Juni 01, 2009

Sekolah Inklusi : Jangan Mau Uangnya Saja.


Inilah kritik Pak Direktur PLSB Ekodjatmiko Sukarso pada sekolah inklusi yang getol mengajukan permohonan bantuan dana.
"Untung ada Pak Eko." Demikian komentar banyak atas keberadaan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas, Ekodjatmiko Sukarso, yang kami temui persis di hari ulang tahunnya yang ke 59, di halaman kantornya di jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, di kolam ikan dan gazebo mininya. Dengan penuh semangat dan agresif membuat terobosan serta Pemahaman Undang-undang dan aplikasinya, Pak Eko banyak dipuji sebagai orang yang cepat tanggap.

Pak Eko pula yang memanggil para praktisi seni terbaik untuk diajak membuat standar kompetensi bagi siswa berkebutuhan khusus, (termasuk yang cerdas - istimewa). Ratusan proposal yang ada di meja direktorat PSLB selama ini meminta dukungan dana untuk pengembangan sekolah, untuk sarana prasarana. Entah berapa banyak dana yang mengucur.

“Pernah ada yang mengajukan bantuan dana. Sewaktu diverifikasi, rupanya dia meminjam anak SLB untuk menjadi bukti bahwa di sekolah itu memang benar inklusi. Setelah dana turun, eh…dia kembalikan siswa itu ke SLB lagi. Wah….. kena tipu kita,” ujar Pak Eko yang tampak jauh lebih muda dari usianya ini.

“Ada juga setelah mendapat subsidi, anak berkebutuhan khusus itu dibiarkan, tidak diurus, dengan tujuan agar anak tersebut tidak betah, dan oleh orang tuanya dipindahkan lagi ke sekolah khusus (SLB).

“Seringkali bantuan yang ada juga tak dipakai dengan benar. Pernah ada bantuan dari luar negeri sejumlah grand-piano berkualitas sangat bagus. Harganya 300 juta per buah!. Ketika saya cek keberadaannya di sebuah sekolah yang katanya khusus mengembangkan ketrampilan bermusik, saya lihat piano anggun ini sudah dipasangi gembok dengan cara dibaut. Dua gardannya juga patah. Padahal tidak mungkin terjadi jika bukan disengaja dipatahkan.”

“Sejak 2006 saya ingin mengubah paradigma tentang anggapan orang bahwa anak berkebutuhan khusus bukan anak sisa-sisa. Kemarin ada invenstor dari Real Madrid, Spanyol, yang ingin membuat sekolah khusus. Dia lihat, anak Indonesia ada 40 juta-an. Masak tidak ada 22 anak yang bisa dijadikan pemain bola hebat. Mengapa harus orang asing?"

“Saya juga sedang mengubah konsepsi tentang sekolah akselerasi, yang nantinya akan diukur dari nilai matapelajaran MIPA-nya saja. Agar jangan arogan. Dan harus dalam bahasa Inggris,” tambahnya.

Ekodjatmiko Sukarso sudah banyak berbuat, tapi juga menyimpan banyak mimpi. Ayo kita sambut dengan dukungan usulan. Jangan hanya ngedumel, tak berbuat apa-apa. Dana ada, pergunakan dengan semestinya! TG

*)Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.

Tidak ada komentar: