Desember 06, 2009

GURU NYAPU NGEPEL? Gak Lah Yauww...


Setiap sekolah memiliki kebijakan. Ada yang popular, ada juga yang terdengar ajaib. Syahdan, beberapa Guru keluar dari sebuah sekolah yang bernuansa sejuk, berkolam renang, dan megah. Sekolah ini menerapkan aturan yang dirasa tak menghargai harkat Guru.

”Di sekolah saya, kelas adalah tanggung jawab guru. Lengkap dengan segala tanggung jawab kebersihannya. Artinya, kami harus menyapu, mengepel, dan membersihkan semua peralatan kelas. Janitor atau office boy hanya membersihkan teras kelas saja,” begitu jelas Bu Sinta, sarjana kependidikan, saat memberi alasan kepindahan pada pimpinan sekolah barunya, setelah memutuskan keluar dari tempatnya mengajar selama ini.

“Saya suka malu pada orang tua kalau kedapatan sedang menyapu. Bukannya mau jaga imej, tapi koq saya merasa tidak enak. Jadi saya suka pulang telat atau datang jauh lebih pagi untuk menyapu dan ngepel. Tidak enak melihat kelas kotor. Risih rasanya. Apalagi kami sering duduk di bawah,” urai Guru lain yang juga ikut hengkang dari sekolah tersebut. ”Kecuali sekolah memang tak mampu menggaji pegawai kebersihan dalam jumlah cukup. Maka Guru pun dapat turun tangan. Sekolah kami itu cukup punya dana. Ini hanya semata kebijakan yang katanya untuk melatih integritas kami sebagai Guru.”

Kebijakan sekolah pada kebersihan sudah tentu prioritas. Makin banyak sekolah menerapkan sistem kebersihan dengan standar hotel berbintang. Bahkan sampai dikerjakan pihak ketiga (outsourcing).

Bagaimana menurut Anda? Ini masalah sepele, namun terjadi di depan mata. Apakah integritas dan loyalitas sebagai guru hanya bisa diukur dari ngepel dan menyapu kelas? Kearifan sang pimpinan sekolah membuat aturan harus selaras dengan segmentasi sekolah.

Andai orang tua siswa dari kalangan the have, kualitas guru pun tak sembarang hanya ‘sekedar mau mengabdi’. Ukuran profesionalitas tak diukur dengan hal-hal ini. Ada indaktor yang jauh lebih tajam: sikap keinginan memperbarui metode mengajar, misalnya, lebih patut diukur ketimbang mau menyapu ngepel. Iya nggak?

Pendapat sang kepala sekolah yang mewajibkan guru bersih-bersih kelas mungkin lantaran ingin mendapatkan jiwa guru yang sesungguhnya. Kini bukan jamannya melacak sikap profesional atau kepribadian Guru dengan ‘merendahkan’ derajatnya. Sekali lagi, bukan nyapu ngepel itu rendah, namun serahkan saja pada ahlinya, para janitor yang lebih terlatih. Semua pada tugas dan kewajibannya masing-masing.

Kalau ditelaah, di sini sungguhnya terjadi dua kali kesalahan. Memboroskan biaya operasional karena pekerjaan murah dikerjakan oleh orang yang bergaji tinggi (Guru notabene bergaji lebih baik dari janitor). Kedua, sekolah menghilangkan kesempatan (waktu) Guru mengevaluasi siswa secara lebih cermat, yang menjadi tugas pokoknya. Akibat jangka panjang, tentu saja mutu sekolah akan menurun. Dengan investasi sebegitu besar, sekolah dilumpuhkan oleh kebijakan yang merugikan. Konon sekitar 40 guru keluar bersamaan dengan bu Sinta tadi.

Masih banyak cerita ajaib yang sesungguhnya berniat baik, namun manfaatnya sedikit bahkan lebih banyak merugi. Misal, makan siang. Guru baru, apapun jabatannya, harus melalui ‘masa mapram’ dengan menjalani kewajiban sebagai pemungut bola di lapangan golf mini sebuah sekolah. Yang lebih seru, guru baru itu tak boleh makan dengan menu serupa dengan guru seniornya. Kejadian tuh, seorang teman guru berlinangan air mata gara-gara tak boleh mengambil lauk ayam goreng, dengan alasan: masih guru baru! Huahhh……… TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Tidak ada komentar: