Methode
Pejamkan mata. Bayangkan:
‘… kendaraan yang ditumpangi anak sekolah itu berhenti tepat di depan sebuah sekolah. Sekolah berpagar besi, dengan pohon rambat menghiasi jeruji. Langkah kaki menapaki halaman parkir yang teduh. Gerbang sekolah ditunggui Guru, dengan senyum lembut menyambut kehadiran. Melangkah ke dalam, tercium aroma tanah. Lumut menempel di bebatuan, menunjukkan sekolah itu masih menyimpan banyak oksigen. Wangi pepohonan samar di antara angin yang sepoi.
Masuk ke koridor kelas, terpampang berbagai slogan yang menggugah semangat. Lorong koridor tak lagi berderet loker piranti siwa, melainkan sofa duduk yang bersahabat. Koran, majalah, jurnal, bertengger di rak sepanjang koridor. Alat permainan ala anak negeri, congklak, bekel, catur, karambol, bola, ditata rapi. Bunyi musik mengalun pelan, memanjakan telinga.
Sampailah di kelas….
Tampak pemandangan yang lebih menggairahkan. Tangan-tangan mungil siswa berlambaian di udara, berlomba menjawab pertanyaan guru. Sinar mentari menyeruak lembut dari balik jendela kaca yang dibuka lebar, tak lagi memerlukan pendingin udara yang mudah menularkan virus. Guru mengajukan pertanyaan yang menggugah pengalaman anak.
Riuh, namun tertib. Kelas sibuk dengan kegiatan yang berbeda-beda. Anak yang selalu bergerak, berbaur dengan yang duduk mendengar dengan mata berkerjab. Ada pula yang sambil mencoret sesuatu di kertas. Ketiga gaya belajar bersamaan merespon materi.
Rak dan meja pajang, serta dinding display penuh dengan alat pendukung belajar. Semua berguna bagi siswa dan guru, bersanding dengan jajaran buku tebal bergambar sesuai minat anak. Hingga guru selesai menjelaskan materi, tak tampak anak yang diam melamun. Semua seolah paham, dan mulai mengerjakan lembar kerja yang berisi refleksi dan pandangan anak pada materi yang baru saja mereka pelajari. Anak yang tak paham mendapat belaian di kepala, dan dilakukan penjelasan khusus. Privat.
Sesaat kemudian, mereka berpindah duduk, membentuk lingkaran beranggota lima-an. Terdengar kembali dengung bak lebah berdenging, disertai tawa dan anggukan anak, sesekali ungkapan tak setuju yang dibarengi dengan pengungkapan alasan. Ada yang sepakat, ada pula yang tidak. Tak terdengar keluhan, cemoohan, apalagi ejekan. Guru memberi komentar sesekali.
Saatnya anak presentasi. Mempertontonkan hasil diskusi. Sebentar saja. Sebelum mengakhiri pertemuan kelas, Guru meminta anak memberi apresiasi, dengan melakukan tepuk tangan melingkar. Tepukan biasa, disertai pekik ‘yaaaaa……!’, namun cukup memberi nuansa perayaan akan sebuah keberhasilan.
Bukalah mata anda ………….
Itulah sebuah pengalaman belajar. Hampir sama dengan yang diungkapkan oleh Bobby de Porter. Berambut putih pirang, tatap mata dalam dan kesungguhan tekad berbagi pelita ilmu dengan para Guru. Di depan seribuan Guru yang berkumpul di sebuah ruang di kompleks kantor Mendiknas di Senayan Jakarta.
Mizan Corporation mengundang Bobby. Melalui bantuan penterjemah, Bobby menjelaskan sebuah alur yang akan membantu Guru menjalani proses mengajar belajar bersama siswanya di kelas. Tak hanya dengan bicara, Bobby meminta para Guru mengikuti gerakan, yang disebutnya sebagai mengorkestrasi proses belajar, agar lebih mudah melekat, sebagai pengingat.
“Ayo tirukan sambil katakan: Everything speak,” jelas Bobby sambil membuat gerakan melingkar dengan kedua tangan, diikuti dengan membuat kerucut dengan jari tangan kanan, dan dikatup-bukakan, mirip gerakan yang menunjukkan orang bicara. Ya, everything speak adalah pentingnya penataan fisik kelas. Tempat, kelas atau ruang, yang harus diatur agar semua yang ada di situ ‘bicara’, .
Dirancang agar semua merangsang indra anak untuk merespon dengan positif. Kursi, karpet, meja, rak, pajangan, jam, tape recorder, bunga meja, alat peraga, cara guru berpakaian, senyum guru yang manis, lonceng dan sebagainya, seolah bicara. Bicara pada semua siswa bahwa mereka ada karena mereka (benda-benda itu) berguna. Pada saat semua sudah tampak sempurna, guru terus akan bertanya pada diri sendiri, “Apa lagi yang bisa saya lakukan?”
“Everything on purpose”, gerakkan kedua tangan, lalu tekan telunjuk kanan ke telapak tangan kiri’. Maknanya adalah: semua yang ada di ruangan, beserta segala yang tertera dan tergeletak dan tertata, memiliki makna. Memiliki tujuan mengapa ada di situ. Tampak sudah dipikirkan sejak guru akan melakukan sesuatu. Tujuannya, membantu siswa dan guru memahami materi pelajaran dan belajar berinteraksi dengan lingkungan, bergerak ataupun tak bergerak.
“Experience before labelling – (putar kedua lengan tangan, dan lakukan silang seperti membuat anak tangga) - praktik ilmu konstruktivisme yang dilakukan untuk menghargai siswa. Memberi gambaran apa yang akan dipelajari, agar tercipta koneksi atau kaitan dengan konsep baru yang akan diperkenalkan. Cara termudah adalah dengan membuat skema pengetahuan, agar semua siswa tahu ide besar rancangan guru yang akan diajarkan.
“Acknowledge every effort” – (lakukan gerakan tangan seperti seorang pemenang, kedua tangan dibuka, lengan dilipat, tangan mengepal) - belajar pada dasarnya adalah sebuah resiko. Karena itu, hargai setiap pencapaian. Berusaha adalah sebuah pilihan. Ketika kita melihat ada anak yang susah sekali masuk kelas, anak itu sendiri pasti merasa heran. Mengapa anak lain begitu mudah masuk kelas dengan ceria. Sedang dia sendiri merasa betapa beratnya usaha itu. Apa yang akan kita lakukan? Tetap menghargai anak itu. Because learning is work, so make it enjoyable. Berikan penghargaan dengan ungkapan yang tulus, namun tidak umum. Jangan hanya klise mengatakan: “ya, kamu baik; ya, bagus”. Coba lebih spesifik: “Karet rambutmu indah. Warnanya serasi”.
“If it worth learning, it is worth celebrating” - (tunjuk kening dengan telunjuk, kemudian gerakkan jari-jari tangan seperti menari). Apa yang layak dipelajari, layak pula dirayakan keberhasilannya. Mengubah kepercayaan negatif menjadi positif. Mengurai negative learning dengan cara mengubah persepsi, rasa minder, rasa tak mampu. Merayakan kemenangan tak harus dengan pesta. Membuat gerakan tepuk tangan melingkar (tak biasanya) pun sudah sebuah perayaan.
Sekali lagi, quantum learning adalah sebuah usaha mengorkestrasi proses belajar. Masa depan proses belajar adalah meaningfull, joyfull, serta tetap relevan dengan apa yang dipelajari.
Sejumlah 15.000 guru di seluruh dunia sudah berlatih quantum learning. Mereka sudah mengubah jutaan siswa berbinar saat belajar. Kapan giliran Anda?TG
• Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Teachers Guide edisi no. 10/ Tahun ke IV/2010. Dapatkan di toko buku Gramedia dan Gunung Agung. Ketimbang kehabisan, silakan berlangganan. Sirkulasi: (Fleksi) 021-68458569, 0812 8242 801 . Selamat membaca!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar