, namun dengan memikirkan aktivitas dan program. Ini yang sering disebut sebagai hidden curriculum, yang bisa menjadikan mutu sekolah berbeda-beda. Paham kalian? Ada yang mau ditanyakan?”

Pak Kris, kepala divisi kesiswaan angkat tangan, “Apa benefitnya jika kita
mengajarkan ini, Bu?”

“Kemampuan dan ketrampilan itulah sesungguhnya yang akan mengantarkan siswa pada keberhasilan hidup di masa datang. Memang faktor lingkungan dan keluarga akan berpengaruh. Namun setidaknya kita bisa memberi dasar. Gagal memiliki kemampuan dan ketrampilan ini, akan menggagalkan semua tujuan-tujuan hidup, meski seorang siswa memiliki kecerdasan intelektual sangat tinggi. Ratusan fakta dan testemoni telah membuktikan. Kita sendiri pun bisa merasakan, betapa nyaman dan menyenangkan berinteraksi dengan orang dengan kemampuan ketrampilan hidup seperti di atas. Ada yang pintar tapi menyebalkan, hmmmm….. nggak ngenakin! Iya kan!”

“Lebih lanjutnya kalian perhatikan lagi jabaran ini ya,” pinta Bu Pandu, kini
dengan membuka layar dan LCD nya melalui netbook mininya yang keren.

21st century content juga memuat materi tentang kesadaran global dan up to date news. Ketrampilan keuangan, ekonomi, bisnis, entrepreneurship, kesadaran kesehatan, kesejahteraan, dan warisan budaya. Semua itu akan lebih bermakna jika dihubungkan dengan tingkat spiritual yang akan memudahkan siswa memahami betapa semua ilmu itu muaranya adalah syukur dan ikhlas pada Tuhan,” kembali panjang lebar Bu Pandu memandu para calon penerusnya.

“Oke. Ini tak mudah. Tapi kalian tahu, kini saatnya sekolah mencerna dan mengaplikasikan wacana ini menjadi pembelajaran keseharian,” tandas bu Pandu bijak.

“Dari mana kita memulainya,Bu?” tanya bu Kinta, koordinator level.

“Saya akan bantu untuk melihat silabus. Kalian bantu saya mensupervisi lesson plan Guru. Dulu kan kita pernah meminta mereka memasukkan nilai-nilai kehidupan (values) yang sesungguhnya sudah termaktub dalam school beliefs, yang meliputi dimensi keTuhanan dan kemanusiaan.”

“Nah, saya lihat, lesson plan Guru sudah mulai ‘lari’ dari kontekstual. Jadikan tema sebagai pengikat. Buka lagi tata berfikir model UbD (Understanding by Design) yang menuntun kita membuat essential question, sebagai tolok ukur kebermaknaan.”

“Misalnya, ketika tema makhluk hidup, pada materi Agama Islam, terkandung kompetensi dasar tata cara sholat. Indikator yang kalian tulis jangan hanya ‘siswa mampu melakukan gerakan sholat dengan benar; siswa mengenal bacaan sholat’. Bukannya hal itu keliru, namun tidak menghujam pada akar masalahnya, mengapa kita sebagai makhluk hidup harus sholat? Ini bisa dicari dari ‘8 gagasan besar’ atau menggunakan pendekatan 5W+1H, atau memakai six thinking hat dari Edward de Bono. Kita sudah pernah bahas ini, meski tak mendalam. Mari kita telaah lagi," ajak bu Pandu sambil menyerutup coffee latte kesukaannya.

“Kita akan ketemu lagi minggu depan. Saya harap kalian sudah membawa kertas kerja berisi gagasan-gagasan hebat. Saya akan upayakan segera memanggil konselor yang akan membimbing kita memahami setiap tema yang dijabarkan dengan pendekatan spiritual. Terimakasih ya. Kapan pun ada gagasan, jika tak ketemu saya, silakan kirim melalui imel saya.’’

Selepas sore, wajah Bu Pandu sudah sumringah kembali. Dia sudah mengeluarkan
uneg-uneg dan kegelisahannya.

Dalam doanya di malam hari, Bu Pandu memohon: “Ya Allah, berikan kemudahan hamba bertutur, agar mudah lisan ini, dan mudah orang lain memahami maksud hamba”. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

PANDUAN MENELITI KUALITAS KELAS

STANDAR SEKOLAH, PENENTU POSITIONING


Beragam upaya peningkatan kualitas sekolah dilakukan untuk mencapai hasil proses belajar mengajar yang maksimal. Tidak hanya pada ranah manajemen kelas, metode, perkembangan anak, lesson plan, dan beragam urusan layanan pengajaran saja. Kini brand atau merk menjadi penting, berkaitan dengan kompetisi dan eksistensi serta posisioning yang ditargetkan.

Pemerintah telah menetapkan sebuah standar, yang dimaksudkan untuk mendorong sekolah agar senantiasa meningkatkan kualitas dan standar. Diawali dengan kategori Sekolah (dengan) Pelayanan Minimal (SPM), seterusnya ada Sekolah (ber) Standar Nasional (SSN), dan Sekolah (rintisan) Berstandar Internasional (SBI).

Tingkatan ini didahului dengan pelaksanaan akreditasi sekolah yang akan menentukan posisi sekolah berada di klasifikasi A,B,C, atau D. Dahulu kita kenal dengan sebutan Terdaftar, Diakui, Disamakan. Semua penetapan itu tentu akan berimplikasi pada bentuk komunikasi publik.

Pentingkah standar sekolah sebagai komunikasi publik?
Berdasar teori manajemen marketing, penetapan standar adalah sebuah positioning. Sekolah pun harus menempatkan eksistensinya pada posisi yang tepat. Setiap segmen memiliki ke khas-an yang patut dipelajari demi keberlangsungan sekolah.

Dilihat dari sisi karakteristik konsumen, ada istilah 6-O, yakni object (apa yang dibeli); objective (mengapa membeli); occupant (siapa konsumennya); occasion (kapan membeli); operation (bagaimana membelinya); organization (siapa yang terlihat dalam pembelian).

Sekolah dapat mencermati tiga O saja, yakni : objective, occupant, dan organization untuk menggunakan standar sekolah sebagai komunikasi publik.

Objective adalah alasan memilih. Ada yang memilih sekolah di perguruan Islam karena mencari pendidikan agama, atau alasan sekolah yang sudah pengalaman dan memilki jaringan luas. Tujuan konsumen memilih sekolah sangat kuat dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomis, dan psikologis. Pembicaraan tentang sebuah sekolah antara orang tua di tempat gaul bergengsi, akan menjadi pertimbangan kuat orang tua lain, dibanding menelaah secara cermat proses pembelajaran dan hakekat pengajaran.

Occupant adalah model perilaku konsumen berdasar tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, mobilitas, dan selera. Hal ini harus diperhatikan, karena setiap segmen memiliki standar layanan yang berbeda. Sekolah berlabel kurikulum internasional tak geming dengan standar nasional yang diyakini masih jauh di bawah standar internasional. Bahkan mereka akan cenderung mempertanyakan, mengapa sekolah publik menjadi latah ikut menggunakan label ‘internasional’, di saat guru dan pengelolanya masih menggunakan mind set usang.

Organization, melihat keputusan pemilihan dari pihak yang terlibat. Seorang bapak secara tegas memilihkan anaknya harus masuk sekolah berlabel SSN. Sementara di keluarga lain, keputusan anak lebih diperhatikan, meski alasannya hanya lantaran di sekolah itu banyak teman.

Orang tua memilih sekolah dengan perilaku yang berbeda. Tidak tidak sama seperti membeli jasa lain yang proses pembeliannya tanpa perencanaan atau impulse buying. Sekolah berbeda dengan produk/jasa lain. Karena itu, kurang tepat jika promosi sekolah dilakukan di pusat perbelanjaan atau mall. Masyarakat akan menentukan pilihan atas dasar pertimbangan yang tidak tergesa gesa.

Menempatkan positioning sekolah dalam standar yang dibutuhkan masyarakat adalah tugas manajemen sekolah. Lakukan pertemuan antar bidang. Membidik calon siswa berarti membedah perilaku dan karakter orang tua. Untuk itulah, standar sekolah dirasa perlu untuk menembak jitu sasaran. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

November 15, 2009

Working with Your Principal

A principal who truly serves as an instructional leader is of immense value to any school. The role of the building principal and the nature of school leadership are being redefined as increasing numbers of schools turn to site -based management, total quality schools, teaming, restructuring, peer coaching, decentralization, and other paradigm shifts.

Whatever the exact configuration of leadership functions in a specific building, teachers and their principal are locked in an interdependent relationship. They need each other to succeed.

The less friction and stress between principal and teacher, the more enjoyable both will find their jobs. There is also evidence that the quality of the teacher-principal relationship greatly influences the overall school climate, which in turn affects the success of student in the classroom.

Investing in a positive, professional teacher-principal relationship should be a top priority for any beginning teacher. While some principals are more talented leaders than others, students are ultimately the winners when building principals and teachers can work in harmony. No one gains and ultimately students lose when a poisonous, adversarial relationship exists between principal and teachers. Successful teachers strive to develop partnership with their principals.

1. Keep your principal informed of both budding problems and your triumphs. Don’t wait to surprise them with major problems. It is best for them to have ample information directly from you, before they hear about problem from others. No decision can be better than the information upon which it is based. Take time to communicate your interest and needs.

2. Avoid only visiting your principal when you have problems. Share some good news or ask his or her advice. Invest time in nurturing a positive relationship. If you are experimenting with a new instructional technique or a novel assignment, alert your principal and seek his or her support. Only through frequent interactions does mutual trust evolve.

3. When your principal has done something considerate or particularly helpful, drop him or her note. Let the principal know his or her efforts are appreciated. Like department stores, principals often only hear the complaints.

4. For special achievements send a solicited letter of recognition or support for your principal to the superintendent. Anytime you want to give someone major recognition, don’t just tell them, tell their superior. Avoid dumping your problems on your principal. Especially avoids sending kids to the office for misbehavior unless it involves persistent or serious infractions, such as fighting. You will be creating an impression that you cannot control your own classroom if you have to rely on the principal to solve your student behavior problems on a daily basis.

6. Avoid backbitting or ridiculing your principal, even he or she falls short of your expectations. It simply isn’t professional and it really doesn’t accomplish anything positive. Don’t join in the game even if others are playing.

7. If you have a complaint or disagree with the principal on an issue, communicate your case clearly and rationally. This never calls for yelling, name calling, or sarcasm. Stick to the facts. If you have difficulty controlling your emotions in direct conversation, articulate your position in a letter. Remember, you still have to work with him or her tomorrow. Your aim is to influence the principal’s decision, not to alienate him or her. In all contact act maturely and professionally.

8. Choose your battles carefully. In any relationship you only have a limited amount of credit available in the other’s emotional bank account. Don’t squander your assets on a minor skirmishes. Save it ofor the truly important issues. If rarely complain, you are more likely to be heard when you do.

9. When you take a problem, prepare at least one or two possible solutions. Anticipate the consequences of each, the risks, and the resources needed. Be succinct in your presentation. Be rational in what you expect the principal to do to solve your problems.

10. Find opportunities to make your principal look good. Publicizing in the community the outstanding achievements of students is one way this is attained. Any noteworthy school accomplishment reflects positively upon the building principal.

11. Don’t make the principal’s job more difficult than it need to be. Submit grades, attendance records, and report on time. Some amount of paperwork has to be done to make a school work smoothly. It may sometimes be inconvenient, but must be done. Avoid using the prime for principal’s time for petty problems.

12. Try to see things from the principal’s point of view. It is not an easy job. They have many interests to please: teachers, non-certified staff, boards of education, central office, students, parents, and tax payers. Most every decision they make irritates someone, especially with the limited resources available to most schools. They are also sometimes obliged to enforce school policies they may not like. Be a bit empathetic. That doesn’t mean you have to sacrifice your principles, that you shouldn’t advocate for those issues to which you are passionately committed. However, recognize you won’t always get what you want when you want it.

13. Take the initiative in inviting your principal to visit your classroom. If you have particularly interesting or successful lesson coming up, try to schedule an observation. Strive to view the principal as an instructional ally, even if you do disagree on your teaching effectiveness.

14. Avoid interpreting criticisms of your teaching effectiveness as personal attacks. No teacher is perfect. Avoid becoming defensive. Reality-test any criticisms by asking other administrators or teachers to observe your teaching. Invite the principal to observe you again to reassess your teaching. A goal you both should share is to provide the best instruction possible to all your students. Build on that common purpose.

15. Avoid asking for special privileges. It unfairly puts the administrator on the spot. If you have a request for special resources or exemption to school policies, consider how your fellow teachers will accept the request if it is granted.

16. Share article you read on school improvement practices. Occasionally, ask her opinion on an educational trend to innovation.

17. Show your principal, you are thinking of him or her. Small considerations such as birthday card, a holyday card, homemade cookies, or a vacation postcard are fruitful investment in a positive relationship. TG

Sources:
Classroom Teachers Survival Guide
-Ronald L. Partin, New York.


*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

November 13, 2009

DARI GURU NYASAR MENJADI GURU BENAR


Mengajarkan Siswa Memiliki Karakter yang Baik!
Sebuah Kritik untuk para Guru.


Halo para Guru, Anda berada di mana? Menjadi GURU DASAR, GURU NYASAR, GURU BAYAR atau GURU BENAR?

Pada sebuah pelatihan pembentukan karakter yang dilangsungkan oleh Yayasan SiMAk Bangsa (Sinergi Membangun Anak Bangsa) di Hotel Sultan Jakarta, seratusan Guru mengikuti paparan Mashuri, seorang ‘Guru Benar’ asli Sidoarjo.

Konteks ini disambungkan dengan persoalan hancurnya kejujuran bangsa, yang sangat tampak melalui pelaksanaan Ujian Nasional yang dipenuhi tidakjujuran mencengangkan. Meski kini banyak terdengar sekolah mengadopsi nilai-nilai character building (CB), alih-alih menjadikan siswa berperilaku patut, sering hanya sebatas jargon ‘jualan’ sekolah agar tampak up to date.

Kriktik Pak Mashuri yang penampilannya ‘sangat guru’ -kurus, rambut belah pinggir, kemeja agak kebesaran (ini pengakuan sendiri lho), sangat mendasar. Mashuri membongkar komitmen dan keberadaan eksistensi Guru : mau jadi Guru Dasar, Guru Nyasar, Guru Bayar, atau Guru Benar? Banyak peserta mesem-mesem, mengukur diri ada di posisi mana ya saat mendengar uraian Mashuri.

Guru Dasar. ”Sejak lahir sudah ada ‘cap’ di kening kelak menjadi Guru. Guru adalah cita-cita sejak kecil. Ditempuhnya jurusan kependidikan. Secara fisik, biasanya berpostur kurus kecil, rambutnya belah pinggir, sederhana, ada aura Guru memancar. Meski sudah berpetualang jadi pegawai, kerja serabutan, caleg, pilihan akhirnya kembali ke sekolah.”

Guru Nyasar. “Tidak bercita-cita jadi Guru, terpikir pun tidak. Latar belakang tak bersentuhan dengan keguruan. Yang terpikir justru: ‘orang pandai tak ada yang mau jadi Guru!’. Nyasar masuk IKIP gara-gara tak diterima di PTN pilihannya. Ini nyasar, tapi di jalan yang benar! Ketika akhirnya mengajar di muka kelas, ia meluruskan niat sejalan dengan waktu.”

Guru Bayar. “Nah, mereka ini sibuk menghitung bayaran. Bisa saja sukses berkarya jadi Guru, namun tergantung besaran bayaran. Golongan ‘pas bandrol’, datang-pulang sesuai jam. Sering juga mencuri jam pulang guna ‘nyambi’. Kalau ketambahan tugas, berhitung antara waktu dan doku. Waktu tersedot les anak-anak, hingga tak cukup belajar. Karena ’itung-itungan’, rejekinya pun dipas-paskan Tuhan yang juga ikut berhitung. Jika ikhlas jadi Guru, sesungguhnya Tuhan membuka pintu rejeki dari jalan lain – berjodoh orang kaya, tinggal di mertua indah...” Selorohnya.

Guru Benar. ”Meski awalnya nyasar-nyasar, ia kemudian bergerak menuju Guru Benar. Di sekolah saya, semua guru dibina menjadi guru benar. Guru wanita, misalnya, perlu tahu persis kapan jadwal menstruasi siswa wanita. Bila perlu Guru menyediakan sampoo dan handuk agar bisa berhadas besar dan ikut olahraga. Guru model ini selalu berusaha memberi yang terbaik. Penampilannya baik, tak lugu. Cenderung malah vokal memperjuangkan sesuatu. Niatnya lurus, dan merasa BAHAGIA menjadi guru.” Demikian pesan Pak Mashuri.

Pendidikan Karakter
dan Persoalan Bangsa

Karakter bangsa lahir dari karakter sekolah, yang dilahirkan oleh karakter kelas. Ketika kekalahan perang melanda negaranya, seorang presiden AS John F Kennedy mengatakan: “What's wrong with our classroom?”

Kalah perang disinyalir berawal dari persoalan di ruang kelas. Seorang anak beruraian air mata mengingat ayah bertugas militer di Irak. Ia sangat kangen. “Seandainya saja semua orang di dunia diajarkan cara menjalankan kehidupan seperti yang diajarkan di A.B.Combs (sebuah sekolah sarat pelajaran kehidupan – seperti yang diceritakan dalam ‘Leader in Me’, Stephen R Covey- red ) pasti ayah saya tak berada di Irak.”

Berkarakter itu hasil dari sebuah proses pendidikan. Apakah sertifikasi Guru bisa menjadi pisau pemotong antara guru baik dan guru tak baik? Mau pilih mana, menjadi guru baik atau guru pintar? Dua-duanya.

Paradigma yang Sengaja Dihancurkan
Menurut Mashuri, jelas ada masalah di sistem pendidikan kita. Kalau ingin anak berkarakter, Guru pun harus berkarakter baik. Apakah Guru disiapkan untuk itu? Masalahnya adalah pada kepribadian dan moral guru.

“Pernahkan ketika akan lulus didoktrin menjadi guru berkarakter? Tak pernah diajarkan! Mestinya selama 4 tahun belajar di kampus, ini digarap! Menjadi karakter guru yang siap mengajar, siap mendidik, siap berdakwah (hal yang benar) dan siap berkembang,” jelas Mashuri.

Untuk mendapat guru yang baik, sekolah harus mendidik sendiri gurunya. Memang tak ada Guru yang siap pakai -- guru pintar saja banyak! Di sekolah hebat, para Guru itu dilatihkan terus-menerus, bukan bentukan produk pendidikan formal atau pemerintah (maaf-red).

Sikap jelek seorang Guru, melontarkan sikap bullying, suka marah, lalu menghukum, membandingkan orang, serta kurangnya rasa peduli, kasih sayang dan kemanusiaan. Jangan jadikan siswa pintar otaknya namun jiwanya gelap! Penampilan jelek guru, busana tak serasi, sepatu berantakan, tampil lesu, mestinya sudah tak ada lagi. Benahi kelas terlebih dulu, sebagai wadah melesatkan potensi siswa. Mutu sekolah adalah mutu guru, BUKAN mutu siswanya.

Terhadap sikap belajar, pada seminar itu pegiat anti bullying Dhiena Haryana menegaskan, seleksi dan perangkingan nilai siswa sejatinya adalah bullying terselubung. Katakan pada siswa “Kamu boleh tak mendapat ranking (jika sekolah masih menganut ranking). Yang tak boleh adalah TIDAK BELAJAR!”

Jangan menghancurkan sikap respek dan kepedulian. Di raport siswa, keterangan ini: “Angka-angka ini adalah indikator sementara. Tak boleh dilecehkan. Jika hasilnya belum seperti harapan, masih banyak potensi penting lain yang perlu diperhatikan.”

Sahabat Guru, renungan ini semoga mendorong membenahi karakter kita agar patut berdiri di muka kelas. Bersiaplah bertranformasi dari Guru Nyasar menuju Guru Benar!TG

Bu Jemima dan Bu Kunti


Best Practices dalam perbandingan teknik mengajar seni budaya

Seorang Guru, sebut saja Bu Jemima (bukan nama sebenarnya), 43 tahun, belum menikah. Menjadi Guru sejak usia 23 tahun selepas sekolah tinggi keguruan bidang Bahasa Indonesia. Kini menjabat wali kelas sebuah SMP Negeri di bilangan Jakarta Selatan dengan predikat SSN (Sekolah Standar Nasional).

Mengajar seni budaya adalah tugas wewenangnya saat ini, di samping Bahasa Indonesia, untuk kelas VIII. Seni, sebuah materi yang sesungguhnya sarat dengan pembentukan karakter siswa, mulai dari ketrampilan, kreativitas, ketekunan, pengembangan ide, pencarian referensi, dan segudang muatan pengembangan otak kanan.

Alih-alih menyenangkan hati siswanya, Bu Jemima yang sering berdandan ala tante Sun (berblazer, rok span mengecil sebatas betis, alis bak bulan sabit dan pemerah bibir merona, berjalan dengan payung sebagai tongkat), kerap menimbulkan kecut hati siswanya yang mulai beranjak remaja.

“Saya nggak suka kalian cekakak cekikik selama pelajaran saya.” Begitu sering komentarnya. Dan berikut sejumlah komentar lainnya yang ’menarik’ untuk dicatat:

”Hari ini kalian menggambar pola batik seperti yang Ibu contohkan, dan kalian harus memberi warna menggunakan cat air. Ingat dengan cat air! Tidak yang lain!”

“Keluarga saya tuh semuanya pinter-pinter, nggak ada yang dungu kayak kalian”.
”Biasanya saya ngajar di kelas unggulan. Tahun ini saja saya apes, saya ditunjuk jadi wali kelas yang anaknya ndableg keras kepala) seperti kalian!”

”Lihat anak-anak OSIS itu. Hampir semua adalah bekas anak didik dimana saya jadi wali kelasnya. Coba saja lihat Andi Mikail yang semua pekerjaannya serba rapi dan cepat. Tidak seperti si Brian Tifani yang pemalas”.
(sementara Brian ada di kelas itu terlihat nyengir kuda)

”Lha… Diah, ini gambar batikmu koq jelek bener. Berantakan! Gimana sih kamu.”

“Saya ini jahat lho. Dari luarnya saja kelihatan baik. Nanti kalau sudah saya tegur, dan tak ada perbaikan, saya bisa nggak kasih nilai!”

Ancaman, hardikan, teguran, dan bullying yang dilancarkan Bu Jemima full didasari dan disadarinya sebagai bentuk motivasi. Dia sangat yakin dengan beliefs yang
ada pada jiwanya, bahwa siswa hanya bisa diperbaiki dengan kata dan kalimat perbandingan yang telak.

Kekonyolan ini berlangsung belasan tahun. Nah, apa yang terbenam dalam memori anak? Apa yang bisa diharapkan dari sebuah pelajaran seni yang seharusnya menjadi tempat siswa merasa dua tambah dua tidak harus empat? Bagaimana mau mendukung kesadaran
ekonomi kreatif jika apresiasi seni saja terjebak pada ranah kognitif?

Perbandingan Mengajar
Di saat bersamaan, tak jauh dari tempat Bu Jemima mengajar, tersebutlah sebuah sekolah tanpa label. Siswanya tak sebanyak SMP Negeri tentu saja. Pemandangan menyenangkan tertangkap. Bu Kunti (nama samaran), dengan busana casual sopan. Aromanya wangi lembut. Senyum selalu tersungging.

Jebolan universitas kependidikan bidang seni ini menghidupkan suasana belajar seni dengan hook atau scene setting yang menggairahkan. Siswa diminta untuk memberi ekspresi yang sesuai setelah melihat tayangan slide yang sudah dia persiapkan.

“Seni akan membuat hidup kalian lebih indah. Kalian bisa saling memberi semangat dan menghargai pekerjaan orang lain. Tak ada karya yang jelek. Semua karya dapat diapresiasi melalui berbagai sudut penilaian. Ibu tak akan menggunakan nilai, melainkan dengan narasi dan kesempatan berpameran bagi yang lebih produktif. Ada yang mau memberi usul?” Kalimat Bu Kunti menggelinding bagai harmoni di kelas yang sibuk dengan aneka ungkapan dan celotehan siwa.

“Oke class, kini silakan membuat sketsa dengan alat apa saja yang kalian mau. Tema kali ini adalah ‘komunikasi’. Sekarang silakan berpasangan, dan berikan cerita atau komentar mengenai kemajuan komunikasi dewasa ini. Apa yang kalian tangkap dan rasakan, itu yang kalian gambarkan melalui sketsa. Silakan bekerja.”


Sebentar kemudian terdengar musik klasik mengalun pelan dari tape recorder sederhana. Bu Kunti pun berkeliling melihat kelompok siswa. Sesekali terlibat dalam diskusi dengan salah satu siswa. Tangannya pun tampak terampil memainkan pinsil 2B nya pada kertas besar yang ditempelnya di papan tulis.

Baru beberapa bulan mengajar, sudah banyak karya dihasilkan. Semua terpampang di papan display. Di samping karya terdapat kertas komentar untuk menampung apresiasi dari teman lain. Setiap hari adalah mencari kebaikan teman. Dan siswa dilatih untuk memberi apresiasi melalui tulisan. Sesederhana apa pun itu.

Nah para Guru, bagaimana Anda membandingkan dua Guru seni ini? Ketika tulisan ini dibuat, kejadian itu baru berlangsung sekitar seminggu sebelumnya. Artinya, bukan di zaman dulu yang konon penuh tekanan dan ancaman. Saat ini pun masih sejibun sekolah menyimpan Guru dengan perangai dan mind set yang sungguh tak patut ala Bu Jemima. Tentu saja kita tak akan membiarkan hal ini berlangsung berkelanjutan bukan?

Best practices akan mendokumentasikan hal-hal yang terbukti efektif
berlangsung selama pengajaran. Kumpulkan cerita nyata yang bisa dikomparasikan, agar mudah terlihat best practice nya. Apapun alibinya, proses belajar Bu Jemima hanya akan mengantarkan siswa pada kebencian pada bidang seni. Bukan hanya itu. Dalam waktu singkat, siswa mengalami pelecehan mental yang sama sekali tak akan berdampak positif.

Ayo! Jangan menjadi Bu Jemima-Jemima yang baru. Kalau Anda merasa pernah melakukan meski dalam perspektif yang berbeda, segeralah bertobat pada Tuhan, dan jadilah bu Kunti-Kunti yang akan memberi pengayaan pada siswa. Di sinilah nilai-nilai dan karakter itu ditumbuhkan. Persembahkan pekerjaan kita sebagai pengajar pada anak bangsa di bumi pertiwi yang elok bak batu manikam. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

November 10, 2009

SEKOLAH PERLU PSIKOLOG PENDIDIKAN




Saya menyarankan , pemerintah membuat alternatif SMP bagi siswa dengan kategori lamban belajar. Berupa sekolah kejuruan setingkat SMP, berisikan ketrampilan -ketrampilan praktis yang dibutuhkan masyarakat. Begitu pula untuk tingkat SMA.







Pendidikan kita belum melihat siswa sebagai individu yang unik atau berbeda. Selama Indonesia merdeka sampai era reformasi (sekitar 53 tahun), praksis pendidikan nasional baru sampai ke masalah kuantitas, belum menyentuh peningkatan kualitas. Kebijakan pemerintah masih pada tahap pemerataan pendidikan. Sekolah Dasar dibangun besar-besaran, agar anak Indonesia usia 7-12 tahun memperoleh akses luas untuk belajar ke sekolah. Guru pun direkrut secara instan melalui program diploma dua tahun pendidikan guru sekolah dasar (PGSD).

Kebijakan ini berjalan terus sampai di suatu titik, tahun 1988, kita menyadari bahwa ada yang kurang beres dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Di saat kita bersibuk diri dengan masalah pemerataan pendidikan dan wajib belajar 6 tahun, dunia luar ternyata telah jauh memikirkan ke depan perubahan yang akan terjadi dan kompetensi apa yang dibutuhkan bagi individu untuk bersaing.

Sekarang kita berada di abad XXI, millennium ketiga yang lebih kompleks; sebuah peradaban di mana ilmu pengetahuan (knowledge) sebagai suatu kekuatan baru. Inilah wujud perekonomian global setelah depresiasi sumber daya alam besar-besaran di dekade 1980-an, di mana manusia tak lagi dapat mengandalkan sumberdaya alam (SDA) seperti tanah, mineral, minyak bumi, dan hutan. Manusia kini mengandalkan kemampuan berfikirnya, otaknya, menjadikan pengetahuan sebagai basis baru bagi kesejahteraan bangsa (Zuhal, 2008).

Perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge based economy) mematahkan pendapat sumber daya alam sebagai landasan dari ekonomi (resourced based economy). Sebenarnya sejak dua dekade lalu Alvin Toffler (Powershit,1990) mengingatkan hal ini. Toffler menyebutkan, pengetahuan akan memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Jenis pertumbuhan ekonomi tak lagi bergantung pada otot, tapi pada otak.

Sejalan dengan Harrison dan Hutington (Culture Matters: How Values Shape Human Progress, 2000), hanya pendidikan yang dapat menjadi strategi bertahan dan menang, menentukan kemajuan dari setiap masyarakat, negara, dan bangsa baik ditinjau dari sisi politik, sosial, maupun ekonomi.

Fakta masih rendahnya peringkat Indeks Daya Saing Pertumbuhan, rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia serta gambaran keluaran tertinggi pendidikan nasional masih didominasi pada tingkat Sekolah Dasar, sebagai suatu persoalan lantaran kurang dilibatkannya ilmu psikologi dalam dunia pendidikan nasional kita secara keseluruhan.

Reformasi pendidikan Indonesia, melalui penataan peraturan – yakni UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional- masih belum tuntas, belum menyentuh hal yang substansial, belum meneropong siswa sebagai seorang individu yang unik.

Kita belum belajar dari hasil pendidikan nasional 100 tahun pertama Kebangkitan Nasional. Persoalan pendidikan bukan hanya masalah fisik seperti gedung sekolah, sarana prasarana, kurikulum, laboratorium, perpustakaan, dan lain sebagainya, namun juga menyangkut peserta didik sebagai subjek.

Karakter pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya belajar, budaya, ekonomi belum dieksplore lebih dalam. Justru di sini letak masalah yang kita hadapi dengan skor-skor indeks yang dikeluarkan lembaga internasional tersebut.

Dalam praktek, sudah banyak sekolah menggunakan jasa psikolog. Sekurang-kurangnya menjelang tahun ajaran baru melalui biro psikologi atau kantor konsultan psikologi, sekolah menyelenggarakan pemeriksaan psikologis bagi calon siswa baru.

Biasanya, hasil pemeriksaan psikologis berupa psikogram digunakan untuk melihat besaran skor IQ (intelligence quotience), skor CQ (creativity quotience), dan skor TC
(task commitment) yang dijadikan dasar untuk seleksi calon siswa program percepatan belajar (akselerasi).

Ada juga sekolah yang hanya membutuhkan besaran skor IQ untuk menyeleksi calon siswa program sekolah bertaraf internasional (SBI). Dan terbanyak adalah untuk membantu penjurusan siswa SMA IPA/IPS/Bahasa, dan ke Perguruan Tinggi.

Namun peran psikolog di sini masih di luar lingkaran sekolah, hanya sesuai pesanan alias ‘tukang tes’. Kompetensi lain yang dimiliki psikolog masih belum digunakan, terjadi pemubaziran ilmu. Padahal psikotes tak sekadar mengetahui besaran skor IQ, banyak hal dapat diketahui dari pemeriksaan psikologis itu. Saya meyakini sekolah membutuhkan psikolog yang dapat memahami dan menindaklanjuti hal-hal yang ada dalam psikogram.

Saya menganjurkan, jika ada kesempatan revisi UU Sisdiknas No. 20/2003, psikolog harus dimasukkan sebagai salah satu unsur tenaga kependidikan. Dengan memiliki tenaga psikolog di dalam sekolah, mudah membantu siswa yang bermasalah sedini mungkin.

Psikolog Pendidikan mempelajari hal-hal tentang prevalensi seperti ADHD, kesulitan belajar, dyslexia, gangguan bicara, serta gangguan ketidakmampuan seperti keterbelakangan mental, cerebral plasy, epilepsy, dan buta.

Psikolog dapat membantu orangtua lebih memahami kondisi keseluruhan yang ada dalam diri siswa, untuk memilih intervensi pendidikan yang lebih tepat guna mengoptimalkan potensi baik siswa.

Psikolog Pendidikan mempelajari perkembangan sosial, moral dan kognitif anak. Ia dapat memahami karakteristik pembelajar usia sekolah, usia remaja, usia dewasa muda, dan usia dewasa madya serta usia lanjut, karena ia memiliki wawasan tentang perkembangan manusia.

Di samping itu, seorang Psikolog Pendidikan mampu melihat perbedaan individual seperti kecerdasan, kreativitas, gaya belajar, dan motivasi. Karakteristik berbeda di setiap siswa memerlukan tantangan berbeda dalam pembelajarannya.

Psikolog Pendidikan mampu meriset untuk melihat tingkat minat, tujuan pribadi, dan pendapat mereka tentang sebab sukses atau kegagalan mereka. Seorang Psikolog Pendidikan diharapkan mampu membangkitkan motivasi siswa.

Psikolog Pendidikan juga menguasai aplikasi desain instruksional dan teknologi, sistem tutoring intelijen yaitu suatu sistem komputer yang menyediakan umpan balik kepada manusia tanpa intervensi manusia, berbagai metoda belajar mengajar seperti belajar kooperatif (cooperative learning), belajar kolaboratif (collaborative learning), belajar berdasarkan masalah (problem based-learning) dan penggunaan
komputer untuk mendukung belajar kolaboratif.

Psikolog Pendidikan membantu mengumpulkan informasi bagi Guru dan orangtua ketika siswa mempunyai masalah akademik atau perilaku. Mereka menolong mengevaluasi kemampuan berfikir siswa dan melakukan pemeriksaan psikologis dari sisi kekuatan dan kelemahan siswa. Bersama-sama, Guru, orangtua, dan psikolog pendidikan memformulasikan rencana untuk menolong siswa belajar lebih efektif.

Psikolog Pendidikan bekerja sebagai konselor dan juga dapat mengevaluasi kepantasan dari program akademik, prosedur manajemen perilaku dan pelayanan lain di
sekolah.

Di Amerika Serikat, psikolog pendidikan/sekolah merupakan salah satu jenis pekerjaan yang paling cepat berkembang dengan pertumbuhan 26%. Satu dari empat psikolog bekerja dalam setting pendidikan. Sementara di Indonesia kebanyakan psikolog terserap di dunia industri.

Pekerjaan sebagai psikolog pendidikan/ sekolah belum popular. Hanya sekolah-sekolah swasta papan atas yang telah menggunakan jasa psikolog pendidikan/sekolah.

Di sekolah, kita banyak temui siswa yang stres, putus sekolah, atau salah tempat. Persoalan ini dari perspektif psikologis berkait erat sekali dengan adanya individual differences, sehingga bila stress terjadi itu adalah normal disebabkan ketidaktepatan antara kapasitas intelektual siswa dengan jenis sekolah, antara kapasitas intelektual dan tuntutan pekerjaan, antara minat dan jenis pekerjaan yang dihadapi.

Dalam klasifikasi taraf kecerdasan, ada taraf yang disebut slow leaner (lamban belajar). Siswa dalam taraf ini, tentu saja tak cocok di sekolah regular maupun SLB. Taraf kecerdasannya masih sedikit lebih baik dari anak-anak keterbelakangan mental di SLB. Namun tempo kerja mereka lamban memahami pelajaran, juga tidak membuat mereka sesuai dengan siswa biasa. Kalau kesemuanya disatukan, yang terjadi adalah rasa frustasi. Siswa yang memiliki taraf kecerdasan jauh lebih baik, bisa tak termotivasi dalam mengikuti kelas.

Sebaiknya anak-anak dengan kategori slow learner ini memiliki jenis sekolah tersendiri agar harga diri dan kesehatan mental mereka terjaga. Fenomena anak slow learner cukup banyak terjadi di sekolah-sekolah. Kalau saja ada 52,9 juta anak usia sekolah (BPS,2006) –maka jika 22,5%nya tergolong IQ 70-89 diperkirakan ada 10,5 juta anak usia sekolah tergolong slow learner.

Mereka ini sangat sulit menamatkan jenjang Sekolah Dasar sekali pun. Kalau pun tamat SD, anak mengulang kelas beberapa kali, dan amat rendah kemampuan dasar calistung (membaca, menulis, berhitung).

Melihat daya saing SDM Indonesia dan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang juga masih jauh ketinggalan dengan negara serumpun sekalipun, sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang pendidikan formal yang ada.

Pendidikan formal (wajar 9 tahun) hanya tepat untuk anak dengan taraf kecerdasan rata-rata (IQ 90-109) Skala Wechsler. Padahal secara statistik, diasumsikan mereka yang mampu tamat SD berjumlah 45%, mampu tamat SMP 22,5%.

Saya menyarankan, pemerintah membuat alternatif SMP bagi siswa dengan kategori lamban belajar. Berupa sekolah kejuruan setingkat SMP, berisikan ketrampilan-ketrampilan praktis yang dibutuhkan masyarakat. Begitu pula untuk tingkat SMA, siswa yang memiliki potensi kecerdasan yang hanya rata-rata atas, sebaiknya diarahkan masuk SMK, agar nantinya terserap di dunia kerja. Tak perlu masuk universitas, cukup melanjutkan ke program vokasional, dan menjadi spesialis dalam bidang minatnya.

Bagi siswa dengan taraf kecerdasan I45 ke atas (Skala Wechsler) bisa diproyeksikan terus belajar sampai jenjang setinggi-tingginya ke negeri –negeri yang memiliki reputasi dalam sains dan teknologi. Mereka yang berbakat ademik ini harus dipersiapkan sebaik-baiknya menjadi SDM unggulan untuk menghadapi perubahan besar di masa depan. Siswa berbakat intelektual tinggi (highly gifted) seharusnya diarahkan dalam pendidikan yang berbasis iptek. Menurut Zuhal (2008), ada lead time yang panjang bagi siswa untuk mencapai tahap dalam menguasai pengetahuan dan teknologi.

Untuk membantu mewujudkan semua di atas, perlu dibangun peran psikolog dalam sistem pendidikan nasional. Saya membayangkan akan ada pemeriksaan psikologis besar-besaran pada peserta didik. Mungkin secara bertahap dulu di tingkat SMP, karena saat ini sudah banyak tersedia SMK meski pun masih perlu lagi banyak dipersiapkan SMK-SMK dengan jenis yang lebih spesifik agar tiap lulusannya dapat berkiprah di dunia kerja dengan merasa berhasil. Rasa keberhasilan, kebahagiaan ini pada gilirannya akan memperkuat kesehatan mental seseorang.

Dan yang jelas, individu akan memiliki pengakuan (harga diri) dari luar berupa imbalan atas hasil karyanya. Berarti, dengan bekerja sesuai kompetensi, akan membuat jumlah angka pengangguran berkurang. Dan ini berarti akan menaikkan daya saing bangsa.

Pemeriksaan psikologis di tingkat SMP juga akan membawa APM untuk SMA menjadi tinggi, karena pemerintah hanya mengerahkan siswa yang mampu melanjutkan SMA dan diproyeksikan akan berhasil menamatkan pendidikan tingginya.

Jadi dengan adanya psikolog di sekolah, khususnya di Sekolah Dasar dapat mengarahkan anak dengan pilihan pendidikan dan karier yang tepat. Tidak harus semua anak SD masuk SMP, karena kapasitas intelektual kurang sekali IQ 70-90. Jika mereka tak diarahkan ke sekolah kejuruan setaraf SMP, bagai buah simalakama. Jika putus sekolah dan langsung bekerja sebagai buruh atau tenaga kasar, maka upah yang diperoleh pun rendah.

Pada suatu masa Drost (2000) menyatakan kefrustasiannya bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia tempat semua anak harus mempunyai kemampuan intelektual yang sama. Semua perguruan tinggi di Indonesia amat tidak puas dengan mutu lulusan SMA. Mengapa? Ternyata yang layak lulus UMPTN hanya sekitar 10%, lainnya diluluskan
karena ada tempat.

Dan ini juga berlaku untuk perguruan tinggi swasta. Yang ditolak perguruan tinggi bermutu, lari ke ratusan PT swasta yang mau menerima mereka. Maka, sebagai contoh, nilai rata-rata dan yang diterima di UI adalah 7,8%, sedangkan di sebuah PTN di luar Jawa hanya 4,9%. Akibatnya, yang gugur secara nasional di PTN 85%, dan masuk di PTS 90%.

Pesan yang ingin disampaikan, adalah sistem sekolah saat ini belum mengakomodasi kebutuhan suksesnya generasi muda di masa depan. Di sisi lain, pendidikan bagi anak berbakat intelektual tinggi harus khusus. Mereka ini tulang punggung masyarakat berbasis pengetahuan.

Psikolog sekolah dapat melatihkan ketrampilan berfikir kreatif, kerjasama, pemecahan masalah, dan lainnya. Keberadaan psikolog sekolah sebagai tenaga kependidikan di sekolah, akan lebih mengoptimalkan kualitas keluaran pendidikan nasional di masa depan. TG

Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi.
Disarikan dari pidato pengukuhan
sebagai Guru Besar Tetap
Ilmu Psikologi Pendidikan pada
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
Juli 2009.


*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

MGPBE: Agar Pakem, Gunakan PAKEM
















Sebagai kepala sekolah, Banjirman SPd (kanan, berbaju biru), merasakan bahwa program pembelajaran PAKEM, MBS, dan PSM merupakan resep ampuh untuk memperbaiki mutu pembelajaran sekaligus mutu sekolah. “Program ini mudah diterapkan, dapat dilakukan di mana saja, dan meningkatkan prestasi belajar.”

Sejak mempelajari PAKEM, MBS, dan PSM dan menerapkannya pada tahun 2007, Kepala Sekolah SMP 3 Kuantan Mudik, Kecamatan Kuantan Singingi, Provinsi Riau ini, berhasil mengubah sekolah menjadi maju. Di tahun 2008, ia meraih penghargaan sebagai Kepala Sekolah SMP Berprestasi juara II tingkat se-kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Padahal, sekolahnya bukanlah sekolah binaan program MGP-BE. Karena penguasaannya akan program pembelajaran ini, instruktur matematika ini pun sebelumnya dipercaya sebagai fasilitator daerah, yang mentraining rekan-rekan guru lainnya untuk memahami PAKEM, MBS, dan PSM.

Di waktu lalu, saat PAKEM diperkenalkan di tingkat SMP, banyak ketidakberhasilan. Saat itu pengenalan PAKEM seolah terpisahkan dengan pengenalan manajemen sekolah MBS), dan peran serta masyarakat PSM). Kenyataannya PAKEM akan lebih mudah berhasil bila didukung MBS dan PSM. Kini pengenalan untuk tingkat SD dan SMP dilakukan sekaligus.




















“Dengan PAKEM tugas guru menjadi mudah. Guru menjadi fasilitator, anak yang berbuat dan menemukan sendiri. Tidak lagi terpaku pada sumber belajar dari buku panduan, akan lebih mudah karena dapat memanfaatkan alam sekitar sekolah sebagai sumber belajar,“ tambahnya.

“Guru senior pun -yang selama ini selalu disangka enggan mencoba sesuatu yang baru- justru akan lebih termudahkan dengan PAKEM. Awalnya memang masih kikuk dan membuat kesalahan. Tapi seterusnya mudah, apalagi kalau sudah mampu mendesain RPP. Jika selama ini guru terpaku pada buku panduan sebagai sumber belajar, maka kini akan lebih mudah karena alam lingkungan sekitar sekolah bisa menjadi sumber belajar.”

“Sekolah menjadi transparan dan akuntabel, sebagai kunci mendapat kepercayaan masyarakat dan dunia usaha/industri. Saat semua pihak mendukung sekolah, segala kekurangan infrastruktur dan kegiatan belajar mengajar mendapat dukungan dari orangtua dan komite sekolah serta masyarakat dunia usaha di sekitarnya. Sekolah tak lagi terkendala oleh anggaran biaya operasional (BOP dan BOS) yang kurang memadai.”

SMP 3 Kuantan Mudik mendapat bantuan Rp. 500 ribu per bulan sumbangan dari dunia usaha. Dana ini digunakan untuk mendukung kegiatan ekskul dan pelatihan guru dalam MGMP. “Dengan simpati masyarakat ini, muncullah ide-ide dan gotong royong untuk kemajuan sekolah. Intinya, tidak mungkin sekolah melakukan sendiri perubahan, sekolah butuh dukungan masyarakat untuk meningkatkan kualitasnya,” jelas Banjirman SPd, yang kesehariannya juga aktif dalam kemasyarakat dan kewirausahaan sosial sebagai sekretaris desa, dakwah, aktifis kepemudaan dan ormas keagamaan. (untuk bertukar pengalaman, Banjirman SPd. bersedia dihubungi di 0812768 7364. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

November 09, 2009

MGP BE : KUANTAN SINGINGI Meretas PAKEM dari Pedalaman












Usia Kabupaten Kuantan Singingi baru sepuluh tahun, sejak mekar dan terpisah dari kabupaten induknya, Indragiri Hilir. Ada 12 kecamatan ditinggali 320 ribu penduduk, dengan didukung sekitar 500 sekolah (237 SD/MI, 136 TK/RA, 38 SMA/SMK/MA).


Sebuah kabupaten baru di pinggiran propinsi Riau, sekitar 3 jam berkendara dari Pekanbaru menuju ibukota kabupaten di Teluk Kuantan. Areal kabupaten ini didominasi lahan luas kebun sawit, karet, tanaman kayu untuk pulp (akasia dan eucalyptus), yang buminya terus tergerus oleh pembalakan dan perluasan lahan kebun agro-industri, dengan masyarakat Kuantan Singigi sebagai penonton dan pekerja kebun.

Sekolah adalah satu-satunya harapan untuk mengubah kualitas manusia di Kuantan Singingi. Sayangnya, di kebanyakan sekolah, proses belajar mengajar menjenuhkan bagi anak. Anak malas belajar, selepas SD/MI atau SMP/MTs ingin cepat menikah, dan kerap terjadi kekerasan guru terhadap siswa di sekolah.

Bapak Alwis MSi., Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kuantan Singingi, mengupayakan peningkatan mutu pendidikan. “MBS, PAKEM, dan PSM bagi solusi persoalan pendidikan di Kuantan Singigi, yang akan mengubah dua hal secara drastis. Pertama, pemerataan pendidikan atau education for all. Dengan PAKEM, kejenuhan dan rasa malas akan berkurang, tergantikan dengan ketertarikan, gembira riang kreatif. Kalau orangtua menyuruh anak berhenti sekolah, anak akan protes. Sekolah menjadi tempat belajar, bermain, dan bergaul.

Kedua, peningkatan mutu. Anak lebih giat belajar, lebih memahami pelajaran, dan lebih efektif menggunakan waktu belajar baik di sekolah maupun di rumah. Dalam waktu 2,5 tahun peningkatan mutu pendidikan itu telah tampak. Dari posisi nomer buncit kini menggeser pencapaian kabupaten lain seperti Indragiri Hilir, Rokan Hilir, dan Rokan Hulu, juga Kampar dan Siak. Diikuti dengan memenangkan posisi ke-2 untuk lomba Pengawas, Kepala Sekolah, dan Guru Berprestasi, selangkah di bawah kota Pekanbaru.

Mutu dan penampilan para Kepala Sekolah dan Pengawas sekolah pun ikut meningkat. Pada perayaan HUT RI ke 64 pada 17 Agustus 2009 ini, menang sebagai Guru Berprestasi ke Istana Negara. Mardisal, pengawas dan Erlim SPd., guru SDN 022 Rantau Sialang, Kec. Kuantan Mudik.
Prestasi lainnya, ada Ernawati Baidar, Kepala Sekolah SDN 006 Pulau Binjai Kec. Kuantan Mudik sebagai kepala sekolah berprestasi ke-2 di tingkat propinsi Riau. Sekolahnya terpencil dekat perbatasan Sumatera Barat. Juga ada Banjirman SPd, Kepala Sekolah SMP 3, juga di Kec. Kuantan Mudik.

Menurut Pak Alwis, dengan bermain dan belajar, anak terasah dalam tiga keahlian, yaitu logika, komunikasi, dan ketrampilan. Ini berbeda dengan capaian pada sekolah klasikal, di mana semua terpusat pada guru, anak-anak diajak menghapal. Sekarang, anak diajari mengenal, memahami konsep, dan menganalisa masalah. “Target kami, dengan penerapan PAKEM, MBS, dan PSM ini, anak memiliki kemandirian, rasa percaya diri, dan berkembang sesuai bakat dan kemampuannya.”

Lulusan SMP terbaik akan diterima di sekolah SMA PINTAR, sekolah gratis dan berasrama kota kabupaten Teluk Kuantan. Pemkab mengalokasikan dana sekitar Rp. 5 miliar pertahun untuk sekolah ini. Tiap kecamatan dapat mengirim 5 anak, atau 180 anak terpintar dapat ditampung di SMA PINTAR setiap tahun.

Saat ini sekolah yang terinspirasi dengan SMA TARUNA NUSANTARA sudah berjalan tahun ke dua. Lulusan SMA PINTAR, jika masuk ke perguruan tinggi terbaik seperti UI, ITB, UGM, IPB maupun di luar negeri, akan dibiayai dengan ikatan dinas agar selepas tamat mengabdi di Riau. Siswa SMA PINTAR pun telah mencatat prestasi karya ilmiah di tingkat provinsi dan ajang Olimpiade tingkat nasional.

Peningkatan pendidikan ini sesuai visi misi Kabupaten Kuantan Singingi untuk menciptakan generasi muda yang mampu mengolah produksi pertanian sawit dan karet yang ada di sini. Selepas sarjana (dibiayai dengan ikatan dinas), mereka akan menjadi penggerak pertumbuhan produksi industri pengolahan karet dan sawit menjadi produk-produk bernilai tinggi.

Menurut Pak Alwis, kuncinya adalah pada pembenahan pendidikan di tingkat dasar menengah. Untuk itu, Dinas Pendidikan Kab. Kuantan Singingi mensyaratkan para kepala sekolah menandatangani PAKTA INTEGRITAS. Yang melanggar, menerima sanksi penurunan jabatan ataupun pemberhentian.

Yang berprestasi diberi penghargaan, dan diberikan tambahan dana kesejahteraan guru berkisar Rp. 500 ribu hingga Rp. 1,5 juta tergantung tingkatan. Guru mengaji pun mendapat dana kesejahteraan Rp. 500 ribu/bulan. Sebaliknya, yang payah diberi sanksi mutasi atau penurunan jabatan,” tambah Alwis.

Melihat kerja keras terintegrasi di jajaran dinas pendidikan Kabupaten Kuantan Singingi, harapan akan perkembangan mutu pendidikan dan sumberdaya manusia di Riau dapat terwujud.

“Dari monitoring kami, perkembangan program MGP-BE di wilayah Barat menunjukkan perkembangan yang baik. Khususnya Kabupaten Kuantan Singingi – Provinsi Riau, menunjukkan diseminasi atau penyebaran program berjalan lebih cepat dari yang kami perkiraan,” jelas Feiny Sentosa, officer pendidikan UNICEF yang terlibat dalam program ini. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

MGPBE : Melongok Lombok Memaknai PAKEM

Pengalaman di SDN 1 Ubung Jonggat Lombok Tengah.














Sekolah ini menerima bantuan pelatihan MGP-BE mulai tahun 2008 lalu. Secara sepintas, indikator PAKEM tampak eksplisit. Susunan kursi, meski sudah usang, tampak diatur dengan model berkelompok. Akuntabilitas keuangan juga ditulis di papan besar dan dipajang di depan kantor. Deretan papan display terpasang di tiap kelas.

“Sejak mempraktekkan cooperative learning, kini saya tak lagi lelah mengajar. Siswa saya lihat jadi ceria, banyak senyum,” begitu pengakuan Zakaria Spd., Guru kelas IV di sekolah yang tampak bersih ini. Sebelumnya Pak Zakaria berdinas di SDN 2 Nyerot, masih di Lombok Tengah. Dalam balutan busana safari, Pak Zakaria tampil sebagai ‘guru benar’.

Coba simak proses belajar di kelas VI di sekolah yang kami kunjungi ini.....
“Hari ini, bapak akan mengajar Ilmu Pengetahuan Alam. Kalian perhatikan ya. Jangan ribut. Kita akan mempelajari makhluk hidup hewan dan tumbuhan, dengan ciri-ciri dan tempat hidupnya. Makhluk hidup itu ada tanda-tandanya. Kalau dalam bahasa IPA disebut ciri-ciri,” begitu Pak Muhammad,Guru kelas VI yang juga tampil cukup gagah. “Bapak punya oleh-oleh. Kalian lihat saja dulu.” Berkelilinglah Pak Muhammad membagikan kantong kresek pada setiap meja yang dilingkari sepuluhan anak. Dikeluarkanlah isinya, sepotong batang kaktus dan selembar daun teratai. Anak-anak cukup menunjukkan rasa ingin tahu.

Instruksi yang disodorkan adalah mengamati dan mencermati, kemudian menuliskan ciri-cirinya sesuai pengamatan, di lembar kertas yang dibagikan kemudian. Lembar pertama memuat tabel ciri-ciri kaktus dan teratai. Lembar kedua meminta anak menuliskan pengamatan di cabang anak panah yang lingkaran tengahnya bertuliskan kaktus dan teratai. Sedangkan lembar terakhir meminta anak menuliskan puisi yang berkaitan dengan dua jenis bagian tumbuhan itu.

Cukup waktu bagi siswa untuk mendiskusikan, dengan jawaban dan pemikiran khas anak-anak. Mereka saling memberi komentar: ”Kalau kena tangan sakit (durinya), daun teratai berlemak, memiliki bunga yang besar dan bagus, punya akar banyak,” celetuk mereka. Salah satu siswa menuliskan di lembaran, begitu pula yang menulis puisi, tampak termangu membayangkan bunga teratai dan kaktus…..

Kaktus, kau tumbuh
sempurna…..
di musim hujau maupun
kemarau…….


Pak Muhammad nampaknya cukup memahami cara mengajar ala PAKEM. Tak tampak lagi Guru mendikte atau anak menyalin dari papan tulis. SDN 01 Ubung Jonggat sudah mengaplikasikan PAKEM. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

MGP BE: PAKEM di SDN 6 Masohi - Maluku Tengah



Kelas lebih hidup,
siswa lebih berani bertanya,
motivasi belajar meningkat,
absensi menurun.







Bu Gaya, guru di SDN 6 Masohi, Maluku, jadi ngetop saat evaluasi PAKEM diadakan oleh Unicef/Depdiknas, di Lombok, untuk sejumlah sekolah target intervensi di wilayah Indonesia bagian Timur, belum lama ini.

Bu Gaya memang gaya. Penampilannya pede abis. Suaranya lantang terdengar meski tanpa mikrofon. Raut muka senantiasa senyum. Semangatnya menyala saat mempresentasikan perkembangan sekolahnya setelah melaksanakan PAKEM.

Evaluasi di Lombok ini sangat menyemangati para praktisi pendidikan di sekolah yang telah mendapat sentuhan pembaruan melalui program MGP-BE yang terselenggara atas donasi Uni Eropa.

Berikut kesan Bu Gaya tentang manfaat PAKEM:

Kapan mulai mengenal PAKEM?
Tahun 2007. Saat itu ada pelatihan dari LPMP Maluku. Berlanjut di tahun berikutnya, saya berkenalan dengan program MGP-BE. Banyak pengalaman mengesankan yang saya rasakan. Saya sadari, Guru kurang kreatif, utamanya dalam mempersiapkan alat peraga. Ini sering dikritik siswa.

Saat memberi contoh membaca puisi, eh… ada siswa yang jauh lebih bagus membacanya. Nah, setelah proses berjalan, terjadilah saling belajar antara siswa dan guru. Ide dan kreatifitas justru banyak datang dari siswa.

Bagaimana keadaan siswa setelah penerapan PAKEM?
Tingkat absensi siswa menurun karena siswa tidak lagi merasa takut atau segan terhadap guru. Siswa merasa senang pada pola belajar bergaya PAKEM.
Yang menyolok adalah kegiatan berkelompok, yang dapat memunculkan tutor sebaya, hingga kelas lebih hidup. Motivasi belajar siswa belajar di kelas maupun di luar kelas meningkat karena adanya persaingan (kompetisi- red). Mereka ingin menjadi yang tercepat dan terbaik. Kemampuan berkomunikasi, menyampaikan pendapat, mengajukan pertanyaan, juga semakin terarah.

Harapan ke depan?
Program Unicef perlu terus dilanjutkan. Dan yang terpenting, ada pelatihan khusus bagi Guru untuk mendesain alat peraga sederhana, murah, dan tepat guna. Perlu studi banding ke sekolah yang maju penerapan PAKEM-nya.

Bu Gaya tampak makin semangat manakala mendengar kelakar para peserta evaluasi: “Bu Gaya memang gaya. Coba semua Guru seperti Bu Gaya. Maju pendidikan kita!’ komentar seorang Bapak dengan logat khas Maluku. Bu Gaya tersenyum sumringah. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

MGP BE: Gorontalo, Asyik!


Keberhasilan program peningkatan mutu pendidikan, termasuk MGP-BE ini juga berkat andil dan peran serta pemda dan pejabat setempat. Ditemui saat memberi presentasi di depan evaluasi program di Lombok, Ibu Lilian Rhaman, Kepala Dinas Pendidikan Gorontalo tampil memukau dengan berbagai upaya mendukung pelaksanaan MGP-BE. Berikut petikannya:

Apa saja upaya Diknas setempat untuk menularkan progam MGP-BE?
Banyak. Multi dimensi. Kami lakukan multigrade
teaching (pengajaran kelas rangkap), jika jumlah siswa di bawah rasio. Dan Guru yang melakukan multigrade ini diberikan tunjangan khusus. Gajinya rata-rata Rp. 7 juta. Semua Guru harus S1. Kepala Sekolah harus S2. Untuk desiminasi dan pengimbasan, dilakukan tutor sebaya. Kami fasilitasi dengan mobil, yang disebut teacher bus, yang bergerak ke seluruh kecamatan.

Guru yang belum S1 disarjanakan. Sebanyak 40 orang di S2 kan. Sistem informasi manajemen, sistem informasi geografis, dituangkan dalam Perda.

Ada pula proses re grouping, untuk sekolah-sekolah dengan jumlah gurunya terbatas dan jarak yang dimungkinkan digabung. Kami pertama kali ingin memperbaiki pendidikan dengan memotret peta persoalan. Lantas ‘pelaku mutu’ disebarkan ke seluruh daerah Gorontalo. Tak mungkin ada perubahan kalau tak ada pelaku perubahan.

Kemudian kami juga menata kualifikasi. Dicermati, bagaimana keadaan guru di daerah terpencil, di kota dan luar kota, agar tak terjadi disparitas. Ada perimbangan antara yang mutu dan yang tidak.

Semua orang yang terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan harus menjiwai. Harus memiliki komitmen.

Saya mengubah diri saya terlebih dulu, dengan cara meyakini bahwa tugas ini sangat mulia dan membawa amanah perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.

Kami akan memberhentikan lurah di suatu wilayah, jika kedapatan ada anak yang tak sekolah. Karena itu, di Gorontalo tak ada lagi anak putus sekolah.
Motto kami: Menjadi Kabupaten Cerdas 2014.

Apa yang menjadi kendala ?
He..he… itu dia, para wartawan dan LSM. Namun saat ini semua sudah kita rangkul. Bukan menjadi kendala lagi.TG

MGP BE: Praktik yang Baik


Mau tahu gambaran singkat mengenai praktik yang baik itu? Ini kisah dan kiat yang dituliskan oleh Ibu Rita, guru SMPN 2 Rambah Ilir, Rokan Hulu, Riau, seperti yang termuat di media komunikasi Gema edisi 1, 2009.

Berikut petikan pengalamannya:
Jika dilibatkan langsung, siswa sangat menikmati proses belajar. Waktu itu saya menerapkan model ‘meja bundar’ untuk mengajar deskripsi teks. Siswa diminta membawa gambar apa saja dari rumah. Gambar ditempel di kertas HVS. Siswa kemudian dibagi menjadi kelompok beranggotakan 4 orang.

Tugas pertama, siswa diminta mendeskripsikan gambar miliknya. Setelah itu gambar dipindahkan ke teman di samping kiri atau kanannya, untuk mendapat tanggapan. Terus berputar hingga gambar kembali pada pemiliknya. Selanjutnya, siswa diminta bergantian membacakan diskripsinya.

Tugas kedua, setiap kelompok diminta menentukan satu wakil untuk mempresentasikan hasil karya kelompok di depan kelas. Semua siswa diminta menyimak, karena sesudah itu mereka akan diminta mengulang deskripsi yang dipresentasikan.

Siswa sangat antusias. Ada kompetisi antar kelompok dan timbul semangat kerjasama dalam kelompok. Siswa berebut tampil ke depan. Ada 4 ketrampilan sekaligus diasah melalui model ini, yakni writing (menulis deskripsi), reading (membacakan hasil kelompok), listening (mendengarkan presentasi dan diskusi), dan speaking (mempresentasikan). Sangat menyenangkan! TG

MGP BE : Ingin Menjadi Target Sekolah Binaan?




















Pemilihan sekolah dilakukan melalui Diknas dan Depag. Sekolah terpilih harus ada dalam wilayah kecamatan binaan. Lantas akan dilihat, keaktifan gugus/subrayon, ada tidaknya bantuan dari donor lain, jumlah kelas dan siswa, serta komitmen kepala sekolah.

Bagaimana kalau sekolah non-binaan ingin ikut pelatihan
yang dilakukan oleh program MGP-BE?

Pelatihan imbas dapat dilakukan lewat gugus melalui Dana Pengembangan Kapasitas yang berupa ’block grant’ dari program MGP-BE untuk sekolah, gugus dan kabupaten binaan, atau sekolah non-binaan dapat mengajukan permohonan kepada Pemda setempat. Fasilitasi pelatihan dapat dilakukan oleh fasilitator daerah yang dibina oleh program MGP-BE. TG

MGP BE : Prinsip PAKEM

PAKEM ini good practice. Praktik yang baik! Ini pendekatan saja, yang menuntun Guru untuk mengerti how-to nya proses mengajar. Apapun kurikulumnya, praktik yang baik berlaku universal dan tak lekang waktu atau selalu up to date (aktual).

Prinsip PAKEM antara lain:
1. Siswa mengerjakan kegiatan beragam untuk mengembangkan ketrampilan dan pemahaman, dengan penekanan pada learning by doing.

2. Guru menggunakan berbagai sumber belajar dan alat bantu,
termasuk pemanfaatan lingkungan.

3. Menata kelas menjadi lebih inspiratif, dengan memajang karya siswa, buku dan bahan yang menarik, serta membuat sudut baca.

4, Memakai cara pembelajaran yang bersifat kerja sama dan interaktif melalui kerja kelompok.

5. Guru membantu siswa memecahkan masalah sendiri, mengungkap pemikirannya sendiri dan melibatkan mereka secara aktif partisipatif. TG

MGP BE: Praktik Pembelajaran yang Baik, Efektif, dan Berkualitas


























* Mainstreaming Good Practices in Basic Education (MGPBE).
Terjemahan yang paling dekat adalah: pengarusutamaan
praktik yang baik dalam pendidikan dasar.
* Istilah ‘pengarusutamaan’ sebagai terjemahan langsung
dari kata mainstreaming diartikan sebagai pelembagaan dan
pelaksanaan praktik yang baik secara meluas oleh sekolah
dan institusi pendidikan dasar dan MI maupun MTs
(madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah– di bawah Departemen Agama).
* Sedangkan praktik yang baik, adalah praktik pengajaran
yang terbukti efektif, meningkatkan kualitas pendidikan dasar
dan kapasitas manajemen pemerintah daerah dan kabupaten.
* Karena terbukti baik dan efektif, praktik pembelajaran
bermuatan active learning ini harus dipopulerkan,
sehingga pelaksanaannya di tersebar luas di banyak sekolah
dan institusi pendidikan seluruh Indonesia.


Itulah definisi progam Good practices (atau praktik yang baik) dari Unicef yang saat ini masih berjalan di 6 provinsi, yakni Riau, Lampung, Banten, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat dan Maluku. Tiap provinsi terdiri atas 2 kabupaten. Total sekolah binaan yang menerima bantuan sebanyak 505 sekolah – yaitu 407 SD/MI dan
98 SMP/MTs.

Pekerjaan yang terkoordinasi dengan baik ini diampu oleh badan dunia UNICEF, didukung dana dari Uni Eropa, dan tentu saja bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Programnya meliputi MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), PSM (Peran Serta Masyarakat), dan PAKEM (Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan).

Ketiganya diaplikasikan di tingkat sekolah. Sedangkan untuk tingkat kabupaten, diidentifikasi data analisis dan perencanaan, termasuk rencana strategis (Renstra), pembiayaan pendidikan, tata kelola, monitoring, dan evaluasi.

Tidak Menciptakan Praktik Baru
Negara kita sudah berkali-kali menerima bantuan dana peningkatan mutu pendidikan. Agar tak tumpang tindih, dilakukanlah penelusuran dan pemetaan praktik-praktik yang selama ini sudah terbukti efektif. Dan inilah yang kemudian dimaksimalkan aplikasinya pada pembelajaran. Jadi ditekankan, bahwa MGP-BE ini tidak menciptakan praktik baru.

Keunggulan program ini, dikemas menjadi enam modul. Selain MBS, PSM dan PAKEM, juga Pengembangan Kurikulum, Kelas Rangkap, dan Kelas Awal.

Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan dasar, terlebih dulu harus mengetahui bagaimana CARA yang paling efektif. Secara umum, yang didorong adalah perubahan paradigma dalam kegiatan belajar mengajar. Buku besar, perpustakaan dan referensi, wawancara nara sumber, siswa antusias dan aktif serta ceria, diskusi, belajar kelompok, belajar di ruang terbuka, berpikir kritis dan memecahkan masalah, guru berkeliling memonitor kelas, kreatifitas, PAKEM, peran serta masyarakat dan orang tua, transparansi dan akuntabilitas publik, adalah item-item yang menjadi ikon paradigma baru pendidikan.

Kendala di lapangan tentu saja ada. Antara lain faktor geografis yang menyebabkan koordinasi dan supervisi serta informasi tak cepat terakomodasi. Partisipasi masyarakat juga menjadi menurun tatkala mengetahui wacana sekolah gratis. Faktor guru yang lamban beradaptasi menjadi penentu keberhasilan. Sedangkan kendala dana pendampingan yang belum memadai, menjadi pe-er pemerintah daerah.

Kepala sekolah sebagai pemegang kendali harus sudah memahami betul perubahan yang harus dilakukan. Selain sebagai administrator, dan manajer, peran kepala sekolah sebagai pemimpin (kurikulum) terutama sebagai ’agent of change’ dalam penyampaian materi ajar yang berlangsung setiap hari, yang selama bertahun-tahun terjebak pada teacher center yang membosankan.

4 Faktor Modalitas Kemajuan
Dalam sebuah kesempatan bertemu dengan pihak Depdiknas yang mendampingi program ini, ditekankan perlunya sebuah perubahan sikap dan cara pandang, agar program peningkatan mutu disikapi dengan pemahaman mendasar.

Diilustrasikan sebagai berikut:
Pertama: Modal. Ini sering menjadi alasan utama penggagal kemajuan. Tak ada modal (uang) tak ada perbaikan. Program MBP-BE didukung pendanaan dari Uni Eropa.

Kedua: Sumber daya alam. Ini jelas kita punya. Banyak sekali dan melimpah. Disinyalir kini terkikis, habis dan bocor sana sini. Karena itu menuntut kepedulian semua pihak. Pendidikan memegang peranan utama untuk memperbaiki sikap dan
ketrampilan pengolahan sumber daya alam ini.

Ketiga: Teknologi. Kemajuan dan pencapaian teknologi di setiap masa adalah achievement terbaik yang dihasilkan di masa itu. Bisa dibandingkan dengan kasat mata. Teknologi menciptakan kemudahan. Namun juga kerugian, terutama pada sikap dan cara berfikir yang cenderung soliter.

Keempat: Manusia. Nah.. di sinilah faktor utama yang bisa mengolah ketiga modalitas sebelumnya. Di sinilah pendidikan dan kesehatan menjadi teramat penting untuk ditingkatkan.

Guru juga manusia! Adagium mengatakan bahwa: ‘jika jernih di hulu, maka akan jernih pula di hilir, begitu pula sebaliknya’. Sungguh sentral peran Guru. Karena itu, praktik yang baik sungguh-sungguh harus diwujudkan dalam rangka percepatan peningkatan mutu sekolah.

Banyak Nian Bantuan Itu
Sesungguhnya kita harus bersyukur, dan seterusnya adalah menyikapi bantuan-bantuan dari negara donor yang berseliweran di negeri kita. Seringkali kita ini berfikir negatif. ‘Tak dibantu tak mau gerak, dibantu, adanya ngeles terus’. Lagi-lagi ini mutu manusianya.

Ibu Renani, Kepala Bagian Keuangan Sekretaris Mandikdasmen, menandaskan bahwa bantuan yang banyak itu harus kita sikapi dengan menjaga eksistensi dan harga diri sebagai bangsa.

Pada tahun 1980, British Council telah mengambil peran untuk mendukung pelaksanaan CBSA (cara belajar siswa aktif) di sekolah. Selang beberapa waktu, World Bank mengusung PEQIP (Primary Education Quality Improvement Project). Propinsi Nusa Tenggara Barat kerap mendapat bantuan projek ini.

Ada pula CLCC (Creating Learning Communites for Children), yang mendukung terciptanya MBS (manajemen berbasis sekolah) dan PAKEM. Belum lama juga berlangsung program MBS, yang dikawal UNESCO dengan support dana dari New Zealand Agency for International Development (NZAID).

Kita harus mampu menjalin negosiasi dengan baik. Kemajuan dan perubahan itu bergantung pada pada manusianya kan? Seperti ilustrasi di atas, berapa banyak pun bantuan dan upaya peningkatan kualitas pendidikan, yang menjadi penentu tentu saja pelaksana dan penikmat layanan pendidikan itu sendiri.

Persoalannya dan pertanyaan selanjutnya adalah, kapan program ini bisa diaplikasikan di seluruh sekolah di Indonesia? Karena tahun 2010 projek ini selesai. Untuk itulah berbagai pihak terkait, diseminasi, pengimbasan, replikasi, duplikasi dan pengarusutamaan, menjadi penting untuk dijalinkan kerjasamanya, antara lain oleh pers, gugus, subrayon, institusi pemerintah, dan rekan sejawat.

Contoh dan karya siswa di sekolah-sekolah yang menjadi target bantuan MGP-BE ini dapat menjadi bukti perubahan, meski setahap demi setahap, namun perubahan metode ini menjadikan siswa lebih bersemangat bersekolah.

Ayo, meski tak tersentuh program ini secara langsung, kita jangan tertinggal apalagi memandang sebelah mata upaya perubahan ini. Salah-salah sekolah kita menjadi ketinggalan kereta! Lets go! TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

PAAT BERSAUDARA : Hati Nurani & Diskusi Kritis Pendidikan


















Menjadi Guru profesional, kuncinya adalah pengetahuan. Dengan pengetahuan yang mumpuni, Guru akan berani mengambil peran otoritas pembelajaran. Guru akan berani menegakkan pendapat. Mana yang patut dan cocok, mana yang kurang atau sebaiknya diperbaki.

Guru akan berani mengembangkan kurikulum, dan terlibat di dalamnya. Guru memiliki dan menjunjung kode etik. Guru berani bersikap terhadap masalah-masalah bangsa.

Agar dorongan atau panggilan (passion) menjadi Guru itu tinggi, Guru
harus setara dengan profesi lain, seperti halnya insinyur, atau dokter. Mendapatkan gaji pokok –bukan tunjangan- yang memadai, sehingga dapat hidup pantas untuk membiayai kehidupan keluarga sampai menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.

Pendidikan keguruan (LPTK) seharusnya membekali guru dengan pengetahuan lintas bidang yang memadai, agar guru tak terjebak cara mengajar yang baik di muka kelas, namun juga menyadari bahwa urusan pendidikan adalah terkait keberhasilan bangsa di masa depan. Jangan terpaku pada tataran teknis mengajar, karena problem bangsa lebih dari sekedar cara mengajar.










“Guru profesional itu harus punya sikap. Tidak bisa netral, atau tunduk saja, atau tidak punya pemikiran alternatif pada kebijakan yang disodorkan pemerintah,” jelas Loody Paat dan Jimmy Paat.

Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun kesadaran masyarakat untuk kualitas kehidupan yang lebih baik, dalam berbagai aspek. Walhasil, gerakan pendidikan adalah membentuk kesadaran politik.

Masyarakat harus memiliki kesadaran pentingnya pendidikan, dan meminta pemerintah menyelenggarakan kebijakan pendidikan yang tepat.

Bersama beberapa rekan lain dalam Koalisi Pendidikan bermarkas di ICW (Indonesian Corruption Wacth), berdua mereka menyuarakan keprihatinan Ujian Nasional serta profesionalisme guru. Bersama beberapa rekan lain dan Prof. HAR Tilaar dalam ‘Kelompok Studi Pedagogik dan Kultural’, mereka menyuarakan kajian kritis pendidikan nasional, seperti kebijakan pembentukan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Di kesempatan lain, berdua mereka menggagas pemikiran pendidikan alternatif lewat ‘Sekolah Tanpa Batas’.

Begitulah, mereka kerap berada di tengah pusaran polemik kebijakan pendidikan nasional. Rasa kepedulian yang tinggi membuat mereka selalu gelisah, apalagi jika membandingkan pendidikan Indonesia kini dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Kegelisahan juga muncul melihat menurunnya nilai-nilai murni kependidikan yang makin tergerus semangat komersialisasi pendidikan dan kapitalisme penyelenggaraan sekolah yang makin mahal dan diskriminatif.

“Kami ingin memberdayakan guru. Kata kuncinya, profesionalisme guru, yang memiliki pengetahuan sehingga punya otoritas. Kalau mau mengubah pendidikan nasional, harus tahu pengetahuan nilai,” jelas Loody Paat, yang juga pengajar di Universitas Negeri Jakarta.

Berbusana kasual, seringkali hitam-hitam, adalah gaya tampilan keduanya. Saat berbicara, terasa sekali betapa kepedulian besar pada kependidikan nasional. Keduanya saling mengisi. Pembahasan ditarik ke belakang dengan melihat sejarah pendidikan nasional.

“Selama ini teman-teman Guru memilih tunduk dengan aturan yang bukan mereka buat. Harusnya Guru tunduk dengan aturan yang mereka buat atau sepakati. Sekarang ini Guru tidak punya argumen sendiri, kebanyakan senada dengan argumen kebijakan atau pemerintah. Guru baru bergerak sebatas kesejahteraan (maaf), kalau pun sharing dilakukan, yang disampaikan kebanyakan sharing harapan dan kecemasan.

“Seharusnya membicarakan hal-hal yang lebih esensial.” Begitu keprihatinan Paat bersaudara. Masalahnya, para Guru sekarang kebanyakan kurang memiliki bekal sejarah kependidikan dan warisan nilai-nilai para tokoh pendidik semisal Ki Hajar Dewantara.

Menjalani panggilan hidupnya sebagai kritikus pendidikan nasional, Paat mengambil model pergerakan, atau pergerakan pendidikan, yaitu upaya mengedukasi penyadaran masyarakat melalui diskusi, manifesto, dan penyebaran pemikiran. Kerap dijumpai, kedua kakak beradik ini sedang aktif diskusi kritik pendidikan dengan tokoh-tokoh pendidikan lama.

Kritiknya terhadap IKIP yang berubah menjadi universitas: “Nyatanya program studi (prodi) keguruan di universitas itu tidak terbangun. Perubahan nama dari IKIP ke Universitas, tidak serta merta mengubah image masyarakat akan pendidikan keguruan. Tetap saja, alumninya ‘kalah tampil’ di banding lulusan non prodi kependidikan di universitas yang sama. Passion atau panggilan menjadi Guru kurang atau lemah. “Jarang ditemui seorang pemuda menyatakan keinginannya ‘saya tidak ingin menjadi insinyur, tapi saya ingin menjadi guru… .”

Bicara perubahan, diakui Paat bersaudara, adalah hal yang tidak sederhana.”Semua harus berpartisipasi. Memperbaiki kualitas guru, akhirnya juga harus ditunjang oleh kemajuan perekonomian bangsa. Pendidikan tak lepas dari persoalan ekonomi dan kebudayaan. Prinsip sekolah adalah kerja kebudayaan.

Sikap kritis perlu ditumbuhkan di alam demokrasi ini. APBN 2010 menetapkan besaran anggaran pendidikan nasional sekitar Rp. 209,5 trilyun, setara 20% APBN keseluruhan yang besarnya Rp. 1.047,7 trilyun. Ini sudah termasuk anggaran untuk pendidikan kedinasan dan yang berada di bawah Departemen Agama. Suatu jumlah yang bukan main-main.

Dengan anggaran sebesar itu, diharapkan besar pula prestasi pendidikan nasional. Jangan sampai dana rakyat habis banyak, pendidikan masih berkutat pada hal-hal pokok dan mendasar. Bisa kalah maju di banding bangsa tetangga. Walhasil cuma bisa jadi bangsa konsumen dan bangsa pekerja. Di sinilah suara-suara nurani pendidikan perlu hadir.

Begitulah buah-buah pemikiran Loody Paat dan Jimmy Paat, dua bersaudara kakak beradik yang sejak lebih lima tahun terakhir intens menggeluti pemikiran pendidikan dan mengkritisi berbagai isu-isu kebijakan pendidikan nasional. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569