Maret 08, 2011

Lulus, NEM Tinggi & Diterima di Sekolah Negeri

Mencerna kembali Pendidikan Berdasar Kompetensi


Rubric Critic

Perubahan sedang terjadi pada sistem pendidikan Indonesia. Kurikulum sudah disesuaikan dengan kemajuan zaman. Metode mengajar pun berkembang hebat. Indikator pencapaian sudah bergeser ke arah kompetensi. Sekolah pun makin piawai mengkomunikasikan kemajuan dan perbedaan sistem pengajaran pada stake holder.

Ketika Ujian Nasional digelar, hasil yang tampak adalah angka. Masyarakat dan orang tua senang dan setuju dengan cara belajar dan metode terkini, dengan paradigma multi kecerdasan. Namun mereka menginginkan hasil seperti tempo dulu. Lulus dengan NEM tinggi dan masuk ke sekolah lanjutan negeri. Kredo ini belum banyak bergeser.

Perdebatan hasil NEM
Hasil UASBN sudah keluar! Semua anak SD se Depok –Jawa Barat lulus! Begitu pengumuman yang dikeluarkan oleh pejabat Diknas setempat dengan bangga dan muka berseri. Target mereka berhasil. Semua anak lulus. Tak peduli bagaimana dicapainya.

Tak ada eporia berlebihan. Rasa penasaran justru mulai merangsek. Banyak SD negeri yang siswanya mencapai NEM amat sangat tinggi. Mencermati hasil UASBN tahun ini, khususnya di wilayah Depok- Jawa Barat, 10 nilai tertinggi dicapai oleh sekolah negeri. Sekolah swasta active learning ada di tengah. Dan SD Negeri yang ‘kasihan’, ada di nomor buntut.

“Iya lah…, kami kan nggak milih-milih anak saat pendaftaran dulu. Siapa saja kami terima asal masih ada tempat. Artinya, siswa kami memang tak semua jago di ranah kecerdasan kognitif. Kalau sekolah negeri kan drilling abis! Pantas saja bisa dapat NEM mendekati sempurna, 30!”

begitu komentar Bu Diah, kepala sekolah SD swasta yang siswanya paling tinggi berada di angka 27,10 dan terbawah ada di angka 15 pas; terbanyak ada di level 21 – 24. Akibat tingginya nilai kelulusan itu, sejumlah SMP Negeri berkualitasbawah, kini mendapat siswa dengan NEM minimal 24,90. Siswa lulusan sekolah Bu Diah yang menjajal mendaftar ke negeri pun gigit jari.

Pak Dayat, kepala sekolah SD Negeri menimpali dengan agak arogan: “Kami yang sekelas 40 anak, bisa meluluskan siswa dengan hasil yang ‘memuaskan’. Tertinggi 29,50 dan terendah 21 koma sekian. Yang terendah sekali pun masih masuk ke SMP negeri! Sekolah Bu Diah kan sekelasnya cuma 24 anak? Dengan dua guru! Mestinya bisa mendongkrak NEM terbaik!” kilah Pak Dayat.

Tulisan ini tidak akan membahas bagaimana NEM dicapai di sekolah ala Pak Dayat. Biarkan kebenaran akan terungkap, tanpa membongkar aib yang dijaga kerahasiaannya secara berjamaah. Para tim sukses di sekolah negeri sudah berhasil melaksanakan tugasnya, untuk meluluskan siswa, mencapai nilai NEM tinggi dan mengantarkan siswanya ke sekolah negeri. Itu saja! Dengan begini, posisi kepala sekolah dan kepala dinas akan ‘aman’.

PARADIGMA
Sudut pandang kedua kepala sekolah jelas berbeda. Perdebatan akan panjang jika diteruskan. Sebagai praktisi pendidikan, kita tak perlu terjebak pada polemik macam itu. Lebih baik, masing-masing merenungkan, apa sesungguhnya hakekat dari proses belajar di sekolah. Idealnya, sekolah model Bu Diah dapat meluluskan siswa dengan NEM tinggi, dengan cara yang benar dan patut. Namun teori kecerdasan majemuk menisbikan hal ini.

“Pengembangan kurikulum di sekolah kami bukan untuk sekedar lulus ujian nasional. Yang kami persiapkan lebih pada konsep diri anak, agar dia tahu potensi yang dimiliki dan diminatinya. Dengan begini akan lahir tokoh muda hebat beraneka potensi,” bela Bu Diah sengit.

Bagaimana Anda melihat persoalan ini?

Tampaknya, Bu Diah terpancing emosi. Pak Dayat mempertahankan harga diri. Pada saatnya nanti, akan terbukti, pendidikan yang lebih mendasarkan diri pada pencapaian kompetensi diri, akan mendapat posisi tertinggi!

Menurut Spencer & Spencer (1993), ada 5 kompetensi:
1. Motif, yang menguasai pembawaan dalam jangka panjang tanpa pengawasan ketat.
2. Pembawaan, karakteristik fisik yang merespon situasi dan informasi
3. Konsep diri, terkait tingkah laku, citra
4. Pengetahuan. Persoalannya, sering salah mengukur kinerja seseorang, karena tes yang digunakan hanya mengukur ingatan seseorang akan sesuatu informasi/pengetahuan. Padahal yang diperlukan, adalah kemampuan mencari pengetahuan. Tes pengetahuan hanya mengukur respon terhadap pilihan jawaban,bukan pada tindakan. Pengetahuan hanya meramalkan apa yang dapat dikerjakan seseorang. Bukan apa yang AKAN dikerjakan setelah tes.
5. Ketrampilan, yakni kemampuan melakukan tugas secara fisik dan mental.

Kelima kompetensi itu memiliki dampak pada perencanaan pengembangan manusia, dengan
gambaran seperti di atas ini:

Pencermatan Spencer & Spencer menjadi pilihan untuk melihat persoalan Bu Diah dan Pak Dayat berdasar keilmuan. Maka, setelah lulus dengan NEM yang baik, mau ke negeri maupun swasta, yang penting dijaga adalah: setelah lulus, kompetensi mau diperkuat ke arah mana? Ini yang dipertaruhkan. TG

*)Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.

Tidak ada komentar: