April 30, 2010

Menghapus Stigma Pembelajaran Lama


Proses pembelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia diduga masih banyak yang menerapkan sIstem pembelajaran model lama. Model pembelajaran yang menempatkan guru dan murid dalam posisi jomplang (Jawa = tidak seimbang). Guru dianggap lebih pintar, lebih berkuasa, lebih berpengalaman, lebih berpengetahuan dari pada muridnya.

STIGMA PEMBELAJARAN

Posisi guru dan murid yang tidak seimbang telah menyebabkan timbulnya stigma-stigma negatif, yakni:

Pertama, mengisi wadah kosong (empty vessel), atau oleh Davis (dalam Suparno, 2008) disebut sebagai model the fountain and the bowl. Proses pembelajaran identik dengan mengisi ilmu pengetahuan dari pihak Guru ke dalam otak murid. Apa yang dimiliki dan diisikan oleh guru ke pikiran murid, itu pulalah yang didapat oleh murid, tidak lebih, tidak kurang. Hasilnya adalah murid - murid yang picik, sempit wawasannya.

Kedua, selembar kertas putih. Stigma ini didasari pandangan John Locke (1632-1704), seorang anak (dibaca=murid) diibaratkan seperti selembar kertas putih, kosong. Guru memiliki otoritas untuk menulisi, menggambari, mewarnai kertas tersebut. Murid tidak memiliki kesempatan melibatkan diri ikut menulisi, mengggambari dan mewarnai dirinya sesuai dengan yang ia inginkan. Beruntung murid yang mendapatkan Guru yang cerdas, kreatif, dapat menorehkan tulisan yang bermakna, menggambarkan gambar yang hidup dan mengoleskan warna-warni yang semarak dan indah. Sebaliknya murid yang mendapatkan Guru yang tulisannya amburadul, sembrono semaunya sendiri, gambarnya acak-acakan, tidak berbentuk, warna-warninya monoton, maka muridlah yang menjadi korban.

Ketiga, pemelajaran sistem Bank (Paulo Freire 1921-1997). Dalam proses pemelajaran sistem Bank, pekerjaan Guru hanyalah memasukkan, menitipkan bahan pelajaran ke dalam otak murid, suatu ketika akan diambil lagi. Tugas utama murid hanyalah menerima dan menyimpan fakta, data dan rumus. Murid wajib memastikan apa yang disimpan Guru di dalam otaknya aman, tak boleh berkurang. Untuk itu, satu-satunya usaha murid adalah menghafalkannya, sewaktu-waktu Guru mengambilnya lagi dapat mengeluarkannya persis seperti sang Guru kehendaki, yaitu saat test dilaksanakan.

Keempat, pemelajaran sistem robot. Robot dapat bergerak dan berbunyi kalau di dalamnya dimasukkan program tertentu. Selanjutnya robot akan bergerak kalau tombol remote ditekan. Pada proses pemelajaran sistem robot, Guru berperan sebagai tukang memasukkan program ke dalam otak murid, berupa kurikulum dan materi. Si murid tak tahu menahu dan tidak dapat menolak program macam apa yang dimasukkan ke dalam otaknya. Ketika remote ditekan (saat ujian) dan ternyata gerakan atau bunyi robot tak sesuai program (kunci jawaban) milik Guru, sang robot (siswa) pasti disalahkan.

DARI TEACHING KE LEARNING


Sejauh stigma tersebutkan di atas masih eksis dalam proses pembelajaran, maka sekolah identik dengan tempat pemasungan potensi atau pembodohan. Stigma harus dihapus, diganti dengan model pemelajaran moderen di mana guru dan murid didudukkan dalam posisi yang seimbang.

Seperti ditegaskan oleh UNESCO dalam World Education Forum, bahwa paradigma proses pemelajaran abad 21 harus berubah yakni dari kegiatan mengajar (teaching) menjadi kegiatan belajar (learning). Dalam konteks ini guru merupakan bagian dari proses pembelajaran, Guru dan murid belajar bersama, saling memberi dan mengisi.

Agar teaching berubah menjadi learning maka guru harus melakukan perubahan dalam proses pembelajaran.
1. Dari yang hanya berorientasi kepada teks (textbook oriented) dirubah kepada penyediaan sumber-sumber belajar yang bervariasi dan tak terbatas (borderless and variuos resources). Penyediaan akses informasi seperti media pembelajaran elektronik dan internet menjadi tuntutan utama bagi sekolah-sekolah yang hendak memelajarkan peserta didiknya berwawasan luas dan dapat mengikuti perkembangan informasi terkini.

2. Mengubah proses pemelajaran dari perseorangan (individual) menjadi kerja kelompok (teamwork). Memperbanyak porsi kerja kelompok sepanjang proses pemelajaran akan meningkatkan peserta didik mendapatkan variasi pengetahuan dari siswa lain, juga berkembangnya ketrampilan komunikasi, kerja sama, dan terbuka terhadap pendapat orang lain.

3. Mengubah proses pemelajaran dari siswa pasif (student pasive) ke siswa aktif (student active). Siswa aktif lebih besar kemungkinan baginya untuk tumbuh-berkembang sesuai potensinya. Aktif di sini tak selalu diartikan secara fisik, melainkan aktif secara mental intelektual, di mana peserta didik merasa tertantang, dan penasaran untuk terus berpikir dan belajar berkelanjutan.

4. Dari hanya menerima pengetahuan (received knowledge) ke membangun pengetahuan (constructive knowledge). Guru sadar, sejatinya pengetahuan tak bisa diberikan begitu saja kepada peserta didik. Ia sendiri akan membangun ilmu pengetahuan itu berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya. Tugas utama Guru memberikan stimulasi dan menciptakan lingkungan belajar tempat siswa membangun pengetahuannya sendiri.

5. Dari instructive ke interactive. Pada dasarnya setiap peserta didik tidak suka untuk di suruh-suruh atau di’gurui’. Mereka lebih senang dilibatkan dalam relasi yang interaktif, baik dengan guru ataupun sesama murid. Mereka memiliki ruang mengaktualisasikan apa dipahaminya.

Dengan mengubah proses pembelajaran, ruangan kelas dan lingkungan sekolah dengan sendirinya menjadi komunitas manusia (guru-siswa) yang saling memelajarkan satu terhadap yang lain atau yang disebut kelompok masyarakat pembelajar (learning society). TG

HJP. Maryanto

Guru, mengajar di Timika, Papua.

Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.

Tidak ada komentar: