Desember 12, 2009

JOGJA PATRIAE ACADEMY


Jimmy Pieter Kalauserang: Perjuangan Memerdekakan Anak
Sebuah rumah di ujung sebuah gang buntu menjadi tempat menyebarkan ruh perjuangan kebaikan dan kesantunan. Pemilik rumah itu, Jimmy Pieter Kalauserang, lulusan Fisipol UGM dan kini pendeta.

Dari rumah mungil namun asri itu, bersama istrinya, Yanti, Jimmy menabuhkan genderang pendidikan masa depan untuk generasi yang lebih baik secara etik, akademik, dan moral, dalam nuansa spritual kental.

Lima tahun mendidik sendiri ketiga anaknya dan beberapa anak anggota jemaat gereja (total 9 siswa). Mulai Agustus 2009, makin dikokohkan dalam wadah yang lebih formal yakni Jogja Patriae Academy (JPA).

Berikut ringkasan obrolan Teachers Guide bersama Pak Jimmy di sela-sela kesibukan melayani tamu yang hari itu silih berganti datang.

Awal berdirinya JPA?
Awalnya, pimpinan kami di Jakarta, dari Gereja Morning Star Indonesia (MSI), ibu gembala kami menerapkan homeschooling pada anak-anaknya tahun 1995. Karena beliau melihat akibat dari pendidikan modern, buah-buahnya seperti tak respek pada orangtua, etika dan moralnya kurang, egois. Teknologi maju, informasi maju, anak -anak malah lebih malas, bukannya menjadi mandiri dalam belajar. Mereka memanfaatkan hanya untuk bermain bukan untuk alat belajar Gratification (kesenangan) saja, ingin mudah, shortcut ... Daya juang kurang karena tantangannya tak ada. Jadi daya hidup melemah. Kalau ada masalah, mereka cenderung lari.

Hal seperti inilah yang menyebabkan beliau menarik anaknya dari sekolah. Memang pergumulannya sulit, karena seperti berenang melawan arus. Apalagi tahun 1995 masih awal-awal. Setelah dua tahun beliau mempertimbangkan, akhirnya diputuskan melakukan homeschooling.

Tahun 2002 sampai sekarang ini kami di rumah. Bersama beberapa orangtua yang telah bergabung. Kini lebih terstruktur, ada kurikulum, ada legalitasnya, dan gedungnya, ada hari-hari sekolah di hari tertentu.

Yang di Jakarta menempati gedung Morning Star Academy di daerah Kuningan, Jakarta. JPA ini adalah semacam sister school MSA.

Semi homeschooling, begitu pak Jimmy mengistilahkan. Esensi homeschooling tak hilang, karena tetap berdasar nilai-nilai keluarga, dan mengatasi keterbatasan ilmu yang dimiliki orangtua. Definisi homeschooling dalam kerangka pembelajaran?

Esensinya terletak pada keterlibatan orangtua yang lebih besar. Saat ada orangtua ingin bergabung, yang ingin kami ketahui adalah apakah mereka sanggup melibatkan diri sepenuhnya dalam proses pendidikan anak-anak mereka.

Alasan terbaik untuk homeschooling…
Banyak faktor. Bisa karena nilai-nilai yang negatif yang berkembang di luar, kurikulum yang berat di sekolah formal. Ada orang tua tak mau kehilangan waktu berharga bersama proses tumbuh kembang anak mereka.

Banyak orangtua merasa, setelah anak-anak besar, sulit ’masuk’ dalam kehidupan anak-anak mereka. Mereka menyesal dan berharap waktu dapat diputar kembali. Hubungan terjalin sebatas kebutuhan ’fasilitas’, namun tanpa komunikasi. Masing-masing hidup sendiri-sendiri meski serumah. Menurut saya, itu alasan terpenting melakukan homeschooling.

Jadi, Sekolah atau Homeschooling…
Sebenarnya ini bukan dikotomi ya. Kalau anak dikirim ke sekolah umum namun masih dapat mengatasi faktor-faktor yang cenderung mengkhawatirkan, itu baik-baik saja. Atau, sepanjang orangtua bisa masuk dalam kehidupan anak. Di sekolah umum, orang tua harus bekerja dua kali, masih harus memberikan les tambahan pada anaknya. Belum lagi tentang etik dan moral, juga nilai.

Merujuk pada keberhasilan Morning Star Academy di Jakarta, orang tua dan anak sama-sama happy. Beban pelajaran tidak besar, dan masih punya banyak waktu melakukan minat musik atau olahraga.

Keterlibatan anak-anak di masyarakat harus jadi kepedulian orang tua. Sayangnya yang bergabung dalam komunitas, seperti MSA di Jakarta, adalah orangtua yang sudah putus harapan pada perilaku anak-anaknya yang kini tingkat SMP atau SMA. Jadi persoalannya bukan terletak pada homeschooling atau tidak, namun pada sedalam apa keterlibatan orangtua.

Sesungguhnya tidak perlu ada dikotomi antara sekolah vs homeschooling. Orangtua punya tugas untuk terlibat dalam pendidikan, dan sekolah adalah salah satu sistem pendukungnya.

Kelebihan homeschooling?
Yang saya tahu, anak tumbuh kepercayaan diri tinggi, unik, berinisiatif, dan yang terpenting tahu kapan belajar, tanpa didorong-dorong. Bisa sangat melengkapi clues yang hilang. Output yang kami harapkan adalah kuat secara akademik, moral, dan people skill (berinteraksi dengan orang dan memberi manfaat pada lingkungan).

Kurikulum?
Kami mengadaptasi kurikulum. Ada umbrella program dari Classical Christian School. Materi preschool dari K3, 4, 5 kami ambil dari Amerika. Pada tahap ini anak sudah diajarkan membaca, minimum kombinasi tiga huruf (dalam bahasa Inggris), seperti cat, rat, fat, sad. Jadi ada phonics, reading, dan math.

Tingkat elementary, misalnya math mengadopsi kurikulum Singapore. Kami mengintegrasikan pelajaran agama Kristen dalam keseharian. Bahkan sejarah, misal tentang terbentuknya bangsa-bangsa, kami sampaikan dalam perspektif Kristiani. Namun kami tidak memaksakan ini kepada yang tak beragama Kristen. Yang kami ajarkan adalah nilai-nilai universal, seperti respek pada orangtua, sikap bertanggung jawab.

Anggapan bahwa homeschooling secara akademis lebih rendah kualitasnya, kami rasa tidak benar. Tergantung apa kurikulum dan bagaimana itu diaplikasikan. Kalau di Jakarta, mengadopsi SAT (Stanford Achievement Test) dari tingkat elementary hingga high school. Mereka mendapat international degree, dan bisa kuliah di universitas negeri di Indonesia (program internasional) atau melanjutkan ke luar negeri.

Dulu yang ikut ujian kejar paket (Depdiknas setara SMA) adalah kalangan menengah ke bawah, atau orangtua yang baru mencari ijasah. Kini banyak kalangan menengah ke atas, dengan berbagai alasan, salah satunya pelaku homeschooling. Komunitas membantu menyiapkan anak-anak melewati tes tersebut.

Kami di sini menggunakan pendekatan klasikal yang menekankan proses, mengajarkan cara belajar, menekankan nilai legasi, dan budaya, menekankan history, literature, dan humanities, serta pengudusan (ruh) sebagai bagian utama. Bahasa Indonesia ada dalam kurikulum, juga performing arts untuk mengenalkan budaya nasional.

Ada guru yang mengajarkan beberapa materi. Kriteria Guru adalah yang dapat menjadi teladan, sebab ia adalah orang yang impart (membuka dan menyampaikan) hidupnya kepada anak didik. Tapi sekarang sulit menemukan itu, sebab pendidikan menjadi industri. Anak cenderung bullying, dan Guru pun melakukan bullying lebih dahysat lagi kepada siswanya.

Kendala utama menjalankan homeschooling ...
Orang tua! Kami butuh komitmen orang tua untuk terlibat apalagi lingkungan masyarakat kadang masih memandang sebelah mata. Kami menjalankan semi homeschooling yang lebih tertata: secara legal, terstruktur, dan terukur. Ada banyak pelaku homeschooling yang menerapkan sistem lain, misalnya independen total dengan kurikulum dan jam belajar kurang jelas.

Pesan untuk Guru, praktisi pendidikan, dan masyarakat ...
Jangan marah melihat kondisi sekarang. Harus berpikir jalan keluarnya. Tak bisa menunggu pemerintah melakukan perbaikan, harus memulainya sendiri. Orangtua mesti terlibat dalam pendidikan, jangan menyerahkan sepenuhnya pada sekolah. Sekolah dan Guru, khususnya saya pribadi, it’s a calling (panggilan). Kalau guru harus disertifikasi, mestinya etika moralnya yang tersertifikasi. Mengingat guru adalah panggilan hati. Mari kita lakukan saja yang terbaik.

Pak Jimmy! Bersama kita hantarkan anak didik menuju pemerdekaan pendidikan! TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Tidak ada komentar: