September 24, 2008

Bila yang Kaya Menyerbu Negeri,
Dikemanakan yang Tak Berpunya?
Nirma Lestari, praktisi pendidikan, tinggal di Depok, Jawa Barat

Ibu saya kebetulan memiliki 2 sekolah menengah di Kota Depok, Jawa Barat. Satu di jenjang SLTP & SMU dan dibangun sejak tahun 1984, kemudian satu lagi baru 3 tahun berdiri dan berada di jenjang TK-SD-SLTP-SMU & SMK Broadcast pertama di Indonesia, keduanya berstatus "Disamakan".

Sebagai anaknya, saya tentu diminta untuk selalu ikut "bergabung" mengurusi manajemen kedua sekolah ini sehari-harinya meskipun saya masih berstatus mahasiswi. Banyak hal yang saya pelajari mengenai masalah-masalah pendidikan. Salah satunya mengenai pola pikir masyarakat terhadap sekolah yang dinamakan "Sekolah Negeri".

Sekolah Negeri pada dasarnya penyelenggaraannya diadakan oleh dan atas dana Pemerintah, mulai biaya pembangunan gedung, penyediaan fasilitas, belanja ATK, listrik, telefon, gaji guru dan karyawan yang semua adalah PNS. Di negara lain pun sekolah negeri adalah milik pemerintah dan semua dana berasal dari pemerintah. Sekolah swasta dibangun untuk membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak bangsa, membantu menyediakan daya tampung, membantu mengurangi Anggaran Pengeluaran/Belanja Pendidikan.

Karena dibiayai pemerintah, seharusnya (seperti negara maju lain), GRATIS/ BEBAS BIAYA bagi semua siswanya. Kalau pun kita harus membayar, tidaklah besar jumlahnya, sekedar membantu kesejahteraan guru atau pengembangan SDM dan siswa atau operasional seadanya.

Sekolah swasta, memerlukan banyak biaya yang datangnya dari pemilik sekolah. Tidak heran apabila untuk bisa menikmatinya, siswa harus membayar sejumlah biaya yang besarnya bervariasi tergantung keadaan sekolah. Sekolah swasta hadir untuk melayani masyarakat dari yang berpenghasilan rendah menengah sampai yang tinggi. Sekolah Negeri seharusnya ditujukan bagi siswa dari keluarga yang berpenghasilan KECIL, baik berintelegensia tinggi sampai yang biasa saja! Sementara bagi mereka yang berpenghasilan tinggi, diharapkan masuk ke sekolah-sekolah swasta!

TAPI APA YANG TERJADI?! Semakin hari semakin bisa kita lihat, dan diantara Anda pasti ada pula yang merasakan, bahwa saat ini justru sebagian besar masyarakat berpola pikir "NEGERI MINDED"..

Apa pula istilah itu? "NEGERI MINDED" adalah pola pikir yang terbentuk dalam benak masyarakat, baik kaya maupun miskin, yang menganggap bahwa sekolah negeri is the best, is everything, so proudly. Akan sangat membanggakan apabila anak-anak mereka bisa diterima di sekolah negeri.

Pola pikir semacam itu terasa kental sekali pada masyarakat yang akan memasuki jenjang pendidikan khususnya SLTP dan SMU! Bahkan yang di universitas sekalipun! Semua orang berbondong-bondong menyerbu kesana. Termasuk yang kaya sekalipun! Bangku yang seharusnya diisi semua siswa yang kurang mampu, ikut diperebutkan oleh mereka yang mampu secara finansial.


Keadaan lebih diperburuk dengan adanya KOLUSI dan NEPOTISME. Kami menemukan di lapangan, banyak sekolah negeri yang rela disogok jutaan rupiah agar bisa masuk (Rp 5-10 juta seperti kenyataan yang kami temukan di lapangan dengan SPP sekitar Rp 150.000,-)! Yang resmi dikenakan uang masuk sekitar Rp. 2-3 juta per siswa! Padahal uang Rp 2-10 juta itu bisa digunakan untuk bersekolah di swasta yang notabene fasilitasnya lebih lengkap.

Nah, kalau sekolah negeri penuh orang tua berpenghasilan tinggi, lalu akan pergi kemana mereka yang tak berpunya? Sekolah mana yang tersisa buat mereka? Swasta? Semurah-murahnya swasta lebih mahal daripada Negeri. Akankah kita sekalian tega membiarkan mereka sudah jatuh tertimpa tangga pula?

Saya ingat perkataan ibu,"Kalau orang tuanya tukang bakso, anaknya boro-boro jadi juragan bakso, yang ada jadi lebih buruk dari tukang bakso! Boro-boro mau lebih maju, sekolah saja tidak dapat tempat!" Alasan klasik, kebanyakan mengatakan bahwa mutu pendidikan sekolah negeri lebih baik. Siapa bilang? Lihatlah kenyataannya, sekolah swasta elit di Jakarta, seperti Pelita Harapan, Al Izhar, Santa Ursula, dll, lulusan mereka hampir semuanya bagus-bagus. Bahkan kalau NEM ujian UAN dipakai indikator, justru nilai tertinggi seringkali diraih mereka.

Saya imbau Anda semua yang berpenghasilan cukup untuk menyekolahkan anak Anda ke sekolah swasta. Berikanlah kesempatan bagi mereka yang kurang beruntung untuk bisa ikut menikmati pendidikan. Dengan demikian Anda turut secara nyata membantu proses pencerdasan bangsa ini. ***

*)Tulisan ini dimuat pada Teachers Guide edisi No.06 Vol.2 Tahun 2008

Tidak ada komentar: