November 10, 2010
Cover Story : PENDIDIDKAN MULTIKULTURAL
“Ma, Papa kok temenan sama orang Cina? Orang Cina kan jahat?” Itu adalah komentar saya saat usia SD. Pemicunya adalah ayah saya yang menerima tamu orang Tionghoa di rumah. Kemudian ibu menjelaskan bahwa tidak benar semua orang Tionghoa jahat dan bahwa sifat seseorang tidak berhubungan dengan etnis-nya.
Ocehan kanak-kanak tersebut tidak bisa dianggap remeh. Tanpa ada yang memberi pengertian dan arahan, mungkin hingga sekarang gambaran negatif mengenai etnis Tionghoa tersebut masih saya anut. Dan bukan tidak mungkin, saya selalu bermasalah dalam bergaul dengan etnis dan suku yang lain juga.
Saya yakin, saya bukan satu-satunya yang secara tidak sadar diracuni berbagai stereotipe mengenai macam-macam suku dan etnis yang ada di Indonesia. Bila hal ini terus tumbuh, Bhinneka Tunggal Ika hanya akan ada di buku teks dan di bawah kaki Garuda Pancasila.
KENAPA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL?
Sebelum berbicara mengenai pendidikan multikultural, ada baiknya kita lihat dulu makna ‘multikultural’. Jelas, kata ‘multi’ dan ‘kultur’ membentuk kata baru yang berarti budaya yang majemuk. Itu dari segi bahasa.
Sementara itu, para ahli membedakan istilah ‘multikultural’ dengan ‘multi-kultural’ (dengan strip). ‘Multikultural’ merujuk pada masyarakat dengan penduduk yang beraneka ragam latar belakang kebudayaannya, tapi kebhinekaan itu tidak mengganggu keharmonisan hubungan antar budaya. Sementara ‘multi-kultural’ adalah istilah untuk menyebut masyarakat yang hidup dalam budaya majemuk, namun tidak dibarengi dengan semangat kesatuan.
Bangsa Indonesia rentan terhadap perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan kultural. Betapa tidak, kita (Indonesia) terdiri atas macam-macam suku, berbicara dalam macam-macam bahasa, menjalankan adat yang berbeda pula. Belum lagi, kehadiran etnis pendatang seperti Tionghoa, Arab, dan India yang tinggal di sini. Bahkan, sebelum bangsa ini bernama Indonesia.
Pendidikan multikultural adalah alat untuk mencegah perpecahan yang dikuatirkan. Guru sebagai pendidik bertugas membimbing para siswa untuk memandang keaneka-ragaman yang ada dalam masyarakat kita tanpa prasangka-prasangka yang telanjur beredar dalam masyarakat.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAl=PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan multikultural menjadi mudah andaikata cukup dengan menugaskan siswa membaca buku, membuat rangkuman, dan menulis esai. Sayang, metode-metode itu terbatas pada tingkat pengetahuan.
Kenyataannya, pendidikan multikultural bertujuan membentuk karakter generasi masa depan. Salmah Fa’atin, mengutip Djohar dalam Pendidikan Strategik..., mengkategorikan pendidikan karakter sebagai “the hidden curriculum” yang pencapaiannya bergantung lebih pada proses pendidikan. Berarti, karakter tidak dapat diajarkan pada para siswa karena bersumber dari pengalaman mereka. Oleh karena itu, harus dilatihkan.
Pelatihan dan pembiasaan dalam bimbingan guru serta orang tua lah yang berperan dalam membangun karakter bangsa.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH
Siswa datang ke sekolah tidak seperti gelas kosong. Sebaliknya, mereka sudah membawa nilai-nilai yang dibawa dari rumah dan lingkungan mereka. Di antara nilai-nilai tersebut mungkin saja terselip prasangka-prasangka mengenai etnis, suku, dan agama. Prasangka-prasangka tersebut tentu tidak sejalan dengan ide persatuan bangsa. Hal ini bisa menjadi masalah ketika proses pengenalan nilai multikulturalisme di sekolah.
Bagaimanapun, pemikiran siswa bukan tanah liat yang dapat dengan mudah dibentuk guru. Hal yang dapat dilakukan adalah menyelipkan nilai-nilai multikulturalisme dalam proses belajar di sekolah.
Sebagai guru Bahasa Indonesia, Anda bisa meminta para siswa mengarang tentang lingkungan yang didiami berbagai macam karakter manusia dari suku yang berbeda (dengan memperhatikan EYD, tentu).
Bagi guru Sejarah mungkin Anda mau mengajukan pertanyaan, “Bagaimana jika para pemuda dulu bersikeras dengan perjuangan yang bersifat kedaerahan saja?”. Atau jika Anda mengajar Ilmu Sosial pertanyaan yang diajukan berbunyi, “Bagaimana jika Indonesia hanya ditinggali satu suku saja yang berarti hanya ada satu jenis budaya?” Pertanyaan seperti ini membantu siswa untuk memahami keanekaragaman bangsa sebagai anugerah.
Bila Anda guru Matematika, isu multikulturalisme dapat dengan mudah dinyatakan dalam soal-soal cerita mengenai bilangan, pengukuran, bahkan geometri (lihat saja bentuk-bentuk rumah adat yang beragam).
Hal serupa juga bisa dilakukan untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, Kesenian, dan Ilmu Alam.
Cara lain adalah bercerita atau mendongeng. Ini memang cara yang sudah berabad-abad dilakukan para orang tua untuk menanamkan sifat-sifat terpuji pada anak-anak. Namun, bukan berarti cara ini sudah tidak efektif.
Dengan menyertakan gambar, boneka, gestik, dan mimik yang menarik, Anda bisa mendidik para siswa (terutama yang berusia TK dan SD) dengan cara yang menyenangkan.
Pendidikan multikultural tentu hanya berhasil bila guru juga memahami wawasan multikulturalisme. Dalam “Workshop Program dan Pembuatan Modul Pelatihan” di Banten dirumuskan kendala besar yang dihadapi penguatan kesadaran multikultural adalah akses informasi yang sulit dicapai guru. Akibatnya, guru kurang memahami makna multikulturalisme sehingga tidak sensitif terhadap masalah-masalah perbedaan dan kebhinekaan.
Kendala lain adalah guru yang mengalami lack of skill (misalnya, reality check). Akibatnya, mereka tidak mampu menciptakan pembelajaran yang menghargai perbedaan dan menghormati keragaman masyarakat.
Solusinya, tentu dengan mempermudah guru mendapatkan informasi dari media cetak maupun elektronik. Misalnya dengan menyediakan buku-buku rujukan dan koran di perpustakaan sekolah.
Bagi Guru-guru yang lebih mudah mendapatkan informasi, bisa lebih aktif untuk menerapkan multikulturalisme di kelas. Jika mungkin, turut menyebarkan virus multikulturalisme dengan rajin berbagi: menulis di blog, koran, dan majalah. Bahkan, berbicara di forum lokal dan nasional. Dengan begitu, rekan sejawat akan termotivasi untuk mencoba menerapkan cara pembelajaran yang senada multikulturalisme.
Setelah mengetahui pentingnya penerapan pendidikan multikulturalisme di Indonesia, satu-satunya yang harus dilakukan adalah memulai. Memang tidak mudah, apalagi bagi guru yang merupakan ujung tombak pembaruan ini.
Tidak mungkin begitu saja menata ulang pandangan dan sikap yang dibawa anak dari keluarga dan lingkungan sosialnya. Hal yang dapat dilakukan guru ialah memberitahukan kepada siswa, bahwa ada pandangan-pandangan sosial lain di samping pandangan sosial yang tertanam melalui pendidikan keluarga. Guru memperluas cakrawala siswa sehingga bisa membandingkan pandangan sosial yang satu dengan pandangan sosial yang lain. Jadi, langsungkan saja pembelajaran multikultural di sekolah Anda! TG
Mochtar Buchori
“Pendidikan Multikultural”, dalam Parasnews, Februari/2010.
disiapkan oleh Ade Febriani
Guru di Depok
• Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Teachers Guide edisi no. 10/ Tahun ke IV/2010. Dapatkan di toko buku Gramedia dan Gunung Agung. Ketimbang kehabisan, silakan berlangganan. Sirkulasi: (Fleksi) 021-68458569, 0812 8242 801 . Selamat membaca!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Hei bagus amat artikel2 nya :) numpang baca, en kalo boleh saya mau buat link dari blog saya ke blog ini. Bolehkah?
Indra N Hatasura
Simplified Environmental Education
hatasura@gmail.com
Silakan dilink, mas Indra N. Hatasura.
Misi kami, ingin mengajak rekan-rekan pendidik semua meramaikan khasanah pembaharuan pemikiran pendidikan, serta berbagi pengalaman mendidik. Terutama untuk guru muda dan para calon guru yang masih menyelesaikan studi di bangku kuliah, semoga informasi Teachers Guide melalui blok ini dapat bermanfaat.
Salam Pendidikan!
Indrawan Miga
Semoga bermanfaat
Posting Komentar