rubrik Teachers Forum
Bukan rahasia lagi di kalangan para guru bahwa ‘proyek’ sertifikasi guru identik dengan keuntungan financial – berupa insentif yang lumayan untuk menambah pendapatan tanpa harus menambah jam kerja.
Terlebih yang diperlukan hanya dokumen-dokumen mati, lembar-lembar kertas sertifikat pelatihan, piagam penghargaan keikutsertaan dalam seminar atau workshop.Makin banyak dokumen terkumpul, harapan lulus sertifikasi semakin besar.
Adalah tiga orang Guru sekolah swasta; Pak Burhan,Pak Busro dan Pak Budi (bukan nama sebenarnya). Ketiganya dikenal sebagai Guru yang kurang disiplin. Mengajar sekenanya, masuk kelas tak pernah on-time. Merasa diri senior, sudah puluhan tahun mengajar, sehingga dokumen minimal seperti lesson plan (rencana pemelajaran) pun tidak pernah dibuat. Diberikan kesempatan belajar lagi; pelatihan, kursus singkat dan sejenisnya, tak pernah mau.Untuk apa lagi? Sudah cukup, tak perlu pelatihan, tak perlu belajar macam-macam.
Tetapi ketika mendengar bahwa program sertifikasi guru ada duit-nya, mereka bertiga sangat antusias, sibuk runtang-runtung kesana-kemari mengumpulkan dokumen. Karena minimnya dokumen yang ada, tak segan-segan mereka membuat dokumen-dokumen fiktif/palsu. Dalam bincang-bincang mereka tentang upaya mengakali sertifikasi, terekam pembicaraan berikut;
Burhan: “Bagaimana friends, setelah dikumpul-kumpulkan evidence saya sangat sedikit,” pak Burhan membuka pembicaraan.
Budi : “Sama Jo, saya punya juga tidak mencukupi, bahkan hanya sekitar 200 poin,” sahut Budi. (skor minimum 800)
Busro : “Boro-boro punya saya, bisa dihitung jari,” dengan bangga Busro menimpali. "Bagaimana kita menutupi kekurangan dokumen-dokumen ini?”
Budi : “Eh … itu gampang Jo .., You kan ingat, tiga tahun terakhir ini sekolah kita mengadakan beberapa kali workshop dan pelatihan, kenapa tak meminta saja kepada pimpinan untuk membuatkan sertifikat?”
Burhan : ”Oh…boleh juga you punya ide. Kita datangi saja tuh pimpinan, minta dia buatkan sertifikat dan piagam walau kita tak mengikutinya saat itu.”
Busro : “It’s impossible friends, bagaimana mungkin, pimpinan kita mau buatkan kalau kita sendiri tidak ikut. Ngga mungkin lah yau…,” tegas Busro pesimis.
Budi : “Eh… tenang aja, nanti aku urus. Itu mah kecil, kasih saja pimpinan kita doku (dibaca= duit), pasti mau.”
Busro : “Kalau begitu kita menyuap dan memalsukan dokumen dong?” tanyanya ragu-ragu.
Burhan : ”Ah…… kamu ini kaya nggak tahu aja. Udahlah dicoba aja dulu, yang
penting kita bisa disertifikasi dan mendapatkan tunjangan,” Burhan menimpali
Busro.
Busro : “Seandainya bisa pun, pasti dokumen kita masih kurang. Saya hitunghitung pelatihan selama ini hanya bisa menutup sekitar 60 poin.” Busro menjelaskan detil perhitungan skor-nya
Budi : “Oh… iya ya….. hanya sekitar 60 poin.”
Burhan : “Ah… masih ada ide. Saya punya kenalan Guru di kota, dia rajin ikut seminar, pelatihan, workshop semacamnya.”
Budi : “Maksudmu..?”
Burhan : “Saya akan minta teman di kota itu untuk mencarikan blanko-blanko kosong sertifikat dan penghargaan, kita tinggal mengisinya.”
Busro : ”Bagaimana bisa, kan acaranya sudah berlalu?” tanyanya Busro jeli.
Budi : “Gampang Jo….. suruh saja ia foto-copy, namanya ditutupi, sehingga kita tinggal ganti nama kita. ”
Burhan : “Ya ngga bisa lah Bud……, dokumen kan harus ada yang asli, mana mungkin di-foto copy?”
Busro : “Iya tidak mungkin itu.”
Burhan : “Begini saja. Di kota kan banyak pelatihan, bahkan setiap hari ada. Saya akan suruh teman itu ikut, dan daftarkan nama kita sebagai peserta sehingga kita dapat sertifikat asli.”
Budi : “Oke ide bagus itu. Di samping legal, juga sertifikatnya asli. Kita kirim saja uang lebih ke teman si Burhan, lalu minta mengirim sertifikat itu viapost. Bereskan kan?”
Busro : “Bisa juga sih… tetapi tetap saja, sertifikat itu asli tapi palsu alias aspal,” Busro mencobainya.
Burhan : “Ah… kamu ini, ideal banget sih. Sudahlah lupakan semuanya, asli atau palsu yang penting kita dapat sertifikat dan bisa di sertifikasi lalu dapat rapelan tunjangan,” Burhan tidak sabar.
Akhirnya mereka pun sepakat mengumpulkan ratusan ribu rupiah, dikirim ke teman Burhan di kota. Dalam waktu kurang dari satu bulan, maka setumpuk lembaran sertifikat, penghargaan telah berada di tangan ketiga guru itu. Tiba waktunya menyerahkan dokumen kepada kepala sekolah ke dinas pendidikan setempat. Selanjutnya mereka menunggu pengumuman transfer tambahan bulanan.
****
Sekelumit gambaran kesalahan persepsi para guru dalam merespon inisiatif yang baik dari pemerintah, tentang sertifikasi guru.
Tujuan utama sertifikasi adalah untuk meningkatkan kompetensi guru, sehingga kualitas pemelajaran meningkat dan akhirnya lulusannya pun bermutu. Tunjangan atau insentif bukan tujuan utama, hanyalah sebagai akibat dari meningkatnya kompetensi dan kinerja guru.
Jika kesalahan persepsi seperti ini terus dibiarkan maka tentu saja program sertifikasi tidak akan bermakna, sebaliknya jadi ajang pencarian tambahan income alias bagi-bagi duit.
Perlu dicari alternatif model sertifikasi yang lebih berbobot. Tak sekedar mensyaratkan lembar-lembar kertas atau dokumen mati, melainkan lebih menekankan pada kompetensi dan kinerja (achievement) nyata.
Seperti terinci dalam Undang-undang SISDIKNAS, bahwa Guru mesti memiliki kompetensi profesi, pedagogi, pribadidan kompetensi sosial.
Kompetensi tersebut yang perlu diukur, tentu tak cukup hanya dengan kumpulan dokumen mati atau test tertulis, juga observasi langsung melihat bagaimana proses pemelajaran di kelas dilaksanakan.
Pencapaian-pencapaian yang mereka peroleh, harus ada bukti otentik, didukung dengan adanya testimoni dari pihak yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tak perlu pencapaian besar atau spektakuler seperti menjadi guru teladan nasional, atau publikasi karya tulis pendidikan yang best seller nasional, tetapi berawal dari pencapaian sederhana yang prinsipil seperti kehadiran, perencanaan pemelajaran, mengimplementasikannya dengan baik, kontribusi waktu dan tenaga untuk anakanak,serta peduli lingkungan sekolah.
Untuk mensertifikasi guru seperti dimaksud, tentu perlu tim independen di tiap daerah: punya komitmen, jauh dari mental kolusi, korupsi dan nepotisme. Tim sertifikasi tidak hanya duduk meneliti dokumen-dokumen mati, melainkan terjun ke kelas-kelas.
Dengan demikian sertifikasi Guru bukan lagi sarana mengejar rejeki, melainkan meningkatkan kinerja dan kompetensi.TG
Herman JP. Maryanto
Guru di Timika, Papua
*)Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar