SD Rudrapur di Bangladesh, meskipun di desa tetapi menerapkan pembelajaran berbasis anak.
Jika dihitung, kurang lebih 12 tahun sudah saya menjalani profesi guru.
Saat kali pertama mengajar, saya mirip seorang dosen. Saya benar-benar memonopoli kelas dan selama 80 menit (2 jam pelajaran), yang terdengar hanyalah suara ceramah saya, sang guru pemula. Tidak ada interaksi interaktif kelas yang dinamis, monoton, sungguh sangat tidak kreatif. Ilmu-ilmu paedagogi di bangku kuliah hanya mampu menyumbang 10%, selebihnya 90% mengajar cara dosen. Hanya karena intuisi dan bakat keguruan, saya tetap eksis menjalani profesi luar biasa ini.
Tujuh tahun kemudian, Maret 2003 di Bogor, saya merasa baru mengalami lompatan perubahan cara pandang bagaimana seharusnya guru mengajar dikelas. Waktu itu, saya mulai mengalami disorientasi paradigma tentang cara mengajar. Dari model mengajar klasikal (ceramah-monologis) dipaksa berubah menjadi mengajar cara modern (kreatif-multidialog) dengan bantuan games-games.
Saya dan murid-murid menikmati sekali menggunakan games kreatif. Dan hampir di tiap momen pengajaran, murid selalu aktif untuk memainkan games-gemes. Contoh; waktu membahas materi kecepatan (pelajaran fisika), saya awali dengan cerita heroik tragis, yaitu final lomba sprint 100 meter Olimpiade Seoul.
Ben Jhonson (Kanada) dan Carl Lewis (AS) berlomba menjadi manusia tercepat. Di final, Ben jawara, memecahkan rekor menjadi 9.88 detik. Rekor fantastis yang hampir tak mungkin dilakukannya. Sei olah Ben Jhonson berlari sederas kijang dikejar cheetah. Singkat cerita, investigasi Komite Olimpiade Internasioanal (IOC) menemukan Ben Jhonson positif menggunakan doping jenis anabolik steroid -- jenis perangsang yang akan memberikan efek lari seperti dikejar setan bagi pemakainya.
Kejadian ini membuat karir Ben Jhonson berantakan, dan berakhir tragis. Di momen ini, saya menstimulasi siswa dengan penguatan nilai, kejujuran dan sportifitas akan mendatangkan kemenangan sejati sedangkan kecurangan akan berakhir kekalahan, rasa malu, dan kehancuran.
Itulah intro atau pengantar, atau scene setting sebelum mempelajari materi kecepatan. Scene setting, adalah sebuah strategi mengajar untuk membangkitkan minat dan rasa penasaran, serta memberikan pengalaman belajar sebelum masuk ke materi inti. Sebab, 99% pembelajaran akan berhasil tergantung pada menit-menit pertama yang membuat penasaran itu.
Intro atau scene setting ini dilanjutkan dengan aktifitas mengikuti kompetisi ‘lari cara fisika’ untuk memperebutkan gelar manusia tercepat di kelas. Di antara siswa ada yang bertindak sebagai pencatat waktu, juri, sisanya suporter. Aktifitas kreatif menjadi kegiatan inti selama mempelajari “kecepatan”, tentu selain pelaporan hasil menghitung kecepatan lari setiap siswa. Setiap anak antusias melaporkan atau mempresentasikan hasil perhitungan lombanya.
Lima tahun berselang, peristiwa di atas mengagetkan penulis ketika membaca artikel Thomas Amstrong, PhD, penulis buku “multiple intelligences in the classroom”. Kata Amstrong, “aplikasi multiple intelligences di kelas dapat dilakukan dengan menyediakan delapan jalur potensi yang berbeda untuk belajar”.
Pendapat Thomas Amstrong: “Saat anda mengajar atau belajar, Anda dapat menghubungkannya dengan:
1. Kata (kecerdasan linguistik)
2. Angka (kecerdasan logis-matematika)
3. Gambar (kecerdasan spasial)
4. Musik (kecerdasan musik)
5. Refleksi diri (kecerdasan intrapersonal)
6. Pengalaman fisik (kecerdasan kinestetik-jasmani)
7. Pengalaman sosial (kecerdasan interpersonal)
8. Sebuah pengalaman di dunia alami (kecerdasan naturalis)
Sebagai contoh, jelas Amstrong, jika Anda mengajar/belajar tentang hukum penawaran- permintaan (ekonomi), Anda dapat membaca tentang hal ini (linguistik), belajar matematika rumus yang menyatakan itu (logis-matematis), memeriksa grafis bagan (spasial), mengamati hukum dalam dunia alam (naturalis) atau dalam perdagangan dunia manusia (interpersonal); mengkaji hukum di tubuh Anda sendiri [misal rasa lapar atau kenyang (tubuh-kinestetik dan intrapersonal), dan/atau menulis lagu, atau menemukan lagu yang sudah ada (musik).
Guru Klasik dan Guru Profesional, Mana Bedanya?
Tidak sulit menemukan guru berkategori klasik. Tipe ini mayoritas yang konsisten.
Juga, tidak mudah mendapati guru ber-indikasi profesional, sebab biasanya mereka adalah orang muda fresh graduate yang bukan Guru pegawai negeri, tipikal idealis dan selalu mencari bentuk model mengajarnya. Guru seperti ini senang ketika siswa menemukan spesial momennya, tiba-tiba mengatakan, “wow... sekarang saya mengerti…” bahwa ternyata pelajaran matematika sangat mudah setelah berhasil memecahkan problem matematika. Tiba-tiba saja, matematika bukan momok menakutkan lagi.
Ketahuilah bahwa mencari bentuk model mengajar adalah sesuatu yang “gampang-gampang, sulit”. Guru yang sudah merasa ‘mapan’, dengan status kepegawaian tertentu, berusaha konsisten mempertahankan model mengajarnya-- masa bodoh dengan penemuan gaya mengajar, gaya belajar siswa, pembelajaran kreatif, masa bodoh dengan quantum learning, yang penting siswa mampu menjawab soal ujian nasional.
Guru seperti ini mengingkari hakekatnya sebagai ‘agent of change’, serta mengkhianati prinsip “the best process learning”. Ia anti perubahan.
anyak ciri merujuk tipe Guru klasik ini, diantaranya:
1. Meyakini bahwa ketika guru mengajar maka murid akan belajar.
2. Perencanaan mengajar terletak pada bagaimana guru mengajar kemudian murid mengerti.
3. Proses belajar mengajar yang ideal, murid harus duduk diam mendengarkan penjelasan guru (proses ceramah-monologis).
4. Tidak lagi membuat lesson plan, mengandalkan pengalaman mengajar bertahun-tahun, telah ada di kepala. Lesson plan yang ada sudah usang, dibuat kali pertama saat mengajar.
5. Terbaik dalam keadaan sunyi, hening --memperhatikan guru atau saat closing test.
6. Suasana kegiatan belajar mengajar kelas lebih dominan menggunakan otak kiri.
7. Interaksi guru - murid kaku, sebatas ceramah monolog, tidak ada program pendampingan siswa.
8. Sumber belajar terbatas buku ajar dan ruang kelas yang sunyi, sepi. Semakin diam kelas makin berhasil KBM di kelas itu.
Lesson Plan, Bukti Profesionalitas Guru
Karena banyak sekali guru yang belum membuat rencana pengajaran (lesson plan), proses pengajaran tidak maksimal. Terbukti, Indonesia menempati urutan 102 dari 106 negara di dunia dalam pendidikan. Data yang dirilis OECD (Programme for International Student Assessment (PISA) 2007, peringkat kualitas matematika, reading, sains dan problem solving menempati peringkat kedua dari bawah setelah Tunisia.
Lesson plan adalah ‘prosedur proses pengajaran’, tanpanya sulit mengontrol kualitas guru dan kualitas pembelajaran di kelas yang berhubungan dengan prestasi siswa.
Bobbi De Porter, saat ceramah umum Quantum Learning for Indonesian Teacher di gedung Depdiknas -Jakarta, bahwa “proses belajar mengajar adalah sebuah pekerjaan seni yang profesional dan mempunyai Management Quality Control dalam pembelajaran’. Guru yang menerapkan teknik mengajar dengan pendekatan multiple intelligences mampu memantik kecerdasan siswa. Karenanya, cepatlah tanggalkan predikat Guru klasik.TG
Alamsyah Said
Staf litbang dan konsultan lesson plan Sekolah Alam dan Sains Al-Jannah, Jakarta.
Trainer Global Learning Centre (GLC), Jakarta.
Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar