Bukan Sekadar Tanya-tanya
Sudah menjadi kebiasaan di setiap masa penerimaan siswa baru (PSB), sekolah sibuk melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan eksistensi sekolah secara keseluruhan.
Setelah sejumlah siswa terjaring, maka proses yang paling menentukan adalah pada wawancara calon orang tua murid. Banyak sekolah yang melaksanakan wawancara sekedar formalitas belaka. Sesungguhnyalah pertemuan awal ini bisa menjadi penentu utama, apakah sekolah bisa memenuhi harapan orang tua, dan menjajagi gaya orang tua seperti apa yang akan menjadi partner sekolah.
Kisaran pertanyaan yang disampaikan pada orang tua bisa mengacu pada hal-hal berikut:
1. Menggali alasan ortu dan motivasi pemilihan sekolah bagi putra/i nya
2. Menggali pola asuh secara umum di rumah
3. Mencermati pandangan ortu pada anak saat ini
4. Seperti apa pandangan ortu terhadap sekolah saat ini
5. Menggali pendangan ortu pada perubahan paradigma pendidikan
6. Sejauh mana keterlibatan ortu pada pendidikan anak di sekolah
7. Harapan dan target ke depan
Kisaran pertanyaan itu harus disampaikan secara mengalir. Orang tua akan sangat senang bertutur tentang performa anaknya saat ini. Kadang menjadi seperti forum konsultasi. Karena itu sang pewawancara harus memiliki wawasan dan kedalaman pendidikan yang cukup, agar suasana wawancara berjalan dengan rileks dan memperdalam trust (kepercayaan).
Haruskah Seorang Psikolog?
Banyak sekolah mempercayakan proses wawancara ini pada seorang psikolog. Jika memang sekolah itu memilki tenaga psikolog yang sehari-hari tahu persis bagaimana sekolah dioperasikan, maka bisa saling memperkuat pencermatan.
Namun jika psikolog yang di’sewa’ semata untuk melakukan wawancara, beberapa kelemahan bisa muncul kemudian. Ini terjadi, karena saat wawancara, tentu saja bukan hanya pihak sekolah yang mengajukan pertanyaan. Namun sebaliknya, orang tua juga akan mengajukan berbagai problema, dengan harapan mendapat jawaban yang melegakan hati.
“Saya selalu turun langsung bertemu calon orang tua di saat wawancara awal. Satu per satu secara terjadwal. Biasanya di setiap hari Sabtu, agar orang tua dapat hadir lengkap, ayah dan ibu,” kata Bu Chika, seorang manajer sekolah. “Dulu kami memakai jasa psikolog. Namun karena psikolog tersebut tidak stand by di sekolah setiap harinya, maka banyak hal yang justru kurang pas. Sebagai pewawancara, kita tidak melulu bertanya, tapi juga melakukan “mendengar perasaan”. Papar bu Icha dengan lembut.
Jadikan Data Awal
Hasil wawancara ini kemudian harus dijabarkan secara tertulis, agar dapat menjadi data awal yang melengkapi hasil asesment calon siswa. Kalau mau dilakukan pembobotan, justru hasil wawancara calon ortu ini lebih besar pengaruhnya guna menentukan apakah calon siswa dapat diterima atau tidak.
Saat wawancara, mestinya tergambar apa saja yang menjadi keinginan orang tua. Ada sekolah yang senang mengumbar janji-janji surga. Saat calon ortu menanyakan ini-itu (biasanya berkisar pada fasilitas sekolah), pihak sekolah meng’iya’kan segala hal untuk memperkuat keyakinan calon ortu. Maklum, biasanya di saat wawancara, calon ortu belum membayar apapun kecuali uang formulir.
Setelah sejumlah siswa terjaring, maka proses yang paling menentukan adalah pada wawancara calon orang tua murid. Banyak sekolah yang melaksanakan wawancara sekedar formalitas belaka. Sesungguhnyalah pertemuan awal ini bisa menjadi penentu utama, apakah sekolah bisa memenuhi harapan orang tua, dan menjajagi gaya orang tua seperti apa yang akan menjadi partner sekolah.
Kisaran pertanyaan yang disampaikan pada orang tua bisa mengacu pada hal-hal berikut:
1. Menggali alasan ortu dan motivasi pemilihan sekolah bagi putra/i nya
2. Menggali pola asuh secara umum di rumah
3. Mencermati pandangan ortu pada anak saat ini
4. Seperti apa pandangan ortu terhadap sekolah saat ini
5. Menggali pendangan ortu pada perubahan paradigma pendidikan
6. Sejauh mana keterlibatan ortu pada pendidikan anak di sekolah
7. Harapan dan target ke depan
Kisaran pertanyaan itu harus disampaikan secara mengalir. Orang tua akan sangat senang bertutur tentang performa anaknya saat ini. Kadang menjadi seperti forum konsultasi. Karena itu sang pewawancara harus memiliki wawasan dan kedalaman pendidikan yang cukup, agar suasana wawancara berjalan dengan rileks dan memperdalam trust (kepercayaan).
Haruskah Seorang Psikolog?
Banyak sekolah mempercayakan proses wawancara ini pada seorang psikolog. Jika memang sekolah itu memilki tenaga psikolog yang sehari-hari tahu persis bagaimana sekolah dioperasikan, maka bisa saling memperkuat pencermatan.
Namun jika psikolog yang di’sewa’ semata untuk melakukan wawancara, beberapa kelemahan bisa muncul kemudian. Ini terjadi, karena saat wawancara, tentu saja bukan hanya pihak sekolah yang mengajukan pertanyaan. Namun sebaliknya, orang tua juga akan mengajukan berbagai problema, dengan harapan mendapat jawaban yang melegakan hati.
“Saya selalu turun langsung bertemu calon orang tua di saat wawancara awal. Satu per satu secara terjadwal. Biasanya di setiap hari Sabtu, agar orang tua dapat hadir lengkap, ayah dan ibu,” kata Bu Chika, seorang manajer sekolah. “Dulu kami memakai jasa psikolog. Namun karena psikolog tersebut tidak stand by di sekolah setiap harinya, maka banyak hal yang justru kurang pas. Sebagai pewawancara, kita tidak melulu bertanya, tapi juga melakukan “mendengar perasaan”. Papar bu Icha dengan lembut.
Jadikan Data Awal
Hasil wawancara ini kemudian harus dijabarkan secara tertulis, agar dapat menjadi data awal yang melengkapi hasil asesment calon siswa. Kalau mau dilakukan pembobotan, justru hasil wawancara calon ortu ini lebih besar pengaruhnya guna menentukan apakah calon siswa dapat diterima atau tidak.
Saat wawancara, mestinya tergambar apa saja yang menjadi keinginan orang tua. Ada sekolah yang senang mengumbar janji-janji surga. Saat calon ortu menanyakan ini-itu (biasanya berkisar pada fasilitas sekolah), pihak sekolah meng’iya’kan segala hal untuk memperkuat keyakinan calon ortu. Maklum, biasanya di saat wawancara, calon ortu belum membayar apapun kecuali uang formulir.
Keadaan selanjutnya bisa menjadi rumit, manakala hasil wawancara ini tidak diperoleh data yang bisa menjadi ‘starting point’. Sungguh bukan pekerjaan formalitas, karena penyesuaian langkah dan saling memahami pola asuh dan model pembelajaran di sekolah adalah dasar keberhasilan siswa.
Data ini selanjutnya disosialisasikan pada Guru kelas calon siswa. Informasi ini menjadi bekal pemahaman bagi Guru, seperti apa gaya belajar, karakter, ekspresi dan penanganan siswa saat di rumah selama ini. Kalau sudah sampai mendalam pemahaman itu, sekolah Anda layak menjadi pilihan bagi orang tua yang kini makin kritis memilih sekolah bagi buah hatinya.
Nah, jadikan ajang wawancara dengan calon orang tua bukan sekedar tanya-tanya. Jika dilakukan secara benar, proporsional, serta dapat menggali pola asuh, akan menghasilkan kesepahaman luar biasa. Jadi jangan hanya bertanya-tanya, terima perasaannya juga, lantas jadikan data untuk diolah, dipilah menjadi input dan feedback! TG
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009.
Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.
1 komentar:
Good... apabila tujuan wawancara seperti tersebut, namun setahu saya, biasanya sih wawancara itu tujuan utamanya menggali "DANA".
Dalam Judul "Wawancara orangtua Calon Siswa" sementara didalam artikelnya ada kata "calon orang tua murid", "calon ortu". sebetulnya kalimat mana sih yang benar? orang tua calon murid atau calon orang tua murid? atau kedua-duanya benar?
Posting Komentar