Januari 21, 2010

GIVING > GETTING

Lebih Banyak Memberi Ketimbang Menerima
Tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah mencapai kebahagiaan (happiness)



COVER STORY (02) edisi 09 TEACHERS HAPPINESS

Pak Harfan, seorang tokoh guru di film Laskar Pelangi, mengatakan: “ Hidup ini untuk memberi. Apa yang kita berikan, janganlah lebih sedikit dari apa yang kita dapatkan.” Dalam setting ruang kerja yang teramat sederhana, pernyataan ini dikatakan Pak Harfan berulang-ulang hingga jelang berpulang pada khalikNya.

Memberi, akan menghasilkan kebahagiaan yang jauh lebih besar dibanding mendapatkan. Kebahagiaan mendapatkan sesuatu akan berlalu, seiring berlalunya sesuatu itu.

Kebahagiaan mendapatkan uang akan berlalu seiring habisnya uang itu dibelanjakan. Kebahagiaan dipromosikan dengan kenaikan gaji, hanya akan terasa di bulan pertama, dan menjadi seterusnya biasa-biasa saja. Kebahagiaan karena memberi akan berdampak lebih lama dan abadi dalam jiwa. Kebahagiaan ini akan berdampak spiritual lebih luas.

Lebih jauh Arvan Pradiansyah, seorang motivator mengatakan, dari sudut kebahagiaan ada tiga jenis tindakan memberi.

Pertama: Giving < Getting, memberikan lebih sedikit daripada yang diperoleh. Ini adalah paradigm orang yang ‘menang’ tanpa memperdulikan orang lain. Penganut cara pikir ini meminimalkan kontribusinya dan memaksimalkan pendapatan, serta merasa sudah ‘untung’. Padahal, meski secara jangka pendek memang demikian terlihat lebih menguntungkan bagi orang tersebut, kondisi ini menciptakan ketidakseimbangan (imbalance) pada orang lain, yang juga mengharapkan keuntungan. Kondisi ini akan membuat orang lain itu menghindari berinteraksi dengan kita di masa mendatang.

Kedua: Giving = Getting. Apa yang kita berikan sama dengan yang kita dapatkan. Ini paradigma ‘menang-menang’ yang biasa ada di dunia bisnis. Agar bisnis berjalan, kita harus yakin dapat untung. Namun agar bisnis langgeng, kita harus memastikan apa yang kita berikan sepadan dengan apa yang diperoleh. Hanya cara inilah yang membuat orang senang dan mau berinteraksi dengan kita.

Ketiga: Giving > Getting. Memberi lebih banyak daripada menerima. Inilah prinsip yang dipakai oleh pak Harfan di atas. Kalau ingin menciptakan kepuasan dan loyalitas sejati dari pelanggan, relasi, atau konsumen, Anda harus memastikan bahwa apa yang diberikan jauh lebih besar dari yang Anda terima. Jika giving < getting bersifat transaksional, sebaliknya giving > getting ini menggunakan paradigma cinta yang transformasional.

Paradigma cinta jauh lebih berdaya, bertenaga, karena berakar dari dalam hati. Satu hukum alam terpenting adalah pertukaran sosial (social exchange). Tukar menukar yang dilakukan orang bertujuan mencapai keseimbangan.

Bila yang kita berikan lebih kecil dari yang kita dapatkan, orang yang berinteraksi dengan kita akan merasa rugi. Ini akan menurunkan tingkat kepercayaan dan membuat jera.

Bila yang Anda berikan sama dengan yang Anda dapatkan, bisnis dapat berlangsung namun tidak akan menyisakan ‘utang’ apa pun. Proses tukar menukar telah berhenti sampai di situ karena telah mencapai keseimbangan.

Jika yang kita berikan lebih banyak dibanding yang didapat, maka akan tercipta ketidak-seimbangan positif (positive imbalance). Ketidakseimbangan ini mendorong orang lain melanjutkan interaksi dengan cara membalas pemberian kita itu dengan pemberian yang lebih besar.

Positive imbalance ini menghasilkan sesuatu yang ‘beyond business’ karena memunculkan ikatan emosional, terpautnya hati dengan hati. Hubungan yang tercipta bukan lagi hubungan bisnis yang transaksional, melainkan terciptanya lingkaran kebaikan yang tak berkesudahan. Bukankah dalam cinta kita senantiasa menikmati setiap interaksi yang terjadi, bahkan merindukan interaksi berikutnya.

Bagaimana dengan Anda?
Harus disyukuri, tak banyak ditemui Guru yang berada di paradigm pertama, yang memberi lebih sedikit daripada yang diterima. Meski kalau ditelusur lebih lanjut akan ditemukan juga.

Sejauh mata memandang dan hati merasakan, Guru masih terjebak pada yang ‘imbang-imbang’. Apa yang dibayarkan sekolah, itu yang dikerjakan. Hitung menghitung antara gaji dan tenaga yang dikeluarkan begitu lincah dimainkan. Kalau tak ada uang lembur, tak akan ada pekerjaan selesai tepat waktu. Kalau ada siswa tak kunjung paham, tak ada niatan mengajarinya mengerti dengan mencari cara lain mengajarkannya sesuai karakter anak, kecuali kalau ada insentif tambahan hopeng (honor). Jika jam mulai kerja menurut SOP sekolah pukul 07.15, Guru itu pas bandrol datang, bahkan lebih sering telat ketimbang datang lebih awal lima belas menit.

Nah, Guru yang memberi lebih banyak dibanding yang didapat, akan menjalani hari-harinya tanpa berhitung. Profesi Guru dijalani dengan semangat pengabdian, meski bukan tanpa hitungan imbalan yang matang.

Kadang terdengar ungkapan, bahwa bukan jamannya lagi menjadi Guru yang ikhlas, mengabdi, mencari pahala akhirat dan sebagainya. Yakinlah, pendapat itu keliru, dan nilai-nilai universal tak kan lekang dimakan jaman.

Kepada sekolah Anda, kepada pimpinan, pada orang tua siswa, pada murid, pada tetangga sekolah, lakukanlah layanan yang lebih dalam hal perhatian, komunikasi, pencarian metode mengajar yang lebih variatif, kemudahan kerjasama, kesediaan menjadi teman curhat yang asyik bagi siswa, dan sederet tugas karya lain yang memang bukan tugas pokok keseharian Anda mengajar. Lakukanlah tanpa mengharap imbalan. Bukan uang yang menjadi motivasi.

Berikan komunikasi yang lebih mendalam. Jangan hanya menunggu anak didik menghadapi kasus barulah mengajak bertatap muka orang tua. Cermati berapa kali seminggu siswa tak mau makan siang, tanyakan kesulitan yang sedang dirasakan, ucapkan selamat atas kelahiran adik barunya. Berikan loyalitas terbaik Anda pada sekolah. Perluas cakrawala dengan banyak membaca buku di luar yang diperintahkan, lakukan penelitian kelas tanpa diminta, ikuti seminar dan pelatihan meski tak dibayari sekolah.

Dengarkan siaran tentang motivasi, sharing-kan dengan rekan sejawat, ajak diskusi sesama Guru bidang studi untuk mendapatkan pola pengajaran yang bervariasi, bahkan bila perlu sampai di luar jam sekolah yang biasanya terbatas. Masih banyak kebaikan yang bisa Anda berikan. Kini Anda makin tersadar, hukum positive imbalance akan bekerja memenuhi kebahagiaan Anda. Ujung perjalanan hidup Anda sebagai
Guru yang harus dicapai adalah kebahagiaan yang hakiki. Bukankah tujuan pendidikan sesungguhnya ingin mencapai kebahagiaan?TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Tidak ada komentar: