November 07, 2010
Cover Story : Ngangsu Kawruh = Menimba Ilmu
Bukan sekedar adu kata. Istilah bahasa Jawa harus diakui kaya makna, sarat petuah, penuh kesan filsafat mendalam. Mungkin sudah luput dari ingatan kita, kala orang menimba air dari sumur, jika terburu-buru, air dalam ember timba akan tumpah dan hanya sedikit yang bisa dituang. Berbeda jika ditimba dengan hati-hati.
Sekolah, kini tak lagi sama artinya dengan menimba ilmu. Makna yang tersurat lebih pada kegiatan terstruktur yang harus diikuti secara tertib oleh siswa. Guru pun harus tertib membangun perencanaan sesuai yang sudah diputuskan. Bentuk keluaran (output) nya adalah serombongan siswa berprestasi ini itu, dengan pencapaian angka segini-segitu, dan bisa menjadi ini-itu.
Masyarakat lantas bertanya: “Sekolah di mana? Kelas berapa? Senang nggak sekolah di sana?“ Sederet pertanyaan-pertanyaan standar yang diajukan pada anak, yang diasumsikan sudah ‘sepantasnya’ seusia sekolah. Itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di mana-mana dan oleh siapa saja.
Pernahkah, di jaman sekarang orang mengajukan pertanyaan ,“Belajar sama siapa?” Rasanya tidak lagi, karena hal itu menjadi tidak lumrah. Kata ‘sekolah’, seolah sudah merepresentasikan sebuah paket kebutuhan pendidikan, termasuk para gurunya. Di dalam sekolah yang katanya berkualitas, pasti terdapat barisan guru yang berkualitas juga. Sayangnya, tidak selalu!
Para orangtua jaman dulu mengirimkan anak-anaknya belajar pada orang yang dianggap memang ‘mumpuni’ (kompeten) menjadi guru, luar dalam. Alam pikiran guru diyakini akan memancing daya pikir dan daya-daya lain, sehingga anak akan mendapat bekal lebih untuk menghadapi kehidupannya. Survive dengan kapasitas dan potensi pribadinya. Tuntas menimba ilmu pada satu guru, ia akan dikirim atau pergi ke guru lain ….
Ingat Chinmi (kungfu Boy)? Ia pergi dari satu kuil ke kuil lain untuk semakin mengasah ilmunya, caranya dengan menimba lagi di alam pikir (sumur) guru yang berbeda. Kuil Dairin, kuilnya yang pertama, memberinya bekal yang mendasar. Namun belum tentu teruji bisa membekali seutuhnya. Oleh karena itu, ia perlu berkelana menambah ilmunya.
Analogi cerita si Chinmi di atas, secara hakekat, setiap manusia akan melepas dahaga keilmuannya dengan mencarinya: menggali lebih dalam, mempertanyakan lebih lanjut, dan mencari lebih lanjut. Demikian, berputar. Sehingga dari hipotesis (pertanyaan) menjadi sebuah konsep (teori) yang akan terus diuji sehingga bisa jadi si teori menjadi sebuah pertanyaan baru.
Setiap anak manusia memiliki perangkat ‘primitif’ untuk survive, bagaimana pun caranya. Perangkat itu menjadi begitu unik dan bersifat pribadi, sehingga perlu kehati-hatian guru/pembimbing/tutor dalam memperlakukannya. Dengan perangkat alamiah itulah -yang bisa juga disebut potensi pribadi- (kecerdasan alamiah yang sangat beragam), anak akan memuaskan rasa haus ilmunya.
Ilmu apa yang dibutuhkan akhirnya menjadi sangat pribadi pula. Tugas guru adalah membantu memberikan alat dasar untuk mencari apa yang ingin diketahuinya. Alat belajar itu, secara mendasar adalah kemampuan 3R + 1R, yaitu Reading (baca), ‘Riting’ (tulis), ‘Rithmetic’ (berhitung), dan Reasoning (penalaran). Keempat kemampuan dasar tersebut, yang seringkali disebut sebagai kemampuan akademis dasar. Ini adalah lahan yang perlu diolah di sekolah oleh para Guru. Sehingga Guru berfungsi untuk menumbuhkan Successful Intelligence (Sternberg) - dengan berbasis keterampilan Empat (4) R tersebut.
Empat R tersebut adalah alat penting untuk belajar. Empat R adalah alat, bukan semata-mata tujuan. Oleh karena alat, maka selayaknya sebilah pisau, alat tersebut perlu diasah agar tajam. Empat R perlu terus diasah agar menjadi tajam pula, sehingga menjadi krusial tentang : apa yang dibaca, apa yang ditulis, apa yang dihitung, serta apa dan bagaimana menganalisis segala sesuatu. Ini menjadi tugas esensial Guru/pembimbing atau tutor: membantu menimba air sumur. Tak ada sumur yang habis airnya ketika terus menerus digali. Bahkan makin dalam.
Kembalilah mendalami makna ngangsu kawruh, menimba ilmu. Bukan sekedar mengirim anak sekolah … . TG
Ria Restanti Natalisa
Koresponden Teachers Guide, di Yogyakarta, dan mengikuti program S-2 Psikologi UGM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
kerajaan hindu budha
hallo, saya senang membaca blog dan tulisan anda, blog anda sangat membantu para guru, tulisn anda layak mendapat penghargaan dr generasi muda. salam Inonesia..
Posting Komentar