November 01, 2009

STKIP Kebangkitan Nasional

Gebrakan Sampoerna Foundation Mencetak Guru SMA




















Di tengah banyak keluhan lemahnya kualitas sarjana kependidikan yang disinyalir menjadi belenggu kemajuan pendidikan bangsa, muncul angin segar dari Sampoerna Foundation yang membuka sekolah calon guru hebat bermerk ‘Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan KEBANGKITAN NASIONAL’ (STKIP-KN) atau disebut juga Sampoerna Shool of Education. Terdengar sangat nasionalis dan bertenaga, bukan?

Layaknya sekolah calon guru, STKIP-KN menyediakan seabrek modul bermuatan akademis dan metode mengajar. Dibuka 2 prodi, yakni Bahasa Inggris dan Matematika – dipilih karena kedua mata ajar ini dianggap paling sulit oleh siswa SMA. Begitu kata Ibu Johana Rosalina Kristyanti Ph.D, Direktur Akademik dan Studi di STKIP KN, yang lulusan studi psikologi pendidikan di UNJ, S2 phsycology conseling di St. Clara Amerika Serikat, dan S3 di Australia dengan major Public Health.

Program Bea Siswa
Yang menjadi pembeda, STKIP-KN memberikan bea siswa. Tahun ini diberikan pada 89 mahasiswa, yang terjaring dari seleksi atas 1.200 pelamar. Penerima bea siswa ini direkrut melalui jalur seleksi cukup panjang. Berprestasi akademik tinggi, dan harus dari keluarga kurang mampu. Tim seleksi sengaja berkunjung ke rumah untuk memastikan hal ini.

Harus memiliki passion yang kuat menjadi guru (berbeda dengan kebanyakan mahasiswa keguruan kebanyakan yang kuliah karena ‘daripada tak kuliah’ atau sambil nunggu tes penerimaan mahasiswa negeri tahun depan). Mereka mengikuti sejumlah tes kepribadian, forum group discussion untuk mengukur kecerdasan dan karakter, selain tes bahasa Inggris. Juga dicobakan berdiri mengajar di sekolah-sekolah kumuh, agar terdeteksi panggilan mengajarnya.

Terbayang kan, bagaimana ribetnya proses seleksi ini. “Harus demikian, karena bea siswa selama 4 tahun ini tak sedikit. Untuk siswa asal Jakarta, biaya kuliah sekitar Rp168 juta. Luar Jakarta, mendapat living cost (uang saku, sewa kost, uang buku, biaya riset) total sekitar Rp 223 juta perorang,” jelas Agatha Simanjuntak, Public Relation yang road show ke daerah mensosialisasikan program ini.

“Respon mereka awalnya tak pede, ketakutan, mendengar program yang nantinya mencetak guru mengajar secara bilingual. Takut ah,… susah bahasa Inggrisnya, begitu kebanyakan komentar calon,” jelas Agatha.

Diferensiasi Itu
Di Indonesia kini ada 324 lembaga pencetak guru. Negeri yang sedang diguncang banyak bencana ini masih membutuhkan 10.000 guru profesional tiap tahun, dan akan terus bertambah.

Pantas kalau STKIP Kebangkitan Nasional memulai dengan upaya yang berbeda mulai dari perekrutan dan proses pembelajarannya agar tercapai guru yang ideal, yakni:
1. Mengajar bilingual, sesuai prodi
2. Memiliki scientific inquiry dan kebiasaan daya ilmiah tinggi
3. Trampil memanfaatkan multi media ajar, sesederhana apapun
4. Memilki inovasi, kreativitas, dan moral yang baik

Saat acara Inagurasi STKIP-KN, tampak calon guru masih culun-culun, maklum mereka fresh graduate SMU. Selama belajar, ada school advisor yang mendampingi kesulitan akademis,personal maupun sosial.

Setelah tamat nanti, diharapkan mereka matang, dan kembali ke daerah mengajar dengan pola ajar yang bermutu. Berbekal ilmu kependidikan modern dan ilmu-ilmu humaniora, agama, PKn dan pendidikan multikultural serta materi ICT dan moral value yang seimbang, dikawal oleh dosen (semuanya S2 lho dan terlibat dalam komunitas penelitian global), masa depan kualitas calon guru lulusan STKIP-KN ini cukup menjanjikan.

Selepas empat tahun pendidikan, mereka akan menempuh satu tahun pendidikan PPG (Program Profesi Guru) - nantinya PPG disyaratkan secara nasional oleh Depdiknas mulai 2010.

Panggilan Menjadi Guru
Menjadi guru kini tak cukup professional, namun harus tranformasional.Pertanyaan bagi lulusan STKIP-KN yang selama kuliah disentuhkan dengan peradaban modern, mulai dari ruang kelas,perpustakaan, dan taste yang tinggi ini: sanggupkah dalam usia muda mengajar siswa SMA? Dan apakah akan mau mengajar di sekolah negeri dengan gaji biasa padahal disiapkan untuk mangajar di sekolah internasional, minimal sekolah berkelas? Maukah digaji ala guru biasa?

Dalam forum group discussion, para siswa telah dikondisikan kehidupan riil bahwa menjadi guru tak banyak uang, tak sekeren kerja kantoran, tak terlalu prestise, dan sebagainya. “Mereka yang lolos dari ketakutan masa depan ini kami harapkan memang sudah ingin jadi guru sejak awal. Ada yang sudah diterima di UI tapi tetap memilih di STKIP KN,” kata Johana Rosalina Kristyanti Ph.D.

Semoga bukan karena beasiswa meninggalkan UI, namun memang lantaran panggilan yang kuat di jalur profesi guru. Semoga menjadi guru yang berperilaku baik -- tak lagi kita lihat kerumunan Guru mengikuti seminar di hotel berbintang lantaran berebut sertifikat, atau berebut makanan (maaf-red), serta kerepotan tak terbiasa memakai toilet kering seperti yang kita temui di berbagai forum pelatihan besar.

Dalam hal kompetititor, Sekolah Keguruan lain tak usah merasa tersaingi. Konon STKIP-KN terbuka untuk bekerjasama. “Kita harus bergandengan tangan kalau mau maju,” pendapat Bu Rosa.

Hal lain, akankah lulusan mendapat apresiasi yang patut dari sekolah tempat mengajar kelak? Prof.Dr. Paulina Pannen, ketua STKIP KN berujar, “Yesterday is history, today is story, tomorrow is mystery….”.

Jadi? “Ya ingat saja lah. Menjadi guru itu keindahannya adalah ketika
kita mengabdi,” pesan Bu Rosa menutup perjumpaan kami. TG

STKIP Kebangkitan Nasional
Ph. (021) 5772275


*)Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Tidak ada komentar: