Mei 03, 2010

Mengintip Program 100 Hari Depdiknas


1. Penyediaan internet secara masal di 17.500 sekolah.
2. Melatih 30.000 kepala dan pengawas sekolah untuk penguatan kemampuan dan pengelolaan sekolah.
3. Pemberian 20.000 beasiswa PTN untuk siswa SMA/SMK/MA yang berprestasi dan kurang mampu.
4. Penyiapan Peraturan Menteri secara khusus bagi Guru yang bertugas di daerah terluar.
5. Finalisasi penyusunan dan penyempurnaan Rencana Strategis 2010 – 2014 dengan merangkul semua pemangku kepentingan.
6. Menyiapkan bahan ajar untuk pengembangan budaya dan karakter bangsa.
7. Tersusunnya metodologi pembelajaran yang menumbuhkan kreativitas dan inovasi.
8. Penyusunan roadmap sinergitas lembaga pendidikan antara Depdiknas - Depag dan pengguna lulusan, untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan terciptanya pusat kewirausahaan.

Isu strategis penyusunan landasan Reformasi Pendidikan Jilid II

1. Integrasi sistem pendidikan SD – Perguruan Tinggi (Januari 2010)
2. Penyusunan model kebutuhan sekolah: fasilitas proses, guru, dan manajemen serta kesesuaian di lapangan (pembuatan buku pedoman -Januari 2010)
3. Penyusunan struktur biaya total pendidikan berserta sistem pengukuran keterjangkauan dan pelaporannya (Sistem pengukuran keterjangkauan dan pelaporan- Januari 2010)
4. Penyususan kebutuhan sistem informasi dan pelaporan untuk pengambilan keputusan (e-manajemen) = Kebutuhan sistem dan pelaporan Januari 2010
5. Perancangan e-learning content sharing architecture (Kebutuhan sistem - Januari 2010).

Mana yang menurut Anda dari sekian rencana itu yang lebih menyentuh persoalan Guru dan kependidikan? Semua perencanaan bagus. Pelaksanaannya yang tak kunjung tampak dampaknya. Sesuai target waktu, pada bulan Januari 2010 sudah disampaikan pertanggungjawabannya, di depan Presiden SBY, dan dinyatakan keberhasilan kerja kabinet dalam 100 hari mencapai 99%. Adakah kita sudah merasakan dampaknya?

Menanggapi itu, Adisti (43 tahun), pengelola sekolah di Depok, tampak risau dengan penetapan rencana Mendiknas tersebut. ” Bahasanya mentereng bener! Bagi kami praktisi pendidikan, rancangan kerja 100 hari Mendiknas M. Nuh ini tak ubahnya sebagai pemenuhan target pembuatan rencana. Tak tampak integrasi penyusunan berdasar persoalan mendasar, yakni pemerataan kemampuan guru dan sekolah menghadapi Abad 21. Bukan hanya soal teknologi, melainkan mind-set yang harus didukung oleh sistem. Ya, sistem pendidikan yang patut dan cocok dengan kebutuhan masing-masing wilayah yang beraneka raga mini.” TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.

Lagi, Kritik Mochtar Buchori tentang Guru


Guru sangat sadar perannya sebagai pengajar mata pelajaran, namun kurang sadar akan perannya sebagai pendidik yang harus membimbing muridnya mempersiapkan diri menjadi penerus perjalanan bangsa.

“Saya Guru matematika!” “Saya Guru bahasa Inggris!” “Saya Guru sejarah!” Ucapan inilah yang sering terdengar. Jarang ada yang mengaku sebagai Guru pembimbing siswa.

Seorang Guru besar kimia dari Kanada mengatakan: “ When I was teaching at a large university in Canada, I felt that I was teaching chemistry. When I moved to small college years later, however, I began to feel that I am teaching student, not chemistry . Since then I become conscious that my job is to teach student to understand chemistry.”

Di sinilah diperlukan kesadaran dan komitmen pribadi pada masa depan siswanya. Yang diajarkan bukan saja sekedar abstraksi kehidupan, melainkan upaya mengantarkan para siswa pada kehidupan nyata.
Teaching, training dan educating, ketiganya adalah aktifitas yang saling berhubungan. Teaching mengantarkan siswa pada pemahaman pengetahuan (knowledge). Training membimbing siswa pada penguasaan ketrampilan. Educating membawa siswa pada pengenalan, pemahaman dan penghayatan nilai-nilai. Tindakan ini bertujuan mengantarkan siswa pada pengethuan, ketrampilan dan kearifan (wisdom). Ketiganya merupakan tujuan akhir tindakan pendidikan, tujuan setiap education act.

Kenyataannya, pendidikan di sekolah sangat menekankan penguasaan pengetahuan, kurang memperhatikan pemupukan ketrampilan dan sangat mengabaikan pembinaan kearifan. Ini merupakan tradisi pendidikan sekolah yang dipengaruhi pikiran Sir Bacon sejak abad XVII. Praktek pendidikan ini lalu melahirkan semboyan: knowledge is power.

Mungkin tradisi ini yang menyebabkan praktisi pendidikan menjadi sangat sadar perannya sebagai penerus dan penyebar pengetahuan (kennisoverdrager). Kini, makin banyak kita ketahui tanpa tahu maknanya, pengetahuan hampa makna (meaningless knowledge). Nilai-nilai yang dipelajari pun menjadi nilai hampa makna (meaningless values). Gabungan keduanya lantas banyak melahirkan perilaku serba semu, kepalsuan.

Akibatnya, komitmen mengabdikan diri pada kesejahteraan bangsa di masa mendatang tak muncul. Padahal kelangsungan eksistensi bangsa adalah keharusan.

Betapapun kesalahan telah berlangsung selama ini, kita tak punya pilihan lain, kecuali berusaha sekuat tenaga melanjutkan kehidupan bangsa dengan jalan memperbaiki perilaku, agar tak menghadapi kepunahan, failed state. Saat ini kita dikategorikan sebagai negara ke 57 failed state di dunia.

APA ESENSINYA ?

Bangsa ini harus bangun dari keterpurukan. Tak mungkin Guru membangun komunikasi hanya dengan materi pelajaran yang diampunya saja. Dalam hubungan yang diwarnai empati, murid akan mencurahkan segenap pikiran dan perasaan mengenai harapan dan kekhawatiran masa depan.

Tugas membimbing siswa dapat dilakukan oleh SETIAP Guru, apapun mata ajarnya, meski guru sejarah sesungguhnya memiliki peluang yang lebih besar daripada Guru matematika untuk menjadi pembimbing. Namun yang lebih penting adalah rasa hormat yang tumbuh pada diri siswa karena sifat Guru yang patut dihargai.

Kalau jumlah Guru dengan kesadaran pembimbing lebih banyak, akan banyak pula generasi muda yang bersedia mengabdi pada masa depan bangsa. Demikian juga sebaliknya. Meski kini kebanyakan akan tetap lebih banyak berpikir bagaimana cara menjamin masa depan pribadi mereka melalui pekerjaan-pekerjaan yang aman dan nyaman.TG

Prof. Mochtar Buchori
Ketua Dewan Pengurus Yayasan PARAS, Jakarta.

*)Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.

Membangun Karakter dari Sepiring Nasi

“Guru kreatif terkadang mengajar dalam bingkai eksplorasi dan ketidakjelasan. Ia lebih mencari esensialitas daripada rutinitas atas apa yang dipelajari bersama siswa. Ia akan tersenyum manakala siswa bertanya, ”Pak saya menemukan hal berbeda, tidak seperti yang bapak katakan atau teman saya temukan, mengapa?”

Awalnya ada sedikit keraguan untuk menuliskan pengalaman ini, karena banyak teman yang ‘agak sedikit’ mengerutkan dahi dengan ‘metode yang agak sedikit nyleneh’ yang saya pakai ini. Tapi biarlah itu berlalu, mungkin mereka belum tahu metode ‘sepiring nasi’ yang pernah saya gunakan.

Ide awal menggunakan metode ini, didasari suatu kebingungan mengunakan metode yang tepat untuk menjelaskan materi PKn tentang ‘Manusia sebagai mahluk sosial’. Saya tertantang menterjemahkan hal-hal yang rumit-abstrak menjadi nyata-sederhana, agar siswa mudah paham.

Berbicara tentang sepiring nasi, kita kerap mengkaitkannya dengan masalah makan, perut lapar, nikmat dan sebagainya. Tetapi tahukah kita bahwa sepiring nasi menyimpan banyak rahasia yang bisa digunakan dalam pembelajaran? Lalu apa kaitan antara sepiring nasi dengan pembelajaran? Secara sepintas mungkin tidak ada, kecuali kita mau sedikit kreatif.

Sepiring nasi yang biasa kita makan, sebenarnya memiliki makna yang sangat dalam bagi tumbuhnya kepekaan, kepedulian dan penghargaan atas hasil jerih payah orang lain. Mungkin selama ini, saat akan makan, kita hanya memandanginya tanpa menganalisis lebih dalam. Bahkan kita tidak punya waktu sama sekali memperhatikan sepiring nasi itu kala perut lapar.

Cobalah amati sejenak, “Apa saja” yang ada dalam sepiring nasi itu? Nasi, ikan asin, ikan goreng, ayam goreng , tahu, lalap, sambal, tempe, ketimun, garam, vetsin, piring, sendok atau mungkin ada hal lainnya? Coba uraikan kembali, ‘siapa saja’ yang berperan dalam menyediakan barang-barang tersebut.

Sebagai contoh, petani merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam menyediakan beras, Ibu yang memasak nasi dan menggoreng lauk pauk. Tahu dibuat oleh pengrajin tahu, garam disediakan oleh petani garam. Masih banyak pihak lain yang terlibat, bukan? Pernahkan kita berpikir sejauh itu? Ya, kita selama ini hanya siap menerima semua itu tersaji … nasi rames!

Sekarang, apa kaitannya antara sepiring nasi dan pembelajaran? Saatnya menjelaskan tentang keberadaan manusia sebagai mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia memiliki keterbatasan dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Ajaklah siswa membayangkan, ketika mau ‘makan’ harus mempersiapkan segala sesuatunya seorang diri mulai dari menanam padi selama 6 bulan, mengeringkan air laut untuk membuat garam, menanam kedelai untuk membuat tahu dan tempe, menangkap ikan di laut untuk ikan asin. Keadaan ‘imaginer’ seperti ini haruslah diterapkan, agar siswa peka terhadap hasil kerja dan jerih payah orang lain.

Untuk membangun rasa kepekaan dan kepedulian, ajak siswa membuat pengandaian seperti ini “Seandainya tidak ada petani, kita tidak bisa makan nasi”, “seandainya tidak ada petani garam, tentunya makanan kita tidak ada rasanya”. Dari berandai-andai ini, minta siswa menyimpulkan sendiri ‘pentingnya ada orang lain di sekitar kita’, sehingga kebutuhan-kebutuhan kita bisa terpenuhi.

Sepiring nasi! Kau memberi inspirasi ....

Masih bingung dalam mencari metode untuk mengajarkan suatu materi? Ijinkan saya mengutip sebuah anekdot: “Suatu saat dua orang yang berasal dari sekolah yang sama bertemu. Walaupun berbeda angkatan tetapi mereka cepat akrab dan pada saat mereka membicarakan salah seorang gurunya, mereka kemudian tertawa bersama-sama karena setelah obrolan yang panjang terungkap bahwa sang guru tersebut masih melakukan praktek pengajaran yang persis sama, bahkan ketika waktu kelulusan mereka terpaut lebih dari 7 tahun.”

Terbukti, sang Guru tak berubah dan enggan mensejajarkan diri dengan kemajuan jaman. Sudah bukan jamannya lagi kita mengajar berdasarkan diktat dan uraian dosen saat kuliah dulu. Jaman berubah cepat, informasi terus bertambah. Ilmu pun cepat usang dan ketinggalan. TG

Iwan Gunawan
Guru SD Salman al Farisi, Bandung
http://keyanaku.blogspot.com

Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.

TAK BETAH di JAKARTA

Teachers Forum

Gaji kecil yang dulu sempat saya pikirkan ternyata bukan masalah besar buat saya. Saya makin mantap menjadi Guru ...

Sewaktu SMA, tak pernah terklintas cita-cita menjadi Guru. Sebuah profesi yang tak menarik dan bergaji kecil. Lulus SMA, saya masuk ke jurusan teknik informatika. Lulus, jadi sarjana! Lantas sebuah perusahaan menerima saya, dan mengharuskan bekerja di kantor Jakarta.

Saya merasa tak nyaman tinggal di Jakarta. Kehidupan di Ibukota ini membuat saya tak betah. Akhirnya saya kembali ke Jogja dan mencari pekerjaan lagi.

Seorang teman menawarkan posisi sebagai guru TIK di SMA De Britto. Dari pada nganggur, saya masukkan lamaran, diterima, dan mulai bekerja Mei 2005.

Rasa deg-deg-an luar biasa saya alami saat pertama mengajar. Laki-laki semua! Bahan mengajar sudah saya siapkan. Pertama kali berdiri di depan kelas, rasanya mau pingsan. Jam berputar lama sekali. Sembilan puluh menit bagaikan seminggu. Takut kehabisan bahan. Begini terus rasanya selama satu semester.

Semester ke dua, grogi dan bingung kian berkurang. Saya mulai bisa menikmati, dan mengenal pribadi siswa yang beda-beda. Dunia remaja dan permasalahannya saya masuki. Kegembiraan saat berada di sekolah merayap dahsyat. Muridku nyeleneh, lucu dan aneh-aneh.

Tahun ke tiga, saya ditugaskan menjadi wali kelas sosial. Karakter kelas sebelas sosial ini menjadi tantangan. Peran saya tak hanya sebatas mengajar, namun belajar mendidik siswa. Belajar memperhatikan secara personal persoalan siswa, mulai dari masalah keluarga, cinta, hingga hambatan belajarnya. Saya merasa harus terus belajar dan bekerja optimal.

Manusia punya banyak rencana, Tuhan menentukan. Akhirnya, menjadi Guru adalah pilihan saya, dan tak pernah menyesal pada pilihan ini. TG

E.Megia Novita
Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi SMA De Britto Jogjakarta.
Dari buku “Banyak Jalan Menuju LA . 161”, editor St. Kartono.