Inklusi
Mengajarkan Pemahaman Pubertas pada
Siswa Berkebutuhan Khusus
Upaya Penuh Keharusan
Jika anak-anak Special Needs (SN) beranjak remaja, sekitar usia SMP, mereka juga akan mengalami masa puber. Sama seperti individu normal yang tidak mengalami hambatan perkembangan, mereka akan mengalami perubahan emosional, fisik, dan sosial.
Perubahan emosi pada anak SN cenderung lebih sulit. Minat mereka terhadap lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan, sehingga tidak ada informasi yang jelas tentang itu. Atau sebaliknya, mereka justru menarik diri dari pergaulan, karena tidak mampu menterjemahkan bagitu banyak “pesan tersirat” dan “aturan sosial” yang membingungkannya.
Cerita Ibu Budi, Koordinator ortopedagog SMP Mutiara Bunda, Bandung, menjadikan kita tersadar, bahwa anak-anak SN memerlukan penguatan luar biasa untuk menjadikan mereka dapat bersikap secara patut, utamanya menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam siklus hormonalnya.
Untuk siswi SN perempuan, menginjak usia SMP tentu saja akan mengalami menstruasi. Alih-alih mengerti mengapa menstruasi terjadi, dan bagaimana harus memakai pembalut, Cinta (bukan nama sebenarnya), malahan –maaf- melambai-lambaikan pembalut dan ditempelkan ke dahinya.
Sedangkan Ade (juga bukan nama aslinya), berlaku onani (maaf) di kelas. Mereka tetap mengalami gejala pubertas seperti halnya siswa normal lainnya. Hanya saja mereka tidak memahami, apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana harus menata diri.
Jika mereka merasa “naksir” lawan jenisnya, anak-anak SN remaja ini akan mendekat, kadang memeluk siapa yang dia sukai. Demikian juga dengan siswa SN laki-laki, saat mimpi basah terjadi di sekolah, dia cuek’ aja melihat celananya basah.
Perilaku mereka memang sering tidak pantas dan memalukan. Misalnya menggaruk alat kelamin, menanggalkan pakaian, melakukan masturbasi, dimanapun saat libidonya timbul. Anak SN memiliki hambatan komunikasi, berperilaku dan memahami norma sosial.
Persiapan Pedagog
Juni lalu, diadakan sebuah pelatihan untuk orang tua dan Guru siswa berkebutuhan khusus. Drs. Hidayat, Dipl., S.Ed., MSi, konsultan ahli pendidikan Inklusi, dan Prof. Juke R. Siregar M.Pd, staf pengajar fakultas Psikologi Unpad menjadi nara sumber.
Menurut para narasumber, dapat disimpulkan ada tiga aspek yang perlu diajarkan.
Pertama, pentingnya pemahaman konsep diri, termasuk konsep keluarga, dengan membuat pohon keluarga sebagai alat bantu visual.
Kedua, pengenalan lokasi umum (mall, dapur, kendaraan umum, ruang kelas,dll) dan tempat yang bersifat pribadi seperti kamar tidur, kamar mandi, wc umum, yang semuanya privat dan dalam keadaan pintu tertutup.
Ketiga, mengajarkan perlindungan diri, melalui konsep lingkaran sebagai salah satu strategi agar anak dapat melindungi dan membela diri. Pentingnya menjaga ruang pribadi dan ruang pribadi orang lain. Personal space ini berupa lingkaran maya yang bisa disimulasikan , misal radius berukuran minimum sepanjang lengan anak.
Selanjutnya anak juga diajarkan memahami keberadaan mereka dalam komunitas, mengenali siapa saja yang ada di kelompok terdekat yang boleh dicium, dipeluk, dan siapa saja yang cukup disapa dengan jabat tangan. Kenalkan lingkaran terluar, yakni orang yang dikenal, melalui pengajaran visual, dengan menggunakan gambar, miniatur benda, simulasi konkrit, bermain peran, dan adegan film.
Dengan begitu anak SN akan mudah memahami konsep yang abstrak ini. Cara menyampaikan perubahan seksual ini memang harus ekstra hati-hati dan sabar. Sampaikan berulang-ulang. Gunakan bahasa sederhana, pendek, jelas dan mudah dipahami. *** TG
*) Arfi D. Moenandaris adalah chief of editor majalah Teachers Guid, praktisi pendidikan, pembicara, dan konsultan pendidikan. Ia dapat dihubungi melalui email: arfi_tcguide@yahoo.co.id
Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.
September 24, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar