November 13, 2009

DARI GURU NYASAR MENJADI GURU BENAR


Mengajarkan Siswa Memiliki Karakter yang Baik!
Sebuah Kritik untuk para Guru.


Halo para Guru, Anda berada di mana? Menjadi GURU DASAR, GURU NYASAR, GURU BAYAR atau GURU BENAR?

Pada sebuah pelatihan pembentukan karakter yang dilangsungkan oleh Yayasan SiMAk Bangsa (Sinergi Membangun Anak Bangsa) di Hotel Sultan Jakarta, seratusan Guru mengikuti paparan Mashuri, seorang ‘Guru Benar’ asli Sidoarjo.

Konteks ini disambungkan dengan persoalan hancurnya kejujuran bangsa, yang sangat tampak melalui pelaksanaan Ujian Nasional yang dipenuhi tidakjujuran mencengangkan. Meski kini banyak terdengar sekolah mengadopsi nilai-nilai character building (CB), alih-alih menjadikan siswa berperilaku patut, sering hanya sebatas jargon ‘jualan’ sekolah agar tampak up to date.

Kriktik Pak Mashuri yang penampilannya ‘sangat guru’ -kurus, rambut belah pinggir, kemeja agak kebesaran (ini pengakuan sendiri lho), sangat mendasar. Mashuri membongkar komitmen dan keberadaan eksistensi Guru : mau jadi Guru Dasar, Guru Nyasar, Guru Bayar, atau Guru Benar? Banyak peserta mesem-mesem, mengukur diri ada di posisi mana ya saat mendengar uraian Mashuri.

Guru Dasar. ”Sejak lahir sudah ada ‘cap’ di kening kelak menjadi Guru. Guru adalah cita-cita sejak kecil. Ditempuhnya jurusan kependidikan. Secara fisik, biasanya berpostur kurus kecil, rambutnya belah pinggir, sederhana, ada aura Guru memancar. Meski sudah berpetualang jadi pegawai, kerja serabutan, caleg, pilihan akhirnya kembali ke sekolah.”

Guru Nyasar. “Tidak bercita-cita jadi Guru, terpikir pun tidak. Latar belakang tak bersentuhan dengan keguruan. Yang terpikir justru: ‘orang pandai tak ada yang mau jadi Guru!’. Nyasar masuk IKIP gara-gara tak diterima di PTN pilihannya. Ini nyasar, tapi di jalan yang benar! Ketika akhirnya mengajar di muka kelas, ia meluruskan niat sejalan dengan waktu.”

Guru Bayar. “Nah, mereka ini sibuk menghitung bayaran. Bisa saja sukses berkarya jadi Guru, namun tergantung besaran bayaran. Golongan ‘pas bandrol’, datang-pulang sesuai jam. Sering juga mencuri jam pulang guna ‘nyambi’. Kalau ketambahan tugas, berhitung antara waktu dan doku. Waktu tersedot les anak-anak, hingga tak cukup belajar. Karena ’itung-itungan’, rejekinya pun dipas-paskan Tuhan yang juga ikut berhitung. Jika ikhlas jadi Guru, sesungguhnya Tuhan membuka pintu rejeki dari jalan lain – berjodoh orang kaya, tinggal di mertua indah...” Selorohnya.

Guru Benar. ”Meski awalnya nyasar-nyasar, ia kemudian bergerak menuju Guru Benar. Di sekolah saya, semua guru dibina menjadi guru benar. Guru wanita, misalnya, perlu tahu persis kapan jadwal menstruasi siswa wanita. Bila perlu Guru menyediakan sampoo dan handuk agar bisa berhadas besar dan ikut olahraga. Guru model ini selalu berusaha memberi yang terbaik. Penampilannya baik, tak lugu. Cenderung malah vokal memperjuangkan sesuatu. Niatnya lurus, dan merasa BAHAGIA menjadi guru.” Demikian pesan Pak Mashuri.

Pendidikan Karakter
dan Persoalan Bangsa

Karakter bangsa lahir dari karakter sekolah, yang dilahirkan oleh karakter kelas. Ketika kekalahan perang melanda negaranya, seorang presiden AS John F Kennedy mengatakan: “What's wrong with our classroom?”

Kalah perang disinyalir berawal dari persoalan di ruang kelas. Seorang anak beruraian air mata mengingat ayah bertugas militer di Irak. Ia sangat kangen. “Seandainya saja semua orang di dunia diajarkan cara menjalankan kehidupan seperti yang diajarkan di A.B.Combs (sebuah sekolah sarat pelajaran kehidupan – seperti yang diceritakan dalam ‘Leader in Me’, Stephen R Covey- red ) pasti ayah saya tak berada di Irak.”

Berkarakter itu hasil dari sebuah proses pendidikan. Apakah sertifikasi Guru bisa menjadi pisau pemotong antara guru baik dan guru tak baik? Mau pilih mana, menjadi guru baik atau guru pintar? Dua-duanya.

Paradigma yang Sengaja Dihancurkan
Menurut Mashuri, jelas ada masalah di sistem pendidikan kita. Kalau ingin anak berkarakter, Guru pun harus berkarakter baik. Apakah Guru disiapkan untuk itu? Masalahnya adalah pada kepribadian dan moral guru.

“Pernahkan ketika akan lulus didoktrin menjadi guru berkarakter? Tak pernah diajarkan! Mestinya selama 4 tahun belajar di kampus, ini digarap! Menjadi karakter guru yang siap mengajar, siap mendidik, siap berdakwah (hal yang benar) dan siap berkembang,” jelas Mashuri.

Untuk mendapat guru yang baik, sekolah harus mendidik sendiri gurunya. Memang tak ada Guru yang siap pakai -- guru pintar saja banyak! Di sekolah hebat, para Guru itu dilatihkan terus-menerus, bukan bentukan produk pendidikan formal atau pemerintah (maaf-red).

Sikap jelek seorang Guru, melontarkan sikap bullying, suka marah, lalu menghukum, membandingkan orang, serta kurangnya rasa peduli, kasih sayang dan kemanusiaan. Jangan jadikan siswa pintar otaknya namun jiwanya gelap! Penampilan jelek guru, busana tak serasi, sepatu berantakan, tampil lesu, mestinya sudah tak ada lagi. Benahi kelas terlebih dulu, sebagai wadah melesatkan potensi siswa. Mutu sekolah adalah mutu guru, BUKAN mutu siswanya.

Terhadap sikap belajar, pada seminar itu pegiat anti bullying Dhiena Haryana menegaskan, seleksi dan perangkingan nilai siswa sejatinya adalah bullying terselubung. Katakan pada siswa “Kamu boleh tak mendapat ranking (jika sekolah masih menganut ranking). Yang tak boleh adalah TIDAK BELAJAR!”

Jangan menghancurkan sikap respek dan kepedulian. Di raport siswa, keterangan ini: “Angka-angka ini adalah indikator sementara. Tak boleh dilecehkan. Jika hasilnya belum seperti harapan, masih banyak potensi penting lain yang perlu diperhatikan.”

Sahabat Guru, renungan ini semoga mendorong membenahi karakter kita agar patut berdiri di muka kelas. Bersiaplah bertranformasi dari Guru Nyasar menuju Guru Benar!TG

Tidak ada komentar: