Nikmatnya menjadi Kepala Sekolah Indonesia di Sekolah Internasional
Berbekal pengalaman menjadi Kepala Sekolah di sebuah SMP di bilangan Cimanggis, Jawa Barat, Capri Anjaya, perempuan energik dan cerdas, kini menjadi kepala sekolah SMP dan SMA Sekolah Tiara Bangsa-ACS International, di wilayah Bantar Jati, Setu, Cipayung Jakarta Timur.
Setelah melahirkan putra pertamanya, sesungguhnya Bu Capri tak hendak bekerja. Dia lebih ingin menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Namun suatu hari, di sebuah koran ibukota termuat: ‘dicari seorang kepala sekolah’ dengan persyaratan a,b,c,d, dst. Lamaran pun dilayangkan tanpa harapan berlebih.
Dari sekurangnya 80 kandidat, Bu Capri, demikian dia disapa, maju dengan pe-de nya. Sepulang dari test pertama, sang suami bertanya: “Gimana?” “Aduh, saya nyesel,” keluh Bu Capri. “Kenapa?” tanya suaminya lagi. “Kalau tahu sekolah sebagus itu, saya mestinya belajar dulu sebelