Mei 03, 2010

Lagi, Kritik Mochtar Buchori tentang Guru


Guru sangat sadar perannya sebagai pengajar mata pelajaran, namun kurang sadar akan perannya sebagai pendidik yang harus membimbing muridnya mempersiapkan diri menjadi penerus perjalanan bangsa.

“Saya Guru matematika!” “Saya Guru bahasa Inggris!” “Saya Guru sejarah!” Ucapan inilah yang sering terdengar. Jarang ada yang mengaku sebagai Guru pembimbing siswa.

Seorang Guru besar kimia dari Kanada mengatakan: “ When I was teaching at a large university in Canada, I felt that I was teaching chemistry. When I moved to small college years later, however, I began to feel that I am teaching student, not chemistry . Since then I become conscious that my job is to teach student to understand chemistry.”

Di sinilah diperlukan kesadaran dan komitmen pribadi pada masa depan siswanya. Yang diajarkan bukan saja sekedar abstraksi kehidupan, melainkan upaya mengantarkan para siswa pada kehidupan nyata.
Teaching, training dan educating, ketiganya adalah aktifitas yang saling berhubungan. Teaching mengantarkan siswa pada pemahaman pengetahuan (knowledge). Training membimbing siswa pada penguasaan ketrampilan. Educating membawa siswa pada pengenalan, pemahaman dan penghayatan nilai-nilai. Tindakan ini bertujuan mengantarkan siswa pada pengethuan, ketrampilan dan kearifan (wisdom). Ketiganya merupakan tujuan akhir tindakan pendidikan, tujuan setiap education act.

Kenyataannya, pendidikan di sekolah sangat menekankan penguasaan pengetahuan, kurang memperhatikan pemupukan ketrampilan dan sangat mengabaikan pembinaan kearifan. Ini merupakan tradisi pendidikan sekolah yang dipengaruhi pikiran Sir Bacon sejak abad XVII. Praktek pendidikan ini lalu melahirkan semboyan: knowledge is power.

Mungkin tradisi ini yang menyebabkan praktisi pendidikan menjadi sangat sadar perannya sebagai penerus dan penyebar pengetahuan (kennisoverdrager). Kini, makin banyak kita ketahui tanpa tahu maknanya, pengetahuan hampa makna (meaningless knowledge). Nilai-nilai yang dipelajari pun menjadi nilai hampa makna (meaningless values). Gabungan keduanya lantas banyak melahirkan perilaku serba semu, kepalsuan.

Akibatnya, komitmen mengabdikan diri pada kesejahteraan bangsa di masa mendatang tak muncul. Padahal kelangsungan eksistensi bangsa adalah keharusan.

Betapapun kesalahan telah berlangsung selama ini, kita tak punya pilihan lain, kecuali berusaha sekuat tenaga melanjutkan kehidupan bangsa dengan jalan memperbaiki perilaku, agar tak menghadapi kepunahan, failed state. Saat ini kita dikategorikan sebagai negara ke 57 failed state di dunia.

APA ESENSINYA ?

Bangsa ini harus bangun dari keterpurukan. Tak mungkin Guru membangun komunikasi hanya dengan materi pelajaran yang diampunya saja. Dalam hubungan yang diwarnai empati, murid akan mencurahkan segenap pikiran dan perasaan mengenai harapan dan kekhawatiran masa depan.

Tugas membimbing siswa dapat dilakukan oleh SETIAP Guru, apapun mata ajarnya, meski guru sejarah sesungguhnya memiliki peluang yang lebih besar daripada Guru matematika untuk menjadi pembimbing. Namun yang lebih penting adalah rasa hormat yang tumbuh pada diri siswa karena sifat Guru yang patut dihargai.

Kalau jumlah Guru dengan kesadaran pembimbing lebih banyak, akan banyak pula generasi muda yang bersedia mengabdi pada masa depan bangsa. Demikian juga sebaliknya. Meski kini kebanyakan akan tetap lebih banyak berpikir bagaimana cara menjamin masa depan pribadi mereka melalui pekerjaan-pekerjaan yang aman dan nyaman.TG

Prof. Mochtar Buchori
Ketua Dewan Pengurus Yayasan PARAS, Jakarta.

*)Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.

1 komentar:

DediK mengatakan...

untung saya guru kelas (wali kelas) jadi saya mengajar "semuanya"...