Mendengar kata homeschooling, sebagian besar orang berpikir bahwa para penikmatnya (baik anak maupun orangtua) adalah orang-orang yang sulit, tidak mau beradaptasi, dan secara sosial memang tidak mampu dan tak mau bersosialisasi. Benarkah demikian?
Penggunaan kata ’strange’ memang disengaja, demi menunjukkan betapa pemikiran tersebut masih benar-benar ’strange’ menurut sebagian besar orang. Aneh? Asing? Strange!
Homeschooling dianggap pemikiran alternatif oleh para pelaku lembaga pendidikan formal dan praktisi sekolah. Dianggap menyempal, sok mau berbeda, atau tandingan.
Saat dulu, Pestalozzi, seorang ahli pendidikan dari Swiss, menyerukan pemikiran yang menyempal, karena sejumlah anak terlantar akibat ayahnya pergi berperang (perang antara Inggris dan Perancis waktu Napoleon berkuasa). Anak-anak dikumpulkan dalam satu kelas dan belajar materi yang sama. Dari sinilah istilah klasikal mulai dikenal (untuk membedakan dengan individual).
Kurang lebih dua ratus tahun kemudian, konsep homeschooling yang bersifat individual kembali muncul. Saat istilah homeschooling makin keras didengungkan, orang makin penasaran. Pentingkah dipertimbangkan?
Pestalozzi melihat konteks perang, untuk segera menyelamatkan anak-anak terlantar dengan cara mendidik mereka bersama-sama di kelas. Kini ramai-ramai orang menarik anak-anak mereka dari sekolah umum, konteksnya perang juga, yakni perang terhadap musuh yag tak tampak: hedonisme, konsumerisme, pornografi, obat-obatan, hilangnya
respek dan empati.
Sahkah dan adilkah orangtua mengambil keputusan demi menyelamatkan masa depan anaknya, meski pun terkesan ’paranoid dan egois’? Sah saja. Meski banyak orangtua lain berdalih mengembangkan minat dan bakat anak agar lebih optimal, atau demi penerus tradisi keluarga melalui ’on the job learning’.
Dalam buku ’Dunia tanpa Sekolah’, Izza, remaja 15 tahun telah melewati perjuangan berat dan berhasil membebaskan diri dari tempat yang memenjarakan kreativitas dan kemerdekaannya, yaitu sekolah. Anak pasangan suami istri yang berprofesi sebagai guru berprestasi, memutuskan keluar dari SMP demi menggapai cita-citanya menjadi penulis hebat.
Izza mengatakan,”Aku tak mau hanya wajib belajar 9 tahun… Aku mau wajib belajar seumur hidupku, dan aku memilih caraku sendiri…”
Sebagian besar orang masih meletakkan harapan pada sekolah formal, memilih sekolah terbaik. Kalau masih bisa memilih, mereka akan memilih sekolah-sekolah yang sesuai kebutuhan masing-masing (metode, kurikulum, kondisi finansial). Sayangnya sebagian besar rakyat Indonesia tak punya hak memilih, nrimo apa pun kondisi sekolah.
Daud Yusuf, mantan Menteri Pendidikan kita, khawatir bahwa pendidikan (educating) telah diartikan sebagai persekolahan (schooling). Seolah hanya di sekolah tempat mendidik.
Padahal pendidikan lebih luas. Saat sekolah hanya mendudukkan sebagai lembaga persekolahan, maka yang dituju adalah target penguasaan materi yang harus dicapai dengan cara apa pun (baca: menghalalkan segala cara termasuk menipu demi kelulusan siswa?).
Seharusnya, pendidikan distimulasikan untuk penguasaan dan implementasi nilai-nilai, sehingga anak didik berkembang secara intelektual dan emosi dan terhubung dengan alam lingkungannya. Bukan menjadi makhluk cerdas cemerlang tapi hidup sendiri tak bergaul tanpa kontribusi pada lingkungan.
Bila sekolah menjalankan educating dan schooling, berarti sekolah masih menjadi alternatif yang bagus. Namun bila sekolah sudah tak mampu menjalankan esensi pendidikan, rumah mungkin adalah alternatif yang tak boleh dicibir.
Silakan pilih, tanpa saling menghujat! Hidup pemerdekaan pendidikan! TG
Penulis: Ria Restanti Natalisa wartawan TeachG di Yogyakarta
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar