Untuk : Semua Ayah, Ibu, dan Guru Bismillaahir rahmaanir rahiim.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Surat terbuka ini saya tulis dengan mengucap Bismillaahir rahmaanir rahiim. Isinya seputar kegelisahan saya sebagai orang tua, juga kakak, juga paman, bagi anak-anak saya, adik-adik saya, dan ponakan-ponakan saya. Juga kegelisahan akan keadaan anak-anak Indonesia pada umumnya.
Sekarang ini yang dipikirkan sama anak-anak kita bukan lagi cita-cita dan impiannya. Tapi ujian, ujian, dan ujian. Sempit sekali. Pendidikan akhlak, budi pekerti, kasih sayang, kesantunan, adat istiadat yang baik, dikesampingkan (Baca: tak dijadikan sistem, dan cenderung tidak diarahkan dan tidak dibentuk). Anak-anak lebih diarahkan dan ditujukan agar lulus dengan prestasi angka. Ujian sekolah dikhawatirkan, namun ujian hidup tidak dikhawatirkan.
Banyak yang sudah hidup tidak lagi berbalut Sunnah. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak ceria menegakkan shalat malam, kecuali tradisi ini masih terjaga dengan baik di dunia pesantren. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak yang bangga dengan dhuhanya yang tiada pernah putus, mati-matian menjaga shalat berjamaah di masjid lengkap dengan qabliyah ba’diyah bahkan tahiyyatul masjid dan sunnah syukur wudhunya. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak ditanya sudah khatam al Qur’an berapa kali? Sudah sampai mana hafalannya? Sudah berapa ayat yang dipelajari?
Kemajuan teknologi yang seharusnya membuat banyak kemudahan, membawa masalah lantaran anak-anak kita tak siap sisi negatifnya. Pergaulan makin bebas, mata makin susah dijaga. Pendidikan dan pembiasaan puasa yang efektif buat ngerem nafsu; baik buat anak-anak juga buat dewasa, tidak lagi dibiasakan. Yang dibiasakan justru keluar makan, jajan, dan mengkonsumsi junk-food. Anak-anak dari kecil hingga dewasanya tidak terlatih dan tidak dilatih untuk puasa.
Alhamdulillah, di situasi krisis akhlak, krisis cita-cita dan impian, Allah banyak hadirkan pendidik dan pengajar yang masya Allah bagusnya. Sekolah-sekolah yang di belakangnya ada anak-anak muda didikan kyai-kyai, didikan ‘alim ‘ulama, mulai menyuarakan pentingnya anak-anak menghafal Asmaa-ul Husnaa dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari; meneteskan sifat-sifat Allah di dalam diri anak.
Bahkan akhir-akhir ini, sekolah sekolah kemudian bangga sekali mengatakan kepada orang-orang tua calon siswa, bahwa salah satu keunggulan sekolah mereka adalah adanya program tahfidz. Sesuatu yang luar biasa, setelah umumnya bicara soal fasilitas benda mati; gedung dan sarana prasarana.
Saya merasakan repotnya – alhamdulillaah – mendidik dan mengajar anak-anak yang tidak disiapkan terlebih dahulu. Ketidakrataan profil anak-anak yang masuk, membuat sistem pendidikan tidak berjalan sempurna mesinnya. Ada anak-anak yang sudah bagus bacaannya, bahkan hafal 1-2, hingga 30 juz. Tapi banyak juga yang belum bisa baca al Qur’an!
Saya merasakan repotnya para pendidik dan pengajar di Daarul Qur’an ketika kualitas anak-anaknya sendiri beragam. Ada yang sudah cas-cis-cus bahasa Inggrisnya, bahasa Arabnya, ada yang masih a-i-u-e-o. Belum lagi latar belakang yang membawa karakter anak masing-masing.
Kita persiapkan dulu anak-anak didik kita. Warnanya disamakan, kemampuan bahasanya di-upgrade, kemampuan baca tulis al Qur’annya, hingga ke tahfidz dan akhlaknya, diupayakan supaya setara, tanpa melupakan karakter tiap anak dan keragaman kemampuannya.
Anak-anak kita sungguh mengarungi hidup yang berat jika ia tidak diberi sampan yang tangguh kokoh, serta dayung yang kuat. Sampannya al Qur’an, dayungnya as Sunnah.
Ustadz Yusuf Mansur saat bersilaturahmi dengan Guru di Depok
PROGRAM I’DAAD
Melalui program I’daad, anak-anak dibentuk dulu karakternya dengan al Qur’an dan as Sunnah. Dipenuhi dulu otaknya, pikirannya, hatinya, welas asihnya, kesantunannya, dengan al Qur’an dan as Sunnah. Sebelum ia dijejali apa yang diberikan oleh sekolah.
Sebelum mereka belajar di sekolah atau pesantren, mereka harus dipersiapkan dulu, sebelum mereka masuk ke sekolah-sekolah favorit pilihan.
Jangan terjun-bebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat dhuhanya, dan tak menyempatkan anak-anak kita shalat dhuha! Hingga kemudian ia akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak cinta kepada rasul-Nya.
Jangan diterjunbebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat berjamaahnya ketika zuhur. Kelak kita akan mendapati susah sekali anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak yang bisa shalat berjamaah, di awal waktu, dan di masjid.
Sejarah membuktikan, para cendikiawan muslim dunia adalah penghafal al Qur’an. Hidupnya tidak lepas dari al Qur’an. Pakaiannya adalah as Sunnah. In tamassaktum bihimaa lan tadhillu abadan, kalau kita memegang keduanya, tidak akan sesat selama-lamanya.
Wajah anak-anak yang bagaimana yang mau kita lihat? Wajah anak-anak yang lebih penting ujian nasional ketimbang ujian hidup? Yang memikirkan nilai berupa angka, tapi lupa nilai-nilai kehidupan? Hidupnya kering dari budi, dari rasa, dari kasih sayang? Tujuan hidupnya kecil, hanya masuk sekolah favorit, atau perguruan tinggi negeri? Setelah lulus, mikirin hanya nyari kerja, nyari gaji, tidak mencari Allah, yang Maha Memiliki Pekerjaan, Maha Memiliki Rizki?
Pernahkah berpikir, siapa yang akan mendoakan dan mengalirkan kebaikan setelah kita tiada? Jangan-jangan kita hanya dipusingkan polah anak sepanjang hidup kita: pusing akan kelakuannya, yang semua adalah kesalahan kita?
BERI KAMI 1 TAHUN
Program I’daad ini, siswa tidak sekolah dulu. Melainkan ngaji dulu. Belajar bahasa dulu. Benerin akhlak dulu. Baru sekolahnya di tahun depannya.
Program I’daad ini pun akhirnya menjadi program yang terbuka untuk umum, sebab ia sejatinya adalah mengaji (baca: belajar) nahwu sharaf dan percakapan dua bahasa; Arab dan Inggris. Juga mengaji tentang aqidah, akhlak, tauhid, dan kehidupan. Semua boleh ikut belajar, tanpa perlu memikirkan bakal melanjutkan sekolahnya atau tidak. Program ini bisa diikuti oleh yang muda, hingga yang tua, yang kecil, maupun yang besar, dari berbagai lapisan masyarakat. Tinggal perkaranya kembali kepada ketersediaan tempat belajar, dan pengajarnya.
Program I’daad meliputi pula pengayaan bahasa Arab dan Inggris, olahraga, dan kebudayaan.
Kelak mereka akan menjadi lulusan-lulusan terbaik di sekolahnya masing-masing. Subhaanallaah. Bahkan, jangan heran, bila sekolah-sekolah favorit, dan perguruan-perguruan tinggi favorit, malah merindukan lulusan-lulusan Program I’daad untuk meneruskan pendidikan pasca I’daad di sekolah-sekolah mereka. Alhamdulillah.
Saya akan tambah bersyukur, jika kemudian saya mendapati Program I’daad ini bisa ditiru, dicontoh oleh sebanyak-banyaknya lembaga pendidikan. Luruskan niat, jangan dengan tujuan mencari kemuliaan nama, mencari uang dengan tidak halal.TG
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yusuf Mansur
Boks:
Filosofi
Terngianglah ucapan ibunda: “Ibu tidak butuh anak yang pinter doang. Ibu lebih butuh anak yang bisa doain Ibu, yang sering nengokin Ibu, yang bisa inget Ibu di kala hidup maupun di kala mati. Ibu lebih tak butuh lagi anak yang pinter, tapi sombong sama Ibu, sombong sama saudara, apalagi sombong sama Allah. Dipanggil Ibu tak menyahut, dipanggil sama Allah juga ga’ nyahut.
Mau sekolah yang tinggi, silahkan. Tapi jangan lupa ngaji. Pentingin ngaji. Kalo mau sekolah tinggi, kerja tinggi, usaha tinggi, silakan. Tapi shalat nomor satu. Sama orang tua nomor satu. Sama Guru nomor satu. Buat apa tinggi hidup, tapi merendahkan urusan akhirat. Kejar akhirat, dunia ngikut. Tapi ‘gi dah, kejar dunia. Ntar dunia ga dapet, akhirat juga ilang. Ibu doain: Robanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wafil aakhiroti hasanah waqinaa ‘adzaabannaar. TG
Tulisan ini diterbitkan pada edisi No. 10 / Vol.04 / Thn 2010. Dapatkan majalah pendidikan Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Berlangganan SMS ke (Flexi) 021 684 58569. Terima kasih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Semoga surat ini menjadi acuan bagi sekolah yang belabelkan Islam, sehingga betul-betul menjadi central of chang dalam peradaban dunia terutama di bumi Indonesia tercinta ini.
Posting Komentar