Juni 01, 2009

Surat BSNP pada Sekolah inklusi


Mungkin dokumen resmi tentang pengaturan perlakuan Ujian Nasional bagi peserta didik program inklusi belum pernah Anda baca. Peraturan kependidikan di negeri kita seringkali tidak tersosialisasikan dengan baik. Alih-alih menerima dokumen resmi, aturannya saja sering simpang siur.

Surat resmi ber-kop surat Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tertanggal 17 Februari 2009, dengan nomor suat 1596/BSNP/II/2009 yang ditujukan kepada seluruh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi mengatakan: “Menindaklanjuti keputusan bersama antara BSNP dengan Direktorat Pendidikan Luar Biasa Depdiknas tentang beberapa perlakuan khusus untuk peserta didik program inklusi
dan Ujian Nasional (UN) tahun ajaran 2008/2009, bersama ini kami sampaikan penyempurnaan POS UN TP 2008/2009 sebagai berikut:

1. Soal, SKL dan waktu (yang disediakan untuk ujian) sama
2. Untuk peserta didik tuna rungu pada ujuan Bahasa Inggris bagian listening comprehension, diganti dengan reading comprehension (untuk level SMP-SMA)
3. Untuk peserta didik tuna netra, naskah soal ditulis huruf Braille
4. Jika naskah soal tidak dimungkinkan ditulis huruf Braille, maka:
• Naskah soal dibacakan di ruang tersendiri dengan tetap menjamin kerahasiaan, objektivitas dan akuntabilitas
• Waktu ditambah 30 menit
• Yang mengisi lembar jawaban adalah yang membacakan soal

Demikianlah, surat dinas yang ditandatangani Ketua BSNP Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd.,Kons. , selanjutnya minta perihal ini disebarluaskan dan dilaksanakan secara nasional. (Isi teks surat sesuai lampiran resmi yang diedarkan).

Adakah Sekolah Anda Inklusi?
Ketika sekolah Anda memutuskan untuk menerima siswa berkebutuhan khusus, kemudian sudah memberlakukan proses pendidikan khusus (dengan IEP – individualized Education Programe), lantas siswa dengan spectrum autisme, down sindrom, slow learner, asperger, ADHD, akan ikut serta dipertarungkan dalam UN yang memuat ratusan soal pilihan ganda, tanpa lay-out patut dan memuat soal yang bersifat knowledge (pengetahuan) saja? Jelas takkan lulus!

Menurut pejabat yang berwenang, jika siswa Special Need (SN) didaftarkan sebagai peserta UN, maka perlakuan hanya diprioritaskan untuk tuna rungu dan tuna netra. Selebihnya, diperlakukan secara sama.

Jika tak lulus UN, maka sekolah yang bersangkutan dapat mengeluarkan surat tanda tamat menempuh proses belajar dengan tahapan khusus. Berdasar surat kelulusan ini, siswa SN yang tak lulus UN tadi akan dapat mencari sekolah inklusi lanjutan (tentu saja sekolah swasta, yang tak terlalu membutuhkan
ijazah resmi pemerintah).

Namun jika ini dirasa akan membuat ‘harga diri’ siswa SN terganggu, maka sekolah boleh memutuskan untuk tidak mengikutsertakan siswa tersebut pada UN. Tentu saja dengan persetujuan orang tua.

Sekolah dianjurkan mengeluarkan juga Sertifikat Kompetensi yang berisi narasi pencapaian khusus, misalnya pada bidang seni, olah raga, keragamaan, ketrampilan, dan sebagainya.

Memang tidak mudah mempertemukan berbagai kepentingan. Undang-undang Sisdiknas Pasal 32 ayat 1, menyatakan bahwa yang disebut sebagai Pendidikan Khusus (PK) meliputi 8 ragam kekhususan, yakni: 1) tuna netra; 2) tuna rungu – tuna wicara; 3) tuna grahita : ringan (IQ = 50 -70), sedang (25-30) dan down syndrome; 4) tuna daksa (ringan dan sedang); 5) autism, asperger; 6) tuna ganda; 7) tuna laras (disruptive, HIV, dan narkoba); dan yang ke 8) kesulitan belajar (termasuk hyperaktif, ADD ADHD, dysgraphia/tulis, disleksia/baca, dyspasia/bicara, dyscalcuta/hitung,dyspraxia/motorik).

Bisa Anda bayangkan, apa yang akan siswa lakukan seandainya mengikuti UN? Yang terjadi selama ini, orang tua dan Guru sekolah inklusi sibuk melakukan terobosan yang sangat tidak menguntungkan bagi siswa SN. Mereka sibuk men-drilling uji soal seperti dilakukan terhadap siswa ‘normal’ demi mencapai angka minimal UN.

Apa dampaknya? Sekolah inklusi jadi lupa pada semangat awal menerima siswa SN, yang semula sudah lurus pada tataran konsep IEP dan cara penyampaian yang lebih individual. Mengapa kini demi UN, semua harus menjadi universal?

Orang tua siswa SN juga seringkali tidak fair. Mereka bangga jika anaknya memperoleh ijazah umum. Mereka menuntut sekolah melakukan pengayaan lewat kursus tambahan dengan materi UN. Alih-alih siswa terlayani kebutuhan inklusi-nya secara berkesinambungan, yang ada hanya menghabiskan waktu untuk kejar tayang meski itu tidak akan berguna bagi kehidupannya masa depan. Ketrampilan yang mereka dapatkan menjadi tak bernilai.

Jadi Bagaimana?Pejabat BSNP di atas juga mengatakan, sebaiknya sekolah mengkomunikasikan hal ini sejak awal kepada orang tua. Konsekuensi-nya juga harus ditanggung, bahwa ternyata tidak ada perlakuan istimewa untuk anak istimewa mereka (kecuali yang tuna rungu dan netra).

Terbayang ya sulitnya. Tapi terus saja mencari solusi dan tak surut semangat untuk menjadikan sekolah inklusi Anda menemukan bentuk yang ideal. Jangan surut dan takut menerima siswa SN. Lakukan komunikasi yang seluasnya.TG

Tidak ada komentar: