April 30, 2010
Menghapus Stigma Pembelajaran Lama
Proses pembelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia diduga masih banyak yang menerapkan sIstem pembelajaran model lama. Model pembelajaran yang menempatkan guru dan murid dalam posisi jomplang (Jawa = tidak seimbang). Guru dianggap lebih pintar, lebih berkuasa, lebih berpengalaman, lebih berpengetahuan dari pada muridnya.
STIGMA PEMBELAJARAN
Posisi guru dan murid yang tidak seimbang telah menyebabkan timbulnya stigma-stigma negatif, yakni:
Pertama, mengisi wadah kosong (empty vessel), atau oleh Davis (dalam Suparno, 2008) disebut sebagai model the fountain and the bowl. Proses pembelajaran identik dengan mengisi ilmu pengetahuan dari pihak Guru ke dalam otak murid. Apa yang dimiliki dan diisikan oleh guru ke pikiran murid, itu pulalah yang didapat oleh murid, tidak lebih, tidak kurang. Hasilnya adalah murid - murid yang picik, sempit wawasannya.
Kedua, selembar kertas putih. Stigma ini didasari pandangan John Locke (1632-1704), seorang anak (dibaca=murid) diibaratkan seperti selembar kertas putih, kosong. Guru memiliki otoritas untuk menulisi, menggambari, mewarnai kertas tersebut. Murid tidak memiliki kesempatan melibatkan diri ikut menulisi, mengggambari dan mewarnai dirinya sesuai dengan yang ia inginkan. Beruntung murid yang mendapatkan Guru yang cerdas, kreatif, dapat menorehkan tulisan yang bermakna, menggambarkan gambar yang hidup dan mengoleskan warna-warni yang semarak dan indah. Sebaliknya murid yang mendapatkan Guru yang tulisannya amburadul, sembrono semaunya sendiri, gambarnya acak-acakan, tidak berbentuk, warna-warninya monoton, maka muridlah yang menjadi korban.
Ketiga, pemelajaran sistem Bank (Paulo Freire 1921-1997). Dalam proses pemelajaran sistem Bank, pekerjaan Guru hanyalah memasukkan, menitipkan bahan pelajaran ke dalam otak murid, suatu ketika akan diambil lagi. Tugas utama murid hanyalah menerima dan menyimpan fakta, data dan rumus. Murid wajib memastikan apa yang disimpan Guru di dalam otaknya aman, tak boleh berkurang. Untuk itu, satu-satunya usaha murid adalah menghafalkannya, sewaktu-waktu Guru mengambilnya lagi dapat mengeluarkannya persis seperti sang Guru kehendaki, yaitu saat test dilaksanakan.
Keempat, pemelajaran sistem robot. Robot dapat bergerak dan berbunyi kalau di dalamnya dimasukkan program tertentu. Selanjutnya robot akan bergerak kalau tombol remote ditekan. Pada proses pemelajaran sistem robot, Guru berperan sebagai tukang memasukkan program ke dalam otak murid, berupa kurikulum dan materi. Si murid tak tahu menahu dan tidak dapat menolak program macam apa yang dimasukkan ke dalam otaknya. Ketika remote ditekan (saat ujian) dan ternyata gerakan atau bunyi robot tak sesuai program (kunci jawaban) milik Guru, sang robot (siswa) pasti disalahkan.
DARI TEACHING KE LEARNING
Sejauh stigma tersebutkan di atas masih eksis dalam proses pembelajaran, maka sekolah identik dengan tempat pemasungan potensi atau pembodohan. Stigma harus dihapus, diganti dengan model pemelajaran moderen di mana guru dan murid didudukkan dalam posisi yang seimbang.
Seperti ditegaskan oleh UNESCO dalam World Education Forum, bahwa paradigma proses pemelajaran abad 21 harus berubah yakni dari kegiatan mengajar (teaching) menjadi kegiatan belajar (learning). Dalam konteks ini guru merupakan bagian dari proses pembelajaran, Guru dan murid belajar bersama, saling memberi dan mengisi.
Agar teaching berubah menjadi learning maka guru harus melakukan perubahan dalam proses pembelajaran.
1. Dari yang hanya berorientasi kepada teks (textbook oriented) dirubah kepada penyediaan sumber-sumber belajar yang bervariasi dan tak terbatas (borderless and variuos resources). Penyediaan akses informasi seperti media pembelajaran elektronik dan internet menjadi tuntutan utama bagi sekolah-sekolah yang hendak memelajarkan peserta didiknya berwawasan luas dan dapat mengikuti perkembangan informasi terkini.
2. Mengubah proses pemelajaran dari perseorangan (individual) menjadi kerja kelompok (teamwork). Memperbanyak porsi kerja kelompok sepanjang proses pemelajaran akan meningkatkan peserta didik mendapatkan variasi pengetahuan dari siswa lain, juga berkembangnya ketrampilan komunikasi, kerja sama, dan terbuka terhadap pendapat orang lain.
3. Mengubah proses pemelajaran dari siswa pasif (student pasive) ke siswa aktif (student active). Siswa aktif lebih besar kemungkinan baginya untuk tumbuh-berkembang sesuai potensinya. Aktif di sini tak selalu diartikan secara fisik, melainkan aktif secara mental intelektual, di mana peserta didik merasa tertantang, dan penasaran untuk terus berpikir dan belajar berkelanjutan.
4. Dari hanya menerima pengetahuan (received knowledge) ke membangun pengetahuan (constructive knowledge). Guru sadar, sejatinya pengetahuan tak bisa diberikan begitu saja kepada peserta didik. Ia sendiri akan membangun ilmu pengetahuan itu berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya. Tugas utama Guru memberikan stimulasi dan menciptakan lingkungan belajar tempat siswa membangun pengetahuannya sendiri.
5. Dari instructive ke interactive. Pada dasarnya setiap peserta didik tidak suka untuk di suruh-suruh atau di’gurui’. Mereka lebih senang dilibatkan dalam relasi yang interaktif, baik dengan guru ataupun sesama murid. Mereka memiliki ruang mengaktualisasikan apa dipahaminya.
Dengan mengubah proses pembelajaran, ruangan kelas dan lingkungan sekolah dengan sendirinya menjadi komunitas manusia (guru-siswa) yang saling memelajarkan satu terhadap yang lain atau yang disebut kelompok masyarakat pembelajar (learning society). TG
HJP. Maryanto
Guru, mengajar di Timika, Papua.
Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.
Surat Terbuka Ustadz Yusuf Mansur
Untuk : Semua Ayah, Ibu, dan Guru Bismillaahir rahmaanir rahiim.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Surat terbuka ini saya tulis dengan mengucap Bismillaahir rahmaanir rahiim. Isinya seputar kegelisahan saya sebagai orang tua, juga kakak, juga paman, bagi anak-anak saya, adik-adik saya, dan ponakan-ponakan saya. Juga kegelisahan akan keadaan anak-anak Indonesia pada umumnya.
Sekarang ini yang dipikirkan sama anak-anak kita bukan lagi cita-cita dan impiannya. Tapi ujian, ujian, dan ujian. Sempit sekali. Pendidikan akhlak, budi pekerti, kasih sayang, kesantunan, adat istiadat yang baik, dikesampingkan (Baca: tak dijadikan sistem, dan cenderung tidak diarahkan dan tidak dibentuk). Anak-anak lebih diarahkan dan ditujukan agar lulus dengan prestasi angka. Ujian sekolah dikhawatirkan, namun ujian hidup tidak dikhawatirkan.
Banyak yang sudah hidup tidak lagi berbalut Sunnah. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak ceria menegakkan shalat malam, kecuali tradisi ini masih terjaga dengan baik di dunia pesantren. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak yang bangga dengan dhuhanya yang tiada pernah putus, mati-matian menjaga shalat berjamaah di masjid lengkap dengan qabliyah ba’diyah bahkan tahiyyatul masjid dan sunnah syukur wudhunya. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak ditanya sudah khatam al Qur’an berapa kali? Sudah sampai mana hafalannya? Sudah berapa ayat yang dipelajari?
Kemajuan teknologi yang seharusnya membuat banyak kemudahan, membawa masalah lantaran anak-anak kita tak siap sisi negatifnya. Pergaulan makin bebas, mata makin susah dijaga. Pendidikan dan pembiasaan puasa yang efektif buat ngerem nafsu; baik buat anak-anak juga buat dewasa, tidak lagi dibiasakan. Yang dibiasakan justru keluar makan, jajan, dan mengkonsumsi junk-food. Anak-anak dari kecil hingga dewasanya tidak terlatih dan tidak dilatih untuk puasa.
Alhamdulillah, di situasi krisis akhlak, krisis cita-cita dan impian, Allah banyak hadirkan pendidik dan pengajar yang masya Allah bagusnya. Sekolah-sekolah yang di belakangnya ada anak-anak muda didikan kyai-kyai, didikan ‘alim ‘ulama, mulai menyuarakan pentingnya anak-anak menghafal Asmaa-ul Husnaa dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari; meneteskan sifat-sifat Allah di dalam diri anak.
Bahkan akhir-akhir ini, sekolah sekolah kemudian bangga sekali mengatakan kepada orang-orang tua calon siswa, bahwa salah satu keunggulan sekolah mereka adalah adanya program tahfidz. Sesuatu yang luar biasa, setelah umumnya bicara soal fasilitas benda mati; gedung dan sarana prasarana.
Saya merasakan repotnya – alhamdulillaah – mendidik dan mengajar anak-anak yang tidak disiapkan terlebih dahulu. Ketidakrataan profil anak-anak yang masuk, membuat sistem pendidikan tidak berjalan sempurna mesinnya. Ada anak-anak yang sudah bagus bacaannya, bahkan hafal 1-2, hingga 30 juz. Tapi banyak juga yang belum bisa baca al Qur’an!
Saya merasakan repotnya para pendidik dan pengajar di Daarul Qur’an ketika kualitas anak-anaknya sendiri beragam. Ada yang sudah cas-cis-cus bahasa Inggrisnya, bahasa Arabnya, ada yang masih a-i-u-e-o. Belum lagi latar belakang yang membawa karakter anak masing-masing.
Kita persiapkan dulu anak-anak didik kita. Warnanya disamakan, kemampuan bahasanya di-upgrade, kemampuan baca tulis al Qur’annya, hingga ke tahfidz dan akhlaknya, diupayakan supaya setara, tanpa melupakan karakter tiap anak dan keragaman kemampuannya.
Anak-anak kita sungguh mengarungi hidup yang berat jika ia tidak diberi sampan yang tangguh kokoh, serta dayung yang kuat. Sampannya al Qur’an, dayungnya as Sunnah.
Ustadz Yusuf Mansur saat bersilaturahmi dengan Guru di Depok
PROGRAM I’DAAD
Melalui program I’daad, anak-anak dibentuk dulu karakternya dengan al Qur’an dan as Sunnah. Dipenuhi dulu otaknya, pikirannya, hatinya, welas asihnya, kesantunannya, dengan al Qur’an dan as Sunnah. Sebelum ia dijejali apa yang diberikan oleh sekolah.
Sebelum mereka belajar di sekolah atau pesantren, mereka harus dipersiapkan dulu, sebelum mereka masuk ke sekolah-sekolah favorit pilihan.
Jangan terjun-bebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat dhuhanya, dan tak menyempatkan anak-anak kita shalat dhuha! Hingga kemudian ia akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak cinta kepada rasul-Nya.
Jangan diterjunbebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat berjamaahnya ketika zuhur. Kelak kita akan mendapati susah sekali anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak yang bisa shalat berjamaah, di awal waktu, dan di masjid.
Sejarah membuktikan, para cendikiawan muslim dunia adalah penghafal al Qur’an. Hidupnya tidak lepas dari al Qur’an. Pakaiannya adalah as Sunnah. In tamassaktum bihimaa lan tadhillu abadan, kalau kita memegang keduanya, tidak akan sesat selama-lamanya.
Wajah anak-anak yang bagaimana yang mau kita lihat? Wajah anak-anak yang lebih penting ujian nasional ketimbang ujian hidup? Yang memikirkan nilai berupa angka, tapi lupa nilai-nilai kehidupan? Hidupnya kering dari budi, dari rasa, dari kasih sayang? Tujuan hidupnya kecil, hanya masuk sekolah favorit, atau perguruan tinggi negeri? Setelah lulus, mikirin hanya nyari kerja, nyari gaji, tidak mencari Allah, yang Maha Memiliki Pekerjaan, Maha Memiliki Rizki?
Pernahkah berpikir, siapa yang akan mendoakan dan mengalirkan kebaikan setelah kita tiada? Jangan-jangan kita hanya dipusingkan polah anak sepanjang hidup kita: pusing akan kelakuannya, yang semua adalah kesalahan kita?
BERI KAMI 1 TAHUN
Program I’daad ini, siswa tidak sekolah dulu. Melainkan ngaji dulu. Belajar bahasa dulu. Benerin akhlak dulu. Baru sekolahnya di tahun depannya.
Program I’daad ini pun akhirnya menjadi program yang terbuka untuk umum, sebab ia sejatinya adalah mengaji (baca: belajar) nahwu sharaf dan percakapan dua bahasa; Arab dan Inggris. Juga mengaji tentang aqidah, akhlak, tauhid, dan kehidupan. Semua boleh ikut belajar, tanpa perlu memikirkan bakal melanjutkan sekolahnya atau tidak. Program ini bisa diikuti oleh yang muda, hingga yang tua, yang kecil, maupun yang besar, dari berbagai lapisan masyarakat. Tinggal perkaranya kembali kepada ketersediaan tempat belajar, dan pengajarnya.
Program I’daad meliputi pula pengayaan bahasa Arab dan Inggris, olahraga, dan kebudayaan.
Kelak mereka akan menjadi lulusan-lulusan terbaik di sekolahnya masing-masing. Subhaanallaah. Bahkan, jangan heran, bila sekolah-sekolah favorit, dan perguruan-perguruan tinggi favorit, malah merindukan lulusan-lulusan Program I’daad untuk meneruskan pendidikan pasca I’daad di sekolah-sekolah mereka. Alhamdulillah.
Saya akan tambah bersyukur, jika kemudian saya mendapati Program I’daad ini bisa ditiru, dicontoh oleh sebanyak-banyaknya lembaga pendidikan. Luruskan niat, jangan dengan tujuan mencari kemuliaan nama, mencari uang dengan tidak halal.TG
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yusuf Mansur
Boks:
Filosofi
Terngianglah ucapan ibunda: “Ibu tidak butuh anak yang pinter doang. Ibu lebih butuh anak yang bisa doain Ibu, yang sering nengokin Ibu, yang bisa inget Ibu di kala hidup maupun di kala mati. Ibu lebih tak butuh lagi anak yang pinter, tapi sombong sama Ibu, sombong sama saudara, apalagi sombong sama Allah. Dipanggil Ibu tak menyahut, dipanggil sama Allah juga ga’ nyahut.
Mau sekolah yang tinggi, silahkan. Tapi jangan lupa ngaji. Pentingin ngaji. Kalo mau sekolah tinggi, kerja tinggi, usaha tinggi, silakan. Tapi shalat nomor satu. Sama orang tua nomor satu. Sama Guru nomor satu. Buat apa tinggi hidup, tapi merendahkan urusan akhirat. Kejar akhirat, dunia ngikut. Tapi ‘gi dah, kejar dunia. Ntar dunia ga dapet, akhirat juga ilang. Ibu doain: Robanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wafil aakhiroti hasanah waqinaa ‘adzaabannaar. TG
Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Surat terbuka ini saya tulis dengan mengucap Bismillaahir rahmaanir rahiim. Isinya seputar kegelisahan saya sebagai orang tua, juga kakak, juga paman, bagi anak-anak saya, adik-adik saya, dan ponakan-ponakan saya. Juga kegelisahan akan keadaan anak-anak Indonesia pada umumnya.
Sekarang ini yang dipikirkan sama anak-anak kita bukan lagi cita-cita dan impiannya. Tapi ujian, ujian, dan ujian. Sempit sekali. Pendidikan akhlak, budi pekerti, kasih sayang, kesantunan, adat istiadat yang baik, dikesampingkan (Baca: tak dijadikan sistem, dan cenderung tidak diarahkan dan tidak dibentuk). Anak-anak lebih diarahkan dan ditujukan agar lulus dengan prestasi angka. Ujian sekolah dikhawatirkan, namun ujian hidup tidak dikhawatirkan.
Banyak yang sudah hidup tidak lagi berbalut Sunnah. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak ceria menegakkan shalat malam, kecuali tradisi ini masih terjaga dengan baik di dunia pesantren. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak yang bangga dengan dhuhanya yang tiada pernah putus, mati-matian menjaga shalat berjamaah di masjid lengkap dengan qabliyah ba’diyah bahkan tahiyyatul masjid dan sunnah syukur wudhunya. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak ditanya sudah khatam al Qur’an berapa kali? Sudah sampai mana hafalannya? Sudah berapa ayat yang dipelajari?
Kemajuan teknologi yang seharusnya membuat banyak kemudahan, membawa masalah lantaran anak-anak kita tak siap sisi negatifnya. Pergaulan makin bebas, mata makin susah dijaga. Pendidikan dan pembiasaan puasa yang efektif buat ngerem nafsu; baik buat anak-anak juga buat dewasa, tidak lagi dibiasakan. Yang dibiasakan justru keluar makan, jajan, dan mengkonsumsi junk-food. Anak-anak dari kecil hingga dewasanya tidak terlatih dan tidak dilatih untuk puasa.
Alhamdulillah, di situasi krisis akhlak, krisis cita-cita dan impian, Allah banyak hadirkan pendidik dan pengajar yang masya Allah bagusnya. Sekolah-sekolah yang di belakangnya ada anak-anak muda didikan kyai-kyai, didikan ‘alim ‘ulama, mulai menyuarakan pentingnya anak-anak menghafal Asmaa-ul Husnaa dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari; meneteskan sifat-sifat Allah di dalam diri anak.
Bahkan akhir-akhir ini, sekolah sekolah kemudian bangga sekali mengatakan kepada orang-orang tua calon siswa, bahwa salah satu keunggulan sekolah mereka adalah adanya program tahfidz. Sesuatu yang luar biasa, setelah umumnya bicara soal fasilitas benda mati; gedung dan sarana prasarana.
Saya merasakan repotnya – alhamdulillaah – mendidik dan mengajar anak-anak yang tidak disiapkan terlebih dahulu. Ketidakrataan profil anak-anak yang masuk, membuat sistem pendidikan tidak berjalan sempurna mesinnya. Ada anak-anak yang sudah bagus bacaannya, bahkan hafal 1-2, hingga 30 juz. Tapi banyak juga yang belum bisa baca al Qur’an!
Saya merasakan repotnya para pendidik dan pengajar di Daarul Qur’an ketika kualitas anak-anaknya sendiri beragam. Ada yang sudah cas-cis-cus bahasa Inggrisnya, bahasa Arabnya, ada yang masih a-i-u-e-o. Belum lagi latar belakang yang membawa karakter anak masing-masing.
Kita persiapkan dulu anak-anak didik kita. Warnanya disamakan, kemampuan bahasanya di-upgrade, kemampuan baca tulis al Qur’annya, hingga ke tahfidz dan akhlaknya, diupayakan supaya setara, tanpa melupakan karakter tiap anak dan keragaman kemampuannya.
Anak-anak kita sungguh mengarungi hidup yang berat jika ia tidak diberi sampan yang tangguh kokoh, serta dayung yang kuat. Sampannya al Qur’an, dayungnya as Sunnah.
Ustadz Yusuf Mansur saat bersilaturahmi dengan Guru di Depok
PROGRAM I’DAAD
Melalui program I’daad, anak-anak dibentuk dulu karakternya dengan al Qur’an dan as Sunnah. Dipenuhi dulu otaknya, pikirannya, hatinya, welas asihnya, kesantunannya, dengan al Qur’an dan as Sunnah. Sebelum ia dijejali apa yang diberikan oleh sekolah.
Sebelum mereka belajar di sekolah atau pesantren, mereka harus dipersiapkan dulu, sebelum mereka masuk ke sekolah-sekolah favorit pilihan.
Jangan terjun-bebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat dhuhanya, dan tak menyempatkan anak-anak kita shalat dhuha! Hingga kemudian ia akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak cinta kepada rasul-Nya.
Jangan diterjunbebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat berjamaahnya ketika zuhur. Kelak kita akan mendapati susah sekali anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak yang bisa shalat berjamaah, di awal waktu, dan di masjid.
Sejarah membuktikan, para cendikiawan muslim dunia adalah penghafal al Qur’an. Hidupnya tidak lepas dari al Qur’an. Pakaiannya adalah as Sunnah. In tamassaktum bihimaa lan tadhillu abadan, kalau kita memegang keduanya, tidak akan sesat selama-lamanya.
Wajah anak-anak yang bagaimana yang mau kita lihat? Wajah anak-anak yang lebih penting ujian nasional ketimbang ujian hidup? Yang memikirkan nilai berupa angka, tapi lupa nilai-nilai kehidupan? Hidupnya kering dari budi, dari rasa, dari kasih sayang? Tujuan hidupnya kecil, hanya masuk sekolah favorit, atau perguruan tinggi negeri? Setelah lulus, mikirin hanya nyari kerja, nyari gaji, tidak mencari Allah, yang Maha Memiliki Pekerjaan, Maha Memiliki Rizki?
Pernahkah berpikir, siapa yang akan mendoakan dan mengalirkan kebaikan setelah kita tiada? Jangan-jangan kita hanya dipusingkan polah anak sepanjang hidup kita: pusing akan kelakuannya, yang semua adalah kesalahan kita?
BERI KAMI 1 TAHUN
Program I’daad ini, siswa tidak sekolah dulu. Melainkan ngaji dulu. Belajar bahasa dulu. Benerin akhlak dulu. Baru sekolahnya di tahun depannya.
Program I’daad ini pun akhirnya menjadi program yang terbuka untuk umum, sebab ia sejatinya adalah mengaji (baca: belajar) nahwu sharaf dan percakapan dua bahasa; Arab dan Inggris. Juga mengaji tentang aqidah, akhlak, tauhid, dan kehidupan. Semua boleh ikut belajar, tanpa perlu memikirkan bakal melanjutkan sekolahnya atau tidak. Program ini bisa diikuti oleh yang muda, hingga yang tua, yang kecil, maupun yang besar, dari berbagai lapisan masyarakat. Tinggal perkaranya kembali kepada ketersediaan tempat belajar, dan pengajarnya.
Program I’daad meliputi pula pengayaan bahasa Arab dan Inggris, olahraga, dan kebudayaan.
Kelak mereka akan menjadi lulusan-lulusan terbaik di sekolahnya masing-masing. Subhaanallaah. Bahkan, jangan heran, bila sekolah-sekolah favorit, dan perguruan-perguruan tinggi favorit, malah merindukan lulusan-lulusan Program I’daad untuk meneruskan pendidikan pasca I’daad di sekolah-sekolah mereka. Alhamdulillah.
Saya akan tambah bersyukur, jika kemudian saya mendapati Program I’daad ini bisa ditiru, dicontoh oleh sebanyak-banyaknya lembaga pendidikan. Luruskan niat, jangan dengan tujuan mencari kemuliaan nama, mencari uang dengan tidak halal.TG
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yusuf Mansur
Boks:
Filosofi
Terngianglah ucapan ibunda: “Ibu tidak butuh anak yang pinter doang. Ibu lebih butuh anak yang bisa doain Ibu, yang sering nengokin Ibu, yang bisa inget Ibu di kala hidup maupun di kala mati. Ibu lebih tak butuh lagi anak yang pinter, tapi sombong sama Ibu, sombong sama saudara, apalagi sombong sama Allah. Dipanggil Ibu tak menyahut, dipanggil sama Allah juga ga’ nyahut.
Mau sekolah yang tinggi, silahkan. Tapi jangan lupa ngaji. Pentingin ngaji. Kalo mau sekolah tinggi, kerja tinggi, usaha tinggi, silakan. Tapi shalat nomor satu. Sama orang tua nomor satu. Sama Guru nomor satu. Buat apa tinggi hidup, tapi merendahkan urusan akhirat. Kejar akhirat, dunia ngikut. Tapi ‘gi dah, kejar dunia. Ntar dunia ga dapet, akhirat juga ilang. Ibu doain: Robanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wafil aakhiroti hasanah waqinaa ‘adzaabannaar. TG
Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.
ANDA KAH GURU KLASIKAL ITU?
SD Rudrapur di Bangladesh, meskipun di desa tetapi menerapkan pembelajaran berbasis anak.
Jika dihitung, kurang lebih 12 tahun sudah saya menjalani profesi guru.
Saat kali pertama mengajar, saya mirip seorang dosen. Saya benar-benar memonopoli kelas dan selama 80 menit (2 jam pelajaran), yang terdengar hanyalah suara ceramah saya, sang guru pemula. Tidak ada interaksi interaktif kelas yang dinamis, monoton, sungguh sangat tidak kreatif. Ilmu-ilmu paedagogi di bangku kuliah hanya mampu menyumbang 10%, selebihnya 90% mengajar cara dosen. Hanya karena intuisi dan bakat keguruan, saya tetap eksis menjalani profesi luar biasa ini.
Tujuh tahun kemudian, Maret 2003 di Bogor, saya merasa baru mengalami lompatan perubahan cara pandang bagaimana seharusnya guru mengajar dikelas. Waktu itu, saya mulai mengalami disorientasi paradigma tentang cara mengajar. Dari model mengajar klasikal (ceramah-monologis) dipaksa berubah menjadi mengajar cara modern (kreatif-multidialog) dengan bantuan games-games.
Saya dan murid-murid menikmati sekali menggunakan games kreatif. Dan hampir di tiap momen pengajaran, murid selalu aktif untuk memainkan games-gemes. Contoh; waktu membahas materi kecepatan (pelajaran fisika), saya awali dengan cerita heroik tragis, yaitu final lomba sprint 100 meter Olimpiade Seoul.
Ben Jhonson (Kanada) dan Carl Lewis (AS) berlomba menjadi manusia tercepat. Di final, Ben jawara, memecahkan rekor menjadi 9.88 detik. Rekor fantastis yang hampir tak mungkin dilakukannya. Sei olah Ben Jhonson berlari sederas kijang dikejar cheetah. Singkat cerita, investigasi Komite Olimpiade Internasioanal (IOC) menemukan Ben Jhonson positif menggunakan doping jenis anabolik steroid -- jenis perangsang yang akan memberikan efek lari seperti dikejar setan bagi pemakainya.
Kejadian ini membuat karir Ben Jhonson berantakan, dan berakhir tragis. Di momen ini, saya menstimulasi siswa dengan penguatan nilai, kejujuran dan sportifitas akan mendatangkan kemenangan sejati sedangkan kecurangan akan berakhir kekalahan, rasa malu, dan kehancuran.
Itulah intro atau pengantar, atau scene setting sebelum mempelajari materi kecepatan. Scene setting, adalah sebuah strategi mengajar untuk membangkitkan minat dan rasa penasaran, serta memberikan pengalaman belajar sebelum masuk ke materi inti. Sebab, 99% pembelajaran akan berhasil tergantung pada menit-menit pertama yang membuat penasaran itu.
Intro atau scene setting ini dilanjutkan dengan aktifitas mengikuti kompetisi ‘lari cara fisika’ untuk memperebutkan gelar manusia tercepat di kelas. Di antara siswa ada yang bertindak sebagai pencatat waktu, juri, sisanya suporter. Aktifitas kreatif menjadi kegiatan inti selama mempelajari “kecepatan”, tentu selain pelaporan hasil menghitung kecepatan lari setiap siswa. Setiap anak antusias melaporkan atau mempresentasikan hasil perhitungan lombanya.
Lima tahun berselang, peristiwa di atas mengagetkan penulis ketika membaca artikel Thomas Amstrong, PhD, penulis buku “multiple intelligences in the classroom”. Kata Amstrong, “aplikasi multiple intelligences di kelas dapat dilakukan dengan menyediakan delapan jalur potensi yang berbeda untuk belajar”.
Pendapat Thomas Amstrong: “Saat anda mengajar atau belajar, Anda dapat menghubungkannya dengan:
1. Kata (kecerdasan linguistik)
2. Angka (kecerdasan logis-matematika)
3. Gambar (kecerdasan spasial)
4. Musik (kecerdasan musik)
5. Refleksi diri (kecerdasan intrapersonal)
6. Pengalaman fisik (kecerdasan kinestetik-jasmani)
7. Pengalaman sosial (kecerdasan interpersonal)
8. Sebuah pengalaman di dunia alami (kecerdasan naturalis)
Sebagai contoh, jelas Amstrong, jika Anda mengajar/belajar tentang hukum penawaran- permintaan (ekonomi), Anda dapat membaca tentang hal ini (linguistik), belajar matematika rumus yang menyatakan itu (logis-matematis), memeriksa grafis bagan (spasial), mengamati hukum dalam dunia alam (naturalis) atau dalam perdagangan dunia manusia (interpersonal); mengkaji hukum di tubuh Anda sendiri [misal rasa lapar atau kenyang (tubuh-kinestetik dan intrapersonal), dan/atau menulis lagu, atau menemukan lagu yang sudah ada (musik).
Guru Klasik dan Guru Profesional, Mana Bedanya?
Tidak sulit menemukan guru berkategori klasik. Tipe ini mayoritas yang konsisten.
Juga, tidak mudah mendapati guru ber-indikasi profesional, sebab biasanya mereka adalah orang muda fresh graduate yang bukan Guru pegawai negeri, tipikal idealis dan selalu mencari bentuk model mengajarnya. Guru seperti ini senang ketika siswa menemukan spesial momennya, tiba-tiba mengatakan, “wow... sekarang saya mengerti…” bahwa ternyata pelajaran matematika sangat mudah setelah berhasil memecahkan problem matematika. Tiba-tiba saja, matematika bukan momok menakutkan lagi.
Ketahuilah bahwa mencari bentuk model mengajar adalah sesuatu yang “gampang-gampang, sulit”. Guru yang sudah merasa ‘mapan’, dengan status kepegawaian tertentu, berusaha konsisten mempertahankan model mengajarnya-- masa bodoh dengan penemuan gaya mengajar, gaya belajar siswa, pembelajaran kreatif, masa bodoh dengan quantum learning, yang penting siswa mampu menjawab soal ujian nasional.
Guru seperti ini mengingkari hakekatnya sebagai ‘agent of change’, serta mengkhianati prinsip “the best process learning”. Ia anti perubahan.
anyak ciri merujuk tipe Guru klasik ini, diantaranya:
1. Meyakini bahwa ketika guru mengajar maka murid akan belajar.
2. Perencanaan mengajar terletak pada bagaimana guru mengajar kemudian murid mengerti.
3. Proses belajar mengajar yang ideal, murid harus duduk diam mendengarkan penjelasan guru (proses ceramah-monologis).
4. Tidak lagi membuat lesson plan, mengandalkan pengalaman mengajar bertahun-tahun, telah ada di kepala. Lesson plan yang ada sudah usang, dibuat kali pertama saat mengajar.
5. Terbaik dalam keadaan sunyi, hening --memperhatikan guru atau saat closing test.
6. Suasana kegiatan belajar mengajar kelas lebih dominan menggunakan otak kiri.
7. Interaksi guru - murid kaku, sebatas ceramah monolog, tidak ada program pendampingan siswa.
8. Sumber belajar terbatas buku ajar dan ruang kelas yang sunyi, sepi. Semakin diam kelas makin berhasil KBM di kelas itu.
Lesson Plan, Bukti Profesionalitas Guru
Karena banyak sekali guru yang belum membuat rencana pengajaran (lesson plan), proses pengajaran tidak maksimal. Terbukti, Indonesia menempati urutan 102 dari 106 negara di dunia dalam pendidikan. Data yang dirilis OECD (Programme for International Student Assessment (PISA) 2007, peringkat kualitas matematika, reading, sains dan problem solving menempati peringkat kedua dari bawah setelah Tunisia.
Lesson plan adalah ‘prosedur proses pengajaran’, tanpanya sulit mengontrol kualitas guru dan kualitas pembelajaran di kelas yang berhubungan dengan prestasi siswa.
Bobbi De Porter, saat ceramah umum Quantum Learning for Indonesian Teacher di gedung Depdiknas -Jakarta, bahwa “proses belajar mengajar adalah sebuah pekerjaan seni yang profesional dan mempunyai Management Quality Control dalam pembelajaran’. Guru yang menerapkan teknik mengajar dengan pendekatan multiple intelligences mampu memantik kecerdasan siswa. Karenanya, cepatlah tanggalkan predikat Guru klasik.TG
Alamsyah Said
Staf litbang dan konsultan lesson plan Sekolah Alam dan Sains Al-Jannah, Jakarta.
Trainer Global Learning Centre (GLC), Jakarta.
Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.
Jika dihitung, kurang lebih 12 tahun sudah saya menjalani profesi guru.
Saat kali pertama mengajar, saya mirip seorang dosen. Saya benar-benar memonopoli kelas dan selama 80 menit (2 jam pelajaran), yang terdengar hanyalah suara ceramah saya, sang guru pemula. Tidak ada interaksi interaktif kelas yang dinamis, monoton, sungguh sangat tidak kreatif. Ilmu-ilmu paedagogi di bangku kuliah hanya mampu menyumbang 10%, selebihnya 90% mengajar cara dosen. Hanya karena intuisi dan bakat keguruan, saya tetap eksis menjalani profesi luar biasa ini.
Tujuh tahun kemudian, Maret 2003 di Bogor, saya merasa baru mengalami lompatan perubahan cara pandang bagaimana seharusnya guru mengajar dikelas. Waktu itu, saya mulai mengalami disorientasi paradigma tentang cara mengajar. Dari model mengajar klasikal (ceramah-monologis) dipaksa berubah menjadi mengajar cara modern (kreatif-multidialog) dengan bantuan games-games.
Saya dan murid-murid menikmati sekali menggunakan games kreatif. Dan hampir di tiap momen pengajaran, murid selalu aktif untuk memainkan games-gemes. Contoh; waktu membahas materi kecepatan (pelajaran fisika), saya awali dengan cerita heroik tragis, yaitu final lomba sprint 100 meter Olimpiade Seoul.
Ben Jhonson (Kanada) dan Carl Lewis (AS) berlomba menjadi manusia tercepat. Di final, Ben jawara, memecahkan rekor menjadi 9.88 detik. Rekor fantastis yang hampir tak mungkin dilakukannya. Sei olah Ben Jhonson berlari sederas kijang dikejar cheetah. Singkat cerita, investigasi Komite Olimpiade Internasioanal (IOC) menemukan Ben Jhonson positif menggunakan doping jenis anabolik steroid -- jenis perangsang yang akan memberikan efek lari seperti dikejar setan bagi pemakainya.
Kejadian ini membuat karir Ben Jhonson berantakan, dan berakhir tragis. Di momen ini, saya menstimulasi siswa dengan penguatan nilai, kejujuran dan sportifitas akan mendatangkan kemenangan sejati sedangkan kecurangan akan berakhir kekalahan, rasa malu, dan kehancuran.
Itulah intro atau pengantar, atau scene setting sebelum mempelajari materi kecepatan. Scene setting, adalah sebuah strategi mengajar untuk membangkitkan minat dan rasa penasaran, serta memberikan pengalaman belajar sebelum masuk ke materi inti. Sebab, 99% pembelajaran akan berhasil tergantung pada menit-menit pertama yang membuat penasaran itu.
Intro atau scene setting ini dilanjutkan dengan aktifitas mengikuti kompetisi ‘lari cara fisika’ untuk memperebutkan gelar manusia tercepat di kelas. Di antara siswa ada yang bertindak sebagai pencatat waktu, juri, sisanya suporter. Aktifitas kreatif menjadi kegiatan inti selama mempelajari “kecepatan”, tentu selain pelaporan hasil menghitung kecepatan lari setiap siswa. Setiap anak antusias melaporkan atau mempresentasikan hasil perhitungan lombanya.
Lima tahun berselang, peristiwa di atas mengagetkan penulis ketika membaca artikel Thomas Amstrong, PhD, penulis buku “multiple intelligences in the classroom”. Kata Amstrong, “aplikasi multiple intelligences di kelas dapat dilakukan dengan menyediakan delapan jalur potensi yang berbeda untuk belajar”.
Pendapat Thomas Amstrong: “Saat anda mengajar atau belajar, Anda dapat menghubungkannya dengan:
1. Kata (kecerdasan linguistik)
2. Angka (kecerdasan logis-matematika)
3. Gambar (kecerdasan spasial)
4. Musik (kecerdasan musik)
5. Refleksi diri (kecerdasan intrapersonal)
6. Pengalaman fisik (kecerdasan kinestetik-jasmani)
7. Pengalaman sosial (kecerdasan interpersonal)
8. Sebuah pengalaman di dunia alami (kecerdasan naturalis)
Sebagai contoh, jelas Amstrong, jika Anda mengajar/belajar tentang hukum penawaran- permintaan (ekonomi), Anda dapat membaca tentang hal ini (linguistik), belajar matematika rumus yang menyatakan itu (logis-matematis), memeriksa grafis bagan (spasial), mengamati hukum dalam dunia alam (naturalis) atau dalam perdagangan dunia manusia (interpersonal); mengkaji hukum di tubuh Anda sendiri [misal rasa lapar atau kenyang (tubuh-kinestetik dan intrapersonal), dan/atau menulis lagu, atau menemukan lagu yang sudah ada (musik).
Guru Klasik dan Guru Profesional, Mana Bedanya?
Tidak sulit menemukan guru berkategori klasik. Tipe ini mayoritas yang konsisten.
Juga, tidak mudah mendapati guru ber-indikasi profesional, sebab biasanya mereka adalah orang muda fresh graduate yang bukan Guru pegawai negeri, tipikal idealis dan selalu mencari bentuk model mengajarnya. Guru seperti ini senang ketika siswa menemukan spesial momennya, tiba-tiba mengatakan, “wow... sekarang saya mengerti…” bahwa ternyata pelajaran matematika sangat mudah setelah berhasil memecahkan problem matematika. Tiba-tiba saja, matematika bukan momok menakutkan lagi.
Ketahuilah bahwa mencari bentuk model mengajar adalah sesuatu yang “gampang-gampang, sulit”. Guru yang sudah merasa ‘mapan’, dengan status kepegawaian tertentu, berusaha konsisten mempertahankan model mengajarnya-- masa bodoh dengan penemuan gaya mengajar, gaya belajar siswa, pembelajaran kreatif, masa bodoh dengan quantum learning, yang penting siswa mampu menjawab soal ujian nasional.
Guru seperti ini mengingkari hakekatnya sebagai ‘agent of change’, serta mengkhianati prinsip “the best process learning”. Ia anti perubahan.
anyak ciri merujuk tipe Guru klasik ini, diantaranya:
1. Meyakini bahwa ketika guru mengajar maka murid akan belajar.
2. Perencanaan mengajar terletak pada bagaimana guru mengajar kemudian murid mengerti.
3. Proses belajar mengajar yang ideal, murid harus duduk diam mendengarkan penjelasan guru (proses ceramah-monologis).
4. Tidak lagi membuat lesson plan, mengandalkan pengalaman mengajar bertahun-tahun, telah ada di kepala. Lesson plan yang ada sudah usang, dibuat kali pertama saat mengajar.
5. Terbaik dalam keadaan sunyi, hening --memperhatikan guru atau saat closing test.
6. Suasana kegiatan belajar mengajar kelas lebih dominan menggunakan otak kiri.
7. Interaksi guru - murid kaku, sebatas ceramah monolog, tidak ada program pendampingan siswa.
8. Sumber belajar terbatas buku ajar dan ruang kelas yang sunyi, sepi. Semakin diam kelas makin berhasil KBM di kelas itu.
Lesson Plan, Bukti Profesionalitas Guru
Karena banyak sekali guru yang belum membuat rencana pengajaran (lesson plan), proses pengajaran tidak maksimal. Terbukti, Indonesia menempati urutan 102 dari 106 negara di dunia dalam pendidikan. Data yang dirilis OECD (Programme for International Student Assessment (PISA) 2007, peringkat kualitas matematika, reading, sains dan problem solving menempati peringkat kedua dari bawah setelah Tunisia.
Lesson plan adalah ‘prosedur proses pengajaran’, tanpanya sulit mengontrol kualitas guru dan kualitas pembelajaran di kelas yang berhubungan dengan prestasi siswa.
Bobbi De Porter, saat ceramah umum Quantum Learning for Indonesian Teacher di gedung Depdiknas -Jakarta, bahwa “proses belajar mengajar adalah sebuah pekerjaan seni yang profesional dan mempunyai Management Quality Control dalam pembelajaran’. Guru yang menerapkan teknik mengajar dengan pendekatan multiple intelligences mampu memantik kecerdasan siswa. Karenanya, cepatlah tanggalkan predikat Guru klasik.TG
Alamsyah Said
Staf litbang dan konsultan lesson plan Sekolah Alam dan Sains Al-Jannah, Jakarta.
Trainer Global Learning Centre (GLC), Jakarta.
Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.
GURU KREATIF di SEKOLAH PINGGIRAN
Teachers Forum
Membahas sekolah bukan sebatas gedung semata, juga lingkungan sekitar sekolah apakah suka akan kehidupan di dunia pendidikan.
Di daerah pinggiran, mayoritas orang tua siswa kurang berpendidikan, cenderung menekuni pekerjaan pendahulunya, yaitu bertani, nelayan atau buruh. Lebih utama bekerja tinimbang sekolah. Menghasilkan uang lebih bermakna dibanding dengan menghabiskan uang untuk sekolah, begitu pandangan kebanyakan orang.
Siswa miskin, dalam kondisi keluarga berpendapatan kurang, mengalami dilema. Pendapatan keluarga habis untuk makan minum. Biaya sekolah? Sulit dipenuhi ... Akhirnya anak miskin hanya mengandalkan diri dengan membantu orang tua bekerja. Sebuah ironi di negeri yang kaya sumber daya alam namun minim kepedulian.
Anak miskin, saat bersekolah akan memiliki dua pandangan: mencari ilmu untuk bekerja; dan mencari ilmu untuk pintar. Namun, kebanyakan mereka tumbuh dengan karakter yang tak mendukung bagi cita-cita tinggi.
Memulai sekolah, siswa dalam kondisi prihatin ini, umumnya perlu waktu adaptasi cukup lama. Untuk jenjang SMP dan SMA, siswa dari latar keluarga kurang mampu menampilkan karakter yang cenderung agresif; emosional; frustasi; indisipliner; dan kurang bersemangat. Penyebabnya, yaitu itu tadi, faktor lingkungan keluarga dan masyarakat dengan pendapatan rendah.
Emosi, mengutip Davidoff (1991), merupakan aktualisasi dari saraf simpatis dan perasaan tidak suka yang disebabkan kesalahan. Menurut Prescott (Davidoff, 1991), orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi; sedangkan yang tak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung berbuat kekejaman dan penghancuran (agresi). Byod McCandless (1991) menekankan, bila seorang anak tumbuh dalam lingkungan miskin, perilaku agresifnya secara alami menguat.
PERLU GURU KREATIF
Siswa didik kini tak berada dalam satu zona, namun multikarakter. Setiap anak memiliki beragam keunikan, talenta berbeda, dan cara belajar berbeda (Howard Gardner). Di samping perlu mewaspadai perkembangan siswa didik dalam segi sosial, moral, emosional, dan kognitif.
Begitu pun para guru, tak lagi menjadi 'aktor' atau sumber ilmu satu-satunya, tapi berubah menjadi fasilitator, motivator, dan inspirator. Guru kreatif perlu pendekatan khas dalam mengajar dan memfasilitasi siswa dari keluarga tak berpunya ini.
Menurut Fullan (1993) dalam diri seorang guru kreatif ada jiwa inquiry. Ia akan senantiasa belajar terus menerus mengembangkan diri ke arah depan. Ia mengembangkan pola fikir kontekstual, selalu uptodate dalam ilmu dan penerapannya di kehidupan siswa. Selalu menuju target (goal), bukan sekedar rutinitas. Lebih menekankan proses, bukan hasil semata.
SISWA BERPRESTASI, SEKOLAH UNGGULAN
Menjadikan peserta didik berprestasi, adalah ketika guru dan siswa telah berada dalam satu zona, yaitu zona belajar. Satu cara pandang bahwa mereka akan menemukan sesuatu yang bermanfaat. Guru memotivasi siswa, bahwa ia berprestasi. Di tingkat atasnya, kepala sekolah selalu menjaga semangat guru dan mencukupi keperluannya.
Adanya semangat antara siswa, guru, dan kepala sekolah, mengumpulkan energi besar perubahan yang akan menjadikan sekolah pinggiran itu menjadi sekolah berprestasi.
Jika ada persoalan pribadi siswa, ia secara mandiri berkonsultasi ke Guru bimbingan & konseling. Suasana sekolah jadi hidup, siswa dan guru terbuka.
Guru kreatif menjadikan setiap hari berisikan moment-moment penting. Guru memotivasi siswa, meskin keadaan miskin serba kekurangan, sebaliknya otak dan kemampuan siswa adalah super. Siswa tak boleh rendah diri dan pesimis akan prestasi yang akan dicapai. Siswa yakin, kehidupan mereka akan berubah.
Guru berupaya, agar materi apa pun dapat dipahami siswa, bukan mengejar ketuntasan materi belaka. Siswa dipacu belajar mengomentari, berpendapat di muka umum, serta aktif di kehidupan nyata.
Guru kreatif terus bergerak mencari ilmu dan menjalin komunikasi dengan pihak luar, sehingga menjadikan sekolah pinggiran itu dikenal masyarakat luas. Setelah siswa miskin itu menghasilkan prestasi di berbagai jenjang perlombaan di berbagai tingkatan, sekolah pun terangkat menjadi sekolah unggulan. TG
Ervan Nugroho
Guru Sekolah SMART Ei Parung, Bogor
Sekolah berasrama gratis untuk anak miskin dhuafa.
Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.
Situs How To Teach English
Awal Desember 2009 lalu, lembaga nirlaba British Council bersama Depdiknas membangun situs How to Teach English (http://h2te.depdiknas.go.id/) dalam Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas) yang akan memberikan akses materi ajar kepada guru Bahasa Inggris di Indonesia. Situs baru ini dapat diakses guru di 17.500 sekolah yang tersambung jejaring Jardiknas.
Apa yang Menarik?
Tujuannya agar meningkatkan standar pengajaran Bahasa Inggris lebih baik. “Materi pembelajaran bahasa Inggris secara online itu user friendly, bermutu, dan menarik untuk murid dan guru,” kata Keith Davies OBE, Country Director British Council Indonesia.
Di web How to Teach English ini tersedia 45 lesson plan (dan terus bertambah) sesuai kurikulum SD, SMP, SMA dan SMK. Relevansi dengan konteks Indonesia ini sangat penting mengingat tak semua pengalaman pembelajaran bahasa Inggris di negara lain sesuai untuk Indonesia. Materi ini juga akan dipakai 10 universitas saat Praktek Pengajaran Lapangan (PPL) calon guru bahasa Inggris.
Mau yang lebih praktis, ada klip-klip video guru sekolah-sekolah di Asia Tenggara saat berkegiatan : Classroom Management, Teacher-Student Interaction, Speaking Activities dan Interactive Games; berita, update terbaru pengajaran, pelatihan, konferensi bahasa Inggris. Juga, kumpulan artikel yang berisi metodologi serta tips mengajar.
Adapun untuk siswa dan orangtua, British Council membuatkan web http://www.learnenglish.org.uk. Siswa boleh gembira belajar Inggris lewat permainan, lagu, cerita, dan aktivitas lainnya. Para orang tua bisa mendapatkan tips bagaimana mendampingi anak belajar.
Life skill atau kecakapan berbahasa Inggris amat perlu saat ini, terlebih di era mendatang. Ia membuka banyak pintu, mulai ilmu pengetahuan, hubungan budaya, sampai peluang bisnis. Karena itu, pengajaran berkualitas merupakan faktor penting berkembangnya kecakapan ini.
Keseluruhan program ini bagian komitmen British Council mendukung pendidikan di Indonesia, yakni menjawab kebutuhan guru bahasa Inggris akan materi ajar berkualitas, relevan, up to date, dan mudah diakses via internet. “Terima kasih kepada British Council, juga para guru yang terlibat pengembangan kontennya agar sesuai situasi di Indonesia,” jelas Ir. Lilik Gani, Direktur Pustekkom, Departemen Pendidikan Nasional.
British Council, yang telah aktif sejak 1948 di Indonesia, adalah organisasi internasional Inggris untuk pendidikan dan kebudayaan. Yang sudah kita rasakan manfaatnya, antara lain program-program yang saling menguntungkan dalam bidang Pendidikan, Proyek Pengembangan Bahasa Inggris, serta Pemberdayaan Sosial dan Industri Kreatif yang menjangkau sebagian besar wilayah Indonesia. TG
Informasi: Muhaimin Syamsuddin (muhaimin.syamsuddin@britishcouncil.or.id)
Sandra Winarsa (sandra.winarsa@britishcouncil.or.id)
Eka Wahyuni (Business.Relations@britishcouncil.or.id)
www.britishcouncil.or.id
Foto: Penandatanganan nota kesepakatan antara British Council, dan dan Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pendidikan (Pustekkom), Departemen Pendidikan Nasional, pada 1 Desember 2009 lalu, di Jakarta. Hadir juga perwakilan VTSN (Virtual Teacher Support Network), P4TK, dan PPPG Bahasa Inggris.
Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.
UNTUKMU GURU
Dear teachers,
Sejak majalah TG memuat tulisan Pak Yadi, seorang kepala divisi kesiswaan di The Natural School mengenai “Apakah Anak TK Harus Bisa Membaca?”, kehidupannya jadi lebih meriah. Beberapa pihak memintanya untuk menjadi instruktur pada pelatihan dan workshop untuk kalangan guru usia dini, baik inhouse maupun umum. Perubahan ini menjadikan hidupnya jadi lebih berwarna. Rutinitas menjadi guru dan mengawal kelancaran manajemen kelas menjadi semarak dengan gairahnya mempelajari lebih banyak ilmu kependidikan. Tambahan penghasilan? Tentu saja.
Momentum kehidupan yang makin meninggikan manusia sebagai makhluk paling sempurna, akan memberi efek luar biasa pada jati diri. Self development, pengembangan diri, adalah sebuah program, kegiatan , momentum, dan RASA, yang berhasrat meningkatkan kualitas diri melalui serangkaian usaha dan upaya.
Secara fitrah, setiap manusia akan menjadi lebih bahagia ketika memberi (giving) lebih banyak daripada menerima. Ketika tangan-tangan kita memberi kebaikan, tunggu apa yang akan terjadi sebagai buah kebaikan itu. Jelas ini bukan sim salabim. Serangkaian jatuh bangun menyertai.
Menyadari potensi yang nyata pada diri Anda, jika diikat, dapat menciptakan hasil yang mengagumkan. Yang Anda harus lakukan adalah mengalirkan semua pengetahuan, kekuatan dan energi menuju arah yang ditentukan. Ciptakan arah itu secara spesifik. Pak Yadi kini bisa mengatakan: “Aku akan menjadi trainer khusus tentang belajar membaca yang menyenangkan”. Tak terlalu istimewa bukan? Namun indah dirasakan. Dia mungkin memang bukan the best, apalagi the first. Yang bisa diciptakan adalah the different. Berbeda!
Kita, pemberi stimulus dan penyampai ilmu pada siswa, harus makin yakin, bahwa puncak tertinggi dan esensi terpenting dalam pendidikan manusia adalah moralitas, integritas, dan orisinalitas. Pengembangan diri bukan hanya pada ranah akademis. Pendewasaan jati diri dan pendidikan kehidupan yang toleran pada perbedaan, menghormati tetua, menghargai karya orang lain, adalah sebuah keniscayaan yang akan mengantarkan kehidupan menjadi lebih harmonis.
Sepanjang penerbitan majalah ini, kami selalu menemukan Guru yang bergairah melakukan pengembangan diri. Lompatannya sangat menggembirakan.
Tetapkan jalan hidup Anda sebagai Guru dan lakukan pengembangan diri. Sukses jarang muncul secara kebetulan, melainkan karena dirancang!
Salam Pendidikan,
Arfi D. Moenandaris
Pemimpin Redaksi
Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.
April 25, 2010
Telah Terbit! Majalah Teachers Guide Terbaru! Edisi 10 Vol.04/2010 ! Dapatkan di Gramedia dan Gunung Agung. Kehabisan? Silakan berlangganan.
Langganan:
Postingan (Atom)