Paradigma
Sekolah Negeri dan Swasta,
Apa Bedanya Sih?
Kalau Anda sempat, cobalah bikin data kecil-kecilan. Tanyakan pada siswa atau orang tua siswa yang lulus dari sebuah sekolah swasta, yang lanjut ke sekolah negeri. Buatlah perbandingan dari sisi yang ringan-ringan saja. Apa saja yang tampak beda? Betulkah geliat sekolah Negeri sudah menyentuh sampai pencermatan karakter dan potensi unggul siswa, seperti halnya layanan yang diunggulkan oleh sekolah swasta?
Mami Maria, Ibunda dari Keysa, 12 tahun, baru lulus SD. Sang Mami paham betul dunia pendidikan, karena sehari-hari menjadi konsultan Riset & Development sebuah sekolah ternama.
Melihat kesiapan Keysa selepas SD, yang tampak cukup konsisten secara tata emosi dan konsep diri, Mami memutuskan untuk memasukkan Keysa di SMP Negeri yang konon favorit.
Sebuah SMP negeri di bilangan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan menjadi pilihan, meski jarak tempuh sedikit jauh. Sekolah ini tampak sangat tertata, bersih, lay out sekolahnya juga enak. Tampak ada upaya membuat sekolah menjadi nyaman.
Sebelumnya Mami sempat menemui wakil kepala sekolah, berbincang megenai segala hal. “Sebuah awalan yang baik, karena tak setiap sekolah negeri mau menerima calon orang tua siswa untuk berbincang seperti halnya di sekolah swasta,” kata Mami.
“Dari diskusi kami, saya cukup melihat sebuah dinamika pengajaran yang dilakukan di SMP ini. Wakasek itu mengatakan bahwa sekolah ini tidak melihat hasil saja, namun mencermati seperti apa input awal, kemudian dilihat dalam prosesnya. Jika sudah tampak kemajuan dan grafik yang meningkat, itu berarti sekolah ini sudah melakukan proses pengajaran. Hmmm………sebuah pemahaman yang nampaknya sederhana, namun inilah sesungguhnya esensi sekolah yang benar,” lanjut Mami.
Tujuh minggu kemudian....
Hari-hari beranjak sudah, sejak Keysa resmi menjadi siswa di SMP Negeri dengan predikat SSN, Sekolah Standar Nasional itu. Mami cukup arif mengamati perkembangan proses belajar. Setiap hari dibincangkan apa-apa yang terjadi di sekolah, kadang diselingi dengan gelak tawa ibu anak yang tampak kompak itu.
Mami cukup menahan diri, dengan tidak serta merta membandingkan keadaan sekolah Keysa sekarang dengan di SD nya, yang juga memiliki tingkat SMP, yang active learning. “Dari awal juga saya sudah mempersiapkan diri saya, agar tak terlalu menuntut keadaan dan layanan yang sama dengan sekolah sebelumnya,” kata Mami dengan manis.
Namun cerita Keysa dalam sebulan ini, tak ayal sering membuat Mami tercenung di malam-malam setelah putrinya tertidur. “Emmmm…….ternyata kondisinya masih seperti puluhan tahun lalu, masih konvensional. Meski secara fisik dan kasat mata sudah nampak berubah, namun hal-hal yang menyangkut komunikasi dan mind set pengajaran masih ajeg saja.”
Cerita Keysa makin mendebarkan ...
”Hampir setiap guru ngabsen anak setiap harinya. Panggil nama satu-satu gitu. Kemarin waktu perkenalan, kita disuruh maju. Ada temenku cowok yang memang tubuhnya tak terlalu standar, masak dibilang sama guru: ”eh..kamu, berdiri donk!”, padahal temenku itu udah diri di depan. Hmm... Gurunya aja bullying gitu,” cerita Keysa suatu hari pada Mami.
”Hampir semua Guru ngasih pelajaran dengan cara mendikte, kadang kita disuruh nyalin dari papan tulis. Hanya Guru PKN yang nggak minta kita nyatet. Tapi kita disuruh diem dengerin. Begitu bel bunyi jam 07.15, langsung buka buku,” cerita Keysa dengan seru, di meja makan saat santap malam bersama.
”Memangnya nggak ada omong-omong pembuka dulu gitu, atau games penyemangat Key?" tanya Mami. ”Ya nggak lah. ...,” jawab Keysa enteng.
”Oh ya, aku sudah nggak bisa ikut ekskul basket, Mi. Udah telat,” lanjut Keysa.
”Lho.. kan belum ada edaran soal ekskul?” tanya Mami.
”He..he...Mami, emang kayak di SD ku dulu, apa-apa diberitakan tertulis,” jawab Keysa sambil angkat bahu.
Di suatu sore, ”Mi, guruku koq nggak ada yang nanya-nanya secara lebih deket ke aku ya. Dulu, wali kelasku kan tahu persis keadaanku, perasaanku, sampai hobyku kan ya Mi,” kata Keysa setengah bertanya.
”Hey hey, ya iya lah......, di SD kan muridnya cuma 25 sekelas. Sekarang temenmu kan 40. Mana sempat Gurumu nanya-nanya.” Giliran Mami yang angkat bahu.
Perbedaan Itu .....
Cerita Mami Maria dan Keysa di atas dapat kita renungkan secara konteks pengajaran di tengah perubahan paradigma saat ini. Mestinya semua sekolah, semua guru, tak beda negeri atau swasta, dapat menyikapi perubahan demi kesiapan siswa memenangkan masa depannya di zaman Globalisasi.
Guru yang bullying terhadap muridnya, cara ngajar yang tak tersentuh quantum teaching, komunikasi ke orang tua yang tak mulus hingga sentuhan siswa yang kering. Kalau mau ditelusur lagi, pastilah masih akan ada sederet kekurangan.
Adakah benar, sekolah negeri telah menggeliat? Serbuan peminat yang membludak tahun ini ke sekolah negeri, disinyalir tak mampu menampung lulusan SD. Bahkan siswa yang semula di sekolah swasta bagus pun, berlomba menjajal keunggulan sekolah negeri, sembari mengadu NEM.
Kenyataan yang dihadapi Keysa, masih akan berkisar tentang CARA Mengajar Guru, antara lain:
1. Guru yang tahunya hanya menghukum secara fisik. Jika nilai ulangan siswa di bawah 6, maka siswa diwajibkan push up atau scot jump.
2. Siswa yang tak bisa menjawab pertanyaan, dijewer kupingnya.
3. Siswa wajib memakai sepatu merek (jenis) tertentu.
4. Guru PLKJ, yang sesungguhna materinya sangat menarik, ternyata menyampaikannya dengan membaca teks. Anak diminta DIAM MENDENGARKAN.
5. Guru TIK, yang hanya bisa marah manakala siswa tak paham. Sementara Guru hanya bicara saja di depan kelas.
Inilah kenyataannya. Perubahan paradigma bergulir, namun geliat sekolah menengah negeri (tertentu) yang kini diserbu, sayangnya tak banyak yang melakukan transformasi.
Sekolah boleh berbenah secara fisik, dan berlabel sekolah standar nasional. Namun cara mengajar Guru dan peraturan yang sehari-hari dikenakan kepada siswa nyatanya masih berkutat pada gaya yang itu-itu saja.** TG
*) Arfi D. Moenandaris adalah chief of editor majalah Teachers Guide, praktisi pendidikan, pembicara, dan konsultan pendidikan. Ia dapat dihubungi melalui email: arfi_tcguide@yahoo.co.id
Note: Artikel ini telah dimuat di majalah Teachers Guide Volume II Edisi No.6, 2008.
September 24, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar