* Teguran Elly Risman pada Guru dan Sekolah.
* Oase Kehidupan dan ‘how about me'.
Jangan mentang-mentang berprofesi guru, Anda berlindung di balik kemuliaan profesi! Kalau Anda berbuat tak patut, Tuhan tetap akan menghukum!” pedas kata-kata keras Kak Elly Risman, tokoh multi talenta yang kerap berbicara masalah pendidikan dan parenting.
Pernyataan kak Elly disampaikan pada kami kala beliau mengisahkan beberapa guru berperilaku tak baik. Ada yang selingkuh, ngerauk uang sekolah berlebihan, sodok sana sikut sini, dan lainnya. ”Eh… tahu nggak apa yang terjadi”. Lanjut Kak Elly penuh ekspresi. “Meski mereka guru, azab Tuhan tetap disangkakan. Banyak cerita guru yang terkena dampak ketidakjujuran.
Ada yang jalan tapi nggak bisa berhenti. Lurus aja, kayak penguin, sampai nabrak tembok…. Ha..ha..ha…”, Kak Elly tertawa geli, mungkin membayangkan tata laku penguin. Ada yang didera kesulitan berkepanjangan. Ada yang ngomong tak bisa berhenti, kalau tidak ditutup mulutnya oleh rekannya – dulu rupanya ada uang komisi nggak pake rem masuk ke kantong pribadinya. Ada pula yang rumah tangganya hancur.
Meski pekerjaannya sangat mulia, setelah ‘berdagang’, kini guru tergerogoti karena status dan profesinya. Sekilas cerita Kak Elly tadi terdengar menakut-nakuti. Tapi dengar lagi penuturannya di kantornya yang sangat bersahaja. “Saya berkeinginan membuat sebuah pelatihan, dengan membangun komunitas guru, yang akan mengetuk para pengelola dan pemilik sekolah, agar jangan hanya menuntut peningkatan kompetensi saja. Pelatihan ketrampilan mengajar marak diberikan, biasanya dengan pendanaan kuat. Agendanya mulai dari cara membuat lesson plan, asesmen, bedah kurikulum, manajemen kelas, manajemen anak, komunikasi produktif, teknik bertanya, mengenali gaya belajar siswa, hingga seabrek ketrampilan yang memang harus dimiliki guru. Sederet peningkatan kompetensi Teacher as a proffesion.”
“Semua menunjuk ke arah anak. Coba peragakan dengan jari mengarah ke depan: berapa jari yang mengarah ke kita? Mana yang lebih banyak? Dengan kata lain, mana yang melatih Guru sebagai humanis berketeladanan? Berapa kali Anda dilatihkan cara menjadi Guru yang digugu dan ditiru? So, HOW ABOUT ME? Siapa yang akan bertanya: How do you feel teachers? What do you feel teachers?”
Siapa yang peduli dengan segala persoalan di luar urusan profesional sebagai guru, namun kehidupan mereka sebagai manusia biasa yang bisa saja melintir jalan hidupnya, terseok masalah, terjebak ancaman. “Ayo, siapa peduli?” tantang Kak Ely.
“Jadi Guru sekarang ini memang beraaaaaat,” tambah Kak Elly dengan penuh romansa. Apa yang Guru terapkan untuk orang lain (siswa, teman sejawat, orang tua, dll) belum tentu bisa diterapkan di kehidupannya sendiri. Tuntutan sekarang tinggi sekali, sementara kelas sosial guru dan siswa amat jauh bedanya. Ini umumnya guru, meski ada sedikit Guru keren yang melenggang tanpa kesulitan,” tandasnya.
“Guru tidak sesantai dulu. Banyak Guru sekarang nggak bisa ‘bersih’. Mengharap hadiah akhir tahun atau lebaran, menuai amplop saat penerimaan siswa baru yang melebihi kapasitas, sehingga sulit menjawab pertanyaan orang tua: “Berapa kami harus bayar agar diterima?”
“Oh ya, di majalah Teachers Guide yang bagus ini, tolong masukkan rubrik atau kolom humanis, yang berisi pengamalan guru berperilaku tak benar-tak patut dan akibatnya. Agar bisa menjadi perenungan dan peringatan,” begitu pintanya.
Mengapa ini Terjadi?
“Sama dengan orang lain, guru itu belajar agama masih banyak bersifat hafalan belaka. Tak dimaknai. Jadi ndak cukup spiritual. Firman Allah SWT: ” Akan Aku sampaikan kepedihan pada engkau dan anak cucu, sebelum kalian bertobat’ “Saya sering menerima konseling parenting. Anaknya bermasalah berat. Hasil tes tak menunjukkan ada penyebab klinis psikologisnya.
Pertanyaan saya kemudian : ”Coba jujur, siapa di antara orangtua yang selingkuh? Anak yang orang tuanya selingkuh, diketahui pertama oleh Allah, kedua oleh anak. Sampai begitu akibat yang ditimbulkan, lho,”
“Penyakit Guru saat ini sangat banyak. Selingkuh pikiran, selingkuh hati, selingkuh pekerjaan, waktu. Di sisi lain, sekolah juga harus memberi perhatian. Jangan hanya memperbaiki fasilitas dan kecanggihan teknologi IT. Sekolah harus mencari keberkahan melalui kesejahteraan dan perhatian pada guru. Selain hal primer, kebutuhan apresiasi lain juga difikirkan, mulai dari perhatian hati, hingga kendaraan, sampai naik haji. Kalau guru bagus, berkah itu sekolah!”
“Pendidikan itu harus berkah. Keberkahan tidak diukur dari teknologi. Keberkahan itu beyond technology. Dan ini diawali karena guru yang diurus dan disejahterakan. Jangan hanya ambil anak yatim atau duafa, taruh di sekolah dan sudah. Ndak ketemu juga. Minder anaknya. Guru saja urusin dulu deh!” lugas kata kak Elly.
Teachers as a Teacher?
Di sekolah kami, semua Guru harus memanggil siswa dengan sebutan ‘nak’. Guru harus mendidik siswa agar bisa bilang pada orang lain: “Sorry, saya sholat dulu ya”. Tapi mencetak siswa didik seperti ini tak mudah, harus dengan hati! Guru juga ‘teacher as a mother, as a parents’. Jadi komunitas pelatihan yang perlu dibentuk itu bukan hanya bicara guru dan profesinya, juga tentang dirinya dan persoalannya. Ini siapa yang urus? “Guru jangan hanya dipandang sebatas profesi terus. Tapi sebagai manusia. Sehingga dia bisa sukses di sekolah, bahagia di rumah!”
“Sekali lagi, jadi Guru sekarang ini tuntutannya sangat tinggi. Bebannya besar. Guru yang tadinya ‘bersih’, lantaran keadaan yang ‘memaksa’ harus bersentuhan dengan yang tak lurus. Komisi buku, suap siswa baru, hadiah penunjukan penyuplai perlatan sekolah.Nah… yang begini akhirnya membawa Guru menjadi tak lagi bahagia.”
“Jangan katakan klise nilai-nilai universal ini. Ketangguhan, rasa syukur, dengan hati, harusnya ini dilatihkan. Dimasukkan dalam dimensi kehidupan guru. Membangun karakter hanya bisa dilakukan lewat keteladanan. That’s it! Ikhlas itu rahasia di atas rahasia, cahaya di atas cahaya….. sesuatu yang beyond……Sekolah jangan kehilangan berkah. Pendidikan tak bisa lepas dari fitrah.”
Identity Crisis
“Memang ini kenyataan. Maaf ya…… Guru kebanyakan berasal dari keluarga kelas bawah. Ia lahir di tengah keluarga yang sangat sederhana, bahkan tak mampu. Kemudian menjelang dewasa, dia ingin sekolah, pengin jadi guru (yang gampang fikirnya). Lalu pinjamlah dia uang ke pamannya, ke neneknya, ke kerabatnya, untuk masuk PG TK, PGSD,Institut Keguruan, dan sejenisnya. Karena biasanya biayanya masih cukup terjangkau.”
“Setelah lulus, kemudian guru itu masuk mengajar di sekolah yang agak menengah atau lebih atas lagi. Coba fikir, berapa tahun dia menuntut ilmu kependidikan? Saya yakin tak menyentuh jiwanya sebagai pengajar yang ‘sepadan’. Tentu saja kemudian guru model ini kalah pede, kalah perbawa dari orang tua. ini terjadi di mayoritas sekolah. Muncullah kamuflase, tingkah laku kompensasi, identity crisis. Mestinya, ilmu yang ditempuh itu berguna bagi individunya dulu, baru untuk profesinya.”
“Tanamkan pada guru, untuk jadi bahagia BUKAN HANYA UANG! Ini persoalan mind set. Intangible, tak bisa dilihat. Tapi dirasakan. Ini juga hidden curriculum. Jika sekolah mampu menyediakan guru-guru yang sudah tangguh dengan pendalaman value, maka akan tercapai next generation yang diharapkan.”
Di Fakultas Psikologi ada yang baru, namanya PSYCHOLOGY VALUE. Mudah-mudahan tak terlambat. Caranya bagaimana? Dicari bibitnya, dilatih, dicontohkan, dinilai, diperbaiki lagi. “Lama? Iya memang. Sekolah itu baru akan tampak hasilnya setelah 20 tahun, bukan? Jadi bukan produk instan !“
Hmmm….. Kak Elly Risman bertutur dalam dua dimensi. Satu menuntut pribadi guru yang bersih, agar tak terkena dampak dekadensi moral, satu lagi meminta kesadaran pengelola sekolah untuk memperhatiakan ‘how about me’ tadi. Insya Allah segera akan kita dukung niatan Kak Elly untuk mewujudkan komunitas pelatihan ini.TG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar