September 24, 2008

Paradigma

Geliat Sekolah Negeri

di Tengah Biaya Tinggi

Gejolak harga yang mengangkasa yang dipicu oleh naiknya harga BBM, menyurutkan banyak orang tua yang akan melanjutkan studi buah hatinya ke sekolah swasta pilihan. Mahalnya biaya pendidikan di sekolah swasta, disinyalir menjadi salah satu pemicu.

Namun ada yang menarik disimak. Rintisan sebagai sekolah bertaraf internasional dengan SBI nya di sekolah negeri, ternyata menjadi daya tarik luar biasa bagi orang tua yang awalnya sudah memilih sekolah dengan wacana pemerdekaan pendidikan, sebuah wacana yang saat ini hanya bisa dijumpai di sekolah swasta dengan paradigma baru.

Sekelompok orang tua, ayah-ayah, ibu-ibu, ada yang sudah setengah baya, tapi ada pula yang masih rada ”kinyis-kinyis”, tampak mengerumuni papan pengumuman di sebuah SMP Negeri. Putra-putri mereka adalah lulusan dari SD swasta yang cukup ternama. Perbincangan mereka yang utama adalah soal nilai kumulatif rata-rata UASBN, yang baru pertama digelar di tingkat SD.

Pak Indra, ayah dari Bunga, tidak menemukan SMP yang sekualitas SD nya si Bunga. ”Daripada meneruskan di sekolah swasta yang ”biasa-biasa saja”, mendingan saya pilih sekolah negeri tertentu yang kabarnya sudah banyak kemajuannya”. Demikian alibi Pak Indra.

Perubahan atau Trend

Prosedur pendaftaran di sekolah negeri adalah ”tinggi-tinggian NEM”. Artinya, kecerdasan majemuk menjadi tidak terapresiasi dengan baik.

Kenyataan ini tak dihiraukan oleh banyak orang tua. Mereka seolah lupa dengan pandangan dan pemahaman yang selama ini sudah mereka miliki, di tengah perubahan paradigma pendidikan baru, yang tidak hanya menjunjung tinggi nilai dan angka sebagai panglima, namun lebih pada pembentukan karakter dan pengembangan konsep diri.

Pak Riki dari Sekolah Islam Al Fikri di Depok, Jawa Barat, mensinyalir, minat orang tua meneruskan ke SMP negeri, dipicu oleh tiga hal. Yang pertama, pesona SBI atau sekolah berstandar internasional, yang menjadi daya pikat sekolah negeri rintisan. Kedua, masih kuatnya paradigma angka atau nilai lulusan, agar nantinya memudahkan masuk ke Universitas Negeri, dengan alat ukur seleksi melalui testing. Ketiga: ”Ya faktor biaya itu, meski ini masih asumsi saya ya,” kata Pak Riki, yang dihubungi melalui telefon, pada hari-hari orang tua sibuk mencari sekolah pilihan.

Soal SBI itu

Alasan mereka mendaftarkan anak ke sekolah negeri, terindikasi oleh adanya motivasi akademis yang kental. Simak cerita Mama Henny. Putra sulungnya, Ikram, mendaftar ke SMP go international di Kebayoran Jakarta Selatan. Dengan biaya yang relatif terjangkau, putra mereka bisa merasakan layanan sekolah bertaraf internasional, meski masih terbatas pada pemahaman dan ketrampilan berbahasa Inggris yang lebih banyak dibanding sekolah reguler biasa. Lima mata ajar disampaikan dalam bahasa Inggris, dan buku-buku paketnya keluaran Singapura. Oh ya, juga karena sekolah itu sudah mendapatkan sertifikat ISO

Mama Henny tinggal di daerah Ragunan, dan berkecimpung di sebuah Yayasan pengembangkan kualitas Guru, sesungguhnya merasa eksklusifisme ini kurang egaliter. Di tengah lingkungan keluarga dan rumah, Ikram diajarkan untuk berlatih menghargai kesederhanaan. Ikram sekolah diantar sepeda motor..

Lain lagi cerita Ibunda Restu, yang pernah tinggal di Jepang, dan menamatkan sekolah dasar swasta di Depok yang cukup bergengsi. Bunda Restu memilih fasilitas yang lebih memadai, ber-AC, menggunakan multi media, jumlah siswa ebih sedikit daripada yang reguler. Menurutnya, fasilitas berbanding lurus dengan kemajuan. Perubahan wajah di sekolah negeri ini cukup dapat memikat Bunda Restu yang sesungguhnya sangat paham dengan perbandingan sekolah konvensional dan sekolah active learning.

Ibu Lilis, ibu dari Bima yang lulusan SMP AL Azhar Bekasi, memilih SMA Negeri dengan alasan mencari sekolah yang terbukti dapat mengantarkan lulusannya lolos perguruan tinggi secara rombongan (karena saking banyaknya yang masuk ). Sudah menjadi tradisi, bahwa SMA Negeri pilihannya selalau menelurkan lulusan super, yang tembus perguruan tinggi ternama macam UGM, UI dan ITB. Ketika ditanya, apakah memilih SMA Negeri karena murah, Bu Lilis yang modis menolak wacana itu: ”Wow, di SMA pilihan saya bayar uang masuk dan spp nya juga mahal,” katanya.

”Sekolah itu sudah memilih bibit unggul. NEM nya sangat tinggi. sekolah tinggal memoles saja. Mau dikasih materi apa juga hayuk, wong dasarnya sudah pinter-pinter,” jelas Bu Lilis yang asli Yogya dengan nada bangga. Mhh... Bu Lilis hanya menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri selepas dari TK, SD, SMP swasta pilihan, agar anaknya mendapatkan pembelajaran yang menyenangkan.

Sedangkan Ibu Indra, mama dari Sandra, memberi alibi yang canggih. Dia merasa, putrinya telah mengenyam pendidikan dasar dengan sentuhan individual yang baik. Kini, Sang mama ingin anaknya melihat kehidupan yang lebih kompleks, yang lebih majemuk. Masuk ke sekolah negeri disinyalir akan meningkatkan kompetisi, meski tanpa sentuhan privat seperti di sekolah sebelumnya.

Namun hasil temuan kami secara acak menunjukkan, faktor biaya yang relatif lebih ringan, bahkan di SMP Negeri di Jakarta cenderung gratis, adalah alasan mutlak yang pada akhirnya mereka kemukakan. Perihal kebangkitan dan peningkatan mutu sekolah negeri, konon bukti-buktinya belum sepenuhnya mereka lihat. Dari cerita-cerita kebanyakan orang tua yang sudah masuk ke sekolah negeri, yang paling menonjol perbedaannya adalah pada proses HOW TO atau CARA pengajaran.

Jadi, benarkah serbuan ke sekolah negeri di tahun ajaran ini berdasar geliat kemajuan sekolah Negeri? atau sesungguhnya itu hanya alibi untuk menutupi tingginya biaya pendidikan yang makin meroket di sekolah partikelir, yang kurang dapat dijangkau oleh sekalangan orang tua? Rasanya harus dilakukan survey dan observasi yang lebih mendalam.** TG

*) Arfi D. Moenandaris adalah chief of editor majalah Teachers Guide, praktisi pendidikan, pembicara, dan konsultan pendidikan. Ia dapat dihubungi melalui email: arfi_tcguide@yahoo.co.id
Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.

Tidak ada komentar: