November 10, 2010

Cover Story : PENDIDIDKAN MULTIKULTURAL





















“Ma, Papa kok temenan sama orang Cina? Orang Cina kan jahat?” Itu adalah komentar saya saat usia SD. Pemicunya adalah ayah saya yang menerima tamu orang Tionghoa di rumah. Kemudian ibu menjelaskan bahwa tidak benar semua orang Tionghoa jahat dan bahwa sifat seseorang tidak berhubungan dengan etnis-nya.

Ocehan kanak-kanak tersebut tidak bisa dianggap remeh. Tanpa ada yang memberi pengertian dan arahan, mungkin hingga sekarang gambaran negatif mengenai etnis Tionghoa tersebut masih saya anut. Dan bukan tidak mungkin, saya selalu bermasalah dalam bergaul dengan etnis dan suku yang lain juga.

Saya yakin, saya bukan satu-satunya yang secara tidak sadar diracuni berbagai stereotipe mengenai macam-macam suku dan etnis yang ada di Indonesia. Bila hal ini terus tumbuh, Bhinneka Tunggal Ika hanya akan ada di buku teks dan di bawah kaki Garuda Pancasila.

KENAPA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL?

Sebelum berbicara mengenai pendidikan multikultural, ada baiknya kita lihat dulu makna ‘multikultural’. Jelas, kata ‘multi’ dan ‘kultur’ membentuk kata baru yang berarti budaya yang majemuk. Itu dari segi bahasa.

Sementara itu, para ahli membedakan istilah ‘multikultural’ dengan ‘multi-kultural’ (dengan strip). ‘Multikultural’ merujuk pada masyarakat dengan penduduk yang beraneka ragam latar belakang kebudayaannya, tapi kebhinekaan itu tidak mengganggu keharmonisan hubungan antar budaya. Sementara ‘multi-kultural’ adalah istilah untuk menyebut masyarakat yang hidup dalam budaya majemuk, namun tidak dibarengi dengan semangat kesatuan.

Bangsa Indonesia rentan terhadap perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan kultural. Betapa tidak, kita (Indonesia) terdiri atas macam-macam suku, berbicara dalam macam-macam bahasa, menjalankan adat yang berbeda pula. Belum lagi, kehadiran etnis pendatang seperti Tionghoa, Arab, dan India yang tinggal di sini. Bahkan, sebelum bangsa ini bernama Indonesia.

Pendidikan multikultural adalah alat untuk mencegah perpecahan yang dikuatirkan. Guru sebagai pendidik bertugas membimbing para siswa untuk memandang keaneka-ragaman yang ada dalam masyarakat kita tanpa prasangka-prasangka yang telanjur beredar dalam masyarakat.

PENDIDIKAN MULTIKULTURAl=PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan multikultural menjadi mudah andaikata cukup dengan menugaskan siswa membaca buku, membuat rangkuman, dan menulis esai. Sayang, metode-metode itu terbatas pada tingkat pengetahuan.

Kenyataannya, pendidikan multikultural bertujuan membentuk karakter generasi masa depan. Salmah Fa’atin, mengutip Djohar dalam Pendidikan Strategik..., mengkategorikan pendidikan karakter sebagai “the hidden curriculum” yang pencapaiannya bergantung lebih pada proses pendidikan. Berarti, karakter tidak dapat diajarkan pada para siswa karena bersumber dari pengalaman mereka. Oleh karena itu, harus dilatihkan.

Pelatihan dan pembiasaan dalam bimbingan guru serta orang tua lah yang berperan dalam membangun karakter bangsa.

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH

Siswa datang ke sekolah tidak seperti gelas kosong. Sebaliknya, mereka sudah membawa nilai-nilai yang dibawa dari rumah dan lingkungan mereka. Di antara nilai-nilai tersebut mungkin saja terselip prasangka-prasangka mengenai etnis, suku, dan agama. Prasangka-prasangka tersebut tentu tidak sejalan dengan ide persatuan bangsa. Hal ini bisa menjadi masalah ketika proses pengenalan nilai multikulturalisme di sekolah.

Bagaimanapun, pemikiran siswa bukan tanah liat yang dapat dengan mudah dibentuk guru. Hal yang dapat dilakukan adalah menyelipkan nilai-nilai multikulturalisme dalam proses belajar di sekolah.

Sebagai guru Bahasa Indonesia, Anda bisa meminta para siswa mengarang tentang lingkungan yang didiami berbagai macam karakter manusia dari suku yang berbeda (dengan memperhatikan EYD, tentu).

Bagi guru Sejarah mungkin Anda mau mengajukan pertanyaan, “Bagaimana jika para pemuda dulu bersikeras dengan perjuangan yang bersifat kedaerahan saja?”. Atau jika Anda mengajar Ilmu Sosial pertanyaan yang diajukan berbunyi, “Bagaimana jika Indonesia hanya ditinggali satu suku saja yang berarti hanya ada satu jenis budaya?” Pertanyaan seperti ini membantu siswa untuk memahami keanekaragaman bangsa sebagai anugerah.

Bila Anda guru Matematika, isu multikulturalisme dapat dengan mudah dinyatakan dalam soal-soal cerita mengenai bilangan, pengukuran, bahkan geometri (lihat saja bentuk-bentuk rumah adat yang beragam).

Hal serupa juga bisa dilakukan untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, Kesenian, dan Ilmu Alam.

Cara lain adalah bercerita atau mendongeng. Ini memang cara yang sudah berabad-abad dilakukan para orang tua untuk menanamkan sifat-sifat terpuji pada anak-anak. Namun, bukan berarti cara ini sudah tidak efektif.

Dengan menyertakan gambar, boneka, gestik, dan mimik yang menarik, Anda bisa mendidik para siswa (terutama yang berusia TK dan SD) dengan cara yang menyenangkan.

Pendidikan multikultural tentu hanya berhasil bila guru juga memahami wawasan multikulturalisme. Dalam “Workshop Program dan Pembuatan Modul Pelatihan” di Banten dirumuskan kendala besar yang dihadapi penguatan kesadaran multikultural adalah akses informasi yang sulit dicapai guru. Akibatnya, guru kurang memahami makna multikulturalisme sehingga tidak sensitif terhadap masalah-masalah perbedaan dan kebhinekaan.

Kendala lain adalah guru yang mengalami lack of skill (misalnya, reality check). Akibatnya, mereka tidak mampu menciptakan pembelajaran yang menghargai perbedaan dan menghormati keragaman masyarakat.

Solusinya, tentu dengan mempermudah guru mendapatkan informasi dari media cetak maupun elektronik. Misalnya dengan menyediakan buku-buku rujukan dan koran di perpustakaan sekolah.

Bagi Guru-guru yang lebih mudah mendapatkan informasi, bisa lebih aktif untuk menerapkan multikulturalisme di kelas. Jika mungkin, turut menyebarkan virus multikulturalisme dengan rajin berbagi: menulis di blog, koran, dan majalah. Bahkan, berbicara di forum lokal dan nasional. Dengan begitu, rekan sejawat akan termotivasi untuk mencoba menerapkan cara pembelajaran yang senada multikulturalisme.

Setelah mengetahui pentingnya penerapan pendidikan multikulturalisme di Indonesia, satu-satunya yang harus dilakukan adalah memulai. Memang tidak mudah, apalagi bagi guru yang merupakan ujung tombak pembaruan ini.

Tidak mungkin begitu saja menata ulang pandangan dan sikap yang dibawa anak dari keluarga dan lingkungan sosialnya. Hal yang dapat dilakukan guru ialah memberitahukan kepada siswa, bahwa ada pandangan-pandangan sosial lain di samping pandangan sosial yang tertanam melalui pendidikan keluarga. Guru memperluas cakrawala siswa sehingga bisa membandingkan pandangan sosial yang satu dengan pandangan sosial yang lain. Jadi, langsungkan saja pembelajaran multikultural di sekolah Anda! TG

Mochtar Buchori
“Pendidikan Multikultural”, dalam Parasnews, Februari/2010.
disiapkan oleh Ade Febriani
Guru di Depok

Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Teachers Guide edisi no. 10/ Tahun ke IV/2010. Dapatkan di toko buku Gramedia dan Gunung Agung. Ketimbang kehabisan, silakan berlangganan. Sirkulasi: (Fleksi) 021-68458569, 0812 8242 801 . Selamat membaca!

November 07, 2010

Cover Story : GURU Naik Jabatan, Kenapa Tidak?


Dalam bidang pendidikan, Guru memegang peran terpenting. Ia tak hanya dituntut mampu mengajar, juga ’penanggung jawab’ moral anak. Menjadi Guru tak semudah yang dibayangkan.

Selama ini, sebutan ’pahlawan tanpa tanda jasa’ diberikan pada Guru, namun ironisnya kesejahteraan Guru terkadang tak sejalan dengan jasa Guru. Sebagai Guru pegawai negeri sipil atau pun swasta, Guru merupakan profesi yang tidak memiliki jenjang karir -- sangat berbeda dengan profesi pegawai lainnya.

Selama ini, karir sebagai kepala sekolah dianggap sebagai jenjang karir yang paling tinggi. Hal yang tak sepenuhnya benar. Kepmendiknas 162/U/2003 menjelaskan, kepala sekolah adalah suatu tugas tambahan bagi Guru. Dengan kata lain, seorang kepala sekolah haruslah tetap menjalankan profesinya sebagai Guru, yakni mengajar minimal 6 jam setiap minggunya.

Lalu, apakah berarti seorang Guru tidak akan mungkin atau sulit mendapat kenaikan jabatan layaknya pegawai lainnya? Mungkin saja.

Dalam buku Designing the Learning-Centred School karya Clive Dimmock, dituliskan bahwa dalam profesi Guru, penting adanya jenjang karir. Bain (1996) mengusulkan jenjang karir sebagai berikut:

* Intern; program yang diberikan kepada mahasiswa yang mengambil jurusan keGuruan.
* Graduate; merupakan tingkatan awal dalam jejang karier. Dalam jenjang karir ini, disertakan pula program 1 tahun untuk masa percobaan.
* Instructor; jenjang karir ini diperoleh setelah mengajar selama 3-5 tahun. Bila dalam kurun waktu itu seorang Guru mendapatkan nilai evaluasi yang memuaskan maka posisi ini dapat diraih.
* Teacher; didapatkan setelah mengajar selama 6 tahun atau lebih.
* Senior Teacher; posisi puncak dari jenjang karir seorang Guru. Seorang Senior Teacher harus mampu memberikan bimbingan dan merupakan peran utama dalam pengembangan karir Guru lainnya.

Idealnya, setiap jenjang karir mencerminkan perbedaan pada setiap tingkatan. Dengan demikian, seseorang yang baru memasuki tingkat awal dapat memacu diri agar dapat menempati posisi yang lebih baik.

Untuk mendapatkan Guru yang profesional, sudah selayaknya sekolah-sekolah mengadakan seleksi yang ketat. Para calon Guru harus dinilai dari segi kemampuan mengajar, kinerja serta potensi yang dapat mengembangkan sekolah. Upaya mengembangkan Guru yang profesional tak berhenti dalam tahap ini saja.

Dalam memperbaiki kinerja Guru, ada beberapa upaya yang sebaiknya dilakukan oleh para pengurus sekolah. Clive Dimmock mengusulkan agar para pengurus sekolah harus mengajak para Guru untuk selalu memperbaharui curriculum vitae mereka serta menerapkan sebuah sistem yang memuat setiap catatan seorang Guru. Dengan demikian, saat para penGurus sekolah mengadakan evaluasi kinerja Guru, mereka dapat menggunakan data, bukan opini subjektif.

Beberapa hal yang perlu diketahui seoang Guru dalam kegiatannya sebagai pendidik bangsa, yaitu:
* Pengetahuan tentang pedagogical; yakni memahami permasalahan secara mendalam, sehingga siswa dapat terbantu memahami permasalahan mereka.
* Pengetahuan tentang perkembangan siswa, agar terbentuk pengalaman belajar yang produktif.
* Pengetahuan tentang perbedaan siswa dalam hal budaya, inteligensi serta gaya belajar.
* Pengetahuan akan kemampuan agar murid dapat belajar secara efektif, termotivasi untuk terlibat dalam kegiatan belajar. Kemampuan untuk memvariasikan strategi belajar sesuai tujuan yang akan dicapai.
* Pengetahuan akan sumber kurikulum, termasuk bagaimana mengajak murid mengekspresikan ide-ide mereka dan me­nyusun informasi serta menyelesaikan masalah.
* Pengetahuan berinteraksi dengan murid, sesama Guru serta orang tua.
* Pengetahuan dan kemampuan untuk mengintrospeksi diri.

Idealnya, kegiatan sehari-hari para Guru tidak dapat dipisahkan dengan pengembangan profesionalisme mereka sendiri. Dalam kegiatan belajar-mengajar, baik pertanyaan maupun masalah selalu timbul.

Untuk mengatasinya, Guru akan menggunakan teori dan mengadakan penelitian untuk mendapatkan solusi. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan profesional bukan hanya aktivitas yang terbatas dalam suatu event tertentu, akan tetapi lebih pada kegiatan berkelanjutan.

Oleh karena itu, pengembangan profesional dapat diterapkan di mana saja. Hingga pada akhirnya, seorang Guru akan menjadi seorang pencerminan sejati, yang tak bosan belajar, bukan hanya sekedar event formal yang terorganisir.

Sampai saat ini, penghargaan atas prestasi Guru dipandang sebagai salah satu cara yang efektif dalam meningkatkan kinerja seorang Guru. Kesejahteraan Guru memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Hal ini merupakan sebuah bentuk penghargaan bagi para Guru yang berprestasi sehingga dapat memacu semangat Guru untuk memberikan kontribusi pada sekolah.

Bukan jaminan, memberikan penghargaan dengan bentuk kenaikan gaji dapat menjamin seorang Guru akan lebih baik. Akan tetapi, memberikan penghargaan pada Guru dapat membantu sekolah meraih ekspetasi yang lebih tinggi dan juga menjaga agar para Guru tetap berkomitmen pada sekolah tempat mereka mengajar.

Dengan adanya jenjang karir, pe­ngembangan kinerja serta penghargaan, diharapkan para Guru di Indonesia menjadi Guru yang profesional. Hidup Guru Indonesia!TG

Astrinka Rizanti
Pengajar di Depok
Lulusan FIB UI - Diploma Sastra Perancis

Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Teachers Guide edisi no. 10/ Tahun ke IV/2010. Dapatkan di toko buku Gramedia dan Gunung Agung. Ketimbang kehabisan, silakan berlangganan. Sirkulasi: (Fleksi) 021-68458569, 0812 8242 801 . Selamat membaca!

Cover Story : TECHNOPRENEURSHIP



Di dunia ‘sana’, jauh dari negeri kita, badan dunia PBB dan ITU (International Telecommunication Union) melalui WSIS (World Summit on the Information Society)yang merupakan forum teknologi informasi dan komunikasi dunia, mencanangkan kesepakatan hingga tahun 2015, yang perlu kita telaah lantaran berkolerasi de­ngan pendidikan. Yaitu, kesepakatan untuk mengembangkan semua lini pendidikan dan teknologi informasi & komunikasi (TIK) termasuk perpustakaan, pusat kebudayaan, museum, kantor pos dan kearsipan.

Realita Sistem Pendidikan Indonesia

Apakah mutu dan sistem pendidikan Indonesia sudah bisa menjawab hal itu?

Sudahkah semua kurikulum mulai SD hingga PerGuruan Tinggi tersistem pada Teknologi Informasi dan Komunikasi? Pertanyaan lebih mendasar lagi: apakah para pendidik/Guru sudah menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi?

Realitanya, kalau pun kurikulumnya ada, tak dilengkapi sarana. Program pendidikan gratis dari Pemda yang melarang pungutan kepada siswa, menjadi alasan untuk tidak melaksanakan program pembelajaran praktek berbasis TIK yang memadai.

Guru pun tak sepenuhnya menguasai TIK. Bahkan untuk sekedar mengoptimalkan komputer untuk menuliskan ide/gagasan belum dikuasai. Apakah hanya bisa menyalahkan pemerintah yang tak menyediakan sarana dan kesempatan belajar?

Kompetensi Technopreneurship

Guru yang memiliki jiwa Technopreneurship (teknologi dan jiwa kewirausahaan) adalah mereka yang selalu melakukan pengembangan ilmu pengetahuan berbasis teknologi dan kewirausahaan. Kompetensi TIK saat ini sudah bukan menjadi kewajiban, melainkan kebutuhan. Penguasaan TIK akan sangat membantu proses pembelajaran dan pengembangan karir ke depan.

Dasar kewirausahaan Guru masa depan:
* Visi, Misi & Manajemen Diri
Guru, dalam pemahaman lebih personal, harus pula memiliki visi misi yang jelas serta manajemen diri yang terukur dan terstruktur.
Sebagai contoh, seorang Guru yang memiliki visi misi menjadi penulis, maka dia akan berupaya mengikuti kegiatan workshop menulis.

* Membangun Brand
Brand atau merek adalah kesan yang kuat dalam pikiran orang lain pada produk, jasa ataupun individu (Eleri Sampson, Build Your Personal Brand). Sebagai Guru pun harus dapat membangun ‘merek’ yang istimewa di hadapan murid, orang tua sesama profesi Guru ataupun pihak atasan.

Dalam konsep Marketing Strategy (Strategi Pemasaran) perusahaan, dikenal istilah STP (Segmentation, Targeting & Positioning). Konsep ini dapat pula diimplementasikan untuk mengembangkan karir dan masa depan Guru, dengan pemahaman sebagai berikut:

Segmentation, seorang Guru sejak awal sudah harus menentukan kompetensi apa yang akan menjadi prioritas, menentukan pihak-pihak yang akan berhubungan dengan diri, serta prioritas kegiatan yang akan diikuti sehingga mendukung proyeksi masa depan.

Targeting, setiap Guru harus memiliki tujuan/goal dan tahapan-tahapan target yang jelas.

Positioning, seorang Guru sejak awal dapat memahami posisi saat ini, dan harus melakukan apa memposisikan diri ke depan; sebagai peneliti, penulis buku/artikel, atau pemimpin bagi diri, kelas, kelompok, sekolah, group sekolah, dan sete­rusnya.

Guru yang berkemampuan “TECHNOPRENEURSHIP” (Teknologi dan Jiwa Kewirausahaan), tak akan pernah ketinggalan jaman, karena semua informasi dapat diakses dan dianalisa terlebih dahulu sebelum karyanya diterbitkan.

Pertanyaan selanjutnya? Sudahkah Guru memiliki kemampuan daya analisa yang memajukan kemanusiaan tertinggi sebagai manusia? Di tengah kemajuan teknologi, kemajuan diri sebagai manusia tetaplah menjadi yang utama.TG

Mustafa, ST., MM
Direktur LKP SmarTech Semarang
www.mysmartech.blogspot.com

Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Teachers Guide edisi no. 10/ Tahun ke IV/2010. Dapatkan di toko buku Gramedia dan Gunung Agung. Ketimbang kehabisan, silakan berlangganan. Sirkulasi: (Fleksi) 021-68458569, 0812 8242 801 . Selamat membaca!

Cover Story : Ngangsu Kawruh = Menimba Ilmu


Bukan sekedar adu kata. Istilah bahasa Jawa harus diakui kaya makna, sarat petuah, penuh kesan filsafat mendalam. Mungkin sudah luput dari ingatan kita, kala orang menimba air dari sumur, jika terburu-buru, air dalam ember timba akan tumpah dan hanya sedikit yang bisa dituang. Berbeda jika ditimba dengan hati-hati.

Sekolah, kini tak lagi sama artinya dengan menimba ilmu. Makna yang tersurat lebih pada kegiatan terstruktur yang harus diikuti secara tertib oleh siswa. Guru pun harus tertib membangun perencanaan sesuai yang sudah diputuskan. Bentuk keluaran (output) nya adalah serombongan siswa berprestasi ini itu, dengan pencapaian angka segini-segitu, dan bisa menjadi ini-itu.

Masyarakat lantas bertanya: “Sekolah di mana? Kelas berapa? Senang nggak sekolah di sana?“ Sederet pertanyaan-pertanyaan standar yang diajukan pada anak, yang diasumsikan sudah ‘sepantasnya’ seusia sekolah. Itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di mana-mana dan oleh siapa saja.

Pernahkah, di jaman sekarang orang mengajukan pertanyaan ,“Belajar sama siapa?” Rasanya tidak lagi, karena hal itu menjadi tidak lumrah. Kata ‘sekolah’, seolah sudah merepresentasikan sebuah paket kebutuhan pendidikan, termasuk para gurunya. Di dalam sekolah yang katanya berkualitas, pasti terdapat barisan guru yang berkualitas juga. Sayangnya, tidak selalu!

Para orangtua jaman dulu mengirimkan anak-anaknya belajar pada orang yang dianggap memang ‘mumpuni’ (kompeten) menjadi guru, luar dalam. Alam pikiran guru diyakini akan memancing daya pikir dan daya-daya lain, sehingga anak akan mendapat bekal lebih untuk menghadapi kehidupannya. Survive dengan kapasitas dan potensi pribadinya. Tuntas menimba ilmu pada satu guru, ia akan dikirim atau pergi ke guru lain ….

Ingat Chinmi (kungfu Boy)? Ia pergi dari satu kuil ke kuil lain untuk semakin mengasah ilmunya, caranya dengan menimba lagi di alam pikir (sumur) guru yang berbeda. Kuil Dairin, kuilnya yang pertama, memberinya bekal yang mendasar. Namun belum tentu teruji bisa membekali seutuhnya. Oleh karena itu, ia perlu berkelana menambah ilmunya.

Analogi cerita si Chinmi di atas, secara hakekat, setiap manusia akan melepas dahaga keilmuannya dengan mencarinya: menggali lebih dalam, mempertanyakan lebih lanjut, dan mencari lebih lanjut. Demikian, berputar. Sehingga dari hipotesis (pertanyaan) menjadi sebuah konsep (teori) yang akan terus diuji sehingga bisa jadi si teori menjadi sebuah pertanyaan baru.

Setiap anak manusia memiliki perangkat ‘primitif’ untuk survive, bagaimana pun caranya. Perangkat itu menjadi begitu unik dan bersifat pribadi, sehingga perlu kehati-hatian guru/pembimbing/tutor dalam memperlakukannya. Dengan perangkat alamiah itulah -yang bisa juga disebut potensi pribadi- (kecerdasan alamiah yang sangat beragam), anak akan memuaskan rasa haus ilmunya.

Ilmu apa yang dibutuhkan akhirnya menjadi sangat pribadi pula. Tugas guru adalah membantu memberikan alat dasar untuk mencari apa yang ingin diketahuinya. Alat belajar itu, secara mendasar adalah kemampuan 3R + 1R, yaitu Reading (baca), ‘Riting’ (tulis), ‘Rithmetic’ (berhitung), dan Reasoning (penalaran). Keempat kemampuan dasar tersebut, yang seringkali disebut sebagai kemampuan akademis dasar. Ini adalah lahan yang perlu diolah di sekolah oleh para Guru. Sehingga Guru berfungsi untuk menumbuhkan Successful Intelligence (Sternberg) - dengan berbasis keterampilan Empat (4) R tersebut.

Empat R tersebut adalah alat penting untuk belajar. Empat R adalah alat, bukan semata-mata tujuan. Oleh karena alat, maka selayaknya sebilah pisau, alat tersebut perlu diasah agar tajam. Empat R perlu terus diasah agar menjadi tajam pula, sehingga menjadi krusial tentang : apa yang dibaca, apa yang ditulis, apa yang dihitung, serta apa dan bagaimana menganalisis segala sesuatu. Ini menjadi tugas esensial Guru/pembimbing atau tutor: membantu menimba air sumur. Tak ada sumur yang habis airnya ketika terus menerus digali. Bahkan makin dalam.

Kembalilah mendalami makna ngangsu kawruh, menimba ilmu. Bukan sekedar mengirim anak sekolah … . TG
Ria Restanti Natalisa
Koresponden Teachers Guide, di Yogyakarta, dan mengikuti program S-2 Psikologi UGM

Cover Story : PERUBAHAN PENAMPILAN dan PROSES KEHIDUPAN


Pada masa liburan, marak undangan dan ide reuni. Dari mantan teman SD hingga perguruan tinggi, atau kelompok dan gank tertentu. Yang unik dari setiap reuni adalah serunya mengingat kejadian dan perilaku di masa lalu. Acara reuni makin syahdu dengan kehadiran mantan Guru. Secara muka, sama tuanya dengan mantan muridnya yang kini telah berkiprah di berbagai dimensi kehidupan.

Nostalgia …

Ada yang masih menampakkan kesamaan dengan penampilannya dulu. Selebihnya adalah sebuah perubahan. Tubuh makin tambun, rambut memutih, keriput, kaca mata plus, dan tanda-tanda ketuaan yang tak bisa dihindarkan.

Di tengah pekik sorak kegirangan, di tengah tawa canda yang meleburkan lorong waktu, perubahan yang membedakan performa adalah status dan posisi serta predikat yang melekat. Si Fulan yang dulu belet banget matematika, kini jadi dokter. Si Andi yang dulu pemalu , kini menjadi kurator seni. Si Upik yang dulu lincah, kini menjadi konsultan pajak. Pedro, yang sempat tak naik kelas, kini memiliki perusahaan media. Beragam jabatan dan posisi menunjukkan kompetensi yang dimiliki. Hampir semua pekerjaan yang kini ditekuni tak diprediksi sejak di bangku sekolah.

Faisal, tukang ngerjain teman wanita, suka bolos, kalau jajan di kantin ngebon melulu, pulang sekolah ngadu ayam…., kini jadi Guru teladan! Semua rekaman masa lalu jadi menggelikan.

“Lho ini kan Ika, dulu matematika mu selalu di bawah enam. Sekarang jadi dokter,”kata Erni yang dulu selalu ranking satu. “Jadi dokter nggak perlu pinter matematika!” kelakar Ika. Erni pun nyengir – ia ibu rumah tangga yang kerap menyambangi tempat belanja baru dan ikut kursus kebugaran tubuh. Ke mana kiprah ranking satu yang sejak dulu dibanggakan?

Agus yang dulu sangat hafal nama-nama menteri kabinet, lapangan terbang, sunan-sunan dan ibukota negara sedunia, kini menjadi event organizer musik yang menyediakan pemain keyboard hingga penyanyi. Agus sendiri bertindak selaku pembawa acara yang fasih Jawa kromo inggil, lengkap dengan segala komentar dan petuah penuh makna.

JELAS INI ADALAH SEBUAH PERUBAHAN

Perjalanan kehidupan dan pendewasaan diri, ditentukan oleh lingkungan. Penampilan dan kebiasaan di SD bisa saja menjadi clue atau petunjuk, ke mana kaki kan melangkah. Namun selebihnya adalah sebuah proses. Sekolah lanjutan dan vokasional yang dipilih, juga tak selamanya menjadi pengantar kedudukan saat ini. Proses mencari potensi diri yang tak seimbang dengan sistem pengajaran yang melulu hanya mencecer ranah akademis, disinyalir menjadi biang keladinya.

Kita yang kini berkiprah di dunia pendidikan, melihat praksis pendidikan di sekolah masih terbelenggu kendali mutu dari otoritas tunggal. Anak tetap diukur dan dibandingkan satu sama lain dengan angka dan achievement kognitif.

Berbagai perubahan untuk mengembangkan kemampuan emosi dan kepemimpinan diri belum mampu menggoyahkan keyakinan akan kecerdasan kognitif sebagai penentu kesuksesan masa depan.

Kita, yang saat ini menjadi praktisi pendidikan, berbekal kenyataan pada saat reuni itu, mestinya bisa melihat sebuah fenomena menarik. Ilmu yang dibekalkan, bilamana tak memberi manfaat secara kontekstual pada kehidupan sehari-hari, akan menguap saja.

Penentu keberhasilan kemudian akan bergeser pada kemampuan seseorang mengadaptasi lingkungan dan sumber daya yang tersedia. Puncak tertinggi dan esensi terpenting dalam pendidikan manusia adalah moralitas, integritas dan orisinalitas. Semua ini akan dicapai melalui proses yang bukan melulu mencecar ranah akademis. Pendewasaan jati diri dan pendidikan kehidupan yang toleran pada perbedaan, menghormati tetua, menghargai karya orang lain, adalah sebuah keniscayaan yang akan mengantarkan kehidupan menjadi lebih harmonis.

Apa pun profesi dan jabatan, jika hanya berhenti pada kebanggan pencapaian gelar, tak ayal hanya memberikan kontribusi ekonomis. Mereka yang dibesarkan dengan cinta dan penguatan emosi, kultural, dan nilai-nilai kehidupan, akan lebih menonjol kreativitasnya. Kalau jadi dokter ya dokter yang tak lelah mencari solusi dan perbaikan kesehatan, bukan hanya terima bayaran dan puas. Yang jadi konsultan teknik akan memikirkan temuan canggih yang membantu kemudahan manusia menyelamatkan lingkungan, yang jadi seniman terus menghasilkan masterpiece pada karya-karyanya.

Saat ini, demi masa depan, tak usah memaksakan ketercapaian pada bidang tertentu. Beritakan kabar gembira ini pada para orang tua, tak usah terlalu risau jika nilai rapor tak menggembirakan. Hal itu tak akan mempengaruhi masa depan anak. Kemampuan mengelola dimensi kehidupan yang lain membutuhkan kekuatan jati diri yang kuat. Ini yang lebih menentukan. Tambahkan materi yang lebih substantive. Karakter, leadership, entrepreneurship, dan penguatan potensi diri.

Akhirnya, integritas, moralitas dan orisinalitas ini yang akan membawa kesuksesan dan kebahagiaan dan manfaat terbesar bagi orang banyak, sebagai substansi kehidupan.

Bersiaplah membangun kebanggaan diri sebagai pencetak masa depan anak. Saat reuni anak didik nanti, akan kita buktikan! Berani bertaruh?TG

Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Teachers Guide edisi no. 10/ Tahun ke IV/2010. Dapatkan di toko buku Gramedia dan Gunung Agung. Ketimbang kehabisan, silakan berlangganan. Sirkulasi: (Fleksi) 021-68458569, 0812 8242 801 . Selamat membaca!

Cover Story: Seberapa Banyak Upaya Pengembangan Diri Anda?

Penuturan Aidha Zalidhar Mirza

Aku berhasil menjadi sarjana pendidikan. Setelah itu, mulailah aku berjuang mencari ladang pekerjaan.

Awalnya, sebuah Lembaga Pendidikan Guru setara D1 memanggilku menjadi dosen. Lantas beberapa lamaranku direspon menjadi Guru sekaligus kepala sekolah di taman Kanak-kanak. Orangtuaku sedikit kecewa dengan pilihanku menjadi Guru TK. Mereka khawatir aku tidak bisa berkembang karena mengajar di TK itu mestinya tidak harus sarjana!

Kugeluti pengalamanku, hingga kutemukan diriku makin jatuh hati pada profesi pendidik, yang mengasah kematangan sosial emosiku sebagai Guru. Kutemukan makna proses pembelajaran, dan yakin, siapa yang sungguh-sungguh menuntut ilmu, akan ditinggikan derajat kehidupannya kelak.

Tak jarang aku nekad mengalokasikan semua gajiku sebagai Guru demi upaya mengejar ilmu dan kepuasan. Aku pernah hengkang dari sekolahku demi meraih ilmu dengan mengikuti pelatihan intensif.

Aku pun tak segan menyisihkan sebagian besar penghasilanku setiap bulannya untuk membeli buku, berlangganan majalah, dan membeli peralatan teknologi penunjang informasi untuk meng-up grade diri.

Berkunjung dari satu sekolah ke sekolah lainnya, dan ambil S2 marketing dan pendidikan di Ma’had, berbarengan dengan aktivitasku mengajar mahasiswa dan sesekali memberikan pelatihan Guru di kalangan terbatas.

Saat penghasilanku satu juta rupiah sebagai Guru di tahun dua ribu, 1/3- nya kujatah untuk berinvestasi membeli buku atau mengikuti pelatihan. Itu pun setelah dikurangi zakat profesi sebesar 2,5%-10%. Jadi secara matematis aku memiliki anggaran untuk pengembangan diri secara rutin antara Rp.200.000- Rp.250.000/bulan. Dua per-tiganya lagi kugunakan untuk memback up keperluan rumah tangga. Suamiku berwirausaha.

Kekuatan ilmu dan doa terus mengangkat kehidupan kami keluar dari celah kesulitan lewat tawaran di luar sekolah, memberikan pelatihan Guru, mengajar freelance, menulis artikel di media cetak, membuatkan konsep kurikulum.

Dukungan moril dan doa teman, keluarga, juga para Guruku di sekolah ‘natural school’ di Depok, termasuk pimpinan lembaganya yang begitu giat memompa semangat kami untuk terus berubah dan berbenah diri.

Kini aku memangku jabatan sebagai Kepala Bagian Pendidikan sebuah sekolah di Bekasi, yang bertanggung jawab penuh terhadap pengembangan mutu Guru dan siswanya. Dituntut untuk bisa tampil optimal.

Nyatanya tidak mudah bagiku membentuk karakter Guru pembelajar di sekitarku. Aku harus menjadi sosok Guru teladan bagi yang lain, yang secara langsung dituntut menjadi ‘oase ilmu’ bagi teman-teman Guru dan kepala sekolah.

Aku kembali bergelut mencari beragam pelatihan terkait pengembang¬an mutu pembinaan Guru, seperti pelatihan motivasi, kepemimpinan, hypnoteaching, hypnoparenting, Guru berkebutuhan khusus, bahasa Inggris, metode akselerasi pembelajaran hapalan dan membaca, pelatih¬an cepat menghapal Al Qur’an, pelatihan IT, bedah kurikulum internasional, newskill teaching, menulis, mendongeng, pelatihan untuk menjadi pelatih Guru, dan beragam judul pelatihan yang nyaris setiap bulan aku kejar dengan anggaran sepertiga gaji.

Investasi yang kukeluarkan dengan ikhlas sebagai niat keilmuan, sering tergantikan dengan tak terduga, dengan pendapatan berlipat. Peluang memenangkan kompetisi coba kuraih.

Tahun 2009, Allah mengizinkanku menjadi pemenang pertama lomba mendongeng Guru tingkat nasional yang diselenggarakan ‘Toyota Bercerita’. Semua mata media meliputku. Aduhaiii … senangnya aku.


Sebuah jalan baru menjadi Guru yang bukan sekedar Guru. Aku bukan ‘guser‘ (Guru mengejar sertifikat) yang mengikuti pelatihan ha¬nya untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya sertifikat.

Kini makin banyak aku melihat teman-temanku mengembangkan diri, mengasah diri, menjadi Guru plus. Guru plus penulis, Guru plus da’i, Guru plus musisi, Guru plus pedagang, Guru plus pelatih, Guru plus koordinator Guru, Guru plus mana¬ger, Guru plus les privat/bimbel, Guru plus seniman, Guru plus konsultan pendidikan, Guru plus lainnya.

Secara teori, kuingat syarat agar pengembangan diri dapat dilakukan. Open head, open mind, yang siap mendengar, berfikir dan belajar dari mendengar, melihat, serta menelaah persoalan yang dihadapi. Perlu sikap terbuka dalam pemikiran, wawasan, motivasi untuk berbenah dan berubah lebih maju.

Open heart, yakni sosok Guru yang siap dikritik dan dikoreksi tidak hanya oleh pimpinan, rekan kerja, tetapi juga oleh murid dan siapapun agar tercapai perbaikan diri yang positif secara terus menerus.

Open hand, yakni sosok Guru yang siap membantu dan memfasilitasi diri dan sekelililingnya. Ketrampilan mencari solusi. Mau bekerja keras tanpa rasa gengsi atau iri hati.

Kuingat kata Paulo Fraire, bahwa Guru kaya senantiasa berfikir terbuka, bersikap asertif, bertindak proaktif dan memiliki mental pemenang. Dengan begini, pengembangan diriku bukan hanya mengalir, melainkan melompat, terjun, berenang dan menang.TG

Aidha Zalidar Mirza, S.Pd, M.M

Head of Education AL HANIEF CREATIVE SCHOOL (PlayGroup/Kindergarten/Elementary), trainer pendidikan anak usia dini DIKNAS 2009.
Juara I lomba Toyota Bercerita 2009,
Juara III SEKOLAH SEHAT tingkat SD se-Jawa Barat 2007,
kontributor portal pendidikan www.indosiar.com.

Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Teachers Guide edisi no. 10/ Tahun ke IV/2010. Dapatkan di toko buku Gramedia dan Gunung Agung. Ketimbang kehabisan, silakan berlangganan. Sirkulasi: (Fleksi) 021-68458569, 0812 8242 801. Selamat membaca!

Guru Baru = Guru Bermasalah?

Diperlukan Teknik Pendampingan, Bukan Sekadar Supervisi.

Adagium itu bisa benar selamanya, bisa juga tidak. Yang bermasalah tentu saja bukan hanya Guru baru. Bahkan Guru yang sudah puluhan tahun mengajar pun tak bebas dari masalah.

Hanya saja, Guru baru identik dengan manajemen kelas yang everyone everywhere, gagap membuat lesson plan, keder menuangkan ide menjadi metode ajar. Apalagi bagi Guru dengan background non kependidikan yang makin banyak memenuhi pasaran kerja sekolah.

Lesti, sarjana Biologi dari Universitas Negeri ternama. Setelah beberapa saat berkecimpung di lembaga penelitian kultur jaringan, Lesti memutuskan untuk terjun ke dunia pendidikan. Mengajar!

Kecintaannya pada anak-anak mengayunkan langkah ringannya untuk bergabung dengan para Guru yang sudah lebih dahulu eksis di sekolah milik pengusaha nasional di Jakarta. Parasnya yang ayu dan gerak lincahnya yang enerjik, menjadikan Lesti mendapat posisi Guru kelas lima. Bekal ilmu dan latar belakang pengetahuannya sangat cukup untuk menularkan ilmu pada siswa didiknya.

Tiga bulan berjalan. Melalui rekam video, tampak kesemrawutan kelas dan kekurangtangkasan memenej kelas. Ketika Lesti mengajar, siswanya everyone everywhere, alias ke mana-mana. Siswa yang cerdas mulai mendengungkan celotehan yang membuat kelas gaduh. Siswa yang tak terlalu pintar terbengong-bengong. Kemampuan Lesti menjelaskan konsep terkendala oleh perilaku siswa yang berbeda-beda gaya.

Secara pembelajaran PAKEM, Lesti sudah melakukan proses mengajar sesuai pakem-pakemnya. Saat tema tumbuhan, sudah dibawanya seikat kangkung dan bayam. Instruksinya adalah: “pelajari dan observasi sayuran yang kalian pegang!”. Tapi mengapa cara mengajar ala Lesti tak kunjung sesuai dengan konsep pembelajaran active learning? Anak memang aktif. Namun kisruh bukan main. Tak terkendali. Saat dilakukan evaluasi, tak banyak anak yang bisa menangkap materi yang disampaikan. Anak yang cerdas sekalipun tak mendapatkan standar konsep yang diharapkan. Komplain orang tua tentang anaknya yang tak disiplin membuat kepala sekolah Lesti melakukan evaluasi, dengan cara melakukan PENDAMPINGAN.

APAKAH PENDAMPINGAN ITU?
Pendampingan tak sama dengan supervisi. Pendampingan atau coaching, terasa lebih equal. Guru dan yang mendampingi merasa sederajat. Pendampingan juga tak berpengaruh pada appraisal atau penilaian Guru. Jika supervisi akan menghasilkan hasil hitung renumerasi, maka pendampingan akan menghasilkan perubahan mengajar dan sikap Guru yang didampingi.

EduLab milik Tara Salvia, mengadakan pelatihan khusus tentang teknik pendampingan yang patut dikerjakan di sekolah. Peserta pelatihan yang terdiri dari para Guru senior sekolah-sekolah bagus itu diminta menuliskan, apa saja kriteria Guru ideal di sekolah masing-masing. "Apakah kriteria ini ditemukan di sekolah yang lain? Lantas, apakah masalah yang sering dihadapi? Apa yang bisa dilakukan untuk menolong mereka? Sudahkah berhasil? Melalui apa?" tanya Bu Angie, sang instruktur.

Secara definisi, pendampingan adalah upaya membuka jalan bagi sesorang, sehingga posisinya dapat berkembang maksimal lewat proses belajar. Bukan dengan mengguruinya – begitu kata Thimothy Gallwey.

Sedangkan supervisi, adalah upaya peningkatan produk atau hasil melalui pengawasan.

Pendampingan diperlukan karena akan meningkatkan kinerja Guru dan memberi efek semangat saling belajar antara pendamping dan yang didampingi. Teknik pendampingan ditengarai akan meningkatkan kinerja Guru empat kali lebih cepat dibanding training atau pelatihan biasa. Pendampingan memberi solusi pada keterbatasan, dan membentuk pribadi yang reflektif.

Sedangkan peran pendamping adalah sebagai upaya memecahkan masalah. Pendamping sebagai pencari solusi. Bukan bagian dari masalah. Untuk tujuan meningkatkan kinerja, pendamping berperan sebagai pemberi umpan balik, sebagai Guru dan pengarah dalam mengembangkan Guru lain.

SIAPA PENDAMPING?
Pendamping bisa dikerjakan oleh atasan, atau sesama Guru atau pihak lain yang bisa menjadi model atau contoh. Syaratnya, memiliki ketrampilan interpersonal tinggi, mampu berkomunikasi efektif dan memiliki ketrampilan mempengaruhi melalui pengetahuannya.

Temuan pendamping tidak selalu ada masalah. Bedakan antara mencari temuan dan mencari masalah!
Misal: tampak Guru kurang efektif saat membagi kelompok di kelas, sehingga selalu terjadi kegaduhan yang tak nyaman dan berulang. Ini temuan opini. Bukan fakta! (oke.. renungkan sejenak, paham?)

Nah, masalahnya kemudian, mengapa Guru tidak bisa membentuk kelompok dengan efektif? Ada siswa yang aktif, ada yang nganggur, ada yang ngobrol.

Jadi masalahnya apa?

Masalahnya adalah: Guru belum memahami cara pembagian tugas dalam satu kelompok. Dalam pendampingan, akan didiskusikan cara pembagian kelompok. Sampai sini jelas ya, bagaimana membedakan temuan dan masalah?

Sekarang pergunakan tabel ini untuk berlatih menemukan fakta:

KETRAMPILAN MENGAJAR --- TEMUAN
* Materi dan tujuan pembelajaran ---
* Kegiatan awal ---
* Interaksi Guru-Siswa, siswa-guru, dan siswa-siswa ---
* Pembagian kelompok ---
* Ketrampilan bertanya ---
* Penggunaan sumber belajar dan media belajar ----
* Kegiatan penutup ----

Melalui tabel di atas, temuan masalah bisa dipersempit. Misalkan temuan pada sumber belajar dan alat bantu. Pendamping harus cermat, apakah sumber belajar tersebut digunakan oleh anak atau Guru?

Sekedar catatan, sumber belajar bisa berupa pengalaman anak, permainan petak umpet, wawancari janitor, dll. Kalau botol digunakan untuk anak menuang bijian, itu namanya alat bantu. Bukan sumber belajar. Paham ya?

Lalu temuan yang didapat: Guru memanfaatkan sumber belajar itu apakah melalui eksplorasi? Adakah pertanyaan Guru tentang sumber belajar? Apakah sumber belajar itu bisa digunakan untuk menjelaskan konsep?

Sumber belajar menjadi bermakna, jika digunakan untuk dieksplorasi de¬ngan cara bertanya. Ingat teori konstruktivisme. Sumber belajar seharusnya digunakan untuk mencari jawab¬an dari masalah yang dibicarakan.

Contoh: Guru membawa daun bayam. Yang mau dipelajari adalah hukum kapilaritas. Lha ya ini ndak nyambung! Jadi yang harus difokuskan dalam pendampingan adalah: mencari sumber belajar yang cocok dengan disain pengajaran. Bukan sekedar membawa peraga.

Hal-hal itu tak akan ditemukan, jika tak dilakukan pendampingan. Dianggapnya sudah berjalan saja! Padahal ini inti persoalan pendidikan!

KAPAN PENDAMPINGAN DILAKUKAN?
Jika Anda kepala sekolah, atau penanggung jawab quality assurance, jika melihat temuan yang salah pada Guru, hendaknya segera menjadwalkan pendampingan. Yang umum terjadi, kepala sekolah atau principal justru ‘ngomel’, dan berkata: “Silakan dibenahi. Urusan saya sudah banyak”. Memang pegel melihat proses pembelajaran setiap hari. Makin dilihat, makin tampak kelemahannya. Yang lulusan keguruan tak semuanya bagus. Yang non keguruan, tak bisa ngajar, meski konsepnya benar.

Pendampingan dapat dilakukan sejak awal pembuatan lesson plan. Kemudian saat Guru mengajar, pendamping membawa dan mencocokkan dengan lesson plan. Diskusi dan analisa hasil bersama kepala sekolah, lantas dilakukan observasi dan pelatihan, berdasar hasil temuan dan kebutuhan. Saat observasi, pendamping bersifat pasif saja. Hanya mencatat fakta yang ditemui.

PENDAMPINGAN DENGAN STRATEGI TEAM TEACHING
Guru baru tak cukup di-training. Buktinya, sekian banyak pelatihan diikuti, setelah dilakukan temuan fakta, didapati sejumlah kelemahan yang hanya bisa diatasi dengan cara pendampingan.

Pemodelan adalah salah satu cara pendamping memberikan contoh. Bisa penuh, bisa pula hanya pada bagian-bagian tertentu dari pengajaran. Bergantian membentuk team teaching. Baik yang didampingi dan yang mendampingi, keduanya bergantian mengajar. Ini pemodelan. Tak semua materi bisa diarahkan dengan kata-kata. Kadang harus didemokan.

STRATEGI PENDAMPINGAN

Pendamping juga tak luput dari aturan. Ada etika yang harus dijaga, yakni kerahasiaan, mencatat apa adanya, tak dilebihkurangkan dan didasari semangat saling mengembangkan. Bukan menjatuhkan.

Harus diingat, teknik pendampingan ini hanya untuk membenahi CARA MENGAJAR, dengan cara penguatan knowledge dan skill. Ini saja! Bukan pada sikap, performa wajah, karakter. Yang ini bagiannya ada di-mentoring.

Ok. Kita berhenti dulu sampai di sini. Penting untuk berlatih mencari temuan. Bukan opini. Edisi depan kita lanjut dengan umpan balik. Tak kalah penting lho. Sebab Guru yang didampingi perlu diajarkan cara memberi umpan balik. Tak boleh hanya mengatakan: “Ya, sudah saya perbaiki. Akan baik-baik saja”.

Hmmm……. Makin asyik mendalami proses mengajar belajar kan? Sampai edisi depan. TG

Temuan
Di bawah ini adalah temuan yang dituliskan peserta pelatihan pendampingan.
Samakah dengan temuan Anda?
1. Manajemen anak
2. Media belajar
3. Siswa aktif sendiri
4. Teacher centre
5. Kesalahan konsep
6. Topik tidak fokus
7. Manajemen waktu
8. Pelaksanaan penilaian
9. Karakteristik siswa yang berbeda-beda

• Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Teachers Guide edisi no. 10/ Tahun ke IV/2010. Dapatkan di toko buku Gramedia dan Gunung Agung. Ketimbang kehabisan, silakan berlangganan. Sirkulasi: (Fleksi) 021-68458569, 0812 8242 801 . Selamat membaca!

