Upaya Pembekalan Siswa Melalui Pembelajaran Abad 21Bu Pandu gelisah. Sudah sebulan ini dia resah. Sebagai pemilik sekaligus manajer sekolah, Bu Pandu sangat peka dengan denyut kemajuan sekolah, mulai dari kemajuan siswa, kekompakan guru, keluhan orang tua, hubungan dengan tetangga sekolah hingga lalu lalang kemajuan ilmu pendidikan yang kini makin mengerucut ke arah nilai-nilai moral dan ketrampilan hidup.
Kegelisahan Bu Pandu sangat beralasan. Sepuluh tahun sudah, sekolah yang mengusung pemerdekaan pendidikan berlangsung dengan dinamis. Jumlah siswa, jalinan kerjasama, pengakuan pihak lain makin meningkat. Demikian juga dengan jumlah Guru yang terus mengalami pertambahan.
Bu Pandu yang selalu menempatkan diri secara egaliter dengan para Guru kini makin terbantu dengan para senior teacher yang sudah diangkatnya menjadi kepala-kepala divisi dan koordinator level. Namun kepekaan, sensitivitas, kecermatan pada kemajuan ilmu, serta ide futuristik agaknya belum berhasil Bu Pandu tularkan pada para punggawanya. Feeling itu sulit diterjemahkan. Mekanisme kaderisasi tak semudah teori. Jasa layanan sekolah memang unik dan multi dimensi, karena semua yang dilayanai harus mendapat perHATIan yang privat.
21st Century Content
Kegelisahan Bu Pandu kali ini dipicu demi melihat performa siswa yang tampak kurang patut. Sampah mulai terlihat bertebaran, meski dalam skala kecil. Asumsinya, siswa (dan Guru) mungkin tak memungut sampah yang terlihat dan otomatis memasukkan ke keranjang-keranjang sampah yang ada. Pun ketika ada tamu sekolah datang, para siswa terlihat tak perduli. Celetukan bernada bullying makin kerap terdengar.
“Wah… ada yang miss nih,” bisik Bu Pandu pada dirinya sendiri. Segera ia mengumpulkan para kepala divisi dan koordinator untuk mendengarkan keluhan dan rasa yang biasanya disampaikan Bu Pandu setiap hari Senin.
“Saya fikir ada missing link. Coba kita cermati lagi lesson plan guru. Lihat pula silabus dan parents letter yang berisikan rencana pembelajaran. Dari situ lah bisa terlihat apa gagasan yang ada di kepala para Guru."
“Jangan terjebak pada target akademis semata. Coba seimbangkan lagi dengan nilai-nilai moral dan school beliefs yang sudah ada. Ingat, penting menjadikan anak pandai. Tapi lebih penting lagi menjadikan mereka anak yang baik. Tidak mengada-ada koq. Saya coba cermati kembali uraian penjelasan di lembar KTSP, di UU Sisdiknas, dan berbagai referensi yang sudah menandaskan pentingnya ketrampilan dan sikap siswa menghadapi era global ini.” Begitu Bu Pandu.
“Coba kalian lihat bagan ini,” Bu Pandu menggelar bagan yang berisi potongan setengah lingkaran, yang menampilkan konten pembelajaran yang mendesak disikapi melalui program dan aktivitas di luar kurikulum baku.
“Kurikulumnya tetap dengan KTSP. Namun harus dikembangkan materi life skill, thinking skill, ICT literacy. Dan satu yang paling mendesak, adalah materi abad 21 atau 21st century content. Kita bukan latah atau sekedar ikut tren. Namun inilah esensi pendidikan kini yang terus bergerak mengikuti perkembangan jaman dan ilmu pengetahuan. Ilmu tentang leadership, eksistensi dan hakekat manusia, NLP, dan spiritual, kini menyeruak dan memikat. Dulu kita hanya bisa berwacana mengenai kecerdasan emosional. Kini semua itu lebih jelas dan sangat dekat dengan pendidikan, tepatnya dalam keseharian pembelajaran di kelas-kelas,” panjang lebar Bu Pandu menjelaskan.
Para Guru tampak mahfum, mengangguk – tersentuh akan hati pimpinannya yang ‘super woman’ itu.
“Kalian pelajari ya. Ada jabaran yang sangat gamblang ditulis oleh Eileen Rachman, konselor ternama. Beliau menjabarkan bakat-bakat emosional yang bisa diamati sejak kecil, yakni:
1. Penyabar dan mampu menahan/mengendalikan diri
2. Mudah beradaptasi dengan lingkungan, memiliki inisiatif dan kreatif
3. Peduli pada teman dan saudaranya
4. Mandiri dan bertanggung jawab
5. Memiliki empati yang besar dan bisa memahami perasaan orang lain, mampu menyelesaikan konflik, pandai bergaul dan bersahabat, bisa mempengaruhi orang lain dan berkomunikasi dengan nyaman
6. Mempunyai cita-cita dan impian, optimis, percaya diri, gigih, ulet, memiliki dorongan untuk maju, menyukai tantangan dan suka dengan hal-hal baru.”
“Nah, keenam hal di atas coba kalian terjemahkan menjadi pelajaran abad 21. Tak perlu membebani atau menambah jam belajar. Integrasikan saja dalam mata pelajaran inti, namun dengan memikirkan aktivitas dan program. Ini yang sering disebut sebagai hidden curriculum, yang bisa menjadikan mutu sekolah berbeda-beda. Paham kalian? Ada yang mau ditanyakan?”
Pak Kris, kepala divisi kesiswaan angkat tangan, “Apa benefitnya jika kita
mengajarkan ini, Bu?”
“Kemampuan dan ketrampilan itulah sesungguhnya yang akan mengantarkan siswa pada keberhasilan hidup di masa datang. Memang faktor lingkungan dan keluarga akan berpengaruh. Namun setidaknya kita bisa memberi dasar. Gagal memiliki kemampuan dan ketrampilan ini, akan menggagalkan semua tujuan-tujuan hidup, meski seorang siswa memiliki kecerdasan intelektual sangat tinggi. Ratusan fakta dan testemoni telah membuktikan. Kita sendiri pun bisa merasakan, betapa nyaman dan menyenangkan berinteraksi dengan orang dengan kemampuan ketrampilan hidup seperti di atas. Ada yang pintar tapi menyebalkan, hmmmm….. nggak ngenakin! Iya kan!”
“Lebih lanjutnya kalian perhatikan lagi jabaran ini ya,” pinta Bu Pandu, kini
dengan membuka layar dan LCD nya melalui netbook mininya yang keren.
“21st century content juga memuat materi tentang kesadaran global dan up to date news. Ketrampilan keuangan, ekonomi, bisnis, entrepreneurship, kesadaran kesehatan, kesejahteraan, dan warisan budaya. Semua itu akan lebih bermakna jika dihubungkan dengan tingkat spiritual yang akan memudahkan siswa memahami betapa semua ilmu itu muaranya adalah syukur dan ikhlas pada Tuhan,” kembali panjang lebar Bu Pandu memandu para calon penerusnya.
“Oke. Ini tak mudah. Tapi kalian tahu, kini saatnya sekolah mencerna dan mengaplikasikan wacana ini menjadi pembelajaran keseharian,” tandas bu Pandu bijak.
“Dari mana kita memulainya,Bu?” tanya bu Kinta, koordinator level.
“Saya akan bantu untuk melihat silabus. Kalian bantu saya mensupervisi lesson plan Guru. Dulu kan kita pernah meminta mereka memasukkan nilai-nilai kehidupan (values) yang sesungguhnya sudah termaktub dalam school beliefs, yang meliputi dimensi keTuhanan dan kemanusiaan.”
“Nah, saya lihat, lesson plan Guru sudah mulai ‘lari’ dari kontekstual. Jadikan tema sebagai pengikat. Buka lagi tata berfikir model UbD (Understanding by Design) yang menuntun kita membuat essential question, sebagai tolok ukur kebermaknaan.”
“Misalnya, ketika tema makhluk hidup, pada materi Agama Islam, terkandung kompetensi dasar tata cara sholat. Indikator yang kalian tulis jangan hanya ‘siswa mampu melakukan gerakan sholat dengan benar; siswa mengenal bacaan sholat’. Bukannya hal itu keliru, namun tidak menghujam pada akar masalahnya, mengapa kita sebagai makhluk hidup harus sholat? Ini bisa dicari dari ‘8 gagasan besar’ atau menggunakan pendekatan 5W+1H, atau memakai six thinking hat dari Edward de Bono. Kita sudah pernah bahas ini, meski tak mendalam. Mari kita telaah lagi," ajak bu Pandu sambil menyerutup coffee latte kesukaannya.
“Kita akan ketemu lagi minggu depan. Saya harap kalian sudah membawa kertas kerja berisi gagasan-gagasan hebat. Saya akan upayakan segera memanggil konselor yang akan membimbing kita memahami setiap tema yang dijabarkan dengan pendekatan spiritual. Terimakasih ya. Kapan pun ada gagasan, jika tak ketemu saya, silakan kirim melalui imel saya.’’
Selepas sore, wajah Bu Pandu sudah sumringah kembali. Dia sudah mengeluarkan
uneg-uneg dan kegelisahannya.
Dalam doanya di malam hari, Bu Pandu memohon: “Ya Allah, berikan kemudahan hamba bertutur, agar mudah lisan ini, dan mudah orang lain memahami maksud hamba”. TG
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569