November 13, 2009

Bu Jemima dan Bu Kunti


Best Practices dalam perbandingan teknik mengajar seni budaya

Seorang Guru, sebut saja Bu Jemima (bukan nama sebenarnya), 43 tahun, belum menikah. Menjadi Guru sejak usia 23 tahun selepas sekolah tinggi keguruan bidang Bahasa Indonesia. Kini menjabat wali kelas sebuah SMP Negeri di bilangan Jakarta Selatan dengan predikat SSN (Sekolah Standar Nasional).

Mengajar seni budaya adalah tugas wewenangnya saat ini, di samping Bahasa Indonesia, untuk kelas VIII. Seni, sebuah materi yang sesungguhnya sarat dengan pembentukan karakter siswa, mulai dari ketrampilan, kreativitas, ketekunan, pengembangan ide, pencarian referensi, dan segudang muatan pengembangan otak kanan.

Alih-alih menyenangkan hati siswanya, Bu Jemima yang sering berdandan ala tante Sun (berblazer, rok span mengecil sebatas betis, alis bak bulan sabit dan pemerah bibir merona, berjalan dengan payung sebagai tongkat), kerap menimbulkan kecut hati siswanya yang mulai beranjak remaja.

“Saya nggak suka kalian cekakak cekikik selama pelajaran saya.” Begitu sering komentarnya. Dan berikut sejumlah komentar lainnya yang ’menarik’ untuk dicatat:

”Hari ini kalian menggambar pola batik seperti yang Ibu contohkan, dan kalian harus memberi warna menggunakan cat air. Ingat dengan cat air! Tidak yang lain!”

“Keluarga saya tuh semuanya pinter-pinter, nggak ada yang dungu kayak kalian”.
”Biasanya saya ngajar di kelas unggulan. Tahun ini saja saya apes, saya ditunjuk jadi wali kelas yang anaknya ndableg keras kepala) seperti kalian!”

”Lihat anak-anak OSIS itu. Hampir semua adalah bekas anak didik dimana saya jadi wali kelasnya. Coba saja lihat Andi Mikail yang semua pekerjaannya serba rapi dan cepat. Tidak seperti si Brian Tifani yang pemalas”.
(sementara Brian ada di kelas itu terlihat nyengir kuda)

”Lha… Diah, ini gambar batikmu koq jelek bener. Berantakan! Gimana sih kamu.”

“Saya ini jahat lho. Dari luarnya saja kelihatan baik. Nanti kalau sudah saya tegur, dan tak ada perbaikan, saya bisa nggak kasih nilai!”

Ancaman, hardikan, teguran, dan bullying yang dilancarkan Bu Jemima full didasari dan disadarinya sebagai bentuk motivasi. Dia sangat yakin dengan beliefs yang
ada pada jiwanya, bahwa siswa hanya bisa diperbaiki dengan kata dan kalimat perbandingan yang telak.

Kekonyolan ini berlangsung belasan tahun. Nah, apa yang terbenam dalam memori anak? Apa yang bisa diharapkan dari sebuah pelajaran seni yang seharusnya menjadi tempat siswa merasa dua tambah dua tidak harus empat? Bagaimana mau mendukung kesadaran
ekonomi kreatif jika apresiasi seni saja terjebak pada ranah kognitif?

Perbandingan Mengajar
Di saat bersamaan, tak jauh dari tempat Bu Jemima mengajar, tersebutlah sebuah sekolah tanpa label. Siswanya tak sebanyak SMP Negeri tentu saja. Pemandangan menyenangkan tertangkap. Bu Kunti (nama samaran), dengan busana casual sopan. Aromanya wangi lembut. Senyum selalu tersungging.

Jebolan universitas kependidikan bidang seni ini menghidupkan suasana belajar seni dengan hook atau scene setting yang menggairahkan. Siswa diminta untuk memberi ekspresi yang sesuai setelah melihat tayangan slide yang sudah dia persiapkan.

“Seni akan membuat hidup kalian lebih indah. Kalian bisa saling memberi semangat dan menghargai pekerjaan orang lain. Tak ada karya yang jelek. Semua karya dapat diapresiasi melalui berbagai sudut penilaian. Ibu tak akan menggunakan nilai, melainkan dengan narasi dan kesempatan berpameran bagi yang lebih produktif. Ada yang mau memberi usul?” Kalimat Bu Kunti menggelinding bagai harmoni di kelas yang sibuk dengan aneka ungkapan dan celotehan siwa.

“Oke class, kini silakan membuat sketsa dengan alat apa saja yang kalian mau. Tema kali ini adalah ‘komunikasi’. Sekarang silakan berpasangan, dan berikan cerita atau komentar mengenai kemajuan komunikasi dewasa ini. Apa yang kalian tangkap dan rasakan, itu yang kalian gambarkan melalui sketsa. Silakan bekerja.”


Sebentar kemudian terdengar musik klasik mengalun pelan dari tape recorder sederhana. Bu Kunti pun berkeliling melihat kelompok siswa. Sesekali terlibat dalam diskusi dengan salah satu siswa. Tangannya pun tampak terampil memainkan pinsil 2B nya pada kertas besar yang ditempelnya di papan tulis.

Baru beberapa bulan mengajar, sudah banyak karya dihasilkan. Semua terpampang di papan display. Di samping karya terdapat kertas komentar untuk menampung apresiasi dari teman lain. Setiap hari adalah mencari kebaikan teman. Dan siswa dilatih untuk memberi apresiasi melalui tulisan. Sesederhana apa pun itu.

Nah para Guru, bagaimana Anda membandingkan dua Guru seni ini? Ketika tulisan ini dibuat, kejadian itu baru berlangsung sekitar seminggu sebelumnya. Artinya, bukan di zaman dulu yang konon penuh tekanan dan ancaman. Saat ini pun masih sejibun sekolah menyimpan Guru dengan perangai dan mind set yang sungguh tak patut ala Bu Jemima. Tentu saja kita tak akan membiarkan hal ini berlangsung berkelanjutan bukan?

Best practices akan mendokumentasikan hal-hal yang terbukti efektif
berlangsung selama pengajaran. Kumpulkan cerita nyata yang bisa dikomparasikan, agar mudah terlihat best practice nya. Apapun alibinya, proses belajar Bu Jemima hanya akan mengantarkan siswa pada kebencian pada bidang seni. Bukan hanya itu. Dalam waktu singkat, siswa mengalami pelecehan mental yang sama sekali tak akan berdampak positif.

Ayo! Jangan menjadi Bu Jemima-Jemima yang baru. Kalau Anda merasa pernah melakukan meski dalam perspektif yang berbeda, segeralah bertobat pada Tuhan, dan jadilah bu Kunti-Kunti yang akan memberi pengayaan pada siswa. Di sinilah nilai-nilai dan karakter itu ditumbuhkan. Persembahkan pekerjaan kita sebagai pengajar pada anak bangsa di bumi pertiwi yang elok bak batu manikam. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Tidak ada komentar: