September 24, 2008

critic
Kaum Pesawat Terbang
Bukan Kaum Gerobak !
by Ria Restanti Natalisa

Maka selamanya manusia yang eksploratif, inovatif, perintis yang baru dan yang serba bertanya dan mempertanyakan tidak pernah disukai kaum tradisional, dan selalu di cap WTS (waton suloyo – asal membantah) oleh kaum penguasa mapan, seperti filsuf Socrates atau Soekarno-Hatta menghadapi Athena atau Hindia-Belanda. Tetapi, kaum eksplorator ini justru menjadi idola bangsa-bangsa yang suka maju.

Orang-orang seperti Livingston, Captain Cook, Captain Scott, Louis Pasteur, Edison, dan semua pemenang Hadiah Nobel adalah suri-teladan masyarakat-masyarakat yang demokratik, karena demokrasi menghargai kaum perintis dan kaum yang bertanya. Mereka bukan kaum Gerobak yang bisa saja berhenti di sembarang tempat untuk beristirahat, tetapi kaum pesawat terbang yang tidak bisa berhenti begitu saja, jika tidak ingin jatuh hancur.”
(Y.B. MANGUNWIJAYA, “Impian dari Yogyakarta”)

Rasanya seperti ditampar, ketika kita tersadar bahwa proses belajar kita yang harusnya senantiasa bergerak, berubah, berinovasi dan memberi inspirasi belumlah seperti "Kaum Pesawat Terbang". Ya, kita masih 'Kaum Gerobak'. Dorong sebentar, ngos-ngosan, kemudian istirahat. Sementara yang lain sudah melejit dengan kecepatan tinggi, disiplin, terfokus pada tujuan, dan konsisten!

Usaha belum optimal, kita sudah berkata , yah lumayan buat hari ini. “Alon-alon asal kelakon” (perlahan-lahan asal terus bergerak) justru dijadikan 'excuse' agar kita dimaklumi dalam keterlambatan, ketertinggalan, dan jangan-jangan juga “kebodohan” kita sebagai sebuah bangsa dan Negara!

CURIOSITY
Persoalan belajar bermuara dari curiosity, keingintahuan, yang secara fitrah memang sudah diciptakan oleh Yang Maha Pencipta. Keingintahuan menimbulkan keinginan bertanya. Sebuah jawaban seharusnya akan menjadi stimulus bagi pertanyan selanjutnya, sehingga proses berpikir terus berlanjut, keingintahuan semakin tinggi, dan ilmu semakin berkembang dengan sendirinya.

Tak ada satu jawaban yang tepat terhadap semua pertanyaan. Namun, sejauh apa sebuah jawaban akan membimbing kita pada pertanyaan kita, menjadi jauh lebih penting. Sebagaimana kita juga harus menyadari bahwa dengan cara ddemikianlah ilmu pengetahuan berkembang.

Arus berfikir yang berawal dari sebuah pertanyaan harus dapat terakomodasi dalam proses belajar, termasuk dan terutama di sekolah. Karena lazimnya sebuah sekolah, dengan alasan keterbatasan waktu, fasilitas, tenaga, dan target-target teknis lain (ini sebuat contoh dari sebuah “excuse” lainnya!), arus berpikir ini justru tidak diakomodasi. Pokoknya siswa hapal pelajaran, dan pada saatnya bisa mengerjakan tes atau ujian. Dan tugas guru (pendidik?) selesai.

Sungguh menyedihkan keika kita tahu dan sadar bahwa esensi belajar adalah bertanya, berpikir, dan berbuat nyata (berkarya), justru kita beralih ke bentuk pengajaran yang secara teknis lebih mudah dijalankan. Esensi belajar sepertinya tidak terlalu mudah dilakukan oleh sebagian besar guru-guru kita (yang dulunya mendapatkan pengajaran yang kaku dan pantang bertanya, karena bertanya berarti “bodoh” atau “dianggap tak menyimak”?).


Sudah menjadi sulit bagi mereka untuk menangkap “rasa” dari esensi belajar. Guru-guru secara “Birokratis” telah terbiasa dijejalkan sejumlah “hapalan-hapalan” oleh atasan atau instansi yang lebih tinggi, tanpa boleh bertanya dan mempertanyakan lebih jauh. Disatu sisi, bagi sebagian besar guru “tradisional” (dalam berpikir) posisi seperti itu menjadi sebuah zona nyaman luar-biasa.

Pada era sekarang, bergerak bak 'Kaum Pesawat Terbang' menjadi sebuah keharusan. Bergerak dinamis dengan terus bertanya, berfikir, bertanya ulang, berpikir kembali, berani menghadapi kegagalan namun segera bangkit kembali. Adakah yang punya energi sebesar itu?


Ada! Mereka adalah generasi masa depan, yang kini sedang duduk dalam kelas di hadapan kita, dan dengan mata berbinar sedang berharap pertanyaan mereka mendapat jawaban yang berisi dan inspiratif. ** TG

*) Ria Restanti Natalisa, pendiri dan kontributor majalah Teachers Guide, menetap di Yogyakarta. Kini sedang menyelesaikan pendidikan S2 Psikologi Pendidikan di FPsi UGM.
Note: Artikel ini telah dimuat di Majalah Teachers Guide Vol 2, No.06 / 2008

TEACHERS GUIDE adalah majalah pendidikan guru profesional, memuat artikel pendidikan, guru menulis, forum guru, inovasi, kreatifitas, motivasi, pelatihan seminar pendidikan, konsultasi, pembelajaran, pendidikan nasional, paradigma pendidikan baru, guru kreatif, teknologi pendidikan, ict, lesson plan, skill mengajar, active learning, teaching learning, sekolah alam, sekolah islam, sekolah negeri dan swasta, ANPS.

Inklusi
Mengajarkan Pemahaman Pubertas pada
Siswa Berkebutuhan Khusus
Upaya Penuh Keharusan


Jika anak-anak Special Needs (SN) beranjak remaja, sekitar usia SMP, mereka juga akan mengalami masa puber. Sama seperti individu normal yang tidak mengalami hambatan perkembangan, mereka akan mengalami perubahan emosional, fisik, dan sosial.

Perubahan emosi pada anak SN cenderung lebih sulit. Minat mereka terhadap lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan, sehingga tidak ada informasi yang jelas tentang itu. Atau sebaliknya, mereka justru menarik diri dari pergaulan, karena tidak mampu menterjemahkan bagitu banyak “pesan tersirat” dan “aturan sosial” yang membingungkannya.

Cerita Ibu Budi, Koordinator ortopedagog SMP Mutiara Bunda, Bandung, menjadikan kita tersadar, bahwa anak-anak SN memerlukan penguatan luar biasa untuk menjadikan mereka dapat bersikap secara patut, utamanya menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam siklus hormonalnya.

Untuk siswi SN perempuan, menginjak usia SMP tentu saja akan mengalami menstruasi. Alih-alih mengerti mengapa menstruasi terjadi, dan bagaimana harus memakai pembalut, Cinta (bukan nama sebenarnya), malahan –maaf- melambai-lambaikan pembalut dan ditempelkan ke dahinya.

Sedangkan Ade (juga bukan nama aslinya), berlaku onani (maaf) di kelas. Mereka tetap mengalami gejala pubertas seperti halnya siswa normal lainnya. Hanya saja mereka tidak memahami, apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana harus menata diri.

Jika mereka merasa “naksir” lawan jenisnya, anak-anak SN remaja ini akan mendekat, kadang memeluk siapa yang dia sukai. Demikian juga dengan siswa SN laki-laki, saat mimpi basah terjadi di sekolah, dia cuek’ aja melihat celananya basah.

Perilaku mereka memang sering tidak pantas dan memalukan. Misalnya menggaruk alat kelamin, menanggalkan pakaian, melakukan masturbasi, dimanapun saat libidonya timbul. Anak SN memiliki hambatan komunikasi, berperilaku dan memahami norma sosial.

Persiapan Pedagog

Juni lalu, diadakan sebuah pelatihan untuk orang tua dan Guru siswa berkebutuhan khusus. Drs. Hidayat, Dipl., S.Ed., MSi, konsultan ahli pendidikan Inklusi, dan Prof. Juke R. Siregar M.Pd, staf pengajar fakultas Psikologi Unpad menjadi nara sumber.

Menurut para narasumber, dapat disimpulkan ada tiga aspek yang perlu diajarkan.

Pertama, pentingnya pemahaman konsep diri, termasuk konsep keluarga, dengan membuat pohon keluarga sebagai alat bantu visual.
Kedua, pengenalan lokasi umum (mall, dapur, kendaraan umum, ruang kelas,dll) dan tempat yang bersifat pribadi seperti kamar tidur, kamar mandi, wc umum, yang semuanya privat dan dalam keadaan pintu tertutup.
Ketiga, mengajarkan perlindungan diri, melalui konsep lingkaran sebagai salah satu strategi agar anak dapat melindungi dan membela diri. Pentingnya menjaga ruang pribadi dan ruang pribadi orang lain. Personal space ini berupa lingkaran maya yang bisa disimulasikan , misal radius berukuran minimum sepanjang lengan anak.

Selanjutnya anak juga diajarkan memahami keberadaan mereka dalam komunitas, mengenali siapa saja yang ada di kelompok terdekat yang boleh dicium, dipeluk, dan siapa saja yang cukup disapa dengan jabat tangan. Kenalkan lingkaran terluar, yakni orang yang dikenal, melalui pengajaran visual, dengan menggunakan gambar, miniatur benda, simulasi konkrit, bermain peran, dan adegan film.

Dengan begitu anak SN akan mudah memahami konsep yang abstrak ini. Cara menyampaikan perubahan seksual ini memang harus ekstra hati-hati dan sabar. Sampaikan berulang-ulang. Gunakan bahasa sederhana, pendek, jelas dan mudah dipahami. *** TG

*) Arfi D. Moenandaris adalah chief of editor majalah Teachers Guid, praktisi pendidikan, pembicara, dan konsultan pendidikan. Ia dapat dihubungi melalui email: arfi_tcguide@yahoo.co.id

Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.


SEMUA BERAWAL DARI MOTIVASI !
MATRIX Learning System


Andri Saleh
Guru Matematika di Islamic Fullday School of Ibnu Sina, Bandung, Jabar.
Saat ini aktif menulis buku pelajaran Matematika, buku pengayaan guru, dan ensiklopedia untuk beberapa penerbit.

“Secanggih apapun metode pembelajaran yang digunakan,
tidak akan ada artinya jika anak didik tidak memiliki motivasi”
Motivasi adalah dasar pemikiran dan keinginan yang kuat bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Dengan motivasi, kita mampu melewati tantangan, hambatan, dan ujian yang berat. Motivasi diibaratkan sebuah energi besar yang tak pernah mati.

Dari mana munculnya motivasi? Motivasi muncul dari mimpi. Ya, semuanya memang berawal dari impian! Percaya atau tidak, sebuah impian atau cita-cita mampu mengubah dunia. Walt Disney, tokoh di dunia hiburan, menyatakan, “Jika Anda dapat memimpikannya, Anda pasti dapat melakukannya!”

APA ITU MATRIX LEARNING SYSTEM?


Motivasi adalah unsur utama dalam proses pembelajaran. Dengan motivasi yang kuat, anak didik akan mampu menghadapi berbagai tantangan di depannya. Tidak menyerah ketika mengerjakan soal sulit, tak mengeluh menghadapi berbagai ujian, dan mampu menyelesaikan persoalan secara mandiri. Dengan motivasi yang kuat pula, seorang guru akan memberikan yang terbaik bagi anak didiknya.

Pendeknya, motivasi mampu membuat proses pembelajaran jadi lebih bergairah dan bersemangat. Guru dan anak didik memiliki keinginan yang kuat untuk bersama-sama menjadi yang terbaik dalam meraih mimpi dan cita-cita. Jika kondisi seperti ini sudah tercapai, maka apa pun metode pembelajaran yang digunakan akan diterima dengan semangat dan tanpa keluh kesah.

MATRIX Learning System hadir sebagai metode pembelajaran yang lebih mengedepankan motivasi sebagai awal dari proses pembelajaran, khususnya pada pelajaran Matematika.

Kata “MATRIX” akronim dari “Motivation Applicated To The Real Mathematics”. Artinya kurang lebih “Penerapan Motivasi dalam Dunia Matematika yang Nyata”. Metode pembelajaran ini dikembangkan oleh penulis melalui berbagai pengamatan dan penelitian langsung di lapangan.

BAGAIMANA KONSEPNYA?
Secara umum, ada 6 konsep dasar dalam menjalankan MATRIX Learning System ini. Keenamnya merupakan rangkaian kata MATRIX, yaitu:
1. M → MOTIVATION
Konsep pertama, pemberian motivasi bagi anak didik pada saat memulai proses pembelajaran. Jika berhasil, anak-anak didik akan tampak bersemangat dan siap menghadapi berbagai tantangan selama proses pembelajaran Matematika berlangsung.
2. A → ACTIVITY
Konsep kedua, melakukan berbagai aktivitas atau kegiatan. Untuk materi pelajaran Matematika Aplikatif, dilakukan dalam bentuk permainan atau kegiatan di luar kelas. Sedangkan untuk Matematika Non-Aplikatif, dapat dilakukan dalam bentuk pembuktian rumus-rumus Matematika secara berkelompok.
3. T → THEORY
Dari kegiatan itu, tiap siswa pasti memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap suatu masalah. Dari sini dimunculkan konsep ketiga, yaitu setiap anak didik dirangsang untuk mengungkapkan teorinya masing-masing. Meski tak sesuai dengan teori Matematika yang berlaku, siswa dilatih untuk berpikir terhadap suatu permasalahan.
4. R → RESULT
Konsep keempat, guru memberikan sedikit petunjuk mengenai permasalahan yang dibahas. Guru pun menjelaskan teori Matematika yang sebenarnya. Akan lebih baik jika guru tidak hanya menjelaskan teori yang sebenarnya, tetapi juga mendiskusikan teori-teori yang lahir dari pemikiran anak didiknya itu.
5. I → IMPLEMENTATION
Setelah semua anak didik mengetahui teori Matematika yang sebenarnya, barulah beranjak ke konsep selanjutnya, yaitu pelaksanaan. Pada konsep ini, siswa melaksanakan pembelajaran berdasarkan hasil diskusi yang telah dilakukan. Bentuknya bisa berupa latihan soal, kuis, atau mengisi lembar kerja.
6. X → EXTRAORDINARY
Konsep terakhir, penghargaan kepada anak didik. Seorang guru tidak boleh merasa sungkan untuk memuji siswa. Sekecil apa pun prestasi yang diraih siswa, tetap perlu diberikan penghargaan. Sebaliknya, anak didik yang merasa gagal hendaknya diberi semangat karena sebenarnya mereka memiliki potensi yang sangat luar biasa.

BAGAIMANA APLIKASINYA?
Setelah mengetahui keenam konsep dasar MATRIX Learning System, saatnya untuk menerapkan konsep tersebut di ruangan kelas. Bagaimana memulainya?

MULAI DENGAN CERITA INSPIRASI
Sepenggal cerita inspirasi ternyata mampu menggugah emosi dan semangat bagi seseorang. Teknik seperti ini dapat Anda terapkan sebelum menyampaikan materi.
Sumber cerita boleh berasal dari pengalaman pribadi, kehidupan sehari-hari, maupun biografi tokoh dunia.
1. Cerita dari pengalaman pribadi
Setiap Anda pasti memiliki beberapa pengalaman yang menarik dan menggugah emosi. Ceritakanlah pengalaman tersebut dan jangan lupa jelaskan hikmah cerita itu.
2. Cerita dari kehidupan sehari-hari
Begitu banyak cerita inspirasi dari kehidupan sehari-hari. Misal, cerita tentang anak jalanan yang ingin bersekolah, atau seorang anak yang fisiknya terbatas namun mampu berprestasi.
3. Cerita biografi tokoh-tokoh besar dunia
Hampir semua tokoh Matematika di dunia memberikan inspirasi yang luar biasa. Anak didik tentu akan terkagum-kagum akan cerita nyata tersebut. Misal, kisah Blaise Pascal yang menemukan konsep sudut pada segitiga di usianya 12 tahun. Bisa juga cerita Carl Friedrich Gauss, di usia 10 tahun mahir menjumlah cepat bilangan 1 sampai 100.
Carilah cerita-cerita inspirasi yang dapat disampaikan kepada anak didik, lewat bacaan, media ataupun internet.

INI AKSIKU, MANA AKSIMU?
Setelah mendengarkan cerita inspirasi, anak didik akan merasa termotivasi. Lanjutkan dengan kegiatan yang berhubungan dengan cerita yang disampaikan. Sehingga, siswa merasa seperti tokoh inspiratif tadi.
Menirukan Blaise Pascal yang pada umur 12 tahun menemukan konsep sudut pada segitiga, siswa diminta melakukan kegiatan serupa yang dilakukan Blaise Pascal. Buatlah berbagai bentuk segitiga dari kertas, dan potong tiap sudutnya. Kemudian, potongan-potongan sudut tersebut digabungkan. Bagaimana kesimpulannya? Dorong tiap anak mengemukakan teorinya.

AH…TEORI!
Dari kegiatan tadi, tentu muncul pendapat dan sudut pandang yang berbeda dari tiap anak. Guru harus memberikan kesempatan bagi setiap anak didik untuk menjelaskan teorinya masing-masing.
Misalnya, ada yang mengamati bentuk dari potongan sudut segitiga. Ada yang menjelaskan teknik memotong, lainnya menghitung besarnya potongan sudut segitiga tersebut. Biarlah anak didik mengembangkan pola pikirnya dengan teorinya sendiri.

MATERI SEDERHANA
Semakin sederhana materi pelajaran yang disampaikan oleh guru dalam proses pembelajaran, semakin mudah diserap. Untuk itu, Anda hendaknya jangan memberikan materi yang terlalu berat. Mulailah dari konsep sederhana yang kemudian bertahap ke tingkatan selanjutnya.

Sebagai contoh, menjelaskan hasil dari kegiatan memotong sudut segitiga tersebut. Hasilnya, jumlah-jumlah sudut segitiga adalah 1800. Dengan hasil ini, teori-teori yang diajukan mereka tak salah, justru jadi pelengkap dalam pembahasan materi selanjutnya.

AYO, BERLATIH!
Matematika merupakan pelajaran yang cukup unik. Matematika memiliki karakter latihan. Semakin sering anak didik berlatih, kian akrab dengan Matematika. Dengan demikian, Anda harus mempersiapkan materi latihan di tiap proses pembelajaran. Bentuknya bisa berupa worksheet yang dibuat secara menarik.
Sebagai contoh, dari kegiatan memotong sudut segitiga, kita mempersiapkan worksheet yang sesuai. Di akhir proses pembelajaran, siswa mengerjakan soal-soal worksheet.

KAMU HEBAT!
Sebelum mengakhiri proses pembelajaran, seorang guru hendaknya memberikan penghargaan kepada semua anak didiknya. Boleh berupa ucapan terima kasih, pujian, atau bahkan doa.
Penghargaan layak diberikan, karena mereka telah mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Dengan cara seperti ini, anak didik merasa dihargai segala usahanya dalam proses pembelajaran. Ini akan memotivasi mereka untuk lebih baik lagi pada pertemuan berikutnya. ** TG

Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.


teaching skill
METAKOGNITIF
Belajar Bagaimana untuk Belajar


Asep Sapa’atm S.Pd,

Praktisi dan Trainer Pendidikan
Lembaga Pengembangan Insani
Dompet Dhuafa, Parung, Bogor


Ada satu catatan menarik yang tertinggal di tulisan “Pahamkah siswa Anda? Sebuah Kajian Berdasar Understanding by Design (UbD)” (Teachers Guide V.02 Edisi 05.08, hal.46-47). Dalam fokus penjelasan mengenai 6 tampilan indikator pemahaman siswa, disebutkan oleh penulis (Najelaa Shihab), bahwa memiliki pemahaman diri yang terwujud dalam bentuk mampu memperlihatkan kesadaran metakognitif, mampu mengenali dirinya baik kebiasaan baik maupun tidak baik, mampu menyadari ketidaktahuannya sehingga terefleksi dalam proses belajar, merupakan bagian penting yang harus dilatihkan kepada siswa agar mendapatkan pemahaman bermakna.

Metakognitif, satu kata ini yang menarik perhatian sekaligus menggerakkan penulis untuk mengkaji mengenai apa itu metakognitif, mengapa metakognitif penting, dan bagaimana cara menerapkan metakognitif dalam situasi pembelajaran.

Apa itu Metakognitif?


Metacognition is an important concept in cognitive theory. It consists of two basic processes occurring simultaneously, monitoring your progress as you learn, and making changes and adapting your strategies if you perceive you are not doing so well.
(Winn, W. & Snyder, D., 1998) It's about self-reflection, self-responsibility and initiative, as well as goal setting and time management.
Metacognitive skills include taking conscious control of learning, planning and selecting strategies, monitoring the progress of learning, correcting errors, analyzing the effectiveness of learning strategies, and changing learning behaviors and strategies when necessary.
(Ridley, D.S., Schutz, P.A., Glanz, R.S. & Weinstein, C.E., 1992)

Intinya, metakognitif adalah kesadaran berpikir tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Dalam konteks pembelajaran, siswa mengetahui bagaimana untuk belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang dimiliki, dan mengetahui strategi belajar terbaik untuk belajar efektif.

Strategi Metakognitif untuk Kesuksesan Belajar

Untuk mendapatkan kesuksesan belajar yang luar biasa, guru harus melatih siswa untuk merancang apa yang hendak dipelajari, memantau kemajuan belajar siswa, dan menilai apa yang telah dipelajari. Ada 3 strategi metakognitif yang dapat dikembangkan untuk meraih kesuksesan belajar siswa, diantaranya:

a. Tahap proses sadar belajar, meliputi proses untuk menetapkan tujuan belajar, mempertimbangkan sumber belajar yang akan dan dapat diakses (contoh: menggunakan buku teks, mencari buku sumber di perpustakaan, mengakses internet di lab. komputer, atau belajar di tempat sunyi), menentukan bagaimana kinerja terbaik siswa akan dievaluasi, mempertimbangkan tingkat motivasi belajar, menentukan tingkat kesulitan belajar siswa.
b. Tahap merencanakan belajar, meliputi proses memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas belajar, merencanakan waktu belajar dalam bentuk jadwal serta menentukan skala prioritas dalam belajar, mengorganisasikan materi pelajaran, mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk belajar dengan menggunakan berbagai strategi belajar (outlining, mind mapping, speed reading, dan strategi belajar lainnya).
c. Tahap monitoring dan refleksi belajar, meliputi proses merefleksikan proses belajar, memantau proses belajar melalui pertanyaan dan tes diri (self-testing, seperti mengajukan pertanyaan, apakah materi ini bermakna dan bermanfaat bagi saya?, bagaimana pengetahuan pada materi ini dapat saya kuasai?, mengapa saya mudah/sukar menguasai materi ini?), menjaga konsentrasi dan motivasi tinggi dalam belajar.

Dalam praktik mengajar di kelas, guru direkomendasikan untuk memberikan kesempatan luas kepada siswa untuk saling berdiskusi dan bertukar ide. Harapannya, setiap individu siswa dapat menilai kemampuan diri masing-masing, setiap siswa dapat menentukan kesuksesan belajar dengan menggunakan gaya belajar mereka sendiri, dan yang paling penting, setiap siswa dapat belajar efektif dengan memberdayakan modalitas belajar dirinya sendiri yang unik dan tak terbandingkan.

Satu lagi yang tidak boleh dilupakan, catat setiap pengalaman belajar yang siswa kerjakan. Siswa perlu dibiasakan membuat jurnal harian, yang sangat membantu menterjemahkan setiap pikiran dan sikap siswa dalam berbagai bentuk (simbol, grafik, gambar, cerita). Degan melihat kembali persepsi awal dan membandingkannya dengan keputusan yang dibuat, menjelaskan proses pemikiran tentang strategi dan cara membuat keputusan dalam kegiatan pembelajaran, maka mereka akan mengenali kelemahan dalam pilihan sikap yang diambil dan mengingat kembali kesulitan dan keberhasilan mereka dalam belajar.

Mengapa Strategi Metakognitif itu Penting?

Ketika siswa mampu merancang, memantau, dan merefleksikan proses belajar mereka secara sadar, pada hakikatnya, mereka akan menjadi lebih percaya diri dan lebih mandiri dalam belajar. Kemandirian belajar merupakan sebuah kepemilikan pribadi bagi siswa untuk meneruskan perjalanan panjang mereka dalam memenuhi kebutuhan intelektual dan menemukan dunia informasi tak terbatas. Tugas pendidik adalah menumbuhkembangkan kemampuan metakognitif seluruh siswa sebagai seorang pembelajar, tanpa kecuali.

Apa yang harus dilakukan siswa menghadapi ujian di sekolahnya? Kecemasan berlebihan yang berujung mencontek adalah masalah mendasar terkait refleksi diri, inisiatif dan tanggung jawab diri, perencanaan target diri (goal setting), dan manajemen waktu.

Apa manfaat yang bisa saya dapatkan dari kegiatan ujian sekolah? Apa tujuan saya mengikuti ujian di sekolah? Apakah hanya sekadar mengikuti ujian dan mendapatkan nilai sekadarnya pula? Ataukah, saya punya motivasi untuk mendapatkan nilai terbaik dari usaha terbaik yang dapat dilakukan? Jika jawaban mendasar telah ditemukannya, pada hakikatnya siswa sudah melakukan proses refleksi diri dan penentuan target hasil belajar mereka. Inilah langkah awal yang baik untuk meraih keberhasilan.

Ketika guru menentukan topik tertentu untuk diujikan, maka siswa bertanya pada diri mereka terkait hal-hal, ”Pengetahuan mana yang telah dan belum saya kuasai?; Mengapa saya tidak menguasai materi pada topik ini?; Bagaimana cara saya menguasai topik materi ujian yang belum dikuasai?; Soal-soal seperti apa yang mungkin akan guru saya ujikan nanti?” Dalam konteks ini, siswa sedang mengalami proses untuk mengambil inisiatif dalam menilai pemahaman mereka terhadap topik materi yang akan diujikan. Mereka berinisiatif untuk menyiapkan diri dalam upaya merealisasikan pencapaian target yang telah mereka ikrarkan.

Strategi belajar seperti apa yang harus saya pilih agar hasil ujiannya dapat sesuai harapan?; Apakah saya lebih merasa enjoy belajar dengan menggunakan teknik menghafal?; Saya merasa lebih dapat memahami materi dengan cara mind-mapping, apakah cara mind-mapping cukup tepat untuk saya gunakan pada saat ini dalam menghadapi ujian sekolah?” Pada situasi ini, siswa memilih strategi belajar terbaik mereka untuk dapat mencapai target dalam mengikuti ujian sekolah. Semakin tahu mereka akan modalitas belajar mereka, semakin paham mereka terhadap konsekuensi-konsekuensi dari pilihan strategi belajar yang mereka putuskan, maka peluang siswa untuk mendapatkan hasil ujian sesuai harapan mereka akan semakin besar untuk dapat diwujudkan.

Manajemen waktu, masalah mendasar bagi semua orang, tak terkecuali bagi seorang siswa yang akan menghadapi ujian sekolah. ”Berapa banyak waktu yang harus saya luangkan untuk mempelajari lebih dalam topik materi yang hendak diujikan?; Saya merasa lebih menikmati belajar antara jam 4 – 5 pagi, apakah ini ’jam biologis belajar’ saya?”

Strategi metakognitif menyampaikan satu pesan khusus bagi siapa pun yang ingin menjalani hidup secara efektif, bahwasanya kenyataan hidup yang terjadi pada saat ini adalah akibat dari pilihan-pilihan hidup kita di masa lampau. Hari ini kita jadi orang sukses, hari ini kita jadi orang gagal, bahkan hari ini sekalipun kita jadi orang bingung dengan kelebihan dan kekurangan diri kita, maka hal itu diakibatkan oleh lemahnya diri kita dalam merancang kehidupan kita untuk mencapai level kualitas hidup yang lebih baik.

Inspirasi utama ini sebenarnya yang perlu ditanamkan kepada siswa kita agar menjadi seorang pembelajar mandiri dan pemecah masalah kehidupan yang handal.** TG


Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.


Beranda Sekolah Kita
Tantangan Kepala Sekolah

Satu bulan menjelang akhir tahun ajaran, kisaran bulan Juni pertengahan, Pak Dharmawan, Kepala Sekolah SMP ngetop di Jawa Barat, harus menerima berbagai keluhan dan menghadapi beragam persoalan Guru.
Kedewasaan berfikir, wisdom, dan sikap mengayomi sebagai seorang pimpinan diperlukan untuk mengambil keputusan, mencari solusi atau memberi penguatan kepada para Guru, yang telah menjalani pekerjaan bak seorang actor yang harus memainkan peran ceria, segar, semangat, di tengah kepuruk persoalan yang mendera.

Guru juga manusia! Demikian jargon yang diilhami sebuah lagu. Tuntutan untuk selalu tampil prima di depan siswa, menjadikan Guru juga harus memiliki kemampuan akting, layaknya aktris film.

Lakon yang –mestinya- secara sadar dipilih oleh para Guru, sungguh tidak sama dengan peran dan profesi lain. Kemampuan menyimpan persoalan pribadi, agar tetap nampak bersemangat dan cheers di depan siswa, menjadi layanan penting di sekolah yang mengedepankan semangat pembaruan pendidikan.

Peran Kepala Sekolah, Pricipal, Ketua Yayasan, atau apa pun posisi tertingi di sekolah, umumnya bisa menerima persoalan, keluhan, curhat, dan memberi solusi Guru, di beranda sekolah kita.......

Pak Din dan Sawah Puso

Berangkat dari keluarga petani, Pak Din masih memiliki sepetak sawah di kampungnya, Kranggan, Bekasi. Sawah yang menjadi penghidupan orang tua Pak Din dan adiknya, di musim kemarau ini mengalami puso alias kekeringan. Harus dilakukan pengairan buatan jika tak ingin gagal di musim panen Juli ini.

Biaya yang diperlukan sekitar tiga juta rupiah. Pak Din sebagai sulung, tertimpa amanah nan besar untuk mengatasi hal ini. Ayahnya sudah mengirim pesan lewat seorang kerabat agar Pak Din mengirimkan uang.

Maka, di sebuah sore di bulan Juni, Pak Din menghadap manager sekolah untuk meminjam uang dalam waktu sesegera mungkin .....

Bu Tyas Sang Hero

”Saya mau mengundurkan diri Pak,” demikian kata Bu Tyas lesu saat menghadap kepala sekolah, awal Juni lalu. ”Keadaan keluarga saya sedang terpuruk. Bisnis suami saya gagal total. Kami sudah pindah kontrakan ke rumah mertua. Saya sangat terpukul Pak Sami,” demikian keluhan Bu Tyas pada Pak Kepsek, yang terdiam tanpa kata.
Dia terus mendengar alasan Bu Tyas. ” Saya harus menjadi tulang punggung. Saya harus mencari tambahan biaya hidup. Ijinkan saya mengundurkan diri.”
”Lalu Bu Tyas akan kerja dimana?” tanya Pak Sami tanpa ekspresi. ”Saya...saya akan jadi supir bus way Pak. Kebetulan ada saudara yang memberi kemudahan agar saya bisa masuk di jajaran driver wanita. Dan saya sudah diterima Pak. Ini surat pengunduran diri saya ...”

Rika yang tak boleh menikah degan pilihan hatinya

Hasil PK atau penilaian kerja semester ini menunjukkan hasil yang tidak memuaskan pada kinerja Bu Rika. Pekerjaan lesson plan dan manajemen kelas sangat tak memuaskan. Sebelum keluar surat teguran, rupanya Bu Rika sudah sadar diri. Dia segera menghadap principal sekolah, sambil menumpahkan kegelisahan hatinya.
”Boleh saya mengganggu Bu Ning?” Pinta Bu Rika pada atasannya. ”Saya sedang tidak perform, Bu. Saya merasa capaian kerja saya sangat menurun. Mohon ibu memberi saya waktu, mungkin saya perlu istirahat untuk menenangkan pikiran saya.”

Alis Bu Ning terangkat, penasaran. “Apa yang terjadi?” tanyanya. ”Orang tua tidak menyetujui rencana pernikahan saya dengan pilihan hati saya, Bu. Orang tua masih menganggap saya salah pilih. Calon suami saya bukan sarjana, dan pekerjaannya belum tetap. Tapi saya sangat yakin dia bisa jadi imam saya. Hanya saja saya juga tak mungkin menikah jika tanpa restu orang tua,” jelas Bu Rika, suaranya memarau setengah meratap.
”Ijinkan saya cuti, meski diluar tanggungan ya Bu. Sebulan ini saya akan melakukan refleksi dan pembenahan hati."

Anda pimpinan sekolah, berapa banyak catatan persoalan Guru pada setahun ajaran ini?

Persoalan kontrakan rumah Pak Abi habis, Pak Aziz yang tak mau menjadi koordinator level jika tak ada fasilitas kredit motor, meninggalnya anak Bu Dina yang baru lahir, Bu Citra yang hamil dan butuh istirahat, permintaan pinjam mobil pak Bambang untuk mengantar orangtuanya menjemput adik pak Bambang yang dibawa kabur orang. Lalu ada Pak Didik yang bingung mencari uang masuk sekolah untuk anak sulungnya ke Akabri, Bu Nur yang anaknya sakit melulu, Bu Nawi yang minta posisi baru, Pak Nawis yang mempertanyakan kotrak kerjanya yang diperpanjang melulu, dan segambreng masalah lain -- baik yang terkait karir akademis dan fasilitas kesejahteraan, hingga persoalan pribadi keluarga Guru.

VVC Plus

Dr. Djokosantoso Moeljono, penulis Beyond Leadership, dalam bukunya ”8 Langkah Startegis Menuju Karir Puncak” memberikan rumus VVC = Vision, Value, Courage, sebagai pilar leadership. Jika pimpinan sekolah memiliki VVC, proses mengajar belajar tentunya akan mendapat suasana yang dinamis, problem solving menjadi kebiasaan yang cerdas.

Seorang pimpinan bukan hanya dituntut memiliki kompetensi bidang kerja, namun juga harus memiliki keberanian dan wisdom yang membuat adem rekan kerja dan bawahan.

Beranda sekolah kita, penuh dengan kenyataan hidup. Di sinilah berbagai persoalan harus ditangani dengan pemahaman spiritual yang kental. Kalau tidak, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada proses belajar para siswa, yang dalam keseharian melihat Guru sebagai sosok yang diGugu dan ditiRu.


Ciri-Ciri Kepala Sekolah yang Profesional
Gordon,dalam Mulyasa (2005) memberikan rincian sebagai berikut:
1. Knowledge - Pengetahuan, yakni kesadaran kognitif, agar pembelajaran dapat dilaksanakan secara patut
2. Understanding – Pemahaman pada karakteristik siswa dan karyawan
3. Skill – Kemampuan untuk memberi kemudahan cara belajar bagi siswa dan Guru
4. Value – Nilai-nilai yang digunakan untuk membangun karakter
5. Behaviour – Sikap yang mendukung segala respon yang terjadi, senang susah, suka tidak suka, krisis, gejolak, dll
6. Interest - Minat atau kecenderungan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. ***

*) Arfi D. Moenandaris adalah chief of editor majalah Teachers Guid, praktisi pendidikan, pembicara, dan konsultan pendidikan. Ia dapat dihubungi melalui email:
arfi_tcguide@yahoo.co.id
Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.

Paradigma

10 TANDA Maju Mundurnya Bangsa,
Muaranya Jelas Masalah Pendidikan

Eddy Wiyono M.Com,
Pakar kecerdasan holistik, pembicara tetap radio Smart FM 'Indonesia Strong from Home' .

Seperti disampaikan pada sebuah seminar di Depok, Jawa Barat.

Seorang Thomas Lickona, membuat daftar yang bisa menjadi indikator, apakah sebuah Bangsa mengalami kemunduran. Coba saja berikan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini kepada orang tua siswa. Apakah menurut mereka, hal-hal di bawah ini sudah terjadi di lingkungan mereka ?

Kalau indikasi itu sudah seratus persen terjadi, ini jelas bukan sekedar masalah biasa. Tanda-tanda jaman ini hendaknya menjadi sebuah indikator perpecahan atau kemunduran bangsa. Sekali lagi, ini adalah masalah pendidikan. Bukan masalah kependudukan atau bidang lain semata, yang menuntut kita para Guru, agar kembali menyeimbangkan antara ranah pengetahuan dengan ketrampilan dan sikap.

Inilah indikator itu.
(jawablah dengan YA jika Anda sudah melihat atau merasakan. Jawablah BELUM atau TIDAK, jika Anda rasa hal ini memang belum tampak)

1. Terjadi perilaku kekerasan di lingkungan remaja

2. Meningkatnya penggunaan kata ejekan, makian dan celaan
3. Lebih terpengaruh teman daripada orang tua
4. Seks bebas, alkohol, dan narkoba
5. Merosotnya perilaku moral, dan meningkatnya egoisme diri sendiri
6. Menurunnya nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air
7. Rendahnya rasa hormat pada orang tua dan guru
8. Rendahnya tanggung jawab pribadi pada publik
9. Ketidakjujuran terjadi di mana-mana
10. Rasa saling curiga antar sesama warga negara

Berapa kali sehari kita bisa mencermati tanda-tanda kemunduran ini sedang berlangsung? Coba ajak anak naik kendaraan umum. Kereta api dalam kota atau bus kota. Jika penumpang sudah penuh, ada nenek-nenek naik, apakah masih ada yang akan memberikan kursi bagi nenek tersebut?

Atau jika kita sendiri sedang mengendarai mobil, melintasi traffic light. Jika lampu menunjukkan warna kuning yang sedianya untuk memberi peringatan bersiap, alih-alih memperlambat kendaraan,yang terjadi justru tancap gas agar tak kena lampu merah. Duh......

Apa yang terjadi dengan genk Nero di Salatiga? Berapa banyak anak didik Anda kenal lagu kebangsaan dan punya sikap menghargai tetangga yang berbeda agama? Lagu Indonesia Raya pun jarang diperdengarkan tiap hari Senin. Upacara bendera menjadi kegiatan yang terkesan jadul.

Nah... segeralah berbenah untuk meminimalisir indikator di atas. Jika itu sudah terjadi di lingkungan kita, apa yang bisa kita lakukan? Anda para pengajar dan pendidik, pahami dan maknai indikator kemunduran bangsa dari Thomas Lickona ini sebagai tantangan. Keteladanan Anda haruslah seimbang dengan pembelajaran yang Anda berikan.*** TG

*Artikel ini diterbitkan pada Teachers Guide Vol 2, No.06/2008

School Concept

Mengintip Model-model Pembelajaran ala Pesantren

Individual learning, cooperative learning, round table discussion, experiental learning, outing, adalah metode yang belakangan menjadi ikon pembaruan pendidikan, yang umumnya dikenal datang dari negeri lain.

Tak banyak mungkin yang tahu, metode-metode itu ternyata sudah menjadi cara belajar ala pesantren sejak sebelum jaman kemerdekaan. Terdengar canggih, seringkali istilah asing yang datang dari luar itu menjadi trend, yang kerap menjadi metode unggulan sebuah sekolah.

Pesantren, sebuah lembaga keagamaan yang mengemban amanah pendidikan dan pengajaran, mungkin hanya dapat ditemui di wilayah Indonesia. Interaksi aktif antara ustadz dan santri ini kerap dilakukan di mushola atau beranda masjid.

Jauh sebelum kemerdekaan, pesantren telah menjadi sistem pendidikan di hampir seluruh pelosok Nusantara, dengan kajian utama ilmu agama. Di sekolah modern sekarang ini, nama-nama metode di pesantren lebih dikenal sebagai metode individual, klasikal.

Metode Sorogan

Menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individu). Dilakukan di ruangan, dengan posisi sang Ustadz berhadapan dengan meja pendek, yang digunakan untuk meletakkan kitab. Ustadz memberikan koreksi seperlunya. Sementara teman lain yang menunggu giliran, duduk bersila agak jauh dibelakang, sambil menyimak apa yang diajarkan. Setiap santri harus sudah mempelajari dan menguasai bab atau sub-bab pada kitab yang akan di-sorog-kan sesuai target pembelajaran.

Evaluasi terhadap metode sorogan inipun telah tersistem. Santri diminta menjelaskan teks materi bab, bagian,topik yang telah dibahas pada pertemuan sebelumnya. Jika sudah betul, materi lanjutan baru diberikan. Jika sebaliknya, santri harus mengulang kembali.

Metode Bandongan

Disebut juga metode wetonan. Ustadz memberikan pelajaran kepada sekolompok santri yang akan mendengar dan menyimak kitab yang dibaca oleh Ustadz, kemudian menterjemahkan dan menerangkan serta mengulas teks kitab berbahasa Arab. Santri memegang kitab yang sama, sambil melakukan pencatatan simbol-simbol dan arti kata, langsung di bawah kata yang dimaksud.

Kegiatan dilakukan sambil duduk melingkar. Proses tanya jawab bisa dilangsungkan, karena sebelumnya, santri suah membaca bab yang akan dipelajari. Santri lain diberi kesempatan menjawab pertanyaan jika tahu. Pada beberapa pesantren yang telah memiliki peralatan, alat bantu dipakai pada metode ini, seperti papan tulis, OHP, peta, dan pengeras suara.

Metode Bandongan menciptakan komunikasi yang baik antara ustadz dan santri, karena ustadz dituntut untuk memperhatikan situasi, apakah sikap santri sudah siap belajar (bandingkan dengan teori konstruktivisme, yang mensyaratkan siswa diberi pembelajaran, berdasar pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya).

Tahap evaluasi pada metode ini sudah sangat mendekati evaluasi di abad paradigma baru. Pada saat khatam (akhir penyelesaian) sebuah kitab, aspek kognitif, sikap atau perilaku dan ketrampilan semuanya dievaluasi, yang tentu saja lebih komprehensif karena siswa tinggal seharian di pesantren.

Metode Musyawarah/Bahtsul Masa’il

Ini mirip dengan metode seminar. Beberapa santri membentuk halaqah (musyawarah) yang dipimpin langsung oleh ustadz untuk membahas persoalan tertentu. Santri bebas berpendapat ataupun bertanya. Cara ini membuat santri meningkatkan daya analisis dan problem solving. Morning talk di sekolah active learning mungkin dapat menjadi bandingannya.

Peserta musyawarah tidak memiliki perbedaan kemampuan yangmencolok, agar kegagalan musyawarah dapat diminimalkan. Dalam pembelajaran mult kecerdasan, hal ini dekat dengan pengelompokan siswa dengan karakter dan gaya belajar yang sama, sehingga lebih memaksimalkan proses.

Evaluasi dilakukan dengan menilai kualitas pertanyaan santri, yang meliputi logika, ketepatan, referensi, serta bahasa penyampaian

Metode Pengajian Pasaran

Inilah kegiatan belajar kelompok yang dilakukan secara maraton selama tenggang waktu tertentu, tergantung besar kecilnya kitab yang dikaji. Target utamanya adalah menyelesaikan bacaan kitab secara lebih cepat. Waktu istirahat yang digunakan hanya pada waktu shalat dan makan, dan urusan toilet saja.

Metode hafalan (Muhafadzah)

Cara menghafal teks tertentu di bawah pengawasan Ustadz. Hafalan yang sudah dimiliki, kemudian didemonstrasikan.

Metode Rihlah Ilmiah

Kini lebih dikenal dengan study tour, outing atau fieldtrip. Kegiatan mengunjungi objek untuk dilihat dan dipelajari secara langsung.

Sebelum berangkat ke tempat tujuan, santri telah mendapat penjelasan dan gambaran tugas yang harus dikerjakan, tujuan serta waktu pelaksanaan. Setelah selesai, lantas dilakukan rumusan hasil pengamatan. Semua tahapan ini akan mendapat penilaian.

Metode Muhadatsah

Latihan bercakap-cakap dalam bahasa Arab. Khusus pemula, kegiatan ini dilakukan pada waktu tertentu. Di beberapa pesantren, ditambahkan Bahasa Inggris. Seringkali disandingkan degan latihan berpidato. Untuk membiasakan bahasa, santri berlatih dalam kelompok-kelompok kecil,kemudian meningkat di arena-arena tertentu, sampai akhirnya harus selalu menggunakan bahasa Arab dan Inggris dalam keseharian, kemudian memberi komentar.

Nama benda dan ruang-ruang ditulis dengan bahasa Arab dan Inggris. Persis seperti cara berekspresi di sekolah modern kan ?

Metode Mudzakarah

Kegiatan ini adalah acara temu ilmiah. Bahasan yang ditampilkan justru sangat dekat dengan permasalahan lingkungan terdekat. Kegiatan ini terjadwal secara periodik, antara satu hingga dua bulan sekali.

Nah, mestinya
kita lebih bersemangat menggali konsep dan metode pendidikan asli negeri sendiri, yang terkesan jadul sekalipun. Susan Stangel, mantan direktur FEE, sebelum pulang ke negaranya pernah menyatakan bahwa negeri kita ini sangat tidak mau menggali kekayaan khasanah pendidikan yang sesungguhnya sudah dimiliki. Jangan hanya terpesona dengan metode yang datang dari luar, yang belum tentu sesuai dengan iklim dan karakteristik sendiri.** TG

*) Arfi D. Moenandaris adalah chief of editor majalah Teachers Guid, praktisi pendidikan, pembicara, dan konsultan pendidikan. Ia dapat dihubungi melalui email: arfi_tcguide@yahoo.co.id Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.

Paradigma

Sekolah Negeri dan Swasta,
Apa Bedanya Sih?

Kalau Anda sempat, cobalah bikin data kecil-kecilan. Tanyakan pada siswa atau orang tua siswa yang lulus dari sebuah sekolah swasta, yang lanjut ke sekolah negeri. Buatlah perbandingan dari sisi yang ringan-ringan saja. Apa saja yang tampak beda? Betulkah geliat sekolah Negeri sudah menyentuh sampai pencermatan karakter dan potensi unggul siswa, seperti halnya layanan yang diunggulkan oleh sekolah swasta?

Mami Maria, Ibunda dari Keysa, 12 tahun, baru lulus SD. Sang Mami paham betul dunia pendidikan, karena sehari-hari menjadi konsultan Riset & Development sebuah sekolah ternama.

Melihat kesiapan Keysa selepas SD, yang tampak cukup konsisten secara tata emosi dan konsep diri, Mami memutuskan untuk memasukkan Keysa di SMP Negeri yang konon favorit.

Sebuah SMP negeri di bilangan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan menjadi pilihan, meski jarak tempuh sedikit jauh. Sekolah ini tampak sangat tertata, bersih, lay out sekolahnya juga enak. Tampak ada upaya membuat sekolah menjadi nyaman.

Sebelumnya Mami sempat menemui wakil kepala sekolah, berbincang megenai segala hal. “Sebuah awalan yang baik, karena tak setiap sekolah negeri mau menerima calon orang tua siswa untuk berbincang seperti halnya di sekolah swasta,” kata Mami.

“Dari diskusi kami, saya cukup melihat sebuah dinamika pengajaran yang dilakukan di SMP ini. Wakasek itu mengatakan bahwa sekolah ini tidak melihat hasil saja, namun mencermati seperti apa input awal, kemudian dilihat dalam prosesnya. Jika sudah tampak kemajuan dan grafik yang meningkat, itu berarti sekolah ini sudah melakukan proses pengajaran. Hmmm………sebuah pemahaman yang nampaknya sederhana, namun inilah sesungguhnya esensi sekolah yang benar,” lanjut Mami.

Tujuh minggu kemudian....

Hari-hari beranjak sudah, sejak Keysa resmi menjadi siswa di SMP Negeri dengan predikat SSN, Sekolah Standar Nasional itu. Mami cukup arif mengamati perkembangan proses belajar. Setiap hari dibincangkan apa-apa yang terjadi di sekolah, kadang diselingi dengan gelak tawa ibu anak yang tampak kompak itu.

Mami cukup menahan diri, dengan tidak serta merta membandingkan keadaan sekolah Keysa sekarang dengan di SD nya, yang juga memiliki tingkat SMP, yang active learning. “Dari awal juga saya sudah mempersiapkan diri saya, agar tak terlalu menuntut keadaan dan layanan yang sama dengan sekolah sebelumnya,” kata Mami dengan manis.

Namun cerita Keysa dalam sebulan ini, tak ayal sering membuat Mami tercenung di malam-malam setelah putrinya tertidur. “Emmmm…….ternyata kondisinya masih seperti puluhan tahun lalu, masih konvensional. Meski secara fisik dan kasat mata sudah nampak berubah, namun hal-hal yang menyangkut komunikasi dan mind set pengajaran masih ajeg saja.”

Cerita Keysa makin mendebarkan ...

”Hampir setiap guru ngabsen anak setiap harinya. Panggil nama satu-satu gitu. Kemarin waktu perkenalan, kita disuruh maju. Ada temenku cowok yang memang tubuhnya tak terlalu standar, masak dibilang sama guru: ”eh..kamu, berdiri donk!”, padahal temenku itu udah diri di depan. Hmm... Gurunya aja bullying gitu,” cerita Keysa suatu hari pada Mami.

”Hampir semua Guru ngasih pelajaran dengan cara mendikte, kadang kita disuruh nyalin dari papan tulis. Hanya Guru PKN yang nggak minta kita nyatet. Tapi kita disuruh diem dengerin. Begitu bel bunyi jam 07.15, langsung buka buku,” cerita Keysa dengan seru, di meja makan saat santap malam bersama.

”Memangnya nggak ada omong-omong pembuka dulu gitu, atau games penyemangat Key?" tanya Mami. ”Ya nggak lah. ...,” jawab Keysa enteng.

”Oh ya, aku sudah nggak bisa ikut ekskul basket, Mi. Udah telat,” lanjut Keysa.
”Lho.. kan belum ada edaran soal ekskul?” tanya Mami.
”He..he...Mami, emang kayak di SD ku dulu, apa-apa diberitakan tertulis,” jawab Keysa sambil angkat bahu.

Di suatu sore, ”Mi, guruku koq nggak ada yang nanya-nanya secara lebih deket ke aku ya. Dulu, wali kelasku kan tahu persis keadaanku, perasaanku, sampai hobyku kan ya Mi,” kata Keysa setengah bertanya.
”Hey hey, ya iya lah......, di SD kan muridnya cuma 25 sekelas. Sekarang temenmu kan 40. Mana sempat Gurumu nanya-nanya.” Giliran Mami yang angkat bahu.

Perbedaan Itu .....

Cerita Mami Maria dan Keysa di atas dapat kita renungkan secara konteks pengajaran di tengah perubahan paradigma saat ini. Mestinya semua sekolah, semua guru, tak beda negeri atau swasta, dapat menyikapi perubahan demi kesiapan siswa memenangkan masa depannya di zaman Globalisasi.

Guru yang bullying terhadap muridnya, cara ngajar yang tak tersentuh quantum teaching, komunikasi ke orang tua yang tak mulus hingga sentuhan siswa yang kering. Kalau mau ditelusur lagi, pastilah masih akan ada sederet kekurangan.


Adakah benar, sekolah negeri telah menggeliat? Serbuan peminat yang membludak tahun ini ke sekolah negeri, disinyalir tak mampu menampung lulusan SD. Bahkan siswa yang semula di sekolah swasta bagus pun, berlomba menjajal keunggulan sekolah negeri, sembari mengadu NEM.

Kenyataan yang dihadapi Keysa, masih akan berkisar tentang CARA Mengajar Guru, antara lain:
1. Guru yang tahunya hanya menghukum secara fisik. Jika nilai ulangan siswa di bawah 6, maka siswa diwajibkan push up atau scot jump.
2. Siswa yang tak bisa menjawab pertanyaan, dijewer kupingnya.
3. Siswa wajib memakai sepatu merek (jenis) tertentu.
4. Guru PLKJ, yang sesungguhna materinya sangat menarik, ternyata menyampaikannya dengan membaca teks. Anak diminta DIAM MENDENGARKAN.
5. Guru TIK, yang hanya bisa marah manakala siswa tak paham. Sementara Guru hanya bicara saja di depan kelas.

Inilah kenyataannya. Perubahan paradigma bergulir, namun geliat sekolah menengah negeri (tertentu) yang kini diserbu, sayangnya tak banyak yang melakukan transformasi.

Sekolah boleh berbenah secara fisik, dan berlabel sekolah standar nasional. Namun cara mengajar Guru dan peraturan yang sehari-hari dikenakan kepada siswa nyatanya masih berkutat pada gaya yang itu-itu saja.** TG

*) Arfi D. Moenandaris adalah chief of editor majalah Teachers Guide, praktisi pendidikan, pembicara, dan konsultan pendidikan. Ia dapat dihubungi melalui email: arfi_tcguide@yahoo.co.id
Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.

Paradigma

Geliat Sekolah Negeri

di Tengah Biaya Tinggi

Gejolak harga yang mengangkasa yang dipicu oleh naiknya harga BBM, menyurutkan banyak orang tua yang akan melanjutkan studi buah hatinya ke sekolah swasta pilihan. Mahalnya biaya pendidikan di sekolah swasta, disinyalir menjadi salah satu pemicu.

Namun ada yang menarik disimak. Rintisan sebagai sekolah bertaraf internasional dengan SBI nya di sekolah negeri, ternyata menjadi daya tarik luar biasa bagi orang tua yang awalnya sudah memilih sekolah dengan wacana pemerdekaan pendidikan, sebuah wacana yang saat ini hanya bisa dijumpai di sekolah swasta dengan paradigma baru.

Sekelompok orang tua, ayah-ayah, ibu-ibu, ada yang sudah setengah baya, tapi ada pula yang masih rada ”kinyis-kinyis”, tampak mengerumuni papan pengumuman di sebuah SMP Negeri. Putra-putri mereka adalah lulusan dari SD swasta yang cukup ternama. Perbincangan mereka yang utama adalah soal nilai kumulatif rata-rata UASBN, yang baru pertama digelar di tingkat SD.

Pak Indra, ayah dari Bunga, tidak menemukan SMP yang sekualitas SD nya si Bunga. ”Daripada meneruskan di sekolah swasta yang ”biasa-biasa saja”, mendingan saya pilih sekolah negeri tertentu yang kabarnya sudah banyak kemajuannya”. Demikian alibi Pak Indra.

Perubahan atau Trend

Prosedur pendaftaran di sekolah negeri adalah ”tinggi-tinggian NEM”. Artinya, kecerdasan majemuk menjadi tidak terapresiasi dengan baik.

Kenyataan ini tak dihiraukan oleh banyak orang tua. Mereka seolah lupa dengan pandangan dan pemahaman yang selama ini sudah mereka miliki, di tengah perubahan paradigma pendidikan baru, yang tidak hanya menjunjung tinggi nilai dan angka sebagai panglima, namun lebih pada pembentukan karakter dan pengembangan konsep diri.

Pak Riki dari Sekolah Islam Al Fikri di Depok, Jawa Barat, mensinyalir, minat orang tua meneruskan ke SMP negeri, dipicu oleh tiga hal. Yang pertama, pesona SBI atau sekolah berstandar internasional, yang menjadi daya pikat sekolah negeri rintisan. Kedua, masih kuatnya paradigma angka atau nilai lulusan, agar nantinya memudahkan masuk ke Universitas Negeri, dengan alat ukur seleksi melalui testing. Ketiga: ”Ya faktor biaya itu, meski ini masih asumsi saya ya,” kata Pak Riki, yang dihubungi melalui telefon, pada hari-hari orang tua sibuk mencari sekolah pilihan.

Soal SBI itu

Alasan mereka mendaftarkan anak ke sekolah negeri, terindikasi oleh adanya motivasi akademis yang kental. Simak cerita Mama Henny. Putra sulungnya, Ikram, mendaftar ke SMP go international di Kebayoran Jakarta Selatan. Dengan biaya yang relatif terjangkau, putra mereka bisa merasakan layanan sekolah bertaraf internasional, meski masih terbatas pada pemahaman dan ketrampilan berbahasa Inggris yang lebih banyak dibanding sekolah reguler biasa. Lima mata ajar disampaikan dalam bahasa Inggris, dan buku-buku paketnya keluaran Singapura. Oh ya, juga karena sekolah itu sudah mendapatkan sertifikat ISO

Mama Henny tinggal di daerah Ragunan, dan berkecimpung di sebuah Yayasan pengembangkan kualitas Guru, sesungguhnya merasa eksklusifisme ini kurang egaliter. Di tengah lingkungan keluarga dan rumah, Ikram diajarkan untuk berlatih menghargai kesederhanaan. Ikram sekolah diantar sepeda motor..

Lain lagi cerita Ibunda Restu, yang pernah tinggal di Jepang, dan menamatkan sekolah dasar swasta di Depok yang cukup bergengsi. Bunda Restu memilih fasilitas yang lebih memadai, ber-AC, menggunakan multi media, jumlah siswa ebih sedikit daripada yang reguler. Menurutnya, fasilitas berbanding lurus dengan kemajuan. Perubahan wajah di sekolah negeri ini cukup dapat memikat Bunda Restu yang sesungguhnya sangat paham dengan perbandingan sekolah konvensional dan sekolah active learning.

Ibu Lilis, ibu dari Bima yang lulusan SMP AL Azhar Bekasi, memilih SMA Negeri dengan alasan mencari sekolah yang terbukti dapat mengantarkan lulusannya lolos perguruan tinggi secara rombongan (karena saking banyaknya yang masuk ). Sudah menjadi tradisi, bahwa SMA Negeri pilihannya selalau menelurkan lulusan super, yang tembus perguruan tinggi ternama macam UGM, UI dan ITB. Ketika ditanya, apakah memilih SMA Negeri karena murah, Bu Lilis yang modis menolak wacana itu: ”Wow, di SMA pilihan saya bayar uang masuk dan spp nya juga mahal,” katanya.

”Sekolah itu sudah memilih bibit unggul. NEM nya sangat tinggi. sekolah tinggal memoles saja. Mau dikasih materi apa juga hayuk, wong dasarnya sudah pinter-pinter,” jelas Bu Lilis yang asli Yogya dengan nada bangga. Mhh... Bu Lilis hanya menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri selepas dari TK, SD, SMP swasta pilihan, agar anaknya mendapatkan pembelajaran yang menyenangkan.

Sedangkan Ibu Indra, mama dari Sandra, memberi alibi yang canggih. Dia merasa, putrinya telah mengenyam pendidikan dasar dengan sentuhan individual yang baik. Kini, Sang mama ingin anaknya melihat kehidupan yang lebih kompleks, yang lebih majemuk. Masuk ke sekolah negeri disinyalir akan meningkatkan kompetisi, meski tanpa sentuhan privat seperti di sekolah sebelumnya.

Namun hasil temuan kami secara acak menunjukkan, faktor biaya yang relatif lebih ringan, bahkan di SMP Negeri di Jakarta cenderung gratis, adalah alasan mutlak yang pada akhirnya mereka kemukakan. Perihal kebangkitan dan peningkatan mutu sekolah negeri, konon bukti-buktinya belum sepenuhnya mereka lihat. Dari cerita-cerita kebanyakan orang tua yang sudah masuk ke sekolah negeri, yang paling menonjol perbedaannya adalah pada proses HOW TO atau CARA pengajaran.

Jadi, benarkah serbuan ke sekolah negeri di tahun ajaran ini berdasar geliat kemajuan sekolah Negeri? atau sesungguhnya itu hanya alibi untuk menutupi tingginya biaya pendidikan yang makin meroket di sekolah partikelir, yang kurang dapat dijangkau oleh sekalangan orang tua? Rasanya harus dilakukan survey dan observasi yang lebih mendalam.** TG

*) Arfi D. Moenandaris adalah chief of editor majalah Teachers Guide, praktisi pendidikan, pembicara, dan konsultan pendidikan. Ia dapat dihubungi melalui email: arfi_tcguide@yahoo.co.id
Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.
Nggak Pakai Penghapus,
Makin Berfikir Serius

Ketika berkunjung ke sekolah Tara Salvia, sebuah sekolah di kawasan Bintaro, Tangerang, ada hal yang menggelitik. Anak-anak di sekolah itu tidak dibiasakan menggunakan penghapus. Apa gerangan maksudnya?

“Kami mengajarkan anak-anak belajar dari kesalahan. Berbuat salah itu bukan sesuatu yang memalukan, yang harus ditutupi dengan segala alibi. Jadi kalau anak salah menulis kata, atau salah menggabungkan kata, cukup dicoret saja, kemudian anak membetulkan di samping atau di bawahnya,” demikian Bu Angie Siti Anggari, principal Sekolah Tara Salvia.

“Bahkan ketika menggambar, saya masih melihat di banyak sekolah anak menghapus hingga berkali-kali. Sampai kertasnya lecek!” lanjut Bu Angi geli.

“Latihlah anak untuk berfikir dahulu sebelum membuat suatu gambar atau menuliskan sesuatu. Ini penting agar anak terbiasa melakukan sesuatu berdasar pemikiran terlebih dulu, dan justru tidak takut untuk berbuat salah,”

Guru dan orang tua sering melakukan learning shut down. Kalau kesalahan yang dilakukan anak harus segera dihapus, anak jadi tidak belajar, bahwa dia pernah membuat kekeliruan. Bukti kesalahan itu perlu anak lihat dan ingat serta cermati, agar tidak lagi melakukan kesalahan. Think Before Act, begitulah kredonya. *** TG


*) Artikel ini disusun oleh Majalah Teachers Guide
Bila yang Kaya Menyerbu Negeri,
Dikemanakan yang Tak Berpunya?
Nirma Lestari, praktisi pendidikan, tinggal di Depok, Jawa Barat

Ibu saya kebetulan memiliki 2 sekolah menengah di Kota Depok, Jawa Barat. Satu di jenjang SLTP & SMU dan dibangun sejak tahun 1984, kemudian satu lagi baru 3 tahun berdiri dan berada di jenjang TK-SD-SLTP-SMU & SMK Broadcast pertama di Indonesia, keduanya berstatus "Disamakan".

Sebagai anaknya, saya tentu diminta untuk selalu ikut "bergabung" mengurusi manajemen kedua sekolah ini sehari-harinya meskipun saya masih berstatus mahasiswi. Banyak hal yang saya pelajari mengenai masalah-masalah pendidikan. Salah satunya mengenai pola pikir masyarakat terhadap sekolah yang dinamakan "Sekolah Negeri".

Sekolah Negeri pada dasarnya penyelenggaraannya diadakan oleh dan atas dana Pemerintah, mulai biaya pembangunan gedung, penyediaan fasilitas, belanja ATK, listrik, telefon, gaji guru dan karyawan yang semua adalah PNS. Di negara lain pun sekolah negeri adalah milik pemerintah dan semua dana berasal dari pemerintah. Sekolah swasta dibangun untuk membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak bangsa, membantu menyediakan daya tampung, membantu mengurangi Anggaran Pengeluaran/Belanja Pendidikan.

Karena dibiayai pemerintah, seharusnya (seperti negara maju lain), GRATIS/ BEBAS BIAYA bagi semua siswanya. Kalau pun kita harus membayar, tidaklah besar jumlahnya, sekedar membantu kesejahteraan guru atau pengembangan SDM dan siswa atau operasional seadanya.

Sekolah swasta, memerlukan banyak biaya yang datangnya dari pemilik sekolah. Tidak heran apabila untuk bisa menikmatinya, siswa harus membayar sejumlah biaya yang besarnya bervariasi tergantung keadaan sekolah. Sekolah swasta hadir untuk melayani masyarakat dari yang berpenghasilan rendah menengah sampai yang tinggi. Sekolah Negeri seharusnya ditujukan bagi siswa dari keluarga yang berpenghasilan KECIL, baik berintelegensia tinggi sampai yang biasa saja! Sementara bagi mereka yang berpenghasilan tinggi, diharapkan masuk ke sekolah-sekolah swasta!

TAPI APA YANG TERJADI?! Semakin hari semakin bisa kita lihat, dan diantara Anda pasti ada pula yang merasakan, bahwa saat ini justru sebagian besar masyarakat berpola pikir "NEGERI MINDED"..

Apa pula istilah itu? "NEGERI MINDED" adalah pola pikir yang terbentuk dalam benak masyarakat, baik kaya maupun miskin, yang menganggap bahwa sekolah negeri is the best, is everything, so proudly. Akan sangat membanggakan apabila anak-anak mereka bisa diterima di sekolah negeri.

Pola pikir semacam itu terasa kental sekali pada masyarakat yang akan memasuki jenjang pendidikan khususnya SLTP dan SMU! Bahkan yang di universitas sekalipun! Semua orang berbondong-bondong menyerbu kesana. Termasuk yang kaya sekalipun! Bangku yang seharusnya diisi semua siswa yang kurang mampu, ikut diperebutkan oleh mereka yang mampu secara finansial.


Keadaan lebih diperburuk dengan adanya KOLUSI dan NEPOTISME. Kami menemukan di lapangan, banyak sekolah negeri yang rela disogok jutaan rupiah agar bisa masuk (Rp 5-10 juta seperti kenyataan yang kami temukan di lapangan dengan SPP sekitar Rp 150.000,-)! Yang resmi dikenakan uang masuk sekitar Rp. 2-3 juta per siswa! Padahal uang Rp 2-10 juta itu bisa digunakan untuk bersekolah di swasta yang notabene fasilitasnya lebih lengkap.

Nah, kalau sekolah negeri penuh orang tua berpenghasilan tinggi, lalu akan pergi kemana mereka yang tak berpunya? Sekolah mana yang tersisa buat mereka? Swasta? Semurah-murahnya swasta lebih mahal daripada Negeri. Akankah kita sekalian tega membiarkan mereka sudah jatuh tertimpa tangga pula?

Saya ingat perkataan ibu,"Kalau orang tuanya tukang bakso, anaknya boro-boro jadi juragan bakso, yang ada jadi lebih buruk dari tukang bakso! Boro-boro mau lebih maju, sekolah saja tidak dapat tempat!" Alasan klasik, kebanyakan mengatakan bahwa mutu pendidikan sekolah negeri lebih baik. Siapa bilang? Lihatlah kenyataannya, sekolah swasta elit di Jakarta, seperti Pelita Harapan, Al Izhar, Santa Ursula, dll, lulusan mereka hampir semuanya bagus-bagus. Bahkan kalau NEM ujian UAN dipakai indikator, justru nilai tertinggi seringkali diraih mereka.

Saya imbau Anda semua yang berpenghasilan cukup untuk menyekolahkan anak Anda ke sekolah swasta. Berikanlah kesempatan bagi mereka yang kurang beruntung untuk bisa ikut menikmati pendidikan. Dengan demikian Anda turut secara nyata membantu proses pencerdasan bangsa ini. ***

*)Tulisan ini dimuat pada Teachers Guide edisi No.06 Vol.2 Tahun 2008

September 23, 2008

OPTIMALISASI KECERDASAN KINESTETIK
dan Efeknya pada Kecerdasan Lain


by M. Muhyi Faruq, S.Pd., M.Pd.
Direktur KINESIA Kinestetika Indonesia.
Staf pengajar di Great Crystal International School.
Penulis buku “100 Permainan Kecerdasan Kinestetik”, Grasindo.


Cerdas raga atau kecerdasan kinestetik merupakan salah satu dari dari 8 (delapan) kecerdasan yang digulirkan Howard Gardner.

Kecerdasan kinestetik identik dengan aktivitas jasmani (gerak) yang merupakan ekspresi ide dan perasaan dalam mencipta atau mengubah sesuatu. Aktivitas jasmani ini merupakan dasar bagi anak untuk mengenal diri sendiri, dan lingkungan sekelilingnya serta mengenal dunia.

Kecerdasan kinestetik fokus pada kemampuan gerak berupa kecepatan (speed), kekuatan (strength), kelentukan (flexibility), koordinasi (coordination), ketepatan (accuracy), serta keseimbangan (balance).

Berbagai macam kemampuan gerak tersebut digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan sehari-hari yang dihadapi anak melalui gerakan-gerakannya yang jenius.

Untuk tingkat pengembangan kecerdasan ini, diperlukan suatu desain yang menarik dan menantang, dalam bentuk kegiatan permainan dengan melihat faktor-faktor apa saja yang menjadi target utama untuk dikembangkan.

Misal, mengembangkan kemampuan gerak khusus anak yang berkaitan dengan kecepatan. Contoh permainan berkelompok untuk anak kelas rendah di sekolah dasar (lower primary) adalah ”permainan menyetir mobil”. Permainan ini cukup sederhana, namun punya efek positif untuk mengembangkan kecerdasan kinestetik serta kecerdasan yang lain.


Cara melakukannya, anak diatur menyebar di ruang kelas (atau hall, gym). Buat kelompok kecil, sekelompok hanya dua anak. Setelah dapat pasangan, pegang bahu pasangan dengan kedua tangan, dengan posisi menghadap ke depan semua atau searah. Yang berada di depan memejamkan mata, anak yang berada di belakangnya sebagai seorang sopir.

Pada saat kegiatan bermain dimulai, semua anak bebas bergerak mengarahkan temannya ke mana ia suka. Yang harus diingatkan, jangan sampai bertabrakan. Saat anak-anak bergerak, mereka mulai memahami cara melangkah atau berlari dengan cepat – yang berarti mengembangkan kecerdasan kinestetik.

Ketika belok kanan, belok kiri, mundur, maju, atau berputar agar ’mobil’ yang satu tak bertabrakan dengan mobil lainnya, untuk kegiatan ini mereka sudah mengembangkan kecerdasan visual spatialnya. Permainan ini tidak hanya dilakukan secara perorangan, tetapi juga berpasangan dan berkelompok.

Berikutnya anak-anak mencoba sebuah alat transportasi yang panjang dan besar misalkan bus. Maka, buat satu kelompok tiga sampai empat anak, tiga orang posisi mata tertutup sambil memegang bahu temannya, sedangkan yang paling belakang menyetir kemana tiga temannya akan diarahkan. Dengan cara ini mereka diajak untuk mengembangkan kecerdasan interpersonalnya.

Kegiatan bermain menyetir mobil ini bisa dilombakan kecepatan, keseimbangan dan kekuatan dengan cara berjalan dengan cepat dari garis awal ke garis akhir secara bersamaan dengan satu penyetir dimana mata mereka di tutup. Untuk memenangkan lomba ini butuh strategi, ketika mereka mendisain strategi bersama anggota kelompok pada saat itu mereka telah mengembangkan kecerdasan logika matematika, pada saat diskusi mendisain strategi mereka di juga mengembangkan kecerdasan bahasa, menyampaikan gagasan kepada teman yang dengan bahasa-bahasa sederhana yang disetujui oleh semua anggota kelompok, atau justru terjadi perdebatan yang lama untuk menentukan strategi apa.

Satu permainan saja sudah mampu memberikan kontribusi positif terhadap beberapa kecerdasan anak, diperlukan kreativitas yang tinggi, subur ide-ide dari para guru dalam mendisain berbagai permainan agar anak-anak memperoleh manfaat seluas-luasnya dalam bermain, bukan sekedar bermain yang tanpa makna.

Selamat berinovasi dan menjadi disainer-disainer yang andal di masa mendatang untuk dunia pendidikan. **
(Dimuat di majalah Teachers Guide No.6 Vol II, 2008)




SIAP BERUBAH
: CHANGE READINESS


Semangat Kebangkitan Nasional menjadi aroma yang menggugah sepanjang tahun 2008 ini. Sangat banyak kegiatan yang dilakukan untuk mengingatkan kembali perjuangan kaum terdahulu, yang pernah mendulang sukses memperjuangkan gerakan pembaharuan.

Kini, di tengah transformasi di segala bidang yang terus menggerus nilai-nilai kebangsaan, kita dihadapkan pada sebuah pilihan: mau berubah sekarang atau tertinggal di belakang? Perubahan membutuhkan kesiapan. Change Readiness, menjadi wacana yang makin hangat dibincangkan. Persoalannya tentu tidak semudah dibayangkan.

Perubahan akan mengakibatkan ketidaknyamanan pada awalnya. Perubahan akan menjungkirbalikkan tatanan yang selama ini sudah enak dinikmati sebagian orang.

Golongan pertama adalah orang yang tidak mau berubah. Kelompok kedua, tahu pentingnya perubahan, namun masih belum mau beranjak. Sedangkan golongan ketiga, yakni kaum reformis yang easy going, ke mana perubahan akan dilakukan mereka siap sedia.

Sebagian dari kita tentu setuju dengan perubahan. Tapi apakah kita juga siap akan dampak perubahan itu? Konsekuensi perubahan bukan hal yang mudah. Jadi? ”Managed change! Or loosed!” Nah, mari kita makin pertajam perubahan paradigma ini dengan meningkatkan kemahiran menjabarkan hal-hal berikut : Why Change? Can We Change? How to Change? When to Change? dan Who the Change?
Menyeruak pula wacana mengenai ekonomi kreatif yang bersandar pada ragam kebudayaan yang kita miliki. Setelah revolusi industri dan revolusi teknologi yang kini sedang berlangsung, maka kejayaan warisan bangsa akan kembali menjadi keunggulan potensial.

Bagaimana kita harus berubah dalam keteraturan? Sekaligus teratur dalam perubahan? Ah... mungkin ini hanya sekedar permainan kata-kata. Tapi kita yang tercelup di arena pengajaran dan pendidikan, kata per-kata dalam perubahan bisa menjadi motor penggerak. Kalau gamang melihat perubahan yang terjadi di sekitar kita, mari kita menjadi lakon dalam layar kehidupan ini.

Salam Pendidikan
Arfi D. Moenandaris

*) Arfi D. Indrawan Moenandaris adalah publisher & chief of editor majalah Teachers Guid, praktisi pendidikan, pembicara, dan konsultan pendidikan. Ia dapat dihubungi melalui email: arfi_tcguide@yahoo.co.id Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.