Tampilkan postingan dengan label school concept. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label school concept. Tampilkan semua postingan

Desember 13, 2009

JIKA ANAK GURU IKUT SEKOLAH

Pertimbangkan Kemanusiaan, Loyalitas, dan Profesionalisme

Sudah hampir satu semester ini kepsek Pak Didin bimbang. Lebih dari sepuluh orang Guru nya membawa anak saat mengajar. Alasannya klasik : tak ada pembantu, sehingga tak ada yang mengurus si anak. Mau melarang, Pak Diding enggan lantaran banyak Guru jadi sering mangkir alasan anak. Diijinkan, tapi koq ya mengganggu proses mengajar.

Bahkan kini beberapa diantara anak ikut masuk kelas, ikut belajar, ikut sekolah tanpa keabsahan. Awalnya sih seolah titip teman sejawat yang mengajar di kelas usia
anak-anak mereka. Pak Didin sedang mencari aturan yang win-win. Tapi,terlambat! Hampir satu tahun hal ini berjalan. Ah… pak Didin bingung.


Awalnya bisik-bisik antar Guru, yang sebagian besar punya anak usia sekolah, di usia dini/kelompok bermain. Entah siapa yang memulai, pergunjingan ingin meminta hak anak Guru boleh ikut sekolah dengan harga minimalis makin menguat.

“Ya, kami kan mendidik anak orang lain. Tentu saja kami juga ingin anak kami menerima layanan pendidikan yang se-level dengan sekolah tempat saya mengajar. Ngiri juga gitu lho,” ungkap Bu Prita, Guru SD di Jakarta Selatan.

“Kalo ngikutin kata hati, kepingin juga anak saya merasakan sekolah di sini. Sudah hampir lima belas tahun saya mengabdi. Kini kami sedang menunggu keputusan direksi, apakah anak kami bisa sekolah dengan biaya seringan mungkin, syukur-syukur free…he..he..,” tawa renyah Pak Gani, guru di sekolah inklusi top di Jakarta Pusat.

“Di sekolah ini, kami selalu mendapat pelatihan mengajar dengan berbagai metode, serta pengembangan profesionalisme. Namun hati kami sedih, anak saya di sekolah lain tak tersentuh peningkatan kualitas pendidikan seperti ini. Semua serba apa adanya. Yah… kami tentu akan sangat bersyukur jika sekolah bisa mengakomodasi anak kami di sini,” keluh Pak Sam, guru di sekolah beken dengan bilingual system.

Manusiawi memang jika Guru juga berkeinginan memberi pendidikan terbaik untuk anak mereka sendiri di sekolah keren dan unggul. Kebanyakan, anak para guru itu bersekolah di SD negeri (gratis), atau sekolah dekat rumah yang berharga minimal. Faktor biaya menjadi pertimbangan utama kebanyakan para Guru bila ingin menyekolahkan anak di sekolah bermutu.

Pertimbangan Sekolah
Bu Fatim, pemilik sekolah yang sudah 10 tahun melayani pendidikan usia dini hingga SMP menyadari kebutuhan anak Guru. Ia memberi keringanan biaya 70% bagi anak Guru di tingkat Taman Kanak Kanak. Kalau masuk SD, pengurangan hanya 50%.

”Saya belajar dari sebuah sekolah teman, yang membebaskan biaya sekolah bagi anak Guru. Awalnya tak terasa. Tapi begitu tahun ke sekian, di mana makin banyak Guru yang punya anak usia sekolah, ternyata jumlah anak Guru cukup signifikan. Apalagi sekolah teman saya itu mengedepankan kelas kecil yang hanya berjumlah kurang dari 20 siswa per kelas. Nah ... lama-lama satu kelas isinya anak Guru semua…. Limbung juga keuangan sekolah. Belum lagi keriwehan Guru yang anaknya harus ikut menunggu jam kerja agar bisa pulang bersama.” Seru cerita bu Fatim.

Pak George, principal sekolah keren, tidak mengakomodasi kebutuhan ini. Secara prinsip, pekerjaan Guru juga sama dengan profesi lain yang menuntut profesionalitas. Tanpa bermaksud mengecilkan pendapatan Guru di sekolahnya yang hitungannya sudah jauh lebih tinggi dibanding sekolah lain, pak George menjelaskan bahwa pembayaran sekolahnya hanya bisa diakses oleh seorang pengusaha besar atau ekspatriat.

“Kalau anak Guru sekolah di sini, hmm…. saya fikir hanya akan mempersulit kehidupan mereka sendiri. Lebih baik kami memberi sedikit tambahan subsidi pendidikan anak dalam komponen gaji Guru yang sudah memilki anak usia sekolah, maksimal sampai anak ke dua. Aturan ini sudah tertulis dalam buku kepegawaian. Jadi tak muncul masalah di kemudian hari. Kalau anak Guru hanya sekedar ingin menikmati fasilitas sekolah seperti kolam renang atau playground, kami menentukan hari keluarga. Setahun dua kali lah,” jelas Pak George, ekspatriat yang fasih berbahasa Indonesia.

Kebijakan muncul bersamaan dengan kebutuhan. Ketika sekolah sudah berjalan cukup lama, dan para Guru yang ikut dalam perjuangan sekolah mulai melihat kemapanan sekolah, muncul kebutuhan menyangkut kemudahan anak Guru.

Pengelola sekolah harus berhitung dengan segala kemungkinan. Akan menjadi daya pengikat loyalitas Guru, jika anak mereka bersekolah dengan gratis atau potongan khusus. Namun jika hampir semua Guru berusia produktif, besaran subsidi sekolah yang harus dibayarkan tentu layak dicermati.

Kesadaran Diri
“Mesti disadarkan pula pada Guru, bahwa mendidik anak lain bukan berarti menerlantarkan anak sendiri meski dengan kualitas berbeda. Belajar toh bukan hanya di sekolah. Jika sekolah terus meningkatkan mutu pengajaran, hal itu juga bisa diterapkan Guru pada anak-anak mereka di rumah. Perasaan iri tak perlu dibangkitkan. Tiap anak sudah ada rejekinya.” Begitu kata alim ulama.

Makin sulit lagi jika Guru adalah sang ayah. Sepulang sekolah, tidak mungkin ayah segera mengantar pulang anak –kecuali kalau dekat. Kalau Guru perempuan, masih mending. Dia mungkin lebih luwes mengurus anaknya makan siang bersama, dan menidurkan di ruang kelas, atau memberi mainan yang cukup saat sang ibu harus rapat atau mengurus kelas. Meski tampak ribet, namun pemandangan ini seringkali lebih diterima oleh lingkungan, dibanding pemandangan seorang bapak yang di-intil anaknya saat bekerja.

Ada yang bisa bantu pak Didin? Mana yang dikedepankan? Profesionalitas, meningkatkan loyalitas Guru? Atau biarkan mengambang, hingga Guru merasa kesusahan sendiri? Duh… susah!TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Desember 09, 2009

SEKOLAH RAMAH ANAK ala CIKAL

Sekolah bagus, Guru bagus, pembelajaran bagus, itu sebuah keniscayaan. Masih dibutuhkan lagi ide dan kreatifitas yang menunjang itu semua menjadi penguat
kehidupan sekolah.

Sekolah CIKAL, baru-baru ini meluncurkan deklarasi ‘Sekolah Ramah Anak’ (SRA) sebagai kelanjutan konferensi Sekolah Ramah Anak yang diadakan pada Mei 2009.

Menurut UNICEF, Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang menjamin pengadaan lingkungan yang aman, situasi emosi yang tentram dan terbuka terhadap perkembangan psikologis anak.

Menurut Shaffer (1999), SRA didefinisikan sebagai sekolah yang mengembangkan
lingkungan belajar yang mudah dipelajari anak dan kondisi yang memotivasi. Guru dituntut lebih terbuka dan memperhatikan kesehatan dan keselamatan anak selama di sekolah.

13 Kriteria SRA menurut Unicef:
1. Merefleksikan dan menjalankan hak anak di sekolah.
2. Memandang anak dengan utuh, sebagai bagian dari keluarga, sekolah dan komunitas.
3. Berpusat pada kemajuan siswa.
4. Peka pada perbedaan gender dan ramah pada siswa perempuan.
5. Lebih mengutamakan kemajuan kualitas hasil belajar.
6. Memberikan pendidikan yang relevan pada kehidupan.
7. Fleksibel menyikapi perbedaan.
8. Terbuka pada pendidikan inklusi serta menghormati persamaan kesempatan.
9. Menunjang kesehatan mental dan fisik anak.
10. Menyediakan pendidikan terjangkau dan mudah diakses.
11. Menguatkan kapasitas, nilai-nilai, komitmen dan status guru.
12. Fokus dan melibatkan keluarga.
13. Fokus dan melibatkan lingkungan sekitar sekolah.

Yel-yel SRA didengungkan bersamaan dengan mini drama dan penandatanganan deklarasi. Dampak SRA diharapkan dapat mengurangi bullying (pelecehan).

Agar sekolah semarak dengan berbagai kegiatan, munculkan yang kegiatan yang berbeda. Ketika kita tak bisa menjadi yang pertama (the first), tak bisa juga menjadi yang terbesar (the best), masih ada kesempatan untuk unggul, yakni menjadi yang different.TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

September 24, 2008

School Concept

Mengintip Model-model Pembelajaran ala Pesantren

Individual learning, cooperative learning, round table discussion, experiental learning, outing, adalah metode yang belakangan menjadi ikon pembaruan pendidikan, yang umumnya dikenal datang dari negeri lain.

Tak banyak mungkin yang tahu, metode-metode itu ternyata sudah menjadi cara belajar ala pesantren sejak sebelum jaman kemerdekaan. Terdengar canggih, seringkali istilah asing yang datang dari luar itu menjadi trend, yang kerap menjadi metode unggulan sebuah sekolah.

Pesantren, sebuah lembaga keagamaan yang mengemban amanah pendidikan dan pengajaran, mungkin hanya dapat ditemui di wilayah Indonesia. Interaksi aktif antara ustadz dan santri ini kerap dilakukan di mushola atau beranda masjid.

Jauh sebelum kemerdekaan, pesantren telah menjadi sistem pendidikan di hampir seluruh pelosok Nusantara, dengan kajian utama ilmu agama. Di sekolah modern sekarang ini, nama-nama metode di pesantren lebih dikenal sebagai metode individual, klasikal.

Metode Sorogan

Menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individu). Dilakukan di ruangan, dengan posisi sang Ustadz berhadapan dengan meja pendek, yang digunakan untuk meletakkan kitab. Ustadz memberikan koreksi seperlunya. Sementara teman lain yang menunggu giliran, duduk bersila agak jauh dibelakang, sambil menyimak apa yang diajarkan. Setiap santri harus sudah mempelajari dan menguasai bab atau sub-bab pada kitab yang akan di-sorog-kan sesuai target pembelajaran.

Evaluasi terhadap metode sorogan inipun telah tersistem. Santri diminta menjelaskan teks materi bab, bagian,topik yang telah dibahas pada pertemuan sebelumnya. Jika sudah betul, materi lanjutan baru diberikan. Jika sebaliknya, santri harus mengulang kembali.

Metode Bandongan

Disebut juga metode wetonan. Ustadz memberikan pelajaran kepada sekolompok santri yang akan mendengar dan menyimak kitab yang dibaca oleh Ustadz, kemudian menterjemahkan dan menerangkan serta mengulas teks kitab berbahasa Arab. Santri memegang kitab yang sama, sambil melakukan pencatatan simbol-simbol dan arti kata, langsung di bawah kata yang dimaksud.

Kegiatan dilakukan sambil duduk melingkar. Proses tanya jawab bisa dilangsungkan, karena sebelumnya, santri suah membaca bab yang akan dipelajari. Santri lain diberi kesempatan menjawab pertanyaan jika tahu. Pada beberapa pesantren yang telah memiliki peralatan, alat bantu dipakai pada metode ini, seperti papan tulis, OHP, peta, dan pengeras suara.

Metode Bandongan menciptakan komunikasi yang baik antara ustadz dan santri, karena ustadz dituntut untuk memperhatikan situasi, apakah sikap santri sudah siap belajar (bandingkan dengan teori konstruktivisme, yang mensyaratkan siswa diberi pembelajaran, berdasar pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya).

Tahap evaluasi pada metode ini sudah sangat mendekati evaluasi di abad paradigma baru. Pada saat khatam (akhir penyelesaian) sebuah kitab, aspek kognitif, sikap atau perilaku dan ketrampilan semuanya dievaluasi, yang tentu saja lebih komprehensif karena siswa tinggal seharian di pesantren.

Metode Musyawarah/Bahtsul Masa’il

Ini mirip dengan metode seminar. Beberapa santri membentuk halaqah (musyawarah) yang dipimpin langsung oleh ustadz untuk membahas persoalan tertentu. Santri bebas berpendapat ataupun bertanya. Cara ini membuat santri meningkatkan daya analisis dan problem solving. Morning talk di sekolah active learning mungkin dapat menjadi bandingannya.

Peserta musyawarah tidak memiliki perbedaan kemampuan yangmencolok, agar kegagalan musyawarah dapat diminimalkan. Dalam pembelajaran mult kecerdasan, hal ini dekat dengan pengelompokan siswa dengan karakter dan gaya belajar yang sama, sehingga lebih memaksimalkan proses.

Evaluasi dilakukan dengan menilai kualitas pertanyaan santri, yang meliputi logika, ketepatan, referensi, serta bahasa penyampaian

Metode Pengajian Pasaran

Inilah kegiatan belajar kelompok yang dilakukan secara maraton selama tenggang waktu tertentu, tergantung besar kecilnya kitab yang dikaji. Target utamanya adalah menyelesaikan bacaan kitab secara lebih cepat. Waktu istirahat yang digunakan hanya pada waktu shalat dan makan, dan urusan toilet saja.

Metode hafalan (Muhafadzah)

Cara menghafal teks tertentu di bawah pengawasan Ustadz. Hafalan yang sudah dimiliki, kemudian didemonstrasikan.

Metode Rihlah Ilmiah

Kini lebih dikenal dengan study tour, outing atau fieldtrip. Kegiatan mengunjungi objek untuk dilihat dan dipelajari secara langsung.

Sebelum berangkat ke tempat tujuan, santri telah mendapat penjelasan dan gambaran tugas yang harus dikerjakan, tujuan serta waktu pelaksanaan. Setelah selesai, lantas dilakukan rumusan hasil pengamatan. Semua tahapan ini akan mendapat penilaian.

Metode Muhadatsah

Latihan bercakap-cakap dalam bahasa Arab. Khusus pemula, kegiatan ini dilakukan pada waktu tertentu. Di beberapa pesantren, ditambahkan Bahasa Inggris. Seringkali disandingkan degan latihan berpidato. Untuk membiasakan bahasa, santri berlatih dalam kelompok-kelompok kecil,kemudian meningkat di arena-arena tertentu, sampai akhirnya harus selalu menggunakan bahasa Arab dan Inggris dalam keseharian, kemudian memberi komentar.

Nama benda dan ruang-ruang ditulis dengan bahasa Arab dan Inggris. Persis seperti cara berekspresi di sekolah modern kan ?

Metode Mudzakarah

Kegiatan ini adalah acara temu ilmiah. Bahasan yang ditampilkan justru sangat dekat dengan permasalahan lingkungan terdekat. Kegiatan ini terjadwal secara periodik, antara satu hingga dua bulan sekali.

Nah, mestinya
kita lebih bersemangat menggali konsep dan metode pendidikan asli negeri sendiri, yang terkesan jadul sekalipun. Susan Stangel, mantan direktur FEE, sebelum pulang ke negaranya pernah menyatakan bahwa negeri kita ini sangat tidak mau menggali kekayaan khasanah pendidikan yang sesungguhnya sudah dimiliki. Jangan hanya terpesona dengan metode yang datang dari luar, yang belum tentu sesuai dengan iklim dan karakteristik sendiri.** TG

*) Arfi D. Moenandaris adalah chief of editor majalah Teachers Guid, praktisi pendidikan, pembicara, dan konsultan pendidikan. Ia dapat dihubungi melalui email: arfi_tcguide@yahoo.co.id Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.