November 03, 2010

Tiket Gratis KGN 2010 untuk pembaca/pelanggan majalah Teachers Guide

Ayo, Selangkah lebih profesional.

Sahabat rekan Guru dan pendidik yang baik. Anda tentu tak ingin melewatkan event Konferensi Guru Nusantara 2010 yang berlangsung di Jakarta, 9 -10 November 2010, yang penuh inspirasi dan inovasi pembelajaran.

Konferensi Guru Nusantara (KGN)
2010 akan diselenggarakan untuk yang ke-5 kalinya oleh ProVisi Education bekerjasama dengan Unika Atmajaya.
Tema KGN 2010 ini "Guru Abad 21; Transformasi Menjawab Tantangan Jaman”, akan membahas topik-topik penting yang perlu diketahui dalam penyelenggaraan pembelajaran yang berkualitas bagi anak-anak didik kita di abad 21, diantaranya yaitu kurikulum sekolah abad 21, bagaimana model pendidikan yang ideal untuk masa depan, cara kerja otak dalam memaksimalkan pembelajaran, letak IT & Digital Learning dalam pembelajaran abad 21, Bagaimana keterampilan yang perlu dipersiapkan untuk generasi abad 21.

KGN 2010 akan diselenggarakan pada 9 – 10 November 2010, pukul 08.00 – 16.30 Wib, bertempat di Unika Atma Jaya, kampus Semanggi, Jl Jenderal Sudirman No.51 Jakarta.


Informasi lebih lengkap di www.konferensigurunusantara.net

TERTARIK? ADA 3 TIKET GRATIS
Atas dukungan Provisi Education dan Indonesia Power, majalah Teachers Guide ingin menghadiahkan tiket gratis bagi 3 orang Guru pembaca/pelanggan majalah Teachers Guide.

Sampaikan pendapat Anda Anda tentang:
a. Alasan Anda kenapa Anda ingin menghadiri KGN 2010.
b. Saran dan harapan Anda bagi pengembangan majalah Teachers Guide.

Sertakan data pribadi Anda, kirimkan via email kami: majalahteachersguide@yahoo.co.id
Selambatnya kami terima Jum'at 5 November 2010.

Komentar/pendapat yang baik akan kami beri hadiah kesempatan gratis menghadiri KGN 2010, terbatas untuk tiga orang.

Ayo selangkah lebih profesional dengan menghadiri Konferensi Guru Nusantara 2010.

Salam Pendidikan!
Indrawan Miga
Managing Editor
Majalah Teachers Guide

LEARNING JOURNEY ala Bobby de Porter

Methode



Pejamkan mata. Bayangkan:
‘… kendaraan yang ditumpangi anak sekolah itu berhenti tepat di depan sebuah sekolah. Sekolah berpagar besi, dengan pohon rambat menghiasi jeruji. Langkah kaki menapaki halaman parkir yang teduh. Gerbang sekolah ditunggui Guru, dengan senyum lembut menyambut kehadiran. Melangkah ke dalam, tercium aroma tanah. Lumut menempel di bebatuan, menunjukkan sekolah itu masih menyimpan banyak oksigen. Wangi pepohonan samar di antara angin yang sepoi.

Masuk ke koridor kelas, terpampang berbagai slogan yang menggugah semangat. Lorong koridor tak lagi berderet loker piranti siwa, melainkan sofa duduk yang bersahabat. Koran, majalah, jurnal, bertengger di rak sepanjang koridor. Alat permainan ala anak negeri, congklak, bekel, catur, karambol, bola, ditata rapi. Bunyi musik mengalun pelan, memanjakan telinga.

Sampailah di kelas….
Tampak pemandangan yang lebih menggairahkan. Tangan-tangan mungil siswa berlambaian di udara, berlomba menjawab pertanyaan guru. Sinar mentari menyeruak lembut dari balik jendela kaca yang dibuka lebar, tak lagi memerlukan pendingin udara yang mudah menularkan virus. Guru mengajukan pertanyaan yang menggugah pengalaman anak.

Riuh, namun tertib. Kelas sibuk dengan kegiatan yang berbeda-beda. Anak yang selalu bergerak, berbaur dengan yang duduk mendengar dengan mata berkerjab. Ada pula yang sambil mencoret sesuatu di kertas. Ketiga gaya belajar bersamaan merespon materi.

Rak dan meja pajang, serta dinding display penuh dengan alat pendukung belajar. Semua berguna bagi siswa dan guru, bersanding dengan jajaran buku tebal bergambar sesuai minat anak. Hingga guru selesai menjelaskan materi, tak tampak anak yang diam melamun. Semua seolah paham, dan mulai mengerjakan lembar kerja yang berisi refleksi dan pandangan anak pada materi yang baru saja mereka pelajari. Anak yang tak paham mendapat belaian di kepala, dan dilakukan penjelasan khusus. Privat.

Sesaat kemudian, mereka berpindah duduk, membentuk lingkaran beranggota lima-an. Terdengar kembali dengung bak lebah berdenging, disertai tawa dan anggukan anak, sesekali ungkapan tak setuju yang dibarengi dengan pengungkapan alasan. Ada yang sepakat, ada pula yang tidak. Tak terdengar keluhan, cemoohan, apalagi ejekan. Guru memberi komentar sesekali.

Saatnya anak presentasi. Mempertontonkan hasil diskusi. Sebentar saja. Sebelum mengakhiri pertemuan kelas, Guru meminta anak memberi apresiasi, dengan melakukan tepuk tangan melingkar. Tepukan biasa, disertai pekik ‘yaaaaa……!’, namun cukup memberi nuansa perayaan akan sebuah keberhasilan.


Bukalah mata anda ………….


Itulah sebuah pengalaman belajar. Hampir sama dengan yang diungkapkan oleh Bobby de Porter. Berambut putih pirang, tatap mata dalam dan kesungguhan tekad berbagi pelita ilmu dengan para Guru. Di depan seribuan Guru yang berkumpul di sebuah ruang di kompleks kantor Mendiknas di Senayan Jakarta.




Mizan Corporation mengundang Bobby. Melalui bantuan penterjemah, Bobby menjelaskan sebuah alur yang akan membantu Guru menjalani proses mengajar belajar bersama siswanya di kelas. Tak hanya dengan bicara, Bobby meminta para Guru mengikuti gerakan, yang disebutnya sebagai mengorkestrasi proses belajar, agar lebih mudah melekat, sebagai pengingat.



“Ayo tirukan sambil katakan: Everything speak,” jelas Bobby sambil membuat gerakan melingkar dengan kedua tangan, diikuti dengan membuat kerucut dengan jari tangan kanan, dan dikatup-bukakan, mirip gerakan yang menunjukkan orang bicara. Ya, everything speak adalah pentingnya penataan fisik kelas. Tempat, kelas atau ruang, yang harus diatur agar semua yang ada di situ ‘bicara’, .

Dirancang agar semua merangsang indra anak untuk merespon dengan positif. Kursi, karpet, meja, rak, pajangan, jam, tape recorder, bunga meja, alat peraga, cara guru berpakaian, senyum guru yang manis, lonceng dan sebagainya, seolah bicara. Bicara pada semua siswa bahwa mereka ada karena mereka (benda-benda itu) berguna. Pada saat semua sudah tampak sempurna, guru terus akan bertanya pada diri sendiri, “Apa lagi yang bisa saya lakukan?”

Everything on purpose”, gerakkan kedua tangan, lalu tekan telunjuk kanan ke telapak tangan kiri’. Maknanya adalah: semua yang ada di ruangan, beserta segala yang tertera dan tergeletak dan tertata, memiliki makna. Memiliki tujuan mengapa ada di situ. Tampak sudah dipikirkan sejak guru akan melakukan sesuatu. Tujuannya, membantu siswa dan guru memahami materi pelajaran dan belajar berinteraksi dengan lingkungan, bergerak ataupun tak bergerak.

Experience before labelling – (putar kedua lengan tangan, dan lakukan silang seperti membuat anak tangga) - praktik ilmu konstruktivisme yang dilakukan untuk menghargai siswa. Memberi gambaran apa yang akan dipelajari, agar tercipta koneksi atau kaitan dengan konsep baru yang akan diperkenalkan. Cara termudah adalah dengan membuat skema pengetahuan, agar semua siswa tahu ide besar rancangan guru yang akan diajarkan.

“Acknowledge every effort”
– (lakukan gerakan tangan seperti seorang pemenang, kedua tangan dibuka, lengan dilipat, tangan mengepal) - belajar pada dasarnya adalah sebuah resiko. Karena itu, hargai setiap pencapaian. Berusaha adalah sebuah pilihan. Ketika kita melihat ada anak yang susah sekali masuk kelas, anak itu sendiri pasti merasa heran. Mengapa anak lain begitu mudah masuk kelas dengan ceria. Sedang dia sendiri merasa betapa beratnya usaha itu. Apa yang akan kita lakukan? Tetap menghargai anak itu. Because learning is work, so make it enjoyable. Berikan penghargaan dengan ungkapan yang tulus, namun tidak umum. Jangan hanya klise mengatakan: “ya, kamu baik; ya, bagus”. Coba lebih spesifik: “Karet rambutmu indah. Warnanya serasi”.

If it worth learning, it is worth celebrating” - (tunjuk kening dengan telunjuk, kemudian gerakkan jari-jari tangan seperti menari). Apa yang layak dipelajari, layak pula dirayakan keberhasilannya. Mengubah kepercayaan negatif menjadi positif. Mengurai negative learning dengan cara mengubah persepsi, rasa minder, rasa tak mampu. Merayakan kemenangan tak harus dengan pesta. Membuat gerakan tepuk tangan melingkar (tak biasanya) pun sudah sebuah perayaan.

Sekali lagi, quantum learning adalah sebuah usaha mengorkestrasi proses belajar. Masa depan proses belajar adalah meaningfull, joyfull, serta tetap relevan dengan apa yang dipelajari.

Sejumlah 15.000 guru di seluruh dunia sudah berlatih quantum learning. Mereka sudah mengubah jutaan siswa berbinar saat belajar. Kapan giliran Anda?TG

• Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Teachers Guide edisi no. 10/ Tahun ke IV/2010. Dapatkan di toko buku Gramedia dan Gunung Agung. Ketimbang kehabisan, silakan berlangganan. Sirkulasi: (Fleksi) 021-68458569, 0812 8242 801 . Selamat membaca!

Ki Hajar Dewantara: "Pendidikan adalah perjuangan kebudayaan"


Pendidikan adalah usaha pembangunan, kata orang, ini benar. Tetapi menurut pikiran saya kurang lengkap. Pendidkan yang dilakukan dengan keinsyafan, ditujukan ke arah keselamatan dan kebahagiaan manusia.

Tidak hanya bersifat laku pembangunan, tetapi sering merupakan 'perjuangan' pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan. Tidak boleh boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin.. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.
(Ki Hajar Dewantara)

November 02, 2010

PEMBENTUKAN APERSEPSI MELALUI 4 PILAR. Awali dengan ‘whuahaha ....ha…ha…ha…’ . Masuklah ke ALFA ZONE

Methode


Apa kekuatan sekolah yang ditulangpunggungi oleh pakar-pakar metode pembelajaran yang manusiawi? Inilah yang membedakan sekolah Anda dengan sekolah yang diminati banyak anak. Hidden methode ini menentukan sustainable (kelestarian) sekolah Anda.
Bukan soal fisik dan program serta fasilitas. Melainkan sudah bergerak pada tatanan proses yang makin lama makin dipahami orang tua dan masyarakat sebagai sebuah proses belajar yang memanusiakan anak.

Bertemu muka dengan Munif Chatib, penulis buku “Sekolahnya Manusia”, kami bincangkan sebuah proses yang seharusnya menjadi tata baku proses belajar seluruh anak. Inilah yang akan menentukan pembelajaran bisa berlangsung kompak.

PEMBENTUKAN APERSEPSI


Melalui 4 pilar. Pertama adalah ALFA ZONE. Setelah bertatap muka dengan siswa, mulailah menuju kondisi awal yang menyenangkan. Kesiapan paling untuk memasukkan fakta dan informasi. Dalam keadaan ini, pergerakan dendrite otak sudah harmonis.

Jika divisualkan, gerakannya akan bersama-sama saat mengambil info. Berbeda dengan kondisi teta, di mana anak tampak melamun membayangkan sesuatu, dan bahkan bisa masuk ke kondisi delta, tertidur lelap saat guru menerangkan, kondisi alfa mudah dikenali. Jika sudah tampak senyum mengembang di bibir siswa, dan mata berbinar, saat itulah kondisi alfa sudah on.

Menciptakan alfa zone didapat melalui kegiatan games, cerita lucu, tebak-tebakan, musik, brain gym, dan serangkaian ice breaking lainnya yang tak harus ada hubungannya dengan materi yang akan diajarkan. Tak perlu semua ada. Salah satu saja. Mengingat pentingnya pengkondisian alfa yang diibaratkan seperti peluru, buatlah katalog ice breaking. Targetnya adalah siswa bisa ber ha..ha..ha… ..

Pilar ke-dua adalah WARMER. Menghangatkan ingatan yang sudah lalu. Jika pertemuan itu bukan yang pertama, warmer dimaksukan sebagai pembentuk pengetahuan konstruktivisme, yakni membangun makna baru berdasar pengetahuan yang sudah dimiliki siswa.

Guru me-recall dengan pertanyaan terbuka. “Bagaimana pendapatmu tentang pohon bambu dan pohon kelapa, yang keduanya adalah tanaman yang banyak ditemui di Indonesia. Apa saja kegunaannya?”

Pilar ke-tiga adalah PRE TEACH
. Ini yang sering dilupakan oleh Guru. Jangan heran kalau kondisi kelas kusut masai dan siswa tak terkondisi. Pre teach ini memberi informasi secara manual, bagaimana aturan diberlakukan.

Terlebih pada mata pelajaran sains atau percobaan yang menggunakan alat, pre teach mutlak dilakukan, agar tak terjadi cedera atau kesalahan prosedur.

Pilar ke-empat adalah SCENE SETTING. Kondisi inilah yang paling dekat dengan strategi. Sering pula disebut sebagai hook atau pengait menuju mata pelajaran inti. Contoh: meminta siswa membandingkan benda pilihan dari tas nya, dan berjajar sesui berat benda, adalah scene setting menuju pelajaran matematika ‘berat ringan’.

Seberapa penting pembentukan apersepsi ini? Menurut Pak Munif, jika tak dilakukan, proses belajar jelas tak maksimal, dan akan terjadi down shifting pada otak anak, karena tak di refresh.

Sadarkah Anda, jika berada di ruangan yang penuh dengan visualisai artistik, di gallery misalnya. Apa yang anda rasakan? Saat itulah sesungguhnya otak reptile anda dipuaskan oleh suasana, yang akan menembus 100% kekuatan otak. Luar biasa kan kalau ini diaplikasikan di kelas?

Pelajari terus menerus cara belajar yang kini makin banyak referensi dan pakarnya. Break the lesson ala Bu Dr. Eva Hoffman juga seru. Intinya adalah mengendalikan fokus siswa agar tetap pada pokok materi ajar, dengan keadaan yang nyaman. Anda tahu siapa orang yang paling ahli melakukan break the lesson? Itulah si Tukul dalam acara ‘Bukan 4 Mata’, yang mengikat fokus penonton dengan kalimat “Kembali ke laptop, kaya kuek”, dan fokus penonton pun kembali ke inti persoalan.

Jangan kalah dengan Tukul. Apersepsi akan mengantarkan siswa pada pemahaman konsep yang abadi di otak. TG

*Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Teachers Guide edisi no. 10/ Tahun ke IV/2010. Dapatkan di toko buku Gramedia dan Gunung Agung. Ketimbang kehabisan, silakan berlangganan. Sirkulasi: (Fleksi) 021-68458569, 081282422801. Selamat membaca!