Tampilkan postingan dengan label teachers personal development. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teachers personal development. Tampilkan semua postingan

Januari 21, 2010

TEACHER HAPPINESS

cover story (1) edisi 09

Alkisah, seorang Maharaja sedang murung. Seluruh negeri sibuk mengupayakan agar ia kembali ceria. Kesehatan sang Raja pun kian menurun akibat tekanan emosi yang mendalam. Hingga suatu saat pergilah dia ke hutan, berkelana menyamar.

Di desa-desa yang ia lalui banyak nian orang miskin yang terus mengeluh. Tak jauh dari situ, ada saudagar kaya yang tak henti mengumpat karena persaingan sesama pedagang. Maharaja makin tak mengerti akan konsep kebahagiaan yang sesungguhnya, yang dicarinya..

Saat termenung, ia mendengar suara: “Terima kasih Tuhan, pekerjaan hari ini telah selesai. Hari ini juga saya sudah makan, kini saatnya saya akan beritirahat.”

”Luar biasa!” pekik sang Raja. Ia makin tertegun manakala tahu asal suara itu seorang pemuda berpakaian lusuh. Bergegas Maharaja pulang, hendak mengabarkan khalayak akan kejadian itu.

Makin jelas dan nyata. Kunci kebahagiaan itu sebenarnya hanya ada di dalam hati kita. Suasana hati kita yang bahagia atau tidak, akan tercermin dari sikap. Kunci kebahagiaan tidak dapat ditemukan dari harta melimpah atau segala
yang kita miliki, melainkan kondisi hati kita.

Kekuatan spiritual sangat dahsyat pengaruhnya. Kekuatan spiritual menjadikan kita mampu melihat anugerah potensi yang Tuhan berikan. Kekuatan spiritual memberi rasa tenang, gairah hidup, ikhlas, dan berbuat kebaikan lebih banyak lagi.

Life Begins at School
Pernahkah Anda berfikir, sekolah adalah tempat istimewa bagi siapapun yang ada di dalamnya? Di dunia yang makin sibuk, makna cinta seringkali terabaikan. Mulailah mengembalikan dan menyeimbangkan kembali makna sekolah.

Di satu pihak, sekolah adalah tempat anak-anak dipersiapkan untuk menghadapi dan melayani masyarakatnya. Di pihak lain, sekolah juga harus menjadi benteng perlindungan untuk menghadapi tekanan masyarakat (akan keunggulan, menggeneralisir potensi, nilai, ranking, memacu prestasi akademis semata, dll- red).

Banyak pakar pendidikan klasik menginginkan sekolah berperan sebagai sonderwelt, yakni dunia khusus dan berbeda dari dunia masyarakatnya, di mana anak-anak merasa aman, bahagia dan bebas menikmati masa usia sekolahnya tanpa peduli sedikitpun pada tuntutan masyarakatnya.

Di sekolah, anak mengalami dunia, mengaguminya dan mengidentifikasikan diri, melalui apa yang diceritakan, dan diajarkan oleh Guru.

Guru! Ya, Guru! Anda! Kita! Yang seharusnya paling paham makna kehidupan. Ketika dunia sonderwelt menjadi keniscayaan, peran Guru terbuka lebar untuk menjadikan sekolah sebagai dunia yang membahagiakan.

Kondisi eksternal yang menuntut kebahagiaan seharusnya berbanding lurus dengan proses yang membahagiakan, dan membawa energi positif ke dalam diri kita menjadi bahagia! Ketika di sekolah kita jadikan sebuah kondisi time to focus on our world, maka di sinilah kesempatan kita menyapa anak yang murung, menanyakan kesehatan secara detil, menyentuh perasaannya bila siswa tak paham aturan dan kesepakatan kelas.

Guru perempuan tahu persis kapan jadwal menstruasi siswa perempuannya agar tak ada kebohongan untuk bolos olah raga atau praktik sholat; menemukan bakat menari anak – ketimbang ’mencaci’ ketakpahaman siswa pada materi pecahan desimal yang tak dikuasainya.

Life can be great, but life at school could be amazing! Only if you just took the time to get to know it better. School is where the healing is. This should be the one place where you can stop the world, get off, and take time out to focus on the people and things that can bring your real happiness.

Getting your school organized around your life, and styled the way you want it, is sure to increase that sense of well being. So, please create a school that works the way you want it to, so you can ease back on the throttle, and take time to enjoy what life has offer in your own perfect world: SCHOOL.


Saya yakin Anda tahu. Jika belum paham, tapi Anda percaya bahwa sekolah dan profesi Anda sebagai Guru dapat mendatangkan kebahagiaan yang hakiki, ini sudah menjadi sebuah modal kebahagiaan.

Yang Anda perlukan selanjutnya adalah tak henti mencari makna pengajaran dan keteladanan yang menjadi tugas dan tanggung jawab Anda sebagai pelaku pendidikan.

7 Kebiasaan Baik (Stephen Covey)
Ingat pendapat seorang Zig Ziglar, bahwa cinta kasih membuat kita melakukan tugas dengan sangat indah. Bila kita kehilangan kasih sayang, atinya kita kehilangan kehidupan.

Stephen Covey menganjurkan 7 kebiasaan untuk menghiasi setiap upaya dan menerangi jalan kita mencapai tujuan kebahagiaan dengan cinta dan kasih sayang pada sesama.
1. Be proactive – bersikap proaktif atau aktif, tak hanya berpangku tangan.
2. Begin with the end in mind – memikirkan dengan matang segala sesuatu sebelum memulai dan memperkirakan hasil serta efek yang ditimbulkannya pada orang lain.
3. Put first things first – letakkan segalanya dengan benar, sesuai tingkatan penting – perlu - mendesak.
4. Think win-win – tak hanya memikirkan keuntungan pribadi, juga apa yang bisa dinikmati orang lain
5. Seek first to understand than to be understood – berusaha lebih
peka dan memahami dibandingkan ingin dimengerti.
6. Synergize – bersikap kooperatif, saling membantu, dan memberi
kekuatan.
7. Sharpen the saw – pertajam kepekaan.

Bacalah buku-buku lebih lanjut: Adam Kho, Stephen Covey, Andrew Ho, Mario Teguh, Andrie Wongso, Arvan Pradiansyah, dan banyak ‘pakar kebahagiaan’ yang kini bukunya merebak di mana-mana).

Guru dengan cepat dapat menjadi penebar dan pelaku hidup bahagia. Tunggu apa lagi?TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Desember 06, 2009

GURU NYAPU NGEPEL? Gak Lah Yauww...


Setiap sekolah memiliki kebijakan. Ada yang popular, ada juga yang terdengar ajaib. Syahdan, beberapa Guru keluar dari sebuah sekolah yang bernuansa sejuk, berkolam renang, dan megah. Sekolah ini menerapkan aturan yang dirasa tak menghargai harkat Guru.

”Di sekolah saya, kelas adalah tanggung jawab guru. Lengkap dengan segala tanggung jawab kebersihannya. Artinya, kami harus menyapu, mengepel, dan membersihkan semua peralatan kelas. Janitor atau office boy hanya membersihkan teras kelas saja,” begitu jelas Bu Sinta, sarjana kependidikan, saat memberi alasan kepindahan pada pimpinan sekolah barunya, setelah memutuskan keluar dari tempatnya mengajar selama ini.

“Saya suka malu pada orang tua kalau kedapatan sedang menyapu. Bukannya mau jaga imej, tapi koq saya merasa tidak enak. Jadi saya suka pulang telat atau datang jauh lebih pagi untuk menyapu dan ngepel. Tidak enak melihat kelas kotor. Risih rasanya. Apalagi kami sering duduk di bawah,” urai Guru lain yang juga ikut hengkang dari sekolah tersebut. ”Kecuali sekolah memang tak mampu menggaji pegawai kebersihan dalam jumlah cukup. Maka Guru pun dapat turun tangan. Sekolah kami itu cukup punya dana. Ini hanya semata kebijakan yang katanya untuk melatih integritas kami sebagai Guru.”

Kebijakan sekolah pada kebersihan sudah tentu prioritas. Makin banyak sekolah menerapkan sistem kebersihan dengan standar hotel berbintang. Bahkan sampai dikerjakan pihak ketiga (outsourcing).

Bagaimana menurut Anda? Ini masalah sepele, namun terjadi di depan mata. Apakah integritas dan loyalitas sebagai guru hanya bisa diukur dari ngepel dan menyapu kelas? Kearifan sang pimpinan sekolah membuat aturan harus selaras dengan segmentasi sekolah.

Andai orang tua siswa dari kalangan the have, kualitas guru pun tak sembarang hanya ‘sekedar mau mengabdi’. Ukuran profesionalitas tak diukur dengan hal-hal ini. Ada indaktor yang jauh lebih tajam: sikap keinginan memperbarui metode mengajar, misalnya, lebih patut diukur ketimbang mau menyapu ngepel. Iya nggak?

Pendapat sang kepala sekolah yang mewajibkan guru bersih-bersih kelas mungkin lantaran ingin mendapatkan jiwa guru yang sesungguhnya. Kini bukan jamannya melacak sikap profesional atau kepribadian Guru dengan ‘merendahkan’ derajatnya. Sekali lagi, bukan nyapu ngepel itu rendah, namun serahkan saja pada ahlinya, para janitor yang lebih terlatih. Semua pada tugas dan kewajibannya masing-masing.

Kalau ditelaah, di sini sungguhnya terjadi dua kali kesalahan. Memboroskan biaya operasional karena pekerjaan murah dikerjakan oleh orang yang bergaji tinggi (Guru notabene bergaji lebih baik dari janitor). Kedua, sekolah menghilangkan kesempatan (waktu) Guru mengevaluasi siswa secara lebih cermat, yang menjadi tugas pokoknya. Akibat jangka panjang, tentu saja mutu sekolah akan menurun. Dengan investasi sebegitu besar, sekolah dilumpuhkan oleh kebijakan yang merugikan. Konon sekitar 40 guru keluar bersamaan dengan bu Sinta tadi.

Masih banyak cerita ajaib yang sesungguhnya berniat baik, namun manfaatnya sedikit bahkan lebih banyak merugi. Misal, makan siang. Guru baru, apapun jabatannya, harus melalui ‘masa mapram’ dengan menjalani kewajiban sebagai pemungut bola di lapangan golf mini sebuah sekolah. Yang lebih seru, guru baru itu tak boleh makan dengan menu serupa dengan guru seniornya. Kejadian tuh, seorang teman guru berlinangan air mata gara-gara tak boleh mengambil lauk ayam goreng, dengan alasan: masih guru baru! Huahhh……… TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569