November 30, 2009

STANDAR SEKOLAH, PENENTU POSITIONING


Beragam upaya peningkatan kualitas sekolah dilakukan untuk mencapai hasil proses belajar mengajar yang maksimal. Tidak hanya pada ranah manajemen kelas, metode, perkembangan anak, lesson plan, dan beragam urusan layanan pengajaran saja. Kini brand atau merk menjadi penting, berkaitan dengan kompetisi dan eksistensi serta posisioning yang ditargetkan.

Pemerintah telah menetapkan sebuah standar, yang dimaksudkan untuk mendorong sekolah agar senantiasa meningkatkan kualitas dan standar. Diawali dengan kategori Sekolah (dengan) Pelayanan Minimal (SPM), seterusnya ada Sekolah (ber) Standar Nasional (SSN), dan Sekolah (rintisan) Berstandar Internasional (SBI).

Tingkatan ini didahului dengan pelaksanaan akreditasi sekolah yang akan menentukan posisi sekolah berada di klasifikasi A,B,C, atau D. Dahulu kita kenal dengan sebutan Terdaftar, Diakui, Disamakan. Semua penetapan itu tentu akan berimplikasi pada bentuk komunikasi publik.

Pentingkah standar sekolah sebagai komunikasi publik?
Berdasar teori manajemen marketing, penetapan standar adalah sebuah positioning. Sekolah pun harus menempatkan eksistensinya pada posisi yang tepat. Setiap segmen memiliki ke khas-an yang patut dipelajari demi keberlangsungan sekolah.

Dilihat dari sisi karakteristik konsumen, ada istilah 6-O, yakni object (apa yang dibeli); objective (mengapa membeli); occupant (siapa konsumennya); occasion (kapan membeli); operation (bagaimana membelinya); organization (siapa yang terlihat dalam pembelian).

Sekolah dapat mencermati tiga O saja, yakni : objective, occupant, dan organization untuk menggunakan standar sekolah sebagai komunikasi publik.

Objective adalah alasan memilih. Ada yang memilih sekolah di perguruan Islam karena mencari pendidikan agama, atau alasan sekolah yang sudah pengalaman dan memilki jaringan luas. Tujuan konsumen memilih sekolah sangat kuat dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomis, dan psikologis. Pembicaraan tentang sebuah sekolah antara orang tua di tempat gaul bergengsi, akan menjadi pertimbangan kuat orang tua lain, dibanding menelaah secara cermat proses pembelajaran dan hakekat pengajaran.

Occupant adalah model perilaku konsumen berdasar tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, mobilitas, dan selera. Hal ini harus diperhatikan, karena setiap segmen memiliki standar layanan yang berbeda. Sekolah berlabel kurikulum internasional tak geming dengan standar nasional yang diyakini masih jauh di bawah standar internasional. Bahkan mereka akan cenderung mempertanyakan, mengapa sekolah publik menjadi latah ikut menggunakan label ‘internasional’, di saat guru dan pengelolanya masih menggunakan mind set usang.

Organization, melihat keputusan pemilihan dari pihak yang terlibat. Seorang bapak secara tegas memilihkan anaknya harus masuk sekolah berlabel SSN. Sementara di keluarga lain, keputusan anak lebih diperhatikan, meski alasannya hanya lantaran di sekolah itu banyak teman.

Orang tua memilih sekolah dengan perilaku yang berbeda. Tidak tidak sama seperti membeli jasa lain yang proses pembeliannya tanpa perencanaan atau impulse buying. Sekolah berbeda dengan produk/jasa lain. Karena itu, kurang tepat jika promosi sekolah dilakukan di pusat perbelanjaan atau mall. Masyarakat akan menentukan pilihan atas dasar pertimbangan yang tidak tergesa gesa.

Menempatkan positioning sekolah dalam standar yang dibutuhkan masyarakat adalah tugas manajemen sekolah. Lakukan pertemuan antar bidang. Membidik calon siswa berarti membedah perilaku dan karakter orang tua. Untuk itulah, standar sekolah dirasa perlu untuk menembak jitu sasaran. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569

Tidak ada komentar: