Saat ini jarang terdengar ada format pendidikan untuk mempersiapkan calon pemimpin masa depan. Sekolah seyogyanya menciptakan lingkungan ideal bagi lahirnya pemimpin yang mau menyuarakan perubahan sosial, politik, ekonomi, dan agama. Peran Guru sangat besar dalam mengembangkan nilai-nilai dalam diri siswa.
Guru, dari bahasa Sanskerta gur-u’, berarti mulia, bermutu, memiliki kehebatan, orang sangat dihormati. Dalam khazanah Jawa Kuno, sejumlah istilah yang menempel pada sebutan ’guru’: guru desa (kamitua desa yang mumpuni spiritual), guru hyan (guru rohani),guru loka (pejabat agama di istana), dan guru pitara mendiang nenek moyang yang dimuliakan karena kewaskitaannya).
Ada yang diposisikan semacam resi, ’manusia suci’ yang pintar dan ikhlas. Karenanya, sebagai guru kita mesti lebih dari sekadar menguasai pelajaran kognisi), juga memberi teladan kejujuran, hidup sederhana, ketulusan. Bukan sekedar hanya sebagai profesi, serupa profesi sekretaris atau arsitek, misalnya.
Dalam sejarah Indonesia, para pendiri negeri ini juga berperilaku guru. Soekarno, semasa dibuang ke Bengkulu, mengajari anak-anak berhitung, bahasa Belanda, hingga sejarah. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir menjadi guru anak-anak di lingkungan rumah tahanan. Keduanya mengajari politik secara diam-diam melalui lagu perjuangan, mengecat perahu dengan warna merah-putih.
Jenderal Soedirman lebih kurang lima tahun menjadi kepsek SD Muhammadiyah di Cilacap, sebelum masuk PETA. Jenderal Nasution menjadi guru di Bengkulu (1938) dan di Palembang (1939-1950), sebelum masuk tentara KNIL.
Yang melahirkan pemimpin seyogyanya harus ’guru pemimpin’ juga. Bukan guru-guru yang sebatas mentransformasi ilmu pengetahuan tanpa diperkaya nilai-nilai luhur kehidupan. Ia dekat dengan siswa, yang mempermudah transfer ilmu dan internalisasi nilai kehidupan itu.
Menurut Dr. Georgi Lozanov (1897), sikap Guru kepada para siswa paling berpengaruh dalam membentuk kepribadian siswa. Keteladanan pribadi Guru membangun rasa percayaan diri siswa, sehingga berani menyampaikan ide pemikiran kepada orang lain.
Keteladanan, ketulusan, kongkruensi, dan kesiap-siagaan Guru (apalagi di sekolah berasrama bisa bertemu 24 jam) akan memberdayakan dan mengilhami siswa belajar. Melalui interaksi Guru-murid itu, terbentuklah sikap mental dan kecerdasan emosi siswa. Jika metode pembelajarannya efektif, kesuksesan siswa lebih mudah terwujud.
Guru seyogyanya mampu berkomunikasi dan yang mampu merancang pengajaran efektif. Tak hanya pintar mengajar, juga pandai berteman. Pintar memberi pengayoman, mahir bercerita, mempunyai energi psikis yang banyak. Keseharian Guru adalah cinta ilmu, terus belajar, tumbuh, dan berubah agar dapat melahirkan peserta didik yang hebat dan visioner. TG
Drs. Sutrisno Muslimin, M.Si.
Guru, pernah kepala asrama SMA Dwiwarna.
Kini director executive IIEC Group, mengelola lembaga
pendidikan IIHS dan IISS Boarding Intermoda di Jakarta.
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar