Rubrik Teachers Forum
Dalam mutiara hikmah dikatakan, ”Aththoriqotu ahammu minal maddah, wal ustadz ahammu minaththoriqoh, wa ruhul ustadz ahammu min kulli syaiin.” (Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan ruh (semangat) guru lebih penting dari semua itu). Sebab, dengan ruh tersebut guru mampu menghidupkan suasana pembelajaran yang menyenangkan dengan sentuhan kasih, sayang, dan cintanya pada anak didik.
Guru sebagai pendidik merupakan gerbang awal dalam pembentukan kepribadian siswa, bagi terwujudnya manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Di tangan Guru terletak masa depan bangsa. Guru adalah arsitek peradaban.Maju mundurnya sebuah bangsa ke depan berada di genggaman guru.
Berkaitan dengan peran membentuk kepribadian itu, Mahmud Samir al-Munir dalam kitabnya, Al-Mu’allimur Rabbani, menyebutkan tujuh pilar kesuksesan seorang guru.
Pertama, semangat yang terkontrol. Seorang guru mesti menjadi orang yang ulet, telaten, peduli, dan memiliki tekad yang memadai.
Sebab, peserta didik memerlukan hal baru, tambahan informasi, perhatian, dan didikan yang baik darinya.
Kedua, ilmu yang terus berkembang. Ia mempunyai dua kelebihan, yakni kelebihan horizontal (pengetahuan luas) dan vertikal (menguasai bidangnya secara mendalam). Guru yang enggan membaca lambat laun akan kekeringan wawasan seiring permasalahan yang muncul. Hendaknya mempunyai perpustakaan sendiri walaupun sederhana.
Ketiga, perencanaan yang rapi. Perencanaan pendidikan yang matang, tertulis dan tersusun rapi, serta dalam jangka waktu tertentu, terukur, dan realistis agar tujuan pendidikan bisa tercapai. Istilahnya, ‘TUKER-KERIS’ (TUlis apa yang anda KERjakan, dan KERjakan apa yang anda tulIS).
Keempat, variasi kecerdasan. Guru itu seperti sungai, ia memberi minum kepada orang-orang yang kehausan, mengalir deras ke setiap lembah,mengubah tandusnya akal menjadi pengetahuan yang berbunga di lembah pengetahuan yang beraneka ragam.
Oleh karena itu, guru harus menjadi bapak bagi siswanya dalam ikatan batin,
seolah menjadi syekh dalam pendidikan rohani, menjadi pendidik dalam penyampaian ilmu, menjadi teman dalam penyampaian curhat, dan menjadi pemimpin dalam keteladanan.
Kelima, kepemimpinan yang bijaksana. Tidak cukup seorang guru hanya menyampaikan materi pelajaran tanpa memenuhi tujuan pendidikan sesungguhnya, yakni menanamkan nilai-nilai luhur, mengembangkan potensinya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Keenam, menjaga celah. Guru adalah arsitek peradaban. Masa depan anak didik adalah amanah di pundak guru. Baiknya generasi muda ke depan tergantung kepada kesungguhan guru dalam mempersiapkan anak didiknya. Oleh karena itu, guru harus mampu menjaga celah di bidang pendidikan. Sebab, jika pendidikan tidak bisa diharapkan, tunggulah akan kehancuran. Syauqi pernah berkata, ”Jika guru berbuat salah sedikit saja, akan lahirlah siswa-siswa yang lebih buruk lagi.”
Ketujuh, tidak mengenal putus asa. Kenyataan terkadang membuat guru sedih dengan fakta dekadensi moral pada generasi muda. Orang yang bertekad lemah, kadang menyatakan bahwa generasi sekarang tidak bisa diharapkan, tak ada harapan akan perbaikan. Tetapi, guru harus yakin, bahwa impian hari ini adalah kenyataan esok hari. Karena itu, guru perlu terus berbuat dan meninggikan bendera kebajikan guna menyiapkan generasi mendatang yang lebih baik.
Bila pilar-pilar di atas mampu diejawantahkan dalam dunia pendidikan maka tidak menutup kemungkinan pembentukan anak didik menjadi manusia seutuhkan (cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual) akan mudah terwujud. Semoga.TG
Imam Nur Suharno S.Pd, M.PdI
Direktur Pendidikan
Yayasan (Pondok Pesantren)Husnul Khotimah
Desa Maniskidul, Jalaksana, Kuningan.
*) Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Maret 10, 2011
Proses Ilmu
rubrik Paradigm
Ilmu iku kelakone kanthi laku. Ilmu itu didapat melalui proses. Filsafat Jawa ini akan terasa sejuk di saat dunia sudah tunggang langgang seperti saat ini.
Kata Paulo Freire, seorang Guru harus bertanya pada dirinya sendiri: untuk siapa dan
kepada siapa mereka bekerja?
Kini, tugas Guru bertambah berat, manakala harus membuka pintu kesadaran sekaligus memberi motivasi dan inspirasi pada siswanya, agar mampu memanfaatkan informasi yang berlimpah untuk berkarya.
Menyadari peran Guru mempersiapkan siswa menghadapi millenium ke-tiga, sangat mungkin timbul kegamangan di antara para Guru sendiri. Tapi bila berhenti pada kegamangan saja, Guru akhirnya tak akan mempunyai kontribusi membentuk wajah masa depan.
Yang terpenting adalah memberikan sumbangan semampunya daripada tidak sama sekali. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin.
Simak nasihat berikut:
Yang terpenting bagi seseorang adalah terus
dan selalu
Mengerjakan
Sebaik mungkin segala sesuatu
Yang ia anggap benar
Apa dan bagaimana hasil akhir dari pekerjaan
itu…
Serahkan pada Tuhan!
Mungkin tercapai 100%,
Mungkin setengah tercapai
Mungkin pula tidak tercapai
Sama sekali menurut
Keinginanmu…
Itu tidak penting!
Engkau harus yakin
Dengan sebaik-baiknya
Dengan demikian
Engkau tidak menyesal
Dan percayalah
Bahwa keputusan Tuhan adalah
Terbaik untukmu
(Ir. Soekarno)
Proklamator, Presiden RI yang pertama
*) Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Ilmu iku kelakone kanthi laku. Ilmu itu didapat melalui proses. Filsafat Jawa ini akan terasa sejuk di saat dunia sudah tunggang langgang seperti saat ini.
Kata Paulo Freire, seorang Guru harus bertanya pada dirinya sendiri: untuk siapa dan
kepada siapa mereka bekerja?
Kini, tugas Guru bertambah berat, manakala harus membuka pintu kesadaran sekaligus memberi motivasi dan inspirasi pada siswanya, agar mampu memanfaatkan informasi yang berlimpah untuk berkarya.
Menyadari peran Guru mempersiapkan siswa menghadapi millenium ke-tiga, sangat mungkin timbul kegamangan di antara para Guru sendiri. Tapi bila berhenti pada kegamangan saja, Guru akhirnya tak akan mempunyai kontribusi membentuk wajah masa depan.
Yang terpenting adalah memberikan sumbangan semampunya daripada tidak sama sekali. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin.
Simak nasihat berikut:
Yang terpenting bagi seseorang adalah terus
dan selalu
Mengerjakan
Sebaik mungkin segala sesuatu
Yang ia anggap benar
Apa dan bagaimana hasil akhir dari pekerjaan
itu…
Serahkan pada Tuhan!
Mungkin tercapai 100%,
Mungkin setengah tercapai
Mungkin pula tidak tercapai
Sama sekali menurut
Keinginanmu…
Itu tidak penting!
Engkau harus yakin
Dengan sebaik-baiknya
Dengan demikian
Engkau tidak menyesal
Dan percayalah
Bahwa keputusan Tuhan adalah
Terbaik untukmu
(Ir. Soekarno)
Proklamator, Presiden RI yang pertama
*) Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Langkah Penyiapan Pendirian Sekolah
Rubrik Consult
Pertanyaan:
Kami sudah merasa siap untuk mendirikan sekolah.
Visi-misi sudah ketemu. Apa langkah selanjutnya?
Jawaban:
Pertama, membuat analisas kelayakan sekolah unggulan. Jika anda sudah punya sekolah PG-TK, dapat juga dengan menggunakan konsep sekolah itu yang diperbaiki hingga lebih bagus. Pengembangan menjadikan konsep sekolah baru tidak sama persis dengan konsep yang ada (di PG/TK), sebab juga harus mengakomodir kebutuhan orangtua.
Kedua, dapat juga membuat konsep yang berada satu langkah di atas kebutuhan orangtua. Sehingga,ketika orangtua memasukkan anaknya, akan merasakan banyak proses pembelajaran di sekolah Anda. Jangan membuat konsep yang terlalu jauh di atas kebutuhan orangtua, malahan orangtua tidak mengerti. Orangtua tidak mampu menilai kelebihannya. Sekolah akan dianggap aneh, akan dijauhi. Ini lantaran pemahaman dan pengalaman belajar orangtua pun terbatas.
Di desa, misalnya, orang tua ingin anaknya sekolah, tapi tidak mengerti manfaat sekolah. Lebih baik anak bekerja membantu di kebun atau mengurus ternak. Kalau sekolah itu mampu membawa desa dalam pemahaman proses pembelajaran yang lebih maju, akan lebih baik. Sebab, sekolah memberi dampak luar biasa pada lingkungan orangtua dan masyarakat. Buat konsep sekolah yang lebih maju, baik dari segi proses pembelajarannya dari sekolah yang sudah ada, maupun dari segi kebutuhan masyarakat.
Ketiga, menyiapkan sumberdaya kemampuan: sumberdaya guru, sumberdaya keuangan, jaringan, tim yang akan menggagas konsep itu.
Setelah studi kelayakan, siapkan tim. Siapa yang menyiapkan fisik sekolah, kurikulum, yang menyempurnakan kurikulum, tim marketing, dan menyiapkan pendanaan.
Keempat, evaluasi terus menerus sampai sekolah berhasil...
Sebaiknya menggunakan jasa konsultan. Konsultan banyak menggali berbagai macam konsep, yang terdahulu hingga yang tren saat ini atau yang akan datang. Bandingkan dengan pengelola sekolah, jika sudah merasa menemukan sebuah konsep bagus, dan berhasil dalam pelaksanaannya, berhenti belajar karena merasa cukup.
Konsultan bahkan mempelajari hingga konsep yang ekstrem. Juga mempelajari pasar.
Saat ini, antara visi dan output kadang berbeda. Visi sekolah membentuk anak yang saleh, tapi ukurannya apakah benar sudah terwujud.
Kini sedang ramai dibahas, kurikulum berbasis visi, agar output sesuai dengan visi. Apa betul anak sudah saleh, apa ukurannya? Contoh lain, ingin output anak mandiri. Tapi selama ini ukurannya adalah raport atau UAN, bagaimana bisa?
Contoh lain, kini ada kurikulum berbasis Al Quran. Sehingga, kurikulum KTSP diperkaya dengan nilai-nilai Al Quran. Nah, dari mana nilai Al Quran? Dari materi dalam Al Quran itu sendiri, atau memulainya dari keinginan membentuk anak takwa.
Konsultan membantu analisis dan gagasan baru, agar sekolah ikut maju. Bagaimana mungkin sekolah ikut maju, kalau tidak ada rangsangan dari luar, memecahkan masalah yang muncul di sekolah atau untuk masa depan. Konsultan akan melatih orang dan pimpinan untuk memecahkan masalah, bukan memecahkan masalah itu sendiri. Bagaimana sistem itu bisa dibuat agar pengelola sekolah dan guru mampu memecahkan masalahnya sendiri.
Sekolah sebaiknya ada konsultan yang terus menerus memantau perkembangan sekolah, dan masalah dapat diantisipasi sebelumnya. Kadangkala sekolah ada yang menggunakan jasa konsultan per-masalah, atau dalam periode waktu tertentu. Bisa kita lihat sekolah yang memiliki dukungan seperti ini, dapat mampu menghadapi masalah. TG
Iman Ardhajat Tresna
konsultan pendidikan
motivator
*) Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover: MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Pertanyaan:
Kami sudah merasa siap untuk mendirikan sekolah.
Visi-misi sudah ketemu. Apa langkah selanjutnya?
Jawaban:
Pertama, membuat analisas kelayakan sekolah unggulan. Jika anda sudah punya sekolah PG-TK, dapat juga dengan menggunakan konsep sekolah itu yang diperbaiki hingga lebih bagus. Pengembangan menjadikan konsep sekolah baru tidak sama persis dengan konsep yang ada (di PG/TK), sebab juga harus mengakomodir kebutuhan orangtua.
Kedua, dapat juga membuat konsep yang berada satu langkah di atas kebutuhan orangtua. Sehingga,ketika orangtua memasukkan anaknya, akan merasakan banyak proses pembelajaran di sekolah Anda. Jangan membuat konsep yang terlalu jauh di atas kebutuhan orangtua, malahan orangtua tidak mengerti. Orangtua tidak mampu menilai kelebihannya. Sekolah akan dianggap aneh, akan dijauhi. Ini lantaran pemahaman dan pengalaman belajar orangtua pun terbatas.
Di desa, misalnya, orang tua ingin anaknya sekolah, tapi tidak mengerti manfaat sekolah. Lebih baik anak bekerja membantu di kebun atau mengurus ternak. Kalau sekolah itu mampu membawa desa dalam pemahaman proses pembelajaran yang lebih maju, akan lebih baik. Sebab, sekolah memberi dampak luar biasa pada lingkungan orangtua dan masyarakat. Buat konsep sekolah yang lebih maju, baik dari segi proses pembelajarannya dari sekolah yang sudah ada, maupun dari segi kebutuhan masyarakat.
Ketiga, menyiapkan sumberdaya kemampuan: sumberdaya guru, sumberdaya keuangan, jaringan, tim yang akan menggagas konsep itu.
Setelah studi kelayakan, siapkan tim. Siapa yang menyiapkan fisik sekolah, kurikulum, yang menyempurnakan kurikulum, tim marketing, dan menyiapkan pendanaan.
Keempat, evaluasi terus menerus sampai sekolah berhasil...
Sebaiknya menggunakan jasa konsultan. Konsultan banyak menggali berbagai macam konsep, yang terdahulu hingga yang tren saat ini atau yang akan datang. Bandingkan dengan pengelola sekolah, jika sudah merasa menemukan sebuah konsep bagus, dan berhasil dalam pelaksanaannya, berhenti belajar karena merasa cukup.
Konsultan bahkan mempelajari hingga konsep yang ekstrem. Juga mempelajari pasar.
Saat ini, antara visi dan output kadang berbeda. Visi sekolah membentuk anak yang saleh, tapi ukurannya apakah benar sudah terwujud.
Kini sedang ramai dibahas, kurikulum berbasis visi, agar output sesuai dengan visi. Apa betul anak sudah saleh, apa ukurannya? Contoh lain, ingin output anak mandiri. Tapi selama ini ukurannya adalah raport atau UAN, bagaimana bisa?
Contoh lain, kini ada kurikulum berbasis Al Quran. Sehingga, kurikulum KTSP diperkaya dengan nilai-nilai Al Quran. Nah, dari mana nilai Al Quran? Dari materi dalam Al Quran itu sendiri, atau memulainya dari keinginan membentuk anak takwa.
Konsultan membantu analisis dan gagasan baru, agar sekolah ikut maju. Bagaimana mungkin sekolah ikut maju, kalau tidak ada rangsangan dari luar, memecahkan masalah yang muncul di sekolah atau untuk masa depan. Konsultan akan melatih orang dan pimpinan untuk memecahkan masalah, bukan memecahkan masalah itu sendiri. Bagaimana sistem itu bisa dibuat agar pengelola sekolah dan guru mampu memecahkan masalahnya sendiri.
Sekolah sebaiknya ada konsultan yang terus menerus memantau perkembangan sekolah, dan masalah dapat diantisipasi sebelumnya. Kadangkala sekolah ada yang menggunakan jasa konsultan per-masalah, atau dalam periode waktu tertentu. Bisa kita lihat sekolah yang memiliki dukungan seperti ini, dapat mampu menghadapi masalah. TG
Iman Ardhajat Tresna
konsultan pendidikan
motivator
*) Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover: MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Maret 08, 2011
Belajar dari dr. Eva J. Hoffman. NGOMONG BENER SAJA KOQ SUSAH
Kata-kata memiliki kekuatan untuk menyembuhkan atau menyakiti; untuk memperbaiki atau merusak; untuk menguatkan atau melemahkan.
Rubrik Book
Perkatan dan ucapan begitu berarti. Setiap saat anak menerima ungkapan dari orang dewasa. Tak ada manual mendidik anak. Namun bisa dipelajari. Yang diperlukan adalah
menurunkan ego kita sebagai orang dewasa, agar mau mengoreksi tata bicara kita selama ini.
Dua buku yang ditulis oleh bu Eva Hoffman ini wajib dibaca oleh Guru,orang tua, dan nenek kakek, agar patut memberi komentar terhadap setiap perkataan anak, untuk
memperkuat konsep diri.
Stuart Patton selaku pemrakarsa dan penyunting buku yang diterbitkan dalam dua bahasa ini memberikan latar belakang, mangapa Bu Hoffman berhasrat membuat buku ini. Siapa tahu, kalau diingatkan oleh orang luar, kita jadi mau lebih ‘ndengerin’.
"Dr. Hoffman made the decision to write this little book based on here experience of working with both Teachers, Parents and Children back in the UK and other parts of Europe. Her goal was to help Parents understand what a crucial role they play in the education of their children, and the key to understanding this role is learning how to effectively communicate with your children, something thats affects every parent no matter where in the world you live.
Dr. Hoffman states that “Children’s brains evolve by taking information from their surroundings from the day they are born. The biggest influence on the way the child develops is the sum of their experiences, both good and bad. The nurturing of a child is a key responsibility of a parent : there are no parent instruction leaflets, no parent manuals, as each child is unique, but sometimes there are right and wrong ways of doing things”
Good communication in any situation requires respect, patience, and an effort to understand others by really listening to what they say, and in some cases what they do not say. This description is no different to the communication of a parent with a child, the skill of effective listening is probably more important to a parent than any other, of course listening can only happen if you have communication.
In our world of every growing media connections, it is easier than ever before for children to communicate with other children via social groups, be it twitter, facebook or some other on line facility. In this new media world neither parents or teachers have any real influence on what is being communicated to, from and between children, this is their world.
The key is to ensure parents don’t loose communication with their children, which means making time to communicate, and aiming to communicate in a positive way, using the right words. This little book has only 35 pages, it was designed so that parents could read on the go, sat in the car, waiting for a bus, or having coffee in the mall. You can read the book in 25 minutes, but the principles will last a lifetime, as will good communication with your children. TG
*) Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Rubrik Book
Perkatan dan ucapan begitu berarti. Setiap saat anak menerima ungkapan dari orang dewasa. Tak ada manual mendidik anak. Namun bisa dipelajari. Yang diperlukan adalah
menurunkan ego kita sebagai orang dewasa, agar mau mengoreksi tata bicara kita selama ini.
Dua buku yang ditulis oleh bu Eva Hoffman ini wajib dibaca oleh Guru,orang tua, dan nenek kakek, agar patut memberi komentar terhadap setiap perkataan anak, untuk
memperkuat konsep diri.
Stuart Patton selaku pemrakarsa dan penyunting buku yang diterbitkan dalam dua bahasa ini memberikan latar belakang, mangapa Bu Hoffman berhasrat membuat buku ini. Siapa tahu, kalau diingatkan oleh orang luar, kita jadi mau lebih ‘ndengerin’.
"Dr. Hoffman made the decision to write this little book based on here experience of working with both Teachers, Parents and Children back in the UK and other parts of Europe. Her goal was to help Parents understand what a crucial role they play in the education of their children, and the key to understanding this role is learning how to effectively communicate with your children, something thats affects every parent no matter where in the world you live.
Dr. Hoffman states that “Children’s brains evolve by taking information from their surroundings from the day they are born. The biggest influence on the way the child develops is the sum of their experiences, both good and bad. The nurturing of a child is a key responsibility of a parent : there are no parent instruction leaflets, no parent manuals, as each child is unique, but sometimes there are right and wrong ways of doing things”
Good communication in any situation requires respect, patience, and an effort to understand others by really listening to what they say, and in some cases what they do not say. This description is no different to the communication of a parent with a child, the skill of effective listening is probably more important to a parent than any other, of course listening can only happen if you have communication.
In our world of every growing media connections, it is easier than ever before for children to communicate with other children via social groups, be it twitter, facebook or some other on line facility. In this new media world neither parents or teachers have any real influence on what is being communicated to, from and between children, this is their world.
The key is to ensure parents don’t loose communication with their children, which means making time to communicate, and aiming to communicate in a positive way, using the right words. This little book has only 35 pages, it was designed so that parents could read on the go, sat in the car, waiting for a bus, or having coffee in the mall. You can read the book in 25 minutes, but the principles will last a lifetime, as will good communication with your children. TG
*) Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Lulus, NEM Tinggi & Diterima di Sekolah Negeri
Mencerna kembali Pendidikan Berdasar Kompetensi
Rubric Critic
Perubahan sedang terjadi pada sistem pendidikan Indonesia. Kurikulum sudah disesuaikan dengan kemajuan zaman. Metode mengajar pun berkembang hebat. Indikator pencapaian sudah bergeser ke arah kompetensi. Sekolah pun makin piawai mengkomunikasikan kemajuan dan perbedaan sistem pengajaran pada stake holder.
Ketika Ujian Nasional digelar, hasil yang tampak adalah angka. Masyarakat dan orang tua senang dan setuju dengan cara belajar dan metode terkini, dengan paradigma multi kecerdasan. Namun mereka menginginkan hasil seperti tempo dulu. Lulus dengan NEM tinggi dan masuk ke sekolah lanjutan negeri. Kredo ini belum banyak bergeser.
Perdebatan hasil NEM
Hasil UASBN sudah keluar! Semua anak SD se Depok –Jawa Barat lulus! Begitu pengumuman yang dikeluarkan oleh pejabat Diknas setempat dengan bangga dan muka berseri. Target mereka berhasil. Semua anak lulus. Tak peduli bagaimana dicapainya.
Tak ada eporia berlebihan. Rasa penasaran justru mulai merangsek. Banyak SD negeri yang siswanya mencapai NEM amat sangat tinggi. Mencermati hasil UASBN tahun ini, khususnya di wilayah Depok- Jawa Barat, 10 nilai tertinggi dicapai oleh sekolah negeri. Sekolah swasta active learning ada di tengah. Dan SD Negeri yang ‘kasihan’, ada di nomor buntut.
“Iya lah…, kami kan nggak milih-milih anak saat pendaftaran dulu. Siapa saja kami terima asal masih ada tempat. Artinya, siswa kami memang tak semua jago di ranah kecerdasan kognitif. Kalau sekolah negeri kan drilling abis! Pantas saja bisa dapat NEM mendekati sempurna, 30!”
begitu komentar Bu Diah, kepala sekolah SD swasta yang siswanya paling tinggi berada di angka 27,10 dan terbawah ada di angka 15 pas; terbanyak ada di level 21 – 24. Akibat tingginya nilai kelulusan itu, sejumlah SMP Negeri berkualitasbawah, kini mendapat siswa dengan NEM minimal 24,90. Siswa lulusan sekolah Bu Diah yang menjajal mendaftar ke negeri pun gigit jari.
Pak Dayat, kepala sekolah SD Negeri menimpali dengan agak arogan: “Kami yang sekelas 40 anak, bisa meluluskan siswa dengan hasil yang ‘memuaskan’. Tertinggi 29,50 dan terendah 21 koma sekian. Yang terendah sekali pun masih masuk ke SMP negeri! Sekolah Bu Diah kan sekelasnya cuma 24 anak? Dengan dua guru! Mestinya bisa mendongkrak NEM terbaik!” kilah Pak Dayat.
Tulisan ini tidak akan membahas bagaimana NEM dicapai di sekolah ala Pak Dayat. Biarkan kebenaran akan terungkap, tanpa membongkar aib yang dijaga kerahasiaannya secara berjamaah. Para tim sukses di sekolah negeri sudah berhasil melaksanakan tugasnya, untuk meluluskan siswa, mencapai nilai NEM tinggi dan mengantarkan siswanya ke sekolah negeri. Itu saja! Dengan begini, posisi kepala sekolah dan kepala dinas akan ‘aman’.
PARADIGMA
Sudut pandang kedua kepala sekolah jelas berbeda. Perdebatan akan panjang jika diteruskan. Sebagai praktisi pendidikan, kita tak perlu terjebak pada polemik macam itu. Lebih baik, masing-masing merenungkan, apa sesungguhnya hakekat dari proses belajar di sekolah. Idealnya, sekolah model Bu Diah dapat meluluskan siswa dengan NEM tinggi, dengan cara yang benar dan patut. Namun teori kecerdasan majemuk menisbikan hal ini.
“Pengembangan kurikulum di sekolah kami bukan untuk sekedar lulus ujian nasional. Yang kami persiapkan lebih pada konsep diri anak, agar dia tahu potensi yang dimiliki dan diminatinya. Dengan begini akan lahir tokoh muda hebat beraneka potensi,” bela Bu Diah sengit.
Bagaimana Anda melihat persoalan ini?
Tampaknya, Bu Diah terpancing emosi. Pak Dayat mempertahankan harga diri. Pada saatnya nanti, akan terbukti, pendidikan yang lebih mendasarkan diri pada pencapaian kompetensi diri, akan mendapat posisi tertinggi!
Menurut Spencer & Spencer (1993), ada 5 kompetensi:
1. Motif, yang menguasai pembawaan dalam jangka panjang tanpa pengawasan ketat.
2. Pembawaan, karakteristik fisik yang merespon situasi dan informasi
3. Konsep diri, terkait tingkah laku, citra
4. Pengetahuan. Persoalannya, sering salah mengukur kinerja seseorang, karena tes yang digunakan hanya mengukur ingatan seseorang akan sesuatu informasi/pengetahuan. Padahal yang diperlukan, adalah kemampuan mencari pengetahuan. Tes pengetahuan hanya mengukur respon terhadap pilihan jawaban,bukan pada tindakan. Pengetahuan hanya meramalkan apa yang dapat dikerjakan seseorang. Bukan apa yang AKAN dikerjakan setelah tes.
5. Ketrampilan, yakni kemampuan melakukan tugas secara fisik dan mental.
Kelima kompetensi itu memiliki dampak pada perencanaan pengembangan manusia, dengan
gambaran seperti di atas ini:
Pencermatan Spencer & Spencer menjadi pilihan untuk melihat persoalan Bu Diah dan Pak Dayat berdasar keilmuan. Maka, setelah lulus dengan NEM yang baik, mau ke negeri maupun swasta, yang penting dijaga adalah: setelah lulus, kompetensi mau diperkuat ke arah mana? Ini yang dipertaruhkan. TG
*)Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Rubric Critic
Perubahan sedang terjadi pada sistem pendidikan Indonesia. Kurikulum sudah disesuaikan dengan kemajuan zaman. Metode mengajar pun berkembang hebat. Indikator pencapaian sudah bergeser ke arah kompetensi. Sekolah pun makin piawai mengkomunikasikan kemajuan dan perbedaan sistem pengajaran pada stake holder.
Ketika Ujian Nasional digelar, hasil yang tampak adalah angka. Masyarakat dan orang tua senang dan setuju dengan cara belajar dan metode terkini, dengan paradigma multi kecerdasan. Namun mereka menginginkan hasil seperti tempo dulu. Lulus dengan NEM tinggi dan masuk ke sekolah lanjutan negeri. Kredo ini belum banyak bergeser.
Perdebatan hasil NEM
Hasil UASBN sudah keluar! Semua anak SD se Depok –Jawa Barat lulus! Begitu pengumuman yang dikeluarkan oleh pejabat Diknas setempat dengan bangga dan muka berseri. Target mereka berhasil. Semua anak lulus. Tak peduli bagaimana dicapainya.
Tak ada eporia berlebihan. Rasa penasaran justru mulai merangsek. Banyak SD negeri yang siswanya mencapai NEM amat sangat tinggi. Mencermati hasil UASBN tahun ini, khususnya di wilayah Depok- Jawa Barat, 10 nilai tertinggi dicapai oleh sekolah negeri. Sekolah swasta active learning ada di tengah. Dan SD Negeri yang ‘kasihan’, ada di nomor buntut.
“Iya lah…, kami kan nggak milih-milih anak saat pendaftaran dulu. Siapa saja kami terima asal masih ada tempat. Artinya, siswa kami memang tak semua jago di ranah kecerdasan kognitif. Kalau sekolah negeri kan drilling abis! Pantas saja bisa dapat NEM mendekati sempurna, 30!”
begitu komentar Bu Diah, kepala sekolah SD swasta yang siswanya paling tinggi berada di angka 27,10 dan terbawah ada di angka 15 pas; terbanyak ada di level 21 – 24. Akibat tingginya nilai kelulusan itu, sejumlah SMP Negeri berkualitasbawah, kini mendapat siswa dengan NEM minimal 24,90. Siswa lulusan sekolah Bu Diah yang menjajal mendaftar ke negeri pun gigit jari.
Pak Dayat, kepala sekolah SD Negeri menimpali dengan agak arogan: “Kami yang sekelas 40 anak, bisa meluluskan siswa dengan hasil yang ‘memuaskan’. Tertinggi 29,50 dan terendah 21 koma sekian. Yang terendah sekali pun masih masuk ke SMP negeri! Sekolah Bu Diah kan sekelasnya cuma 24 anak? Dengan dua guru! Mestinya bisa mendongkrak NEM terbaik!” kilah Pak Dayat.
Tulisan ini tidak akan membahas bagaimana NEM dicapai di sekolah ala Pak Dayat. Biarkan kebenaran akan terungkap, tanpa membongkar aib yang dijaga kerahasiaannya secara berjamaah. Para tim sukses di sekolah negeri sudah berhasil melaksanakan tugasnya, untuk meluluskan siswa, mencapai nilai NEM tinggi dan mengantarkan siswanya ke sekolah negeri. Itu saja! Dengan begini, posisi kepala sekolah dan kepala dinas akan ‘aman’.
PARADIGMA
Sudut pandang kedua kepala sekolah jelas berbeda. Perdebatan akan panjang jika diteruskan. Sebagai praktisi pendidikan, kita tak perlu terjebak pada polemik macam itu. Lebih baik, masing-masing merenungkan, apa sesungguhnya hakekat dari proses belajar di sekolah. Idealnya, sekolah model Bu Diah dapat meluluskan siswa dengan NEM tinggi, dengan cara yang benar dan patut. Namun teori kecerdasan majemuk menisbikan hal ini.
“Pengembangan kurikulum di sekolah kami bukan untuk sekedar lulus ujian nasional. Yang kami persiapkan lebih pada konsep diri anak, agar dia tahu potensi yang dimiliki dan diminatinya. Dengan begini akan lahir tokoh muda hebat beraneka potensi,” bela Bu Diah sengit.
Bagaimana Anda melihat persoalan ini?
Tampaknya, Bu Diah terpancing emosi. Pak Dayat mempertahankan harga diri. Pada saatnya nanti, akan terbukti, pendidikan yang lebih mendasarkan diri pada pencapaian kompetensi diri, akan mendapat posisi tertinggi!
Menurut Spencer & Spencer (1993), ada 5 kompetensi:
1. Motif, yang menguasai pembawaan dalam jangka panjang tanpa pengawasan ketat.
2. Pembawaan, karakteristik fisik yang merespon situasi dan informasi
3. Konsep diri, terkait tingkah laku, citra
4. Pengetahuan. Persoalannya, sering salah mengukur kinerja seseorang, karena tes yang digunakan hanya mengukur ingatan seseorang akan sesuatu informasi/pengetahuan. Padahal yang diperlukan, adalah kemampuan mencari pengetahuan. Tes pengetahuan hanya mengukur respon terhadap pilihan jawaban,bukan pada tindakan. Pengetahuan hanya meramalkan apa yang dapat dikerjakan seseorang. Bukan apa yang AKAN dikerjakan setelah tes.
5. Ketrampilan, yakni kemampuan melakukan tugas secara fisik dan mental.
Kelima kompetensi itu memiliki dampak pada perencanaan pengembangan manusia, dengan
gambaran seperti di atas ini:
Pencermatan Spencer & Spencer menjadi pilihan untuk melihat persoalan Bu Diah dan Pak Dayat berdasar keilmuan. Maka, setelah lulus dengan NEM yang baik, mau ke negeri maupun swasta, yang penting dijaga adalah: setelah lulus, kompetensi mau diperkuat ke arah mana? Ini yang dipertaruhkan. TG
*)Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Maret 07, 2011
Serius Menuju PAUD Plus : BUKAN SEKADAR FASILITAS
Rubrik PAUD Forum
Fungsi PAUD mempersiapkan anak memasuki usia sekolah, menumbuhkan rasa suka belajar dan mencari tahu serta mengasah kemampuan sosial anak.
Di tengah maraknya kehadiran sekolah ber-label “Plus” maupun “Internasional”, membuat pemilik TK dan playgroup lokal tergiur untuk ikutan ber-Plus ria. “Habis, kalau nggak ikutan plus, bisa habis digilas tren,” kata seorang teman.
Namun ketika ditanya lebih jauh apa yang ia maksud dengan "plus” tersebut, jawabannya kurang lebih, "Nnngg, yang pakai bahasa Inggris dan pakai kurikulum internasional gitu deh, .. dan itu tuh... learning through play itu, ya bukan?”
Di lain pihak, seorang rekan pengurus yayasan sebuah sekolah swasta lama ternama mengeluhkan sulit danterseok-seoknya salah satu cabang sekolahnya yang memang dijadikan rintisan TK Plus. Padahal, usaha dan dana untuk membeli kurikulum internasional dan merekrut tenaga asing sebagai guru sudah dilakukan. Jadi sebaiknya harus bagaimana?
APANYA SIH YANG PLUS
Taman Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tetap bisa menjadi ‘plus’ meski bukan franchise, tidak memiliki afiliasi dengan lembaga internasional, atau memiliki tenaga pengajar asing. Caranya?
Hal yang paling penting dalam penyelenggaraan PAUD adalah fungsinya dalam mempersiapkan anak memasuki usia sekolah, menumbuhkan rasa suka belajar dan mencari tahu (love of learning), serta mengasah kemampuan sosial anak.
Sedangkan pada sisi kegiatan belajar, lebih mengutamakan stimulasi dini daripada keberhasilan baca-tulis-hitung. Fungsi seperti itulah yang kemudian dapat menginspirasi pemilik sekolah dalam merumuskan visi dan misi sekolah.
Contoh, Visi (tujuan/cita-cita) dan Misi (cara/upaya) dapat berbunyi sebagai berikut:
VISI : membentuk generasi muda yang berbudi dan gemar belajar.
MISI :
* Memfasilitasi belajar anak lewat suasana belajar yang kondusif dan merangsang daya cipta.
* Memupuk rasa afeksi anak lewat kegiatan sosial.
Selanjutnya, dengan visi dan misi, urusan selanjutnya harus dipikirkan, apa yang menjadi ciri khas sekolah Anda?
Ciri khas memberi karakter yang membuat sekolah tampil beda sebagai nilai plus agar sukses menjaring siswa. Sesuai hukum pasar, sesuatu yang beda dan unik adalah modal awal untuk mencuri perhatian di tengah persaingan taman PAUD. Hal tersebut dapat tercermin pada nama sekolah, misalnya TK Sayang Bunda, Mandiri Berbakti (Plus anda)
Contoh lain: Seorang teman pemilik sekolah memutuskan memberi ciri Indonesia pada sekolah franchise internasional miliknya. Meskipun pelajaran diselenggarakan dalam bahasa Inggris, wujud keIndonesiaan tampak melalui penamaan ruang kelas (komodo, badak,harimau, berikut penjelasan mengenai lokasi dan habitat binatang); pemilihan alat belajar khas Indonesia (caping, sarung, bakul dan tikar pada sentra bermain peran) dan mengangkat lakon cerita rakyat seperti kisah Kancil dan Buaya pada acara
pelepasan siswa.
Sekolah tersebut berani melawan arus dengan menetapkan hari kasih sayang sendiri yang difokuskan pada mengasah kemampuan afeksi anak pada orang terdekat, dan berarti bagi mereka seperti anggota keluarga maupun mbak pengasuh, pak sopir dan satpam sekolah.
Bagi yang ingin menggunakan sistem pengajaran bilingual (Inggris-Indonesia)sebagai ciri khas, maka perlu secara serius mempertimbangkan metoda apa yang akan dipergunakan: apakah dengan Whole Langguage Approach, Phonics, atau kombinasi kedua metode tersebut.
Secara singkat, metode Phonics mengedepankan struktur, rumus dan aturan baku yang harus dikuasai agar berhasil membaca. Sedangkan pendekatan Whole Language Approach lebih cair, di mana belajar membaca terintegrasi dalam seluruh jadwal kegiatan serta mengedepankan anak mengenal makna membaca serta tumbuhnya pengertian akan cara membaca dengan sendirinya.
Jika diumpamakan dengan belajar berenang, maka Phonics adalah mempelajari teknik suatu gaya renang, namun jika pelaku bertujuan sekedar menguasai suatu gaya renang, maka ia kehilangan kesempatan menikmati berenang (whole language).
Penggunaan pendekatan Educational Philosophy PAUD yang bersifat progressive/non clasical dan berfokus pada anak merupakan poin plus yang lain. Beberapa prinsip utama antara lain:
Prinsip 1: Pentingnya pemahaman tumbuh kembang anak yang mencakup:
1.1 CARA BELAJAR ANAK USIA DINI
a). Panca indera, first-hand experience, eksplorasi, dan learning through play sebagai cara belajar yang dominan.
Misalnya: “Petak Umpet Huruf” (Letter Hide and Seek).
Sembunyikan huruf-huruf depan nama anak (dapat dibuat dari kardus bekas, tiap huruf diberi tekstur berbeda misalnya dilapisi renda, kertas amplas, kertas roti) pada suatu daerah tertentu (Tahap 4 menulis: berlatih huruf).
Guru membuat suara batuk keras/pelan (stimulasi panca indera) jika ada anak yang mendekat atau menjauh pada tempat persembunyian huruf. Jika anak sudah menemukan huruf, tanyakan apakah huruf tersebut cocok untuknya atau untuk anak lain. Lalu minta anak menceritakan tekstur (halus, kasar, licin) huruf tersebut.
b). Frekuensi dan konsistensi: pentingnya rutinitas dan pengulangan.
Rutinitas terwujud pada adanya jadwal belajar yaitu urutan kegiatan harian yang stabil, untuk memberi rasa nyaman karena anak karena ia merasa telah menguasai medan.
Guru dapat membuat simbolisasi sederhana (gambar sekumpulan anak duduk bersama sebagai simbol Circle Time, buku dan mainan sebagai simbol waktu bermain bebas, dst), pada lokasi yang mudah terlihat anak.
Agar anak siap, Guru dapat mengumumkan kegiatan berikutnya dengan mengacu pada simbol terebut. Sementara itu pengulangan akan pengenalan suatu konsep diperlukan karena teachable moment anak terjadi pada waktu yang berbeda-beda.
c). Pencapaian: mementingkan proses dibanding hasil (process not product) dan kemajuan dibanding kecepatan (progress not speed).
Misalnya: membuat kalung (beads lacing)
Dalam satu durasi waktu, Athiya mampu membuat tiga pola, sedangkan Iwan mampu membuat lima pola, namun keduanya berada dalam tahap meronce yang sama (memahami tentang pola dan mampu membuat pola sendiri).
d). Kurikulum yang berpusat pada anak, termasuk kondisi dan
pengaturan kelas yang student centre.
Meminjam teori Vygotsky, Guru memberikan scaffolding (tangga), untuk anak dapat mencapai kemampuan lebih tinggi. Metode scaffolding yang efektif adalah melalui pertanyaan terbuka-terbatas (direct open-ended question) dan diskusi.
Misalnya: Membahas kegiatan akhir minggu.
Aplikasi pertanyaan terbuka-terbatas (directed open-ended question) adalah: "Apa saja yang kamu lihat di sirkus? daripada "Apa saja yang ada di Bandung? (terlalu luas).
Sementera itu kegiatan diskusi pada anak usia dini tujuannya lebih kepada mengasah kemampuan berpendapat. Misal: Pada kelas kelompok umur 4-5 tahun, Guru bercerita soal seringnya terjadi kasus rebutan pada sentra balok. Anak-anak ditanyai, apa saja yang bisa dilakukan supaya hal tersebut tidak terjadi.
1.2. KARAKTERISTIK UMUM ANAK USIA DINI
Kita ambil contoh tipikal perkembangan (kemampuan) berbahasa anak usia 4 tahun, yaitu gemar bermain/mengeksplorasi kata dan dramatisasi/berkembangnya kisah fantasi.
Kegiatan yang cocok misalnya: Round
Robin Story (Cerita bersambung). Guru mengajak anak-anak duduk membentuk lingkaran, lalu anak-anak mengambil undian. Isi undian adalah gambar ... (cerita lucu) atau gambar .... (cerita sedih).
Lalu, Guru akan memulai cerita, “Di sebuah rumah, ada seekor anak kucing ……” lalu memberikan giliran pada anak di sebelahnya untuk melanjutkan, bisa cerita sedih atau lucu, tergantung pada undian yang diperoleh si anak.
Dalam berkomunikasi, apakah Anda sering merasa anak sepertinya tidak memahami atau bahkan melakukan hal yang berlawanan dari apa yang diminta? Kuncinya terletak pada cara komunikasi yang efektif yaitu dengan menggunakan bahasa yang positif, sederhana, dan membatasi jumlah instruksi dalam satu tarikan kalimat. Tujuannya agar pesan yang ingin dikomunikasikan menjadi jelas.
CONTOH KALIMAT POSITIF SEDERHANA: Gunakan kalimat “Ayo duduk di sini” daripada “ Jangan berdiri-berdiri” (anak bisa saja bingung, lalu harus melakukan apa?);
CONTOH KALIMAT MULTI INSTRUKSI:
"Setelah mewarnai, taruh kertas di keranjang merah, bawa keranjang ke depan kelas, lalu boleh pergi ke rak buku". --(kemungkinan besar anak akan langsung pergi ke rak buku).
PRINSIP 2. PEMAHAMAN AKAN HAK ANAK
Kita perlu tahu bahwa anak memiliki hak yang harus dihormati dan sedapat mungkin dipenuhi.
10 HAK ANAK INDONESIA berdasarkan KONVENSI HAK ANAK PBB 1999
1. Hak untuk BERMAIN
2. Hak untuk mendapatkan PENDIDIKAN
3. Hak untuk mendapatkan PERLINDUNGAN
4. Hak untuk mendapatkan NAMA (identitas)
5. Hak untuk mendapatkan status KEBANGSAAN
6. Hak untuk mendapatkan MAKANAN
7. Hak untuk mendapatkan akses KESEHATAN
8. Hak untuk mendapatkan REKREASI
9. Hak untuk mendapatkan KESAMAAN
10.Hak untuk mendapatkan Peran dalam PEMBANGUNAN
Hak-hak tersebut dapat diwujudkan lewat pengakuan dan penerimaan bahwa tiap anak adalah pribadi yang unik, baik temperamen, karakter, tempo belajar, maupun minat dan bakatnya. Pengakuan akan hal tersebut melahirkan pendekatan yang non-kompetitif dan nir-ancaman terhadap anak. Tanpa disadari, kita sering menggunakan 'ancaman' halus terhadap anak.
Perhatikan bait terakhir pada lagu anak-anak "Nina Bobok" yang berbunyi "Kalau tidak bobok digigit nyamuk". Kalimat 'digigit nyamuk' (ancaman) diganti dengan 'nanti ngantuk (konsekwensi alamiah).
Lebih jauh lagi, sikap penghargaan terhadap anak dapat ditunjukkan dengan cara:
1. Memajang karya anak sebagai displai kelas layaknya pameran karya seniman (diberi label yang memuat nama dan celoteh/komentar anak mengenai atau saat karya tersebut dibuat).
2. Menciptakan banyak kesempatan bagi anak untuk berekspresi. “Show and Tell” (berbagi kisah tentang sebuah benda yang ia bawa dan menulis jurnal/blog (beri anak kertas kosong untuk digambar lalu minta untuk menceritakan gambar tersebut). Kegiatan ini dapat dilakukan pada pagi hari, dan efektif untuk pendekatan terhadap anak yang pemalu atau anak baru.
3. Hindari menunjukkan hasil karya Guru sebagai contoh prakarya, karena selain mengungkung kreativitas, anak merasa gagal jika tak dapat menyamai hasil karya Bu Guru.
4. Penerapan positif disiplin yang memberdayakan anak untuk mampu mengontrol sikap dan perilakunya, yaitu perilaku yang tepat/pantas untuk saat dan tempat yang tepat. Misalnya: Berteriak tidak dilakukan dalam kelas, tapi boleh saat bermain di luar.
5. Jauhi melakukan perbandingan: daripada kalimat “Sebagus gambar si Anto“ gantikan dengan “Buat gambar sebagus kamu suka”. Sosialisasikan pula kepada orangtua untuk tidak membandingkan anak dengan kakak atau adiknya.
6. Berikan anak kesempatan untuk mencoba mandiri, misal: merapikan diri (melap keringat, mencuci tangan) seusai bermain di luar. Tawarkan bantuan jika anak kelihatan mengalami kesulitan.
7. Tidak menyebut anak dengan label tertentu, seperti 'badung', 'cengeng', 'genit' ; ganti dengan kata sifat positif. seperti ‘lincah’, ‘perasa’, ‘senang bergaya’.
8. Rajin menyebut nama anak: panggil nama anak ketika Anda pergoki dia sedang membereskan mainan (“Hai lihat, Lila sedang beres-beres”), dan ketika membagi
kelompok (‘Lila, Amal dan Cinta, mari datang ke sini’).
9. Memuji spesifik: misalnya dalam mengomentari gambar, mengingat kemampuan tiap anak menggambar berbeda. Pujian 'bagus!’hendaknya digunakan hati-hati agar tidak kehilangan makna.
Lebih baik komentari usaha dan tindakan anak : “Wah,ada garis kuning di gambarmu,
panjang sampai ke ujung ya”, atau “Coba lihat lingkaran yang kamu buat, ada yang besar, ada yang kecil, lalu ini ceritanya apa?“.
10. Pada lingkup sistem, guna menjamin keselamatan anak, sekolah dapat membuat kartu antar-jemput sederhana yang hanya memberi otorisasi penjemputan pada si pembawa kartu. Lainnya, misal, rutin mengadakan latihan kebakaran dan antisipasi gempa, serta menyelenggarakan pelatihan P3K bagi staf sekolah.
PRINSIP 3. PERAN ORANGTUA dan PENGAKUAN ATAS LINGKUP SOSIAL ANAK
Sebagai agen terpenting dalam kehidupan anak, maka amatlah tepat menjadikan orangtua sebagai mitra sekolah dalam mendukung belajar anak. Orangtua adalah sumber informasi berharga bagi Guru untuk lebih menyelami pribadi anak, sedangkan orangtua dapat belajar metode yang digunakan di sekolah agar tercipta konsistensi rumah-sekolah.
Keterlibatan orangtua sebagai mitra sekolah dapat diterapkan dalam bentuk:
1. Kegiatan belajar dengan orangtua untuk mengerjakan project/permainan di kelas pada hari-hari tertentu, misal pada lomba 17 Agustus-an, atau menjadi nara sumber untuk menjelaskan tentang profesi (penari, polisi, juru masak, dll).
2. Tugas akhir minggu orangtua-anak. Misal, Guru menginformasikan bahwa minggu depan akan masuk tema baru, maka orangtua diminta membacakan cerita bertema tersebut pada anak, lalu menuliskan sinopsisnya untuk sekolah. Tergantung usia, anak dapat menambahkan gambar pada sinopsis tersebut.
3. Keterbukaan informasi: tentang kegiatan belajar mengajar dan metode yang diterapkan di sekolah pada saat pendaftaran dan di awal tahun ajaran baru. Hal ini dapat menghindarkan salah paham orangtua yang mungkin tidak familiar dengan metode
tertentu (misal: anak terlihat wara-wiri di kelas pada saat slot kegiatan free play).
4. Parents questionnaire: sarana sekolah untuk menggali aspirasi dari orangtua dan meningkatkan mutu dan pelayanan. Dalam hal ini tidak berarti sekolah harus memenuhi setiap usul, tetapi dapat digunakan untuk mengukur kesan mayoritas.
5. Mengadakan pelatihan / parenting class: diselenggarakan oleh Guru untuk membagi ilmu bagaimana metode bimbingan anak yang tepat.
PENTINGNYA KESIAPAN DAN PELATIHAN
Pada akhirnya, Educational Philosophy sebagai sebuah kerangka pemikiran lebih bersifat knowledge (pengetahuan). Karena itu, perlu ditunjang pelatihan yang sifatnya mengasah ketrampilan Guru mampu menerapkannya. Percuma mendengung-dengungkan prinsip tentang pentingnya peran orangtua sebagai mitra sekolah jika Guru tidak diberikan pelatihan tentang komunikasi positif terhadap orangtua.
Pada sekolah yang menggunakan sistem pengajaran bilingual Inggris-Indonesia, wajib hukumnya bagi Guru untuk pelatihan tentang metode yang digunakan agar tidak ngawur. Misal, Guru memahami bahwa dalam bahasa Inggris, huruf memiliki nama (dilafalkan 'ei' seperti pada kata 'hey') dan bunyi (dilafatkan 'a', bunyinya seperti ketika seseorang terkejut, lidah terletak di dasar mulut ketika memproduksi bunyi) dan dapat menjelaskannya pada orangtua.
Tolok ukur dikuasainya sebuah ketrampilan antara lain adalah melalui demonstrasi /simulasi maupun kemampuan refleksi diri. Aktifitas pelatihan sebaiknya melibatkan sesama staff pengajar sebagai penilai alias 'buddy coaching' agar lebih objektif dan memperkaya wawasan.
Buddy coaching dapat menggunakan media sbb:
1. Diary harian; di mana Guru mencatat kejadian di kelasnya, boleh dengan memfokuskan pada satu slot tertentu yang dianggap sulit ditangani.
2. Video clip : kepala sekolah atau pihak ketiga dapat merekam situasi belajar di kelas pada suatu durasi waktu tertentu (minimal 15 menit).
Pada penggunaan diary harian, tiap Guru akan bergantian menceritakan cuplikan adegan di kelas yang ia catat tersebut, sedangkan video clip dapat diputarkan untuk ditonton bersama.
Sementara itu, rekan-rekannya akan bertindak sebagai panelis dan memberi masukan yang dirasa perlu sesuai dengan prinsip Educational Philosophy.
Yang perlu disadari dalam mengadopsi hal baru adalah bukan perkara mudah untuk mengubah mind-set karena otak manusia tak dapat diibaratkan dengan tindakan up-grade pada komputer, di mana memori lama seketika hilang digantikan program baru yang canggih.
Tanamkan sikap profesionalitas, artinya ketika seseorang berprofesi sebagai Guru, ada seperangkat gaya, polah dan aturan main sesuai peran Guru.
Rowan Atkinson sebagai master mind (dalang) serial kocak Mr. Bean, dapat menyelami dan bertingkah laku super konyol (sesuai peran) walaupun dalam kehidupan asli dia adalah seseorang yang sangat serius dan menyandang gelar M.Sc di bidang electrical enginering dari universitas bergensi Oxford di Inggris.
MENJADI PLUS KARENA KUALITAS
Sebagai penutup, ketiga prinsip di atas sejalan dengan pendapat Schweinhart (1988)yang menulis bahwa: kurikulum dan praktik yang mengacu pada tahapan tumbuh kembang anak, tenaga pengajar yang terlatih dan keterlibatan orangtua sebagai mitra sekolah adalah beberapa ciri dari PAUD berkualitas.
Maka, kualitas harus menjadi tujuan akhir pencapaian status “Plus”. Nah, bagaimana? Siap menerima tantangan “Plus” ? TG
Imelda Hutapea MEd
Konsultan PAUD dan Master Trainer pada Preschool Teacher Institute, sebuah pusat pelatihan dan kursus ilmu PAUD.
Preschool Teacher Institute
2nd Floor, Plaza Kemang 88
Jl.Kemang Raya No.86-88, South Jakarta 12730
Phone : 021 719 3418, Fax : 021 719 3742
Mobile : 0888.154.7755
Untuk konsultasi seputar PAUD:
info@preschoolteacherinstitute.com
*)Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Fungsi PAUD mempersiapkan anak memasuki usia sekolah, menumbuhkan rasa suka belajar dan mencari tahu serta mengasah kemampuan sosial anak.
Di tengah maraknya kehadiran sekolah ber-label “Plus” maupun “Internasional”, membuat pemilik TK dan playgroup lokal tergiur untuk ikutan ber-Plus ria. “Habis, kalau nggak ikutan plus, bisa habis digilas tren,” kata seorang teman.
Namun ketika ditanya lebih jauh apa yang ia maksud dengan "plus” tersebut, jawabannya kurang lebih, "Nnngg, yang pakai bahasa Inggris dan pakai kurikulum internasional gitu deh, .. dan itu tuh... learning through play itu, ya bukan?”
Di lain pihak, seorang rekan pengurus yayasan sebuah sekolah swasta lama ternama mengeluhkan sulit danterseok-seoknya salah satu cabang sekolahnya yang memang dijadikan rintisan TK Plus. Padahal, usaha dan dana untuk membeli kurikulum internasional dan merekrut tenaga asing sebagai guru sudah dilakukan. Jadi sebaiknya harus bagaimana?
APANYA SIH YANG PLUS
Taman Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tetap bisa menjadi ‘plus’ meski bukan franchise, tidak memiliki afiliasi dengan lembaga internasional, atau memiliki tenaga pengajar asing. Caranya?
Hal yang paling penting dalam penyelenggaraan PAUD adalah fungsinya dalam mempersiapkan anak memasuki usia sekolah, menumbuhkan rasa suka belajar dan mencari tahu (love of learning), serta mengasah kemampuan sosial anak.
Sedangkan pada sisi kegiatan belajar, lebih mengutamakan stimulasi dini daripada keberhasilan baca-tulis-hitung. Fungsi seperti itulah yang kemudian dapat menginspirasi pemilik sekolah dalam merumuskan visi dan misi sekolah.
Contoh, Visi (tujuan/cita-cita) dan Misi (cara/upaya) dapat berbunyi sebagai berikut:
VISI : membentuk generasi muda yang berbudi dan gemar belajar.
MISI :
* Memfasilitasi belajar anak lewat suasana belajar yang kondusif dan merangsang daya cipta.
* Memupuk rasa afeksi anak lewat kegiatan sosial.
Selanjutnya, dengan visi dan misi, urusan selanjutnya harus dipikirkan, apa yang menjadi ciri khas sekolah Anda?
Ciri khas memberi karakter yang membuat sekolah tampil beda sebagai nilai plus agar sukses menjaring siswa. Sesuai hukum pasar, sesuatu yang beda dan unik adalah modal awal untuk mencuri perhatian di tengah persaingan taman PAUD. Hal tersebut dapat tercermin pada nama sekolah, misalnya TK Sayang Bunda, Mandiri Berbakti (Plus anda)
Contoh lain: Seorang teman pemilik sekolah memutuskan memberi ciri Indonesia pada sekolah franchise internasional miliknya. Meskipun pelajaran diselenggarakan dalam bahasa Inggris, wujud keIndonesiaan tampak melalui penamaan ruang kelas (komodo, badak,harimau, berikut penjelasan mengenai lokasi dan habitat binatang); pemilihan alat belajar khas Indonesia (caping, sarung, bakul dan tikar pada sentra bermain peran) dan mengangkat lakon cerita rakyat seperti kisah Kancil dan Buaya pada acara
pelepasan siswa.
Sekolah tersebut berani melawan arus dengan menetapkan hari kasih sayang sendiri yang difokuskan pada mengasah kemampuan afeksi anak pada orang terdekat, dan berarti bagi mereka seperti anggota keluarga maupun mbak pengasuh, pak sopir dan satpam sekolah.
Bagi yang ingin menggunakan sistem pengajaran bilingual (Inggris-Indonesia)sebagai ciri khas, maka perlu secara serius mempertimbangkan metoda apa yang akan dipergunakan: apakah dengan Whole Langguage Approach, Phonics, atau kombinasi kedua metode tersebut.
Secara singkat, metode Phonics mengedepankan struktur, rumus dan aturan baku yang harus dikuasai agar berhasil membaca. Sedangkan pendekatan Whole Language Approach lebih cair, di mana belajar membaca terintegrasi dalam seluruh jadwal kegiatan serta mengedepankan anak mengenal makna membaca serta tumbuhnya pengertian akan cara membaca dengan sendirinya.
Jika diumpamakan dengan belajar berenang, maka Phonics adalah mempelajari teknik suatu gaya renang, namun jika pelaku bertujuan sekedar menguasai suatu gaya renang, maka ia kehilangan kesempatan menikmati berenang (whole language).
Penggunaan pendekatan Educational Philosophy PAUD yang bersifat progressive/non clasical dan berfokus pada anak merupakan poin plus yang lain. Beberapa prinsip utama antara lain:
Prinsip 1: Pentingnya pemahaman tumbuh kembang anak yang mencakup:
1.1 CARA BELAJAR ANAK USIA DINI
a). Panca indera, first-hand experience, eksplorasi, dan learning through play sebagai cara belajar yang dominan.
Misalnya: “Petak Umpet Huruf” (Letter Hide and Seek).
Sembunyikan huruf-huruf depan nama anak (dapat dibuat dari kardus bekas, tiap huruf diberi tekstur berbeda misalnya dilapisi renda, kertas amplas, kertas roti) pada suatu daerah tertentu (Tahap 4 menulis: berlatih huruf).
Guru membuat suara batuk keras/pelan (stimulasi panca indera) jika ada anak yang mendekat atau menjauh pada tempat persembunyian huruf. Jika anak sudah menemukan huruf, tanyakan apakah huruf tersebut cocok untuknya atau untuk anak lain. Lalu minta anak menceritakan tekstur (halus, kasar, licin) huruf tersebut.
b). Frekuensi dan konsistensi: pentingnya rutinitas dan pengulangan.
Rutinitas terwujud pada adanya jadwal belajar yaitu urutan kegiatan harian yang stabil, untuk memberi rasa nyaman karena anak karena ia merasa telah menguasai medan.
Guru dapat membuat simbolisasi sederhana (gambar sekumpulan anak duduk bersama sebagai simbol Circle Time, buku dan mainan sebagai simbol waktu bermain bebas, dst), pada lokasi yang mudah terlihat anak.
Agar anak siap, Guru dapat mengumumkan kegiatan berikutnya dengan mengacu pada simbol terebut. Sementara itu pengulangan akan pengenalan suatu konsep diperlukan karena teachable moment anak terjadi pada waktu yang berbeda-beda.
c). Pencapaian: mementingkan proses dibanding hasil (process not product) dan kemajuan dibanding kecepatan (progress not speed).
Misalnya: membuat kalung (beads lacing)
Dalam satu durasi waktu, Athiya mampu membuat tiga pola, sedangkan Iwan mampu membuat lima pola, namun keduanya berada dalam tahap meronce yang sama (memahami tentang pola dan mampu membuat pola sendiri).
d). Kurikulum yang berpusat pada anak, termasuk kondisi dan
pengaturan kelas yang student centre.
Meminjam teori Vygotsky, Guru memberikan scaffolding (tangga), untuk anak dapat mencapai kemampuan lebih tinggi. Metode scaffolding yang efektif adalah melalui pertanyaan terbuka-terbatas (direct open-ended question) dan diskusi.
Misalnya: Membahas kegiatan akhir minggu.
Aplikasi pertanyaan terbuka-terbatas (directed open-ended question) adalah: "Apa saja yang kamu lihat di sirkus? daripada "Apa saja yang ada di Bandung? (terlalu luas).
Sementera itu kegiatan diskusi pada anak usia dini tujuannya lebih kepada mengasah kemampuan berpendapat. Misal: Pada kelas kelompok umur 4-5 tahun, Guru bercerita soal seringnya terjadi kasus rebutan pada sentra balok. Anak-anak ditanyai, apa saja yang bisa dilakukan supaya hal tersebut tidak terjadi.
1.2. KARAKTERISTIK UMUM ANAK USIA DINI
Kita ambil contoh tipikal perkembangan (kemampuan) berbahasa anak usia 4 tahun, yaitu gemar bermain/mengeksplorasi kata dan dramatisasi/berkembangnya kisah fantasi.
Kegiatan yang cocok misalnya: Round
Robin Story (Cerita bersambung). Guru mengajak anak-anak duduk membentuk lingkaran, lalu anak-anak mengambil undian. Isi undian adalah gambar ... (cerita lucu) atau gambar .... (cerita sedih).
Lalu, Guru akan memulai cerita, “Di sebuah rumah, ada seekor anak kucing ……” lalu memberikan giliran pada anak di sebelahnya untuk melanjutkan, bisa cerita sedih atau lucu, tergantung pada undian yang diperoleh si anak.
Dalam berkomunikasi, apakah Anda sering merasa anak sepertinya tidak memahami atau bahkan melakukan hal yang berlawanan dari apa yang diminta? Kuncinya terletak pada cara komunikasi yang efektif yaitu dengan menggunakan bahasa yang positif, sederhana, dan membatasi jumlah instruksi dalam satu tarikan kalimat. Tujuannya agar pesan yang ingin dikomunikasikan menjadi jelas.
CONTOH KALIMAT POSITIF SEDERHANA: Gunakan kalimat “Ayo duduk di sini” daripada “ Jangan berdiri-berdiri” (anak bisa saja bingung, lalu harus melakukan apa?);
CONTOH KALIMAT MULTI INSTRUKSI:
"Setelah mewarnai, taruh kertas di keranjang merah, bawa keranjang ke depan kelas, lalu boleh pergi ke rak buku". --(kemungkinan besar anak akan langsung pergi ke rak buku).
PRINSIP 2. PEMAHAMAN AKAN HAK ANAK
Kita perlu tahu bahwa anak memiliki hak yang harus dihormati dan sedapat mungkin dipenuhi.
10 HAK ANAK INDONESIA berdasarkan KONVENSI HAK ANAK PBB 1999
1. Hak untuk BERMAIN
2. Hak untuk mendapatkan PENDIDIKAN
3. Hak untuk mendapatkan PERLINDUNGAN
4. Hak untuk mendapatkan NAMA (identitas)
5. Hak untuk mendapatkan status KEBANGSAAN
6. Hak untuk mendapatkan MAKANAN
7. Hak untuk mendapatkan akses KESEHATAN
8. Hak untuk mendapatkan REKREASI
9. Hak untuk mendapatkan KESAMAAN
10.Hak untuk mendapatkan Peran dalam PEMBANGUNAN
Hak-hak tersebut dapat diwujudkan lewat pengakuan dan penerimaan bahwa tiap anak adalah pribadi yang unik, baik temperamen, karakter, tempo belajar, maupun minat dan bakatnya. Pengakuan akan hal tersebut melahirkan pendekatan yang non-kompetitif dan nir-ancaman terhadap anak. Tanpa disadari, kita sering menggunakan 'ancaman' halus terhadap anak.
Perhatikan bait terakhir pada lagu anak-anak "Nina Bobok" yang berbunyi "Kalau tidak bobok digigit nyamuk". Kalimat 'digigit nyamuk' (ancaman) diganti dengan 'nanti ngantuk (konsekwensi alamiah).
Lebih jauh lagi, sikap penghargaan terhadap anak dapat ditunjukkan dengan cara:
1. Memajang karya anak sebagai displai kelas layaknya pameran karya seniman (diberi label yang memuat nama dan celoteh/komentar anak mengenai atau saat karya tersebut dibuat).
2. Menciptakan banyak kesempatan bagi anak untuk berekspresi. “Show and Tell” (berbagi kisah tentang sebuah benda yang ia bawa dan menulis jurnal/blog (beri anak kertas kosong untuk digambar lalu minta untuk menceritakan gambar tersebut). Kegiatan ini dapat dilakukan pada pagi hari, dan efektif untuk pendekatan terhadap anak yang pemalu atau anak baru.
3. Hindari menunjukkan hasil karya Guru sebagai contoh prakarya, karena selain mengungkung kreativitas, anak merasa gagal jika tak dapat menyamai hasil karya Bu Guru.
4. Penerapan positif disiplin yang memberdayakan anak untuk mampu mengontrol sikap dan perilakunya, yaitu perilaku yang tepat/pantas untuk saat dan tempat yang tepat. Misalnya: Berteriak tidak dilakukan dalam kelas, tapi boleh saat bermain di luar.
5. Jauhi melakukan perbandingan: daripada kalimat “Sebagus gambar si Anto“ gantikan dengan “Buat gambar sebagus kamu suka”. Sosialisasikan pula kepada orangtua untuk tidak membandingkan anak dengan kakak atau adiknya.
6. Berikan anak kesempatan untuk mencoba mandiri, misal: merapikan diri (melap keringat, mencuci tangan) seusai bermain di luar. Tawarkan bantuan jika anak kelihatan mengalami kesulitan.
7. Tidak menyebut anak dengan label tertentu, seperti 'badung', 'cengeng', 'genit' ; ganti dengan kata sifat positif. seperti ‘lincah’, ‘perasa’, ‘senang bergaya’.
8. Rajin menyebut nama anak: panggil nama anak ketika Anda pergoki dia sedang membereskan mainan (“Hai lihat, Lila sedang beres-beres”), dan ketika membagi
kelompok (‘Lila, Amal dan Cinta, mari datang ke sini’).
9. Memuji spesifik: misalnya dalam mengomentari gambar, mengingat kemampuan tiap anak menggambar berbeda. Pujian 'bagus!’hendaknya digunakan hati-hati agar tidak kehilangan makna.
Lebih baik komentari usaha dan tindakan anak : “Wah,ada garis kuning di gambarmu,
panjang sampai ke ujung ya”, atau “Coba lihat lingkaran yang kamu buat, ada yang besar, ada yang kecil, lalu ini ceritanya apa?“.
10. Pada lingkup sistem, guna menjamin keselamatan anak, sekolah dapat membuat kartu antar-jemput sederhana yang hanya memberi otorisasi penjemputan pada si pembawa kartu. Lainnya, misal, rutin mengadakan latihan kebakaran dan antisipasi gempa, serta menyelenggarakan pelatihan P3K bagi staf sekolah.
PRINSIP 3. PERAN ORANGTUA dan PENGAKUAN ATAS LINGKUP SOSIAL ANAK
Sebagai agen terpenting dalam kehidupan anak, maka amatlah tepat menjadikan orangtua sebagai mitra sekolah dalam mendukung belajar anak. Orangtua adalah sumber informasi berharga bagi Guru untuk lebih menyelami pribadi anak, sedangkan orangtua dapat belajar metode yang digunakan di sekolah agar tercipta konsistensi rumah-sekolah.
Keterlibatan orangtua sebagai mitra sekolah dapat diterapkan dalam bentuk:
1. Kegiatan belajar dengan orangtua untuk mengerjakan project/permainan di kelas pada hari-hari tertentu, misal pada lomba 17 Agustus-an, atau menjadi nara sumber untuk menjelaskan tentang profesi (penari, polisi, juru masak, dll).
2. Tugas akhir minggu orangtua-anak. Misal, Guru menginformasikan bahwa minggu depan akan masuk tema baru, maka orangtua diminta membacakan cerita bertema tersebut pada anak, lalu menuliskan sinopsisnya untuk sekolah. Tergantung usia, anak dapat menambahkan gambar pada sinopsis tersebut.
3. Keterbukaan informasi: tentang kegiatan belajar mengajar dan metode yang diterapkan di sekolah pada saat pendaftaran dan di awal tahun ajaran baru. Hal ini dapat menghindarkan salah paham orangtua yang mungkin tidak familiar dengan metode
tertentu (misal: anak terlihat wara-wiri di kelas pada saat slot kegiatan free play).
4. Parents questionnaire: sarana sekolah untuk menggali aspirasi dari orangtua dan meningkatkan mutu dan pelayanan. Dalam hal ini tidak berarti sekolah harus memenuhi setiap usul, tetapi dapat digunakan untuk mengukur kesan mayoritas.
5. Mengadakan pelatihan / parenting class: diselenggarakan oleh Guru untuk membagi ilmu bagaimana metode bimbingan anak yang tepat.
PENTINGNYA KESIAPAN DAN PELATIHAN
Pada akhirnya, Educational Philosophy sebagai sebuah kerangka pemikiran lebih bersifat knowledge (pengetahuan). Karena itu, perlu ditunjang pelatihan yang sifatnya mengasah ketrampilan Guru mampu menerapkannya. Percuma mendengung-dengungkan prinsip tentang pentingnya peran orangtua sebagai mitra sekolah jika Guru tidak diberikan pelatihan tentang komunikasi positif terhadap orangtua.
Pada sekolah yang menggunakan sistem pengajaran bilingual Inggris-Indonesia, wajib hukumnya bagi Guru untuk pelatihan tentang metode yang digunakan agar tidak ngawur. Misal, Guru memahami bahwa dalam bahasa Inggris, huruf memiliki nama (dilafalkan 'ei' seperti pada kata 'hey') dan bunyi (dilafatkan 'a', bunyinya seperti ketika seseorang terkejut, lidah terletak di dasar mulut ketika memproduksi bunyi) dan dapat menjelaskannya pada orangtua.
Tolok ukur dikuasainya sebuah ketrampilan antara lain adalah melalui demonstrasi /simulasi maupun kemampuan refleksi diri. Aktifitas pelatihan sebaiknya melibatkan sesama staff pengajar sebagai penilai alias 'buddy coaching' agar lebih objektif dan memperkaya wawasan.
Buddy coaching dapat menggunakan media sbb:
1. Diary harian; di mana Guru mencatat kejadian di kelasnya, boleh dengan memfokuskan pada satu slot tertentu yang dianggap sulit ditangani.
2. Video clip : kepala sekolah atau pihak ketiga dapat merekam situasi belajar di kelas pada suatu durasi waktu tertentu (minimal 15 menit).
Pada penggunaan diary harian, tiap Guru akan bergantian menceritakan cuplikan adegan di kelas yang ia catat tersebut, sedangkan video clip dapat diputarkan untuk ditonton bersama.
Sementara itu, rekan-rekannya akan bertindak sebagai panelis dan memberi masukan yang dirasa perlu sesuai dengan prinsip Educational Philosophy.
Yang perlu disadari dalam mengadopsi hal baru adalah bukan perkara mudah untuk mengubah mind-set karena otak manusia tak dapat diibaratkan dengan tindakan up-grade pada komputer, di mana memori lama seketika hilang digantikan program baru yang canggih.
Tanamkan sikap profesionalitas, artinya ketika seseorang berprofesi sebagai Guru, ada seperangkat gaya, polah dan aturan main sesuai peran Guru.
Rowan Atkinson sebagai master mind (dalang) serial kocak Mr. Bean, dapat menyelami dan bertingkah laku super konyol (sesuai peran) walaupun dalam kehidupan asli dia adalah seseorang yang sangat serius dan menyandang gelar M.Sc di bidang electrical enginering dari universitas bergensi Oxford di Inggris.
MENJADI PLUS KARENA KUALITAS
Sebagai penutup, ketiga prinsip di atas sejalan dengan pendapat Schweinhart (1988)yang menulis bahwa: kurikulum dan praktik yang mengacu pada tahapan tumbuh kembang anak, tenaga pengajar yang terlatih dan keterlibatan orangtua sebagai mitra sekolah adalah beberapa ciri dari PAUD berkualitas.
Maka, kualitas harus menjadi tujuan akhir pencapaian status “Plus”. Nah, bagaimana? Siap menerima tantangan “Plus” ? TG
Imelda Hutapea MEd
Konsultan PAUD dan Master Trainer pada Preschool Teacher Institute, sebuah pusat pelatihan dan kursus ilmu PAUD.
Preschool Teacher Institute
2nd Floor, Plaza Kemang 88
Jl.Kemang Raya No.86-88, South Jakarta 12730
Phone : 021 719 3418, Fax : 021 719 3742
Mobile : 0888.154.7755
Untuk konsultasi seputar PAUD:
info@preschoolteacherinstitute.com
*)Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Kejar Rejeki melalui Sertifikasi
rubrik Teachers Forum
Bukan rahasia lagi di kalangan para guru bahwa ‘proyek’ sertifikasi guru identik dengan keuntungan financial – berupa insentif yang lumayan untuk menambah pendapatan tanpa harus menambah jam kerja.
Terlebih yang diperlukan hanya dokumen-dokumen mati, lembar-lembar kertas sertifikat pelatihan, piagam penghargaan keikutsertaan dalam seminar atau workshop.Makin banyak dokumen terkumpul, harapan lulus sertifikasi semakin besar.
Adalah tiga orang Guru sekolah swasta; Pak Burhan,Pak Busro dan Pak Budi (bukan nama sebenarnya). Ketiganya dikenal sebagai Guru yang kurang disiplin. Mengajar sekenanya, masuk kelas tak pernah on-time. Merasa diri senior, sudah puluhan tahun mengajar, sehingga dokumen minimal seperti lesson plan (rencana pemelajaran) pun tidak pernah dibuat. Diberikan kesempatan belajar lagi; pelatihan, kursus singkat dan sejenisnya, tak pernah mau.Untuk apa lagi? Sudah cukup, tak perlu pelatihan, tak perlu belajar macam-macam.
Tetapi ketika mendengar bahwa program sertifikasi guru ada duit-nya, mereka bertiga sangat antusias, sibuk runtang-runtung kesana-kemari mengumpulkan dokumen. Karena minimnya dokumen yang ada, tak segan-segan mereka membuat dokumen-dokumen fiktif/palsu. Dalam bincang-bincang mereka tentang upaya mengakali sertifikasi, terekam pembicaraan berikut;
Burhan: “Bagaimana friends, setelah dikumpul-kumpulkan evidence saya sangat sedikit,” pak Burhan membuka pembicaraan.
Budi : “Sama Jo, saya punya juga tidak mencukupi, bahkan hanya sekitar 200 poin,” sahut Budi. (skor minimum 800)
Busro : “Boro-boro punya saya, bisa dihitung jari,” dengan bangga Busro menimpali. "Bagaimana kita menutupi kekurangan dokumen-dokumen ini?”
Budi : “Eh … itu gampang Jo .., You kan ingat, tiga tahun terakhir ini sekolah kita mengadakan beberapa kali workshop dan pelatihan, kenapa tak meminta saja kepada pimpinan untuk membuatkan sertifikat?”
Burhan : ”Oh…boleh juga you punya ide. Kita datangi saja tuh pimpinan, minta dia buatkan sertifikat dan piagam walau kita tak mengikutinya saat itu.”
Busro : “It’s impossible friends, bagaimana mungkin, pimpinan kita mau buatkan kalau kita sendiri tidak ikut. Ngga mungkin lah yau…,” tegas Busro pesimis.
Budi : “Eh… tenang aja, nanti aku urus. Itu mah kecil, kasih saja pimpinan kita doku (dibaca= duit), pasti mau.”
Busro : “Kalau begitu kita menyuap dan memalsukan dokumen dong?” tanyanya ragu-ragu.
Burhan : ”Ah…… kamu ini kaya nggak tahu aja. Udahlah dicoba aja dulu, yang
penting kita bisa disertifikasi dan mendapatkan tunjangan,” Burhan menimpali
Busro.
Busro : “Seandainya bisa pun, pasti dokumen kita masih kurang. Saya hitunghitung pelatihan selama ini hanya bisa menutup sekitar 60 poin.” Busro menjelaskan detil perhitungan skor-nya
Budi : “Oh… iya ya….. hanya sekitar 60 poin.”
Burhan : “Ah… masih ada ide. Saya punya kenalan Guru di kota, dia rajin ikut seminar, pelatihan, workshop semacamnya.”
Budi : “Maksudmu..?”
Burhan : “Saya akan minta teman di kota itu untuk mencarikan blanko-blanko kosong sertifikat dan penghargaan, kita tinggal mengisinya.”
Busro : ”Bagaimana bisa, kan acaranya sudah berlalu?” tanyanya Busro jeli.
Budi : “Gampang Jo….. suruh saja ia foto-copy, namanya ditutupi, sehingga kita tinggal ganti nama kita. ”
Burhan : “Ya ngga bisa lah Bud……, dokumen kan harus ada yang asli, mana mungkin di-foto copy?”
Busro : “Iya tidak mungkin itu.”
Burhan : “Begini saja. Di kota kan banyak pelatihan, bahkan setiap hari ada. Saya akan suruh teman itu ikut, dan daftarkan nama kita sebagai peserta sehingga kita dapat sertifikat asli.”
Budi : “Oke ide bagus itu. Di samping legal, juga sertifikatnya asli. Kita kirim saja uang lebih ke teman si Burhan, lalu minta mengirim sertifikat itu viapost. Bereskan kan?”
Busro : “Bisa juga sih… tetapi tetap saja, sertifikat itu asli tapi palsu alias aspal,” Busro mencobainya.
Burhan : “Ah… kamu ini, ideal banget sih. Sudahlah lupakan semuanya, asli atau palsu yang penting kita dapat sertifikat dan bisa di sertifikasi lalu dapat rapelan tunjangan,” Burhan tidak sabar.
Akhirnya mereka pun sepakat mengumpulkan ratusan ribu rupiah, dikirim ke teman Burhan di kota. Dalam waktu kurang dari satu bulan, maka setumpuk lembaran sertifikat, penghargaan telah berada di tangan ketiga guru itu. Tiba waktunya menyerahkan dokumen kepada kepala sekolah ke dinas pendidikan setempat. Selanjutnya mereka menunggu pengumuman transfer tambahan bulanan.
****
Sekelumit gambaran kesalahan persepsi para guru dalam merespon inisiatif yang baik dari pemerintah, tentang sertifikasi guru.
Tujuan utama sertifikasi adalah untuk meningkatkan kompetensi guru, sehingga kualitas pemelajaran meningkat dan akhirnya lulusannya pun bermutu. Tunjangan atau insentif bukan tujuan utama, hanyalah sebagai akibat dari meningkatnya kompetensi dan kinerja guru.
Jika kesalahan persepsi seperti ini terus dibiarkan maka tentu saja program sertifikasi tidak akan bermakna, sebaliknya jadi ajang pencarian tambahan income alias bagi-bagi duit.
Perlu dicari alternatif model sertifikasi yang lebih berbobot. Tak sekedar mensyaratkan lembar-lembar kertas atau dokumen mati, melainkan lebih menekankan pada kompetensi dan kinerja (achievement) nyata.
Seperti terinci dalam Undang-undang SISDIKNAS, bahwa Guru mesti memiliki kompetensi profesi, pedagogi, pribadidan kompetensi sosial.
Kompetensi tersebut yang perlu diukur, tentu tak cukup hanya dengan kumpulan dokumen mati atau test tertulis, juga observasi langsung melihat bagaimana proses pemelajaran di kelas dilaksanakan.
Pencapaian-pencapaian yang mereka peroleh, harus ada bukti otentik, didukung dengan adanya testimoni dari pihak yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tak perlu pencapaian besar atau spektakuler seperti menjadi guru teladan nasional, atau publikasi karya tulis pendidikan yang best seller nasional, tetapi berawal dari pencapaian sederhana yang prinsipil seperti kehadiran, perencanaan pemelajaran, mengimplementasikannya dengan baik, kontribusi waktu dan tenaga untuk anakanak,serta peduli lingkungan sekolah.
Untuk mensertifikasi guru seperti dimaksud, tentu perlu tim independen di tiap daerah: punya komitmen, jauh dari mental kolusi, korupsi dan nepotisme. Tim sertifikasi tidak hanya duduk meneliti dokumen-dokumen mati, melainkan terjun ke kelas-kelas.
Dengan demikian sertifikasi Guru bukan lagi sarana mengejar rejeki, melainkan meningkatkan kinerja dan kompetensi.TG
Herman JP. Maryanto
Guru di Timika, Papua
*)Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Bukan rahasia lagi di kalangan para guru bahwa ‘proyek’ sertifikasi guru identik dengan keuntungan financial – berupa insentif yang lumayan untuk menambah pendapatan tanpa harus menambah jam kerja.
Terlebih yang diperlukan hanya dokumen-dokumen mati, lembar-lembar kertas sertifikat pelatihan, piagam penghargaan keikutsertaan dalam seminar atau workshop.Makin banyak dokumen terkumpul, harapan lulus sertifikasi semakin besar.
Adalah tiga orang Guru sekolah swasta; Pak Burhan,Pak Busro dan Pak Budi (bukan nama sebenarnya). Ketiganya dikenal sebagai Guru yang kurang disiplin. Mengajar sekenanya, masuk kelas tak pernah on-time. Merasa diri senior, sudah puluhan tahun mengajar, sehingga dokumen minimal seperti lesson plan (rencana pemelajaran) pun tidak pernah dibuat. Diberikan kesempatan belajar lagi; pelatihan, kursus singkat dan sejenisnya, tak pernah mau.Untuk apa lagi? Sudah cukup, tak perlu pelatihan, tak perlu belajar macam-macam.
Tetapi ketika mendengar bahwa program sertifikasi guru ada duit-nya, mereka bertiga sangat antusias, sibuk runtang-runtung kesana-kemari mengumpulkan dokumen. Karena minimnya dokumen yang ada, tak segan-segan mereka membuat dokumen-dokumen fiktif/palsu. Dalam bincang-bincang mereka tentang upaya mengakali sertifikasi, terekam pembicaraan berikut;
Burhan: “Bagaimana friends, setelah dikumpul-kumpulkan evidence saya sangat sedikit,” pak Burhan membuka pembicaraan.
Budi : “Sama Jo, saya punya juga tidak mencukupi, bahkan hanya sekitar 200 poin,” sahut Budi. (skor minimum 800)
Busro : “Boro-boro punya saya, bisa dihitung jari,” dengan bangga Busro menimpali. "Bagaimana kita menutupi kekurangan dokumen-dokumen ini?”
Budi : “Eh … itu gampang Jo .., You kan ingat, tiga tahun terakhir ini sekolah kita mengadakan beberapa kali workshop dan pelatihan, kenapa tak meminta saja kepada pimpinan untuk membuatkan sertifikat?”
Burhan : ”Oh…boleh juga you punya ide. Kita datangi saja tuh pimpinan, minta dia buatkan sertifikat dan piagam walau kita tak mengikutinya saat itu.”
Busro : “It’s impossible friends, bagaimana mungkin, pimpinan kita mau buatkan kalau kita sendiri tidak ikut. Ngga mungkin lah yau…,” tegas Busro pesimis.
Budi : “Eh… tenang aja, nanti aku urus. Itu mah kecil, kasih saja pimpinan kita doku (dibaca= duit), pasti mau.”
Busro : “Kalau begitu kita menyuap dan memalsukan dokumen dong?” tanyanya ragu-ragu.
Burhan : ”Ah…… kamu ini kaya nggak tahu aja. Udahlah dicoba aja dulu, yang
penting kita bisa disertifikasi dan mendapatkan tunjangan,” Burhan menimpali
Busro.
Busro : “Seandainya bisa pun, pasti dokumen kita masih kurang. Saya hitunghitung pelatihan selama ini hanya bisa menutup sekitar 60 poin.” Busro menjelaskan detil perhitungan skor-nya
Budi : “Oh… iya ya….. hanya sekitar 60 poin.”
Burhan : “Ah… masih ada ide. Saya punya kenalan Guru di kota, dia rajin ikut seminar, pelatihan, workshop semacamnya.”
Budi : “Maksudmu..?”
Burhan : “Saya akan minta teman di kota itu untuk mencarikan blanko-blanko kosong sertifikat dan penghargaan, kita tinggal mengisinya.”
Busro : ”Bagaimana bisa, kan acaranya sudah berlalu?” tanyanya Busro jeli.
Budi : “Gampang Jo….. suruh saja ia foto-copy, namanya ditutupi, sehingga kita tinggal ganti nama kita. ”
Burhan : “Ya ngga bisa lah Bud……, dokumen kan harus ada yang asli, mana mungkin di-foto copy?”
Busro : “Iya tidak mungkin itu.”
Burhan : “Begini saja. Di kota kan banyak pelatihan, bahkan setiap hari ada. Saya akan suruh teman itu ikut, dan daftarkan nama kita sebagai peserta sehingga kita dapat sertifikat asli.”
Budi : “Oke ide bagus itu. Di samping legal, juga sertifikatnya asli. Kita kirim saja uang lebih ke teman si Burhan, lalu minta mengirim sertifikat itu viapost. Bereskan kan?”
Busro : “Bisa juga sih… tetapi tetap saja, sertifikat itu asli tapi palsu alias aspal,” Busro mencobainya.
Burhan : “Ah… kamu ini, ideal banget sih. Sudahlah lupakan semuanya, asli atau palsu yang penting kita dapat sertifikat dan bisa di sertifikasi lalu dapat rapelan tunjangan,” Burhan tidak sabar.
Akhirnya mereka pun sepakat mengumpulkan ratusan ribu rupiah, dikirim ke teman Burhan di kota. Dalam waktu kurang dari satu bulan, maka setumpuk lembaran sertifikat, penghargaan telah berada di tangan ketiga guru itu. Tiba waktunya menyerahkan dokumen kepada kepala sekolah ke dinas pendidikan setempat. Selanjutnya mereka menunggu pengumuman transfer tambahan bulanan.
****
Sekelumit gambaran kesalahan persepsi para guru dalam merespon inisiatif yang baik dari pemerintah, tentang sertifikasi guru.
Tujuan utama sertifikasi adalah untuk meningkatkan kompetensi guru, sehingga kualitas pemelajaran meningkat dan akhirnya lulusannya pun bermutu. Tunjangan atau insentif bukan tujuan utama, hanyalah sebagai akibat dari meningkatnya kompetensi dan kinerja guru.
Jika kesalahan persepsi seperti ini terus dibiarkan maka tentu saja program sertifikasi tidak akan bermakna, sebaliknya jadi ajang pencarian tambahan income alias bagi-bagi duit.
Perlu dicari alternatif model sertifikasi yang lebih berbobot. Tak sekedar mensyaratkan lembar-lembar kertas atau dokumen mati, melainkan lebih menekankan pada kompetensi dan kinerja (achievement) nyata.
Seperti terinci dalam Undang-undang SISDIKNAS, bahwa Guru mesti memiliki kompetensi profesi, pedagogi, pribadidan kompetensi sosial.
Kompetensi tersebut yang perlu diukur, tentu tak cukup hanya dengan kumpulan dokumen mati atau test tertulis, juga observasi langsung melihat bagaimana proses pemelajaran di kelas dilaksanakan.
Pencapaian-pencapaian yang mereka peroleh, harus ada bukti otentik, didukung dengan adanya testimoni dari pihak yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tak perlu pencapaian besar atau spektakuler seperti menjadi guru teladan nasional, atau publikasi karya tulis pendidikan yang best seller nasional, tetapi berawal dari pencapaian sederhana yang prinsipil seperti kehadiran, perencanaan pemelajaran, mengimplementasikannya dengan baik, kontribusi waktu dan tenaga untuk anakanak,serta peduli lingkungan sekolah.
Untuk mensertifikasi guru seperti dimaksud, tentu perlu tim independen di tiap daerah: punya komitmen, jauh dari mental kolusi, korupsi dan nepotisme. Tim sertifikasi tidak hanya duduk meneliti dokumen-dokumen mati, melainkan terjun ke kelas-kelas.
Dengan demikian sertifikasi Guru bukan lagi sarana mengejar rejeki, melainkan meningkatkan kinerja dan kompetensi.TG
Herman JP. Maryanto
Guru di Timika, Papua
*)Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
REFORMASI DARI SEKOLAH KEBUN
Pengabdian Sinar Mas Grup Mengembangkan Sekolah-Sekolah di Perkebunan Sawit
Rubrik CSR on Education
Pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara,adalah perjuangan kebudayaan. Dan bagi SMART Tbk, anak usaha perkebunan sawit Sinar Mas Grup, pendidikan yang mereka kembangkan di 116 sekolah kebun (SD, SMP, SMA)yang menampung lebih dari 21.000 siswa dan 1.080 guru tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua, lebih tepat disebut sebagai upaya perjuangan kemanusiaan.
Penghargaan atas manusia dan kemanusiaan, ditunjukkan dengan upaya membuat sekolah berkualitas berbiaya murah hampir gratis maupun mendorong peningkatan mutu kualitas sekolah (negeri, yayasan)di sekitar perkebunan. Merekrut guru dan kepala sekolah, membiayai gaji, tempat tinggal, dan operasional sekolah.
Jika sekolah di kebun berkualitas, tentu saja para profesional, staf, dan pekerja tak ragu menetap. Tak perlu berpisah menitipkannya bersekolah ke kota besar atau semisal di Jakarta. Masa-masa istimewa anak (golden age) anak hingga usia SMP berada dalam pengasuhan bersama ayah dan ibunya. Inilah kealamian yang terbaik bagi anak dan orangtua.
“Pak Franky Wijaya, CEO dari SMART Tbk. ingin agar sekolah-sekolah ditingkatkan kualitasnya, yang kebanyakan saat ini terakreditasi C agar mencapai akreditasi A dan berstandar nasional plus, yaitu plus pada pengembangan ahlak budi pekerti dan charater building. Sama baiknya atau kalau bisa lebih baik dari yang ada di kota,” jelas Urbanus M. Nangoy, HR Development Head yang bertanggungjawab atas sekolah-sekolah di seluruh perkebunan SMART Tbk.
Sekolah yang baik membentuk kader-kader berpendidikan baik, menjaga lingkungan kerja yang baik, dan mampu bekerja bersama dengan kualifikasi yang baik untuk mengelola perkebunan, sehingga perusahaan tumbuh baik-berkesinambungan.
Sumberdaya manusia lokal akan meningkat kualitasnya,sehingga terjadi arus penyerapan tenaga kerja,meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah, yang berujung pada kemandirian ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, terutama daerah pedalaman yang sesungguhnya berpotensi sumberdaya alam luar biasa tapi minim sumber daya manusia.
Sesuai dengan tiga filosofi Sinar Mas: people, profit, planet. Profit hanya bisa langgeng, bila perusahaan peduli akan masyarakat internal (karyawan) dan eksternal
(masyarakat sekitar, termasuk konsumen/buyer), serta planet bumi tempat kebun berdiri. Ketiga aspek ini harus seimbang, berimbang, terintegrasi.
KECERIAAN BELAJAR MENGAJAR
Atas undangan Eka Tjipta Foundation, Teachers Guide berkesempatan mengunjungi sekolah-sekolah di kebun sawit Propinsi Kalimantan Tengah, yang sedang menjalani program pengembangan guru dan manajemen sekolah.
Di lokasi sekolah SDS Bina Sawit 02, Desa Rungau Raya, Kec. Hanau, Kab. Seruyan, selama dua hari sekitar 50 guru dan kepala sekolah dari 6 sekolah di kebun (estate) Tangar berkumpul mengikuti pelatihan paradigma baru pendidikan dari tim Center for Betterment Education (CBE) Jakarta. Lima guru senior mumpuni, yaitu Sururi Aziz, Khaerudin, Uus Rustandi, Bahar Sungkowo, dan Rahmat Akbar, selama dua hari menggojlok mereka dengan berbagai tugas yang cukup berat. Antara lain wawasan guru professional, dan pembuatan silabus/RPP.
“Senang sekali kami mendapat pelatihan dalam program yang terarah seperti ini,” kata Replit Harnowo, kepala sekolah SMP Bina Sawit, yang merindukan program seperti ini. Sejak tahun 2004 berdiri sekolah, memang jarang ada pelatihan-pelatihan yang teratur dan terarah.
Menurut Ummy Setya Rintiyani, ”Saya akan coba menerapkan apa yang sudah diajarkan, termasuk inovasi pembelajarannya. Misal, mengajak anak ke hutan konservasi untuk belajar di laboratorium alam,” jelas kepsek SDS Bina Sawit 2, Tangar Estate, tempat kegiatan ini diselenggarakan. Ia kepala sekolah baru, pejabat sebelumnya pindah ke Sampit lantaran diterima sebagai guru PNS.
Optimisme senada diungkapkan oleh Nurhamid, dari SD Bina Sawit 3, Terawan. Meski sekolah jauh dari kota kabupaten, Nurhamid membanggakan prestasi siswa-siswanya, yang meraih nilai UASBN tertinggi di atas SD negeri lain di kabupaten Seruyan. Sekolahnya pun aktif dalam kegiatan sains, misalnya menyelenggarakan acara Olimpiade Matematika dan IPA. Nurhamid beruntung, karena support yang amat tinggi dari manager kebun H. Mukayat serta Vice President Agronomy (VPA) Rudy Gunadi, dan Regional Controller (RC) Unggul, berikut tim guru yang solid dan berkinerja tinggi.
Menurut penanggungjawab pelatihan Sururi Aziz, “Guru-guru ini sangat berpotensi untuk menjadi guru kreatif dan berprestasi.” Pelatihan ini membekalkan sikap utama seorang guru yang harus dikembangkan: ikhlas bekerja, bangga sebagai guru, produktif dan inovatif. Di sisi kompetensi, diajari ketrampilan menyusun perencanaan, meng- organisir bahan ajar, mengelola strategi dan media pembelajaran, melakukan evaluasi, komunikasi produktif, serta inovasi pembelajaran. “Sukses menjadi guru pun sebuah proses,” jelas Sururi, yang juga konsultan di Bright Consultant, Tangerang, Jawa Barat ini.
Upgrading, ya … upgrading. Ini memang kata yang paling tepat bagi kegiatan di sekolah-sekolah di kebun itu. Tahap pertama, sebagai awal, ke-6 sekolah SMART di Tangar-Mandang-Seruyan, Kalimantan Tengah ini. Jika up-grading ini berhasil, maka menanti lebih 100 sekolah lagi di tingkat SD, SMP hingga SMA di kebun-kebun SMART Tbk. yang tersebar di seantero Nusantara.
Ke depan, kesejahteraan guru SMART akan terus ditingkatkan. Dan idealnya, di setiap estate/kebun seluas 4.000 hektar itu ada 1 sekolah dasar. Begitu juga, gedung-gedung baru SMP akan ditambah. Saat ini, di kebun-kebun sawit Kalimantan Tengah (PSM-6, sebutannya), telah ada 12 SD dan 2 SMP. Dan dalam perencanaan akan bertambah menjadi 24 SD dan 5 SMP. “Kami segera mengoperasikan 3 SD dan 1 SMP - di Semilar,” jelas Sapto H. Sakti, Head of Program Development Eka Tjipta Foundation yang menangani program pendidikan dan berbagai program beasiswa seperti Tjipta Sarjana Bangun Desa, dan Tjipta Pemuda Bangun Desa.
MANUSIA AGRARIS MODERN
Menciptakan masyarakat kebun yang ideal, itulah yang tampaknya dipikirkan lebih matang oleh Sinar Mas Grup. Indonesia adalah negeri agraris yang begitu luar biasa, hanya dapat dikelola oleh orang-orang cerdas, yang cinta pada alam pertanian, suka bekerja keras, terbuka dan mampu beradaptasi dengan teknologi modern, memiliki budi pekerti yang luhur dan moralitas (karakter) tinggi.
Dan itu berarti peran aktif semua pihak agar mewujudkan cita-cita itu secara bersama. Misalnya, para orangtua juga diminta aktif berperan serta dalam pengawasan dan pengembangan pendidikan anak-anak mereka. Keberhasilan sekolah adalah tanggung- jawab bersama: perusahan,orangtua murid, dan sekolah. “Kalau ada perbaikan sekolah, kami tidak bawa kontraktor, tapi hanya bahan-bahan, dan kita ajak orangtua kerja bakti di hari libur memperbaiki sekolah bersama,” jelas Urbanus.
Membuat Sains Fair, mengadakan pelatihan PAKEM (dengan UNICEF).
Salah satu sekolah dasar di kebun di Panaitan, Sumut, menjadi contoh penerapan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Para guru-guru di sekolah sekitar diajak bergabung dala pelatihan, sehingga pengelolaan sekolah dan model pembelajaran pun berubah, makin maju.
Menyaksikan kerja keras dan pengabdian para Guru di kawasan terpencil seperti perkebunan sawit yang indah namun sepi, tentu merupakan suatu penghargaan atas kemanusiaan dan kebangsaan Indonesia itu sendiri. Menyaksikan para Guru berkiprah dengan tulus membaktikan diri terbaiknya bagi generasi Indonesia mendatang, betapa mengharukan. KeIndonesiaan kita makin kental, bilamana menyakini bahwa Indonesia ke depan akan lebih baik, dan salah satunya itu dimulai dari sekolah-sekolah kebun yang akan melahirkan genius-genius asli Indonesia, manusia agraris modern yang cerdas, berahlak tinggi, dan mampu mengelola sumberdaya alam bagi kesejahteraan bangsa. TG
*) Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Untukmu Guru : NYALAKAN LILIN, PENDARKAN PERUBAHAN
Dear teachers,
Kata orang, kehidupan saat ini sudah rusak tata lakunya. Dunia sudah
tunggang langgang. Kemacetan Jakarta membuat ibukota negara ini lumpuh.
Wacana kepindahan timbul tenggelam.
Di banyak daerah, dana BOS dikorupsi. Mark up nilai NEM makin merajalela demi mengamankan jabatan. Biaya kehidupan makin melambung. Rakyat makin limbung.
Tujuh dosa mematikan hasil pemikiran Mahatma Gandhi kembali digali: Politik tanpa prinsip; Kaya tanpa kerja; Pengetahuan tanpa karakter; Bisnis tanpa moralitas; Kesenangan tanpa hati nurani; Pengetahuan tanpa perikemanusiaan; Agama tanpa pengorbanan.
Berulang kali bertemu dengan komunitas Guru, selalu ada warna yang berbeda. Penuh dinamika. Ada yang tampak ikhlas menerima suratan nasib, dengan pendapatan minim, namun tak kuasa menghindar. Ada yang selalu keras berteriak menuntut perubahan, dan ada pula yang ikut sana ikut sini,asal aman.
Dalam workshop olah raga beberapa waktu lalu, muncul beragam keluhan menyangkut eksistensi mereka sebagai Guru olah raga yang seringkali dipandang sebelah mata. Pelajaran olah raga bukan pelajaran yang sexy.Keluhan mereka, mulai dari fasilitas yang minim, kesejahteraan yang ngepas,tak ada dukungan, sistem yang mengganjal kemajuan, dan sebagainya.
Persoalan literasi, misalnya. Berbagai pihak menyalahkan media yang kini
bak telanjang mempertontonkan segala potret kemajuan zaman dengan serangkaian kekerasan, sex, takhayul dan sebagainya. Semua disalahkan. Menggerutu, mengecam!
Memikul dosa sosial yang manakah kita saat ini? Padahal kita masih bisa melakukan sesuatu. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin. Dan Anda, para Guru, adalah pemantik nyala lilin itu!
Jadi, apapun keadaan dan kondisinya, kita sebagai penggerak kemajuan, tak boleh hanya menyalahkan keadaan, dan tak bisa pula diam. Lakukan sesuatu, sekecil apa pun itu. Ketika cahaya lilin Anda berpendar di sekitar, terang itu akan menularkan energi panas ke lingkungan sekitar, lalu berpendar, meski lilin Anda mati, akan ada nyala lilin di tempat lain. Begitu seterusnya.TG
Salam Pendidikan,
Arfi D. Moenandaris
Pemimpin Redaksi
*)Tulisan ini diterbitkan pada edisi 11/2011. Judul cover : MENJADI INDONESIA. Dapatkan majalah Teachers Guide di Gramedia atau Gunung Agung. Atau, silakan berlangganan jika tak ingin luput ketinggalan.
Langganan:
Postingan (Atom)