"Meski banyak kritik mengenai berbagai tes sekolah saat menjaring calon siswa baru, masih banyak sekolah yang menggunakan tes-tes psikologis sebagai gagah-gagahan belaka."
Kini banyak sekolah ‘menjajakan’ diri dengan menjual nama psikolog ternama sebagai bagian dari sekolah. Rasanya sudah jadi jaminan mutu, jika sekolah memiliki tenaga psikolog. Meski tidak stand by di sekolah, kehadiran psikolog secara berkala untuk mengadakan observasi atau melakukan tes ini-itu seakan sudah menjadi legitimasi bahwa sekolah itu bermutu tinggi.
Benarkah? Ada benarnya. Selain memberi konseling, ilmu psikologi yang mempelajari cara kerja otak dan teori perkembangan akan membantu Guru mencermati persoalan tumbuh kembang anak, mulai dari kognisi hingga afeksi dengan segala dimensinya.
Persoalannya sering jadi runyam, jika sekolah kurang bisa menempatkan partner kerja ini ini dalam konteks kebijakan. Ada sebuah cerita yang cukup mengundang perhatian kita agar menjadi lebih arif.
Begini ceritanya. Sekolah Nirina (bukan nama sekolah sebenarnya), akan melakukan uji kompetensi bagi calon siswa SD (dari TK yang sama). Lembaga Psikologi dari sebuah Universitas ternama dijadikan rujukan untuk melakukan serangkaian tes yang jamak isebut sebagai Tes Kesiapan Sekolah (TKS).
Secara berkelompok, 5 anak dipanggil masuk ke ruangan lembaga itu dan team psikolog melakukan instruksi untuk menguji pembenaran kesiapan sekolah. Seminggu kemudian, pak Banu (sebut saja begitu) dipanggil oleh kepala sekolah untuk diberitahu, bahwa Misye, putrinya, tidak bisa melanjutkan ke jenjang SD karena kurang menunjukkan performa yang diharapkan.
Kemampuan verbal Misye dinyatakan kurang atau di bawah rata-rata. Jika mau tetap melanjutkan di situ, disarankan mengulang di kelas TK B. Pak Banu meradang. Selama di TK, Misye sering menerima penghargaan menari dan berkarya. Nah, kalau sekarang Misye divonis kurang memilki kemampuan verbal, mestinya kan ini jadi pijakan awal bagi sekolah yang memiliki jenjang PG hingga SMP ini. "Sungguh tak adil dan mengerikan,” kata pak Banu dengan sengit. “Inikah kemajuan pendidikan di negeri ini?” sanggahnya.
Versi Sekolah
Kepala sekolah memberi alasan, bahwa TKS diadakan untuk mencari siswa yang benar-benar dianggap matang dan siap naik jenjang, baik dari segi usia maupun kesiapan kognisi, mental dan psikomotor. Dari pengalaman selama ini, siswa yang tak siap akan menuai masalah di kemudian hari. Mulai dari keterlambatan berfikir, kesulitan sosialisasi, hingga kesulitan belajar.
Sekolah ingin meraih hasil maksimal untuk menghasilkan lulusan yang optimal, yang kompeten, yang siap ‘tanding’ dengan siswa dari sekolah lain pada jenjang selanjutnya. “Bukti menunjukkan, bahwa siswa yang siap secara multi dimensi menjelang SD, akan menunjukkan hasil yang menggembirakan dan memuaskan semua pihak. Kami memberi warning pada ortu, agar melihat ini sebagai sebuah upaya di awal yang mungkin tak enak, namun akan manis di belakang hari,” kilah Bu kepsek.
Pandangan Psikolog Lain
Yang selip mungkin di komunikasinya. Mestinya bukan pihak sekolah yang menyampaikan. Psikolog bersangkutan harus terlibat dalam penyampaian hasil, dengan melakukan konseling. Jika hasil yang didapat kurang baik, psikolog yang sudah berunding dengan pihak sekolah akan memberi solusi, agar lebih menenangkan. Dengan begini ortu akan merasa diberi jalan keluar manakala ada kendala. Seringkali hanya melalui sebuah surat, diberitahukan hasil observasi yang menentukan keputusan maha penting bagi kelanjutan pendidikan anak.
Banyak jasa psikologi yang menggunakan teori-teori semata. Di sisi lain, pihak sekolah juga menggunakan telaah mentah-mentah untuk menentukan masa depan anak yang baru ‘tengel-tengel’ memasuki jenjang formal. Alat ukur Weschsler paling banyak digunakan. Menurut Nisfie Salanto S.Psi, sesungguhnya skala ini hanya boleh digunakan secara individual. Sehari penuh anak diobservasi, didahului dengan games-games yang mendatangkan kenyamanan anak terlebih dulu.
Empat tahap bidang akan diteskan.
Intelegensi, akan mengukur IQ dan logika anak.
Skolastik, akan memberi gambaran ketercapaian baca –tulis- hitung dan motorik halus.
Komitmen, akan mengukur tingkat kerja sama dan sosialisasi. Sedangkan
Emosi, akan membidik tingkat penyesuaian anak. Aturannya, hanya anak yang usianya genap 6 tahun saat di tes yang akan menghasilkan performa maksimal. Yang belum sampai usianya, umumnya jeblok pada pengukuran komitman dan emosi. Di sini letak persoalannya. Ortu sering hanya bertumpu pada intelegensi dan calistung (baca, tulis, hitung).
Nisfie Salanto, Psikolog jebolan UI yang puluhan kali melakukan TKS mengkritisi sejumlah sekolah, yang menggunakan jasa psikolog sebatas ‘gagah-gagahan’ saja. Pernah terjadi, hasil observasi-nya menunjukkan anak tidak direkomendasikan masuk jenjang SD, berdasar tes Weschsler dan hasil tes Anamese, yang mencari tahu latar belakang anak dari interview dengan ortu.
Sekolah yang memberinya order ternyata melenggang sendiri. Tanpa sepengetahuannya, sekolah tetap menerima siswa yang tak direkomendasikannya, berkat ‘lobby-lobby ‘ pribadi dengan pemilik sekolah tersebut. ‘Wah…. ini tak etis,” katanya .
Psikolog yang menggelar TKS mesti punya attitude dan sensitivitas tinggi. Pada alat ukur tertulis yang berlaku universal, contoh pertanyaannya adalah : Mengapa kita perlu polisi? Mengapa surat harus ada prangkonya? Jika anak tak bisa jawab ini, akan menurunkan skoring. Anak dianggap ‘gagal’, meski akan dikejar di bidang lainnya.
Sampai di sini pasti banyak orang teriak : “Kalau pertanyaan ini disampaikan pada anak yang tahunya surat elektronik, jelas dia nggak tahu prangko!” Inilah yang harus dipahami oleh sekolah. Psikolog melakukan tes dengan standar yang berlaku secara universal, secara massal. Jika hampir semua anak tak bisa jawab pertanyaan ini, berarti terjadi kegagalan statistik. Bukan gagal kemampuan verbal. Ini yang sering terjadi salah kaprah.
Anda masih penasaran ya dengan tes model begini. Coba saja cari tahu lebih lanjut pada psikolog di kota Anda. Yang penting Anda ingat, anak didik atau calon siswa kita yang masih belia itu memang kini makin banyak pengaruh informasi yang berakibat distraksi dan stress tinggi. Jadi hati-hati dengan hasil TKS. Kalau dokter selesai mendiagnosa, keluar resep dokter, ada ukuran dan dosisnya. Lha kalau hasil diagnosa psikolog?
Lalu bagaimana nasib Misye tadi? Coba Anda bincangkan kasus ini dengan kolega Anda di sekolah. Apa komentar dan pendapat mereka? Bisa Anda sampaikan melalui surat ke redaksi atau email. Kalau perlu kita bikin ‘temu darat’ dengan para psikolog dan pengelola sekolah serta ahli multiple intelligence yang akan menjernihkan masalah ini. Yah….. jangan asal nge-tes, namun menuai protes.TG
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009.
Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda.
Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.
2 komentar:
biasanya mmg bgt. ortu kurang terima dengan hsl tes yang trkadang tdk sesuai dengan bakat kecerdsan anak. benar, pihak ortu jg bisa jd main belakang. wah pokoknya ndak enak. sekarang aku cb pake mir munif chatib, anak semua full smile ... orang tua jg penuh tawa. keluar dari mir semua senang. mungkin ini bisa jd solusinya, karena setiap anak cerdas, unik. tks boleh aja, ga jg gak papa.
saya baru saja mendapat hasil psikotest anak saya yang kemudian ternyata hasilnya anak saya dinyatakan mengidap keterbelakangan ringan. Perlukah saya mencari second opinion ?
mama Preva
Posting Komentar