Saya menyarankan , pemerintah membuat alternatif SMP bagi siswa dengan kategori lamban belajar. Berupa sekolah kejuruan setingkat SMP, berisikan ketrampilan -ketrampilan praktis yang dibutuhkan masyarakat. Begitu pula untuk tingkat SMA.
Pendidikan kita belum melihat siswa sebagai individu yang unik atau berbeda. Selama Indonesia merdeka sampai era reformasi (sekitar 53 tahun), praksis pendidikan nasional baru sampai ke masalah kuantitas, belum menyentuh peningkatan kualitas. Kebijakan pemerintah masih pada tahap pemerataan pendidikan. Sekolah Dasar dibangun besar-besaran, agar anak Indonesia usia 7-12 tahun memperoleh akses luas untuk belajar ke sekolah. Guru pun direkrut secara instan melalui program diploma dua tahun pendidikan guru sekolah dasar (PGSD).
Kebijakan ini berjalan terus sampai di suatu titik, tahun 1988, kita menyadari bahwa ada yang kurang beres dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Di saat kita bersibuk diri dengan masalah pemerataan pendidikan dan wajib belajar 6 tahun, dunia luar ternyata telah jauh memikirkan ke depan perubahan yang akan terjadi dan kompetensi apa yang dibutuhkan bagi individu untuk bersaing.
Sekarang kita berada di abad XXI, millennium ketiga yang lebih kompleks; sebuah peradaban di mana ilmu pengetahuan (knowledge) sebagai suatu kekuatan baru. Inilah wujud perekonomian global setelah depresiasi sumber daya alam besar-besaran di dekade 1980-an, di mana manusia tak lagi dapat mengandalkan sumberdaya alam (SDA) seperti tanah, mineral, minyak bumi, dan hutan. Manusia kini mengandalkan kemampuan berfikirnya, otaknya, menjadikan pengetahuan sebagai basis baru bagi kesejahteraan bangsa (Zuhal, 2008).
Perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge based economy) mematahkan pendapat sumber daya alam sebagai landasan dari ekonomi (resourced based economy). Sebenarnya sejak dua dekade lalu Alvin Toffler (Powershit,1990) mengingatkan hal ini. Toffler menyebutkan, pengetahuan akan memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Jenis pertumbuhan ekonomi tak lagi bergantung pada otot, tapi pada otak.
Sejalan dengan Harrison dan Hutington (Culture Matters: How Values Shape Human Progress, 2000), hanya pendidikan yang dapat menjadi strategi bertahan dan menang, menentukan kemajuan dari setiap masyarakat, negara, dan bangsa baik ditinjau dari sisi politik, sosial, maupun ekonomi.
Fakta masih rendahnya peringkat Indeks Daya Saing Pertumbuhan, rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia serta gambaran keluaran tertinggi pendidikan nasional masih didominasi pada tingkat Sekolah Dasar, sebagai suatu persoalan lantaran kurang dilibatkannya ilmu psikologi dalam dunia pendidikan nasional kita secara keseluruhan.
Reformasi pendidikan Indonesia, melalui penataan peraturan – yakni UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional- masih belum tuntas, belum menyentuh hal yang substansial, belum meneropong siswa sebagai seorang individu yang unik.
Kita belum belajar dari hasil pendidikan nasional 100 tahun pertama Kebangkitan Nasional. Persoalan pendidikan bukan hanya masalah fisik seperti gedung sekolah, sarana prasarana, kurikulum, laboratorium, perpustakaan, dan lain sebagainya, namun juga menyangkut peserta didik sebagai subjek.
Karakter pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya belajar, budaya, ekonomi belum dieksplore lebih dalam. Justru di sini letak masalah yang kita hadapi dengan skor-skor indeks yang dikeluarkan lembaga internasional tersebut.
Dalam praktek, sudah banyak sekolah menggunakan jasa psikolog. Sekurang-kurangnya menjelang tahun ajaran baru melalui biro psikologi atau kantor konsultan psikologi, sekolah menyelenggarakan pemeriksaan psikologis bagi calon siswa baru.
Biasanya, hasil pemeriksaan psikologis berupa psikogram digunakan untuk melihat besaran skor IQ (intelligence quotience), skor CQ (creativity quotience), dan skor TC
(task commitment) yang dijadikan dasar untuk seleksi calon siswa program percepatan belajar (akselerasi).
Ada juga sekolah yang hanya membutuhkan besaran skor IQ untuk menyeleksi calon siswa program sekolah bertaraf internasional (SBI). Dan terbanyak adalah untuk membantu penjurusan siswa SMA IPA/IPS/Bahasa, dan ke Perguruan Tinggi.
Namun peran psikolog di sini masih di luar lingkaran sekolah, hanya sesuai pesanan alias ‘tukang tes’. Kompetensi lain yang dimiliki psikolog masih belum digunakan, terjadi pemubaziran ilmu. Padahal psikotes tak sekadar mengetahui besaran skor IQ, banyak hal dapat diketahui dari pemeriksaan psikologis itu. Saya meyakini sekolah membutuhkan psikolog yang dapat memahami dan menindaklanjuti hal-hal yang ada dalam psikogram.
Saya menganjurkan, jika ada kesempatan revisi UU Sisdiknas No. 20/2003, psikolog harus dimasukkan sebagai salah satu unsur tenaga kependidikan. Dengan memiliki tenaga psikolog di dalam sekolah, mudah membantu siswa yang bermasalah sedini mungkin.
Psikolog Pendidikan mempelajari hal-hal tentang prevalensi seperti ADHD, kesulitan belajar, dyslexia, gangguan bicara, serta gangguan ketidakmampuan seperti keterbelakangan mental, cerebral plasy, epilepsy, dan buta.
Psikolog dapat membantu orangtua lebih memahami kondisi keseluruhan yang ada dalam diri siswa, untuk memilih intervensi pendidikan yang lebih tepat guna mengoptimalkan potensi baik siswa.
Psikolog Pendidikan mempelajari perkembangan sosial, moral dan kognitif anak. Ia dapat memahami karakteristik pembelajar usia sekolah, usia remaja, usia dewasa muda, dan usia dewasa madya serta usia lanjut, karena ia memiliki wawasan tentang perkembangan manusia.
Di samping itu, seorang Psikolog Pendidikan mampu melihat perbedaan individual seperti kecerdasan, kreativitas, gaya belajar, dan motivasi. Karakteristik berbeda di setiap siswa memerlukan tantangan berbeda dalam pembelajarannya.
Psikolog Pendidikan mampu meriset untuk melihat tingkat minat, tujuan pribadi, dan pendapat mereka tentang sebab sukses atau kegagalan mereka. Seorang Psikolog Pendidikan diharapkan mampu membangkitkan motivasi siswa.
Psikolog Pendidikan juga menguasai aplikasi desain instruksional dan teknologi, sistem tutoring intelijen yaitu suatu sistem komputer yang menyediakan umpan balik kepada manusia tanpa intervensi manusia, berbagai metoda belajar mengajar seperti belajar kooperatif (cooperative learning), belajar kolaboratif (collaborative learning), belajar berdasarkan masalah (problem based-learning) dan penggunaan
komputer untuk mendukung belajar kolaboratif.
Psikolog Pendidikan membantu mengumpulkan informasi bagi Guru dan orangtua ketika siswa mempunyai masalah akademik atau perilaku. Mereka menolong mengevaluasi kemampuan berfikir siswa dan melakukan pemeriksaan psikologis dari sisi kekuatan dan kelemahan siswa. Bersama-sama, Guru, orangtua, dan psikolog pendidikan memformulasikan rencana untuk menolong siswa belajar lebih efektif.
Psikolog Pendidikan bekerja sebagai konselor dan juga dapat mengevaluasi kepantasan dari program akademik, prosedur manajemen perilaku dan pelayanan lain di
sekolah.
Di Amerika Serikat, psikolog pendidikan/sekolah merupakan salah satu jenis pekerjaan yang paling cepat berkembang dengan pertumbuhan 26%. Satu dari empat psikolog bekerja dalam setting pendidikan. Sementara di Indonesia kebanyakan psikolog terserap di dunia industri.
Pekerjaan sebagai psikolog pendidikan/ sekolah belum popular. Hanya sekolah-sekolah swasta papan atas yang telah menggunakan jasa psikolog pendidikan/sekolah.
Di sekolah, kita banyak temui siswa yang stres, putus sekolah, atau salah tempat. Persoalan ini dari perspektif psikologis berkait erat sekali dengan adanya individual differences, sehingga bila stress terjadi itu adalah normal disebabkan ketidaktepatan antara kapasitas intelektual siswa dengan jenis sekolah, antara kapasitas intelektual dan tuntutan pekerjaan, antara minat dan jenis pekerjaan yang dihadapi.
Dalam klasifikasi taraf kecerdasan, ada taraf yang disebut slow leaner (lamban belajar). Siswa dalam taraf ini, tentu saja tak cocok di sekolah regular maupun SLB. Taraf kecerdasannya masih sedikit lebih baik dari anak-anak keterbelakangan mental di SLB. Namun tempo kerja mereka lamban memahami pelajaran, juga tidak membuat mereka sesuai dengan siswa biasa. Kalau kesemuanya disatukan, yang terjadi adalah rasa frustasi. Siswa yang memiliki taraf kecerdasan jauh lebih baik, bisa tak termotivasi dalam mengikuti kelas.
Sebaiknya anak-anak dengan kategori slow learner ini memiliki jenis sekolah tersendiri agar harga diri dan kesehatan mental mereka terjaga. Fenomena anak slow learner cukup banyak terjadi di sekolah-sekolah. Kalau saja ada 52,9 juta anak usia sekolah (BPS,2006) –maka jika 22,5%nya tergolong IQ 70-89 diperkirakan ada 10,5 juta anak usia sekolah tergolong slow learner.
Mereka ini sangat sulit menamatkan jenjang Sekolah Dasar sekali pun. Kalau pun tamat SD, anak mengulang kelas beberapa kali, dan amat rendah kemampuan dasar calistung (membaca, menulis, berhitung).
Melihat daya saing SDM Indonesia dan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang juga masih jauh ketinggalan dengan negara serumpun sekalipun, sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang pendidikan formal yang ada.
Pendidikan formal (wajar 9 tahun) hanya tepat untuk anak dengan taraf kecerdasan rata-rata (IQ 90-109) Skala Wechsler. Padahal secara statistik, diasumsikan mereka yang mampu tamat SD berjumlah 45%, mampu tamat SMP 22,5%.
Saya menyarankan, pemerintah membuat alternatif SMP bagi siswa dengan kategori lamban belajar. Berupa sekolah kejuruan setingkat SMP, berisikan ketrampilan-ketrampilan praktis yang dibutuhkan masyarakat. Begitu pula untuk tingkat SMA, siswa yang memiliki potensi kecerdasan yang hanya rata-rata atas, sebaiknya diarahkan masuk SMK, agar nantinya terserap di dunia kerja. Tak perlu masuk universitas, cukup melanjutkan ke program vokasional, dan menjadi spesialis dalam bidang minatnya.
Bagi siswa dengan taraf kecerdasan I45 ke atas (Skala Wechsler) bisa diproyeksikan terus belajar sampai jenjang setinggi-tingginya ke negeri –negeri yang memiliki reputasi dalam sains dan teknologi. Mereka yang berbakat ademik ini harus dipersiapkan sebaik-baiknya menjadi SDM unggulan untuk menghadapi perubahan besar di masa depan. Siswa berbakat intelektual tinggi (highly gifted) seharusnya diarahkan dalam pendidikan yang berbasis iptek. Menurut Zuhal (2008), ada lead time yang panjang bagi siswa untuk mencapai tahap dalam menguasai pengetahuan dan teknologi.
Untuk membantu mewujudkan semua di atas, perlu dibangun peran psikolog dalam sistem pendidikan nasional. Saya membayangkan akan ada pemeriksaan psikologis besar-besaran pada peserta didik. Mungkin secara bertahap dulu di tingkat SMP, karena saat ini sudah banyak tersedia SMK meski pun masih perlu lagi banyak dipersiapkan SMK-SMK dengan jenis yang lebih spesifik agar tiap lulusannya dapat berkiprah di dunia kerja dengan merasa berhasil. Rasa keberhasilan, kebahagiaan ini pada gilirannya akan memperkuat kesehatan mental seseorang.
Dan yang jelas, individu akan memiliki pengakuan (harga diri) dari luar berupa imbalan atas hasil karyanya. Berarti, dengan bekerja sesuai kompetensi, akan membuat jumlah angka pengangguran berkurang. Dan ini berarti akan menaikkan daya saing bangsa.
Pemeriksaan psikologis di tingkat SMP juga akan membawa APM untuk SMA menjadi tinggi, karena pemerintah hanya mengerahkan siswa yang mampu melanjutkan SMA dan diproyeksikan akan berhasil menamatkan pendidikan tingginya.
Jadi dengan adanya psikolog di sekolah, khususnya di Sekolah Dasar dapat mengarahkan anak dengan pilihan pendidikan dan karier yang tepat. Tidak harus semua anak SD masuk SMP, karena kapasitas intelektual kurang sekali IQ 70-90. Jika mereka tak diarahkan ke sekolah kejuruan setaraf SMP, bagai buah simalakama. Jika putus sekolah dan langsung bekerja sebagai buruh atau tenaga kasar, maka upah yang diperoleh pun rendah.
Pada suatu masa Drost (2000) menyatakan kefrustasiannya bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia tempat semua anak harus mempunyai kemampuan intelektual yang sama. Semua perguruan tinggi di Indonesia amat tidak puas dengan mutu lulusan SMA. Mengapa? Ternyata yang layak lulus UMPTN hanya sekitar 10%, lainnya diluluskan
karena ada tempat.
Dan ini juga berlaku untuk perguruan tinggi swasta. Yang ditolak perguruan tinggi bermutu, lari ke ratusan PT swasta yang mau menerima mereka. Maka, sebagai contoh, nilai rata-rata dan yang diterima di UI adalah 7,8%, sedangkan di sebuah PTN di luar Jawa hanya 4,9%. Akibatnya, yang gugur secara nasional di PTN 85%, dan masuk di PTS 90%.
Pesan yang ingin disampaikan, adalah sistem sekolah saat ini belum mengakomodasi kebutuhan suksesnya generasi muda di masa depan. Di sisi lain, pendidikan bagi anak berbakat intelektual tinggi harus khusus. Mereka ini tulang punggung masyarakat berbasis pengetahuan.
Psikolog sekolah dapat melatihkan ketrampilan berfikir kreatif, kerjasama, pemecahan masalah, dan lainnya. Keberadaan psikolog sekolah sebagai tenaga kependidikan di sekolah, akan lebih mengoptimalkan kualitas keluaran pendidikan nasional di masa depan. TG
Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi.
Disarikan dari pidato pengukuhan
sebagai Guru Besar Tetap
Ilmu Psikologi Pendidikan pada
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
Juli 2009.
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569
Tidak ada komentar:
Posting Komentar