Cobalah Anda masuk ke restoran cepat saji A&W. Baru membuka pintu, Anda sudah disambut dengan teriakan: “Selamat siang (tergantung waktu), Selamat Datang di AW. Bagaimana kabar Anda hari ini? Mau coba menu baru?’ Mau dijawab atau enggak, si mbak yang gesit itu terus saja melayani.
Di konter, kasir kehabisan uang receh saat mengembalikan uang, dengan sopan dia akan bilang: “Maaf, ada dua ratusnya?”. Setelah pesanan diantar ke meja, mbak yang lain akan mengatakan: “Silakan pesanannya, Bu. Maaf telah menunggu cukup lama.” (Padahal tak sampai 3 menit pesanan juga sudah di depan meja.)
Di supermarket lain, selesai Anda belanja, kasir akan mengatakan: “Terima kasih, selamat belanja kembali,” sambil menangkupkan kedua tangannya membentuk sembah. Itulah bentuk layanan komunikasi yang kini makin beragam dan kompetitif.
Konsumen yang datang dari kelas tertentu akan menghargai ini sebagai bentuk penghargaan. Mereka ada yang merasa ‘nggak ngaruh’. “Kalau makanannya enak, mau keringatan dan si penjual cemberut pun kita tetap kejar, ha ha ha….”
Di Sekolah Anda?
Sekolah sarat dengan nila-nilai (mestinya). Sudah selayaknya nada-nada sapa indah itu terdengar lebih natural. Bukan dipaksakan. Jika si mbak di restauran itu terkesan seperti kaset yang diputar berulang (karena disampaikan tanpa ekspresi ), maka di sekolah mestinya semua orang akan merasa nyaman, seperti saat menikmati pameran seni di sebuah galeri.
Ada pengalaman seorang teman, yang bertandang ke sebuah sekolah nasional plus. Teman ini berbusana ‘rada seadanya’, dengan kerudung yang mungkin terkesan ‘kurang mewah’. Jangankan mendapat layanan yang asyik. Kesan ‘curiga’ tampak menyelidik. Mungkin terpikir, bahwa teman ini ‘petugas’ sekolah lain yang menyamar jadi calon ortu untuk mendapat penjelasan langsung dan bisa melihat isi sekolah (maklum, kadang acara open house sekolah keren itu ‘hanya’ berlaku bagi calon ortu yang tampak wah.
Bukan Basa Basi
Tidak mudah memberi layanan yang sifatnya non sistem ini. Dalam SOP (standart of procedure) mungkin tertera keharusan bersikap ramah pada tamu. Namun jika tak diimbangi dengan pembentukan karakter yang tulus ingin membantu, kalimat ramah itu hanya akan menjadi basa basi yang lama-lama basi.
Apalagi jika keramahan itu tak dapat dinikmati siswa di kelas. Wah….. jelas ini bukan sebuah corporate culture yang sengaja dibangun dengan upaya yang sungguh-sungguh, agar budaya ramah dan tulus serta care (perhatian, peduli), bukan saja menjadi pemanis di awal pertemuan.
Pakar pembentukan budaya perusahaan mengingatkan, sekolah mestinya lebih dari korporasi dalam memberikan layanan dan komunikasi. Publikasi dan publisitas bisa digarap dengan ilmu komunikasi yang makin bisa didalami dengan pendekatan manajemen terapan. Namun ketulusan, keikhlasan, dan bicara ‘dengan hati’ adalah sebuah upaya yang tidak ada manual-nya.
Penulis jadi ingat pengalaman ketika berkunjung ke sebuah sekolah internasional. Mereka tak membiarkan kita bengong sedikit pun. Baru sebentar kita melangkah, senyum dan sapa yang menolong terdengar di mana-mana.
Kami juga menemukan sebuah sekolah, yang semua Guru dan staf- nya tahu persis nama dan keunikan tiap siswa. Orang tua merasa sekolah ini bagai ‘tukang jahit’ yang tahu persis ukuran masing-masing pelanggannya. Ada yang suka ditanya soal koleksi tanamannya, ada yang meriah jika sudah bicara soal hamster piaraan, ada yang merasa tersanjung jika dipuji padanan bajunya, kemajuan anaknya, dan sebagainya.
Nah, jangan kalah dengan restoran dan supermarket. Sekolah Anda harus lebih meriah dengan tegur sapa yang terukur, patut, pas, tak berlebihan namun terkesan datangnya dari hati (by heart). Dari hati! PerHATIan memang harus muncul dari hati. Bukan di bibir saja. TG
*) Arfi D. Moenandaris, pemimpin redaksi majalah Teachers Guide.
Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040385.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar