Pertimbangkan Kemanusiaan, Loyalitas, dan Profesionalisme
Sudah hampir satu semester ini kepsek Pak Didin bimbang. Lebih dari sepuluh orang Guru nya membawa anak saat mengajar. Alasannya klasik : tak ada pembantu, sehingga tak ada yang mengurus si anak. Mau melarang, Pak Diding enggan lantaran banyak Guru jadi sering mangkir alasan anak. Diijinkan, tapi koq ya mengganggu proses mengajar.
Bahkan kini beberapa diantara anak ikut masuk kelas, ikut belajar, ikut sekolah tanpa keabsahan. Awalnya sih seolah titip teman sejawat yang mengajar di kelas usia
anak-anak mereka. Pak Didin sedang mencari aturan yang win-win. Tapi,terlambat! Hampir satu tahun hal ini berjalan. Ah… pak Didin bingung.
Awalnya bisik-bisik antar Guru, yang sebagian besar punya anak usia sekolah, di usia dini/kelompok bermain. Entah siapa yang memulai, pergunjingan ingin meminta hak anak Guru boleh ikut sekolah dengan harga minimalis makin menguat.
“Ya, kami kan mendidik anak orang lain. Tentu saja kami juga ingin anak kami menerima layanan pendidikan yang se-level dengan sekolah tempat saya mengajar. Ngiri juga gitu lho,” ungkap Bu Prita, Guru SD di Jakarta Selatan.
“Kalo ngikutin kata hati, kepingin juga anak saya merasakan sekolah di sini. Sudah hampir lima belas tahun saya mengabdi. Kini kami sedang menunggu keputusan direksi, apakah anak kami bisa sekolah dengan biaya seringan mungkin, syukur-syukur free…he..he..,” tawa renyah Pak Gani, guru di sekolah inklusi top di Jakarta Pusat.
“Di sekolah ini, kami selalu mendapat pelatihan mengajar dengan berbagai metode, serta pengembangan profesionalisme. Namun hati kami sedih, anak saya di sekolah lain tak tersentuh peningkatan kualitas pendidikan seperti ini. Semua serba apa adanya. Yah… kami tentu akan sangat bersyukur jika sekolah bisa mengakomodasi anak kami di sini,” keluh Pak Sam, guru di sekolah beken dengan bilingual system.
Manusiawi memang jika Guru juga berkeinginan memberi pendidikan terbaik untuk anak mereka sendiri di sekolah keren dan unggul. Kebanyakan, anak para guru itu bersekolah di SD negeri (gratis), atau sekolah dekat rumah yang berharga minimal. Faktor biaya menjadi pertimbangan utama kebanyakan para Guru bila ingin menyekolahkan anak di sekolah bermutu.
Pertimbangan Sekolah
Bu Fatim, pemilik sekolah yang sudah 10 tahun melayani pendidikan usia dini hingga SMP menyadari kebutuhan anak Guru. Ia memberi keringanan biaya 70% bagi anak Guru di tingkat Taman Kanak Kanak. Kalau masuk SD, pengurangan hanya 50%.
”Saya belajar dari sebuah sekolah teman, yang membebaskan biaya sekolah bagi anak Guru. Awalnya tak terasa. Tapi begitu tahun ke sekian, di mana makin banyak Guru yang punya anak usia sekolah, ternyata jumlah anak Guru cukup signifikan. Apalagi sekolah teman saya itu mengedepankan kelas kecil yang hanya berjumlah kurang dari 20 siswa per kelas. Nah ... lama-lama satu kelas isinya anak Guru semua…. Limbung juga keuangan sekolah. Belum lagi keriwehan Guru yang anaknya harus ikut menunggu jam kerja agar bisa pulang bersama.” Seru cerita bu Fatim.
Pak George, principal sekolah keren, tidak mengakomodasi kebutuhan ini. Secara prinsip, pekerjaan Guru juga sama dengan profesi lain yang menuntut profesionalitas. Tanpa bermaksud mengecilkan pendapatan Guru di sekolahnya yang hitungannya sudah jauh lebih tinggi dibanding sekolah lain, pak George menjelaskan bahwa pembayaran sekolahnya hanya bisa diakses oleh seorang pengusaha besar atau ekspatriat.
“Kalau anak Guru sekolah di sini, hmm…. saya fikir hanya akan mempersulit kehidupan mereka sendiri. Lebih baik kami memberi sedikit tambahan subsidi pendidikan anak dalam komponen gaji Guru yang sudah memilki anak usia sekolah, maksimal sampai anak ke dua. Aturan ini sudah tertulis dalam buku kepegawaian. Jadi tak muncul masalah di kemudian hari. Kalau anak Guru hanya sekedar ingin menikmati fasilitas sekolah seperti kolam renang atau playground, kami menentukan hari keluarga. Setahun dua kali lah,” jelas Pak George, ekspatriat yang fasih berbahasa Indonesia.
Kebijakan muncul bersamaan dengan kebutuhan. Ketika sekolah sudah berjalan cukup lama, dan para Guru yang ikut dalam perjuangan sekolah mulai melihat kemapanan sekolah, muncul kebutuhan menyangkut kemudahan anak Guru.
Pengelola sekolah harus berhitung dengan segala kemungkinan. Akan menjadi daya pengikat loyalitas Guru, jika anak mereka bersekolah dengan gratis atau potongan khusus. Namun jika hampir semua Guru berusia produktif, besaran subsidi sekolah yang harus dibayarkan tentu layak dicermati.
Kesadaran Diri
“Mesti disadarkan pula pada Guru, bahwa mendidik anak lain bukan berarti menerlantarkan anak sendiri meski dengan kualitas berbeda. Belajar toh bukan hanya di sekolah. Jika sekolah terus meningkatkan mutu pengajaran, hal itu juga bisa diterapkan Guru pada anak-anak mereka di rumah. Perasaan iri tak perlu dibangkitkan. Tiap anak sudah ada rejekinya.” Begitu kata alim ulama.
Makin sulit lagi jika Guru adalah sang ayah. Sepulang sekolah, tidak mungkin ayah segera mengantar pulang anak –kecuali kalau dekat. Kalau Guru perempuan, masih mending. Dia mungkin lebih luwes mengurus anaknya makan siang bersama, dan menidurkan di ruang kelas, atau memberi mainan yang cukup saat sang ibu harus rapat atau mengurus kelas. Meski tampak ribet, namun pemandangan ini seringkali lebih diterima oleh lingkungan, dibanding pemandangan seorang bapak yang di-intil anaknya saat bekerja.
Ada yang bisa bantu pak Didin? Mana yang dikedepankan? Profesionalitas, meningkatkan loyalitas Guru? Atau biarkan mengambang, hingga Guru merasa kesusahan sendiri? Duh… susah!TG
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569
Tidak ada komentar:
Posting Komentar