November 07, 2010

Cover Story: Seberapa Banyak Upaya Pengembangan Diri Anda?

Penuturan Aidha Zalidhar Mirza

Aku berhasil menjadi sarjana pendidikan. Setelah itu, mulailah aku berjuang mencari ladang pekerjaan.

Awalnya, sebuah Lembaga Pendidikan Guru setara D1 memanggilku menjadi dosen. Lantas beberapa lamaranku direspon menjadi Guru sekaligus kepala sekolah di taman Kanak-kanak. Orangtuaku sedikit kecewa dengan pilihanku menjadi Guru TK. Mereka khawatir aku tidak bisa berkembang karena mengajar di TK itu mestinya tidak harus sarjana!

Kugeluti pengalamanku, hingga kutemukan diriku makin jatuh hati pada profesi pendidik, yang mengasah kematangan sosial emosiku sebagai Guru. Kutemukan makna proses pembelajaran, dan yakin, siapa yang sungguh-sungguh menuntut ilmu, akan ditinggikan derajat kehidupannya kelak.

Tak jarang aku nekad mengalokasikan semua gajiku sebagai Guru demi upaya mengejar ilmu dan kepuasan. Aku pernah hengkang dari sekolahku demi meraih ilmu dengan mengikuti pelatihan intensif.

Aku pun tak segan menyisihkan sebagian besar penghasilanku setiap bulannya untuk membeli buku, berlangganan majalah, dan membeli peralatan teknologi penunjang informasi untuk meng-up grade diri.

Berkunjung dari satu sekolah ke sekolah lainnya, dan ambil S2 marketing dan pendidikan di Ma’had, berbarengan dengan aktivitasku mengajar mahasiswa dan sesekali memberikan pelatihan Guru di kalangan terbatas.

Saat penghasilanku satu juta rupiah sebagai Guru di tahun dua ribu, 1/3- nya kujatah untuk berinvestasi membeli buku atau mengikuti pelatihan. Itu pun setelah dikurangi zakat profesi sebesar 2,5%-10%. Jadi secara matematis aku memiliki anggaran untuk pengembangan diri secara rutin antara Rp.200.000- Rp.250.000/bulan. Dua per-tiganya lagi kugunakan untuk memback up keperluan rumah tangga. Suamiku berwirausaha.

Kekuatan ilmu dan doa terus mengangkat kehidupan kami keluar dari celah kesulitan lewat tawaran di luar sekolah, memberikan pelatihan Guru, mengajar freelance, menulis artikel di media cetak, membuatkan konsep kurikulum.

Dukungan moril dan doa teman, keluarga, juga para Guruku di sekolah ‘natural school’ di Depok, termasuk pimpinan lembaganya yang begitu giat memompa semangat kami untuk terus berubah dan berbenah diri.

Kini aku memangku jabatan sebagai Kepala Bagian Pendidikan sebuah sekolah di Bekasi, yang bertanggung jawab penuh terhadap pengembangan mutu Guru dan siswanya. Dituntut untuk bisa tampil optimal.

Nyatanya tidak mudah bagiku membentuk karakter Guru pembelajar di sekitarku. Aku harus menjadi sosok Guru teladan bagi yang lain, yang secara langsung dituntut menjadi ‘oase ilmu’ bagi teman-teman Guru dan kepala sekolah.

Aku kembali bergelut mencari beragam pelatihan terkait pengembang¬an mutu pembinaan Guru, seperti pelatihan motivasi, kepemimpinan, hypnoteaching, hypnoparenting, Guru berkebutuhan khusus, bahasa Inggris, metode akselerasi pembelajaran hapalan dan membaca, pelatih¬an cepat menghapal Al Qur’an, pelatihan IT, bedah kurikulum internasional, newskill teaching, menulis, mendongeng, pelatihan untuk menjadi pelatih Guru, dan beragam judul pelatihan yang nyaris setiap bulan aku kejar dengan anggaran sepertiga gaji.

Investasi yang kukeluarkan dengan ikhlas sebagai niat keilmuan, sering tergantikan dengan tak terduga, dengan pendapatan berlipat. Peluang memenangkan kompetisi coba kuraih.

Tahun 2009, Allah mengizinkanku menjadi pemenang pertama lomba mendongeng Guru tingkat nasional yang diselenggarakan ‘Toyota Bercerita’. Semua mata media meliputku. Aduhaiii … senangnya aku.


Sebuah jalan baru menjadi Guru yang bukan sekedar Guru. Aku bukan ‘guser‘ (Guru mengejar sertifikat) yang mengikuti pelatihan ha¬nya untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya sertifikat.

Kini makin banyak aku melihat teman-temanku mengembangkan diri, mengasah diri, menjadi Guru plus. Guru plus penulis, Guru plus da’i, Guru plus musisi, Guru plus pedagang, Guru plus pelatih, Guru plus koordinator Guru, Guru plus mana¬ger, Guru plus les privat/bimbel, Guru plus seniman, Guru plus konsultan pendidikan, Guru plus lainnya.

Secara teori, kuingat syarat agar pengembangan diri dapat dilakukan. Open head, open mind, yang siap mendengar, berfikir dan belajar dari mendengar, melihat, serta menelaah persoalan yang dihadapi. Perlu sikap terbuka dalam pemikiran, wawasan, motivasi untuk berbenah dan berubah lebih maju.

Open heart, yakni sosok Guru yang siap dikritik dan dikoreksi tidak hanya oleh pimpinan, rekan kerja, tetapi juga oleh murid dan siapapun agar tercapai perbaikan diri yang positif secara terus menerus.

Open hand, yakni sosok Guru yang siap membantu dan memfasilitasi diri dan sekelililingnya. Ketrampilan mencari solusi. Mau bekerja keras tanpa rasa gengsi atau iri hati.

Kuingat kata Paulo Fraire, bahwa Guru kaya senantiasa berfikir terbuka, bersikap asertif, bertindak proaktif dan memiliki mental pemenang. Dengan begini, pengembangan diriku bukan hanya mengalir, melainkan melompat, terjun, berenang dan menang.TG

Aidha Zalidar Mirza, S.Pd, M.M

Head of Education AL HANIEF CREATIVE SCHOOL (PlayGroup/Kindergarten/Elementary), trainer pendidikan anak usia dini DIKNAS 2009.
Juara I lomba Toyota Bercerita 2009,
Juara III SEKOLAH SEHAT tingkat SD se-Jawa Barat 2007,
kontributor portal pendidikan www.indosiar.com.

Tulisan ini diterbitkan dalam majalah Teachers Guide edisi no. 10/ Tahun ke IV/2010. Dapatkan di toko buku Gramedia dan Gunung Agung. Ketimbang kehabisan, silakan berlangganan. Sirkulasi: (Fleksi) 021-68458569, 0812 8242 801. Selamat membaca!

2 komentar:

TONI mengatakan...

sikap itu di bentuk dan dipelajari...

bintang kecil mengatakan...

subhanallah, hebatnya ibu..inginnya anakku sekolah di sekolah berkepala sekolah seperti ibu.. ;D