Desember 13, 2009

Memahami versus Menghapal

Ada dua cara belajar yang saling melengkapi, yakni:
1. Belajar demi pemahaman.
Siswa diajak berlatih berfikir. Pertanyaan menjadi kunci pembuka pengetahuan.
Di SD Mangunan bentukan Romo Mangun di Yogyakarta, siswa yang mengajukan pertanyaan paling banyak dengan bahasa yang baik, akan menduduki ranking tertinggi.

Pertanyaan yang terkait materi ajar menunjukkan tingkat pemahaman siswa. Belajar dengan pemahaman membutuhkan multi metode dan kepiawaian Guru pada pemetaan tahapan pencapaian siswa. Berbagai asesmen diseimbangkan guna membuktikan pencapaian pemahaman.

2. Menghafal.

Sistemnya adalah drill. Mirip dengan yang dikerjakan pawang pelatih lumba-lumba. Sifatnya menatar dan indoktrinasi. Sebagian besar materi hafalan adalah hal yang di luar jangkauan kontekstual kehidupan siswa saat itu. Di kelas 4 misalnya, materi gelombang bunyi transversal dan longitudinal yang diajarkan menjadi mubazir, karena kelak di jenjang SMU akan lebih tereksplorasi dan terkoneksi dengan lingkungan terdekat siswa.

Menghafal dapat dibedakan menjadi dua, yakni menghafal yang memerlukan fondasi pemahaman, dan menghafal yang (untuk sementara) tak memerlukan pemahaman siswa.

Demi NEM, kini kita (untuk sementara) membiarkan siswa menghafal bahan materi ajar tanpa perlu memberi pemahaman seluk beluknya pada siswa. Yang harus dikomunikasikan pada orang tua adalah, jika ada siswa mendapat angka yang tak menggembirakan pada butir-butir indoktrinasi ini, maka hal ini TIDAK AKAN BERBAHAYA bagi kemajuan hidupnya kelak.

Maka sebagai Guru yang keren, kita harus tahu, kapan memberi pelajaran yang harus mencapai pemahaman dan kapan yang ‘sekedar’ sekilas info namun perlu dihafal jawabannya, demi menjawab soal ujian standar.

Menyikapi hal ini, SD Mangunan menetapkan prosentase 70% jatah jam pemahaman, 20% hafalan dengan pemahaman, dan 10% hafalan tanpa harus faham. Anda setuju dengan strategi ini? Atau merasa tak perlu melakukan prosentase? Untuk membantu Guru agar tak melakukan banyak kesalahan di kelas, prosentase ini setidaknya akan membantu Guru memilah, mana materi yang perlu difahamkan, mana yang ‘sekedar kejar setoran’
persiapan ujian.

Idealnya tentu saja 100% pembelajaran dilangsungkan dengan pemahaman. Saat ini, Anda akan akan berfikir: Mungkinkah? Bisakah? Jujur harus Anda katakan: belum dimungkinkan! Faktor Ujian Nasional dengan model soal yang abcd menjadi sulit ditaklukkan.TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Tidak ada komentar: