Desember 04, 2009

SEKOLAHNYA MANUSIA

Sekolah unggul itu bukan berdasar input, melainkan proses
Ini adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh Munif Chatib, konsultan pendidikan dan manajemen, serta Direktur Sekolah YIMI Gresik. Judul yang terdengar agak ‘sarkastik’ namun terbukti nyata. Dan fakta membuktikan bahwa sekolah kita selama ini banyak yang tak menjadi sekolahnya manusia, melainkan sekolahnya robot, dan sekolahnya lumba-lumba. Anak dianggap sama setara dan seragam.

Intisari pemikiran Munif Chatib adalah pernyataannya yang keras bahwa sekolah unggul bukan berdasar input, melainkan berdasar proses -the best process, NOT the best input. “Betapa cantiknya proses belajar di kelas apabila guru memandang semua siswa pandai dan cerdas, dan para siswa itu merasakan semua pelajaran yang diajarkan mudah dan menarik,” begitu kata Munif yang kini melatih banyak sekolah dan Guru.

Lebih lanjut Munif mengatakan: “Jika keluar dari kelas, semua siswa mendapatkan
pengalaman pertama yang luar biasa dan tak akan dilupakan, dan ini terjadi pada jutaan kelas di sekolah-sekolah di Indonesia, pasti negara ini akan menjadi negara maju yang diperhitungkan dunia. Wow … dahsyat ya!” jelas Munif dengan bahasa yang medhok dialek Jawa Timur-an.

“Di setiap sekolah mana pun dan kualitas apa pun, siswa adalah amanah. Guru adalah orang yang paling bertanggung jawab. Sekolah unggul adalah sekolah yang memiliki guru dengan sekarung ide gaya mengajar. Penyelenggara sekolah yang profesional adalah lembaga atau orang yang selalu memikirkan kesejahteraan gurunya.” Nah… kesindir nggak!

Sekolahnya manusia, memberi tamparan pada guru dan sistem sekolah yang mendewakan nilai dan ranking. Ada alat riset yang dinamakan Multiple Intelligences Research (MIR), yang digunakan saat penerimaan siswa baru dan setiap kenaikan jenjang. Hasil MIR membantu Guru mendekatkan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa.

Dalam bukunya ’Sekolah Manusia’, termuat pidato Howard Gardner, pakar kecerdasan majemuk, di Harvard University, 1984. Meski kita tak mendengar langsung dan sesudah disuarakan sejak 25 tahun yang lalu, mengapa tak jua kita meluruskan perjuangan kita memerdekakan dan menemukan potensi anak didik?

“Suatu pemandangan umum yang dijumpai hampir di mana pun di Amerika Serikat dewasa ini adalah ratusan siswa masuk dalam aula berukuran besar untuk ujian. Mereka duduk dengan gelisah, menunggu bungkusan bersegel diberikan. Pada jam yang sudah ditentukan, buku soal dibagikan, instruksi singkat diberikan, dan ujian formal di mulai.

Aula itu sunyi saat siswa di masing-masing bangku memegang pensil 2B dan menghitami lingkaran yang menjadi jawaban di lembar tersendiri. Beberapa jam kemudian, ujian berakhir dan buku soal dikumpulkan. Beberapa hari kemudian, lembar berisi nilai diumumkan. Hasil ujian pagi itu menjadi faktor yang amat menentukan dalam keputusan masa depan masing-masing siswa.

Masyarakat kita telah menerima model ujian formal sampai tingkat yang berlebihan. Saya percaya bahwa berbagai aspek dari model aktivitas belajar dan penilaian yang saya sebut ’belajar dalam konteks’, dapat diperkenalkan kembali dengan memberikan manfaat ke dalam sistem pendidikan kita.

Berdasarkan hasil penelitian saya dan rekan Collins, Brown, dan Newman tentang asal-usul tes standard dan pandangan satu dimensi kegiatan mental yang merupakan implikasi metode pengujian, saya menyarankan perlunya pandangan yang lebih luas mengenai pikiran manusia dan mengenai manusia berlajar, daripada yang diinformasikan oleh pemikiran sebelumnya.

Saya yakin, kita harus meninggalkan jauh-jauh bermacam tes dan berbagai kaitan dengan tes, dan sebagai gantinya mencari sumber informasi yang lebih alamiah tentang bagaimana orang di seluruh dunia mengembangkan kemampuan-kemampuan yang penting bagi hidup mereka. Tugas saya di sini adalah memperkirakan bentuk pendidikan dan model penilaian yang berakar kuat dalam pemahaman ilmiah saat ini dan yang memberikan kontribusi untuk memajukan pendidikan di negara Amerika yang tercinta ini.”
TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Tidak ada komentar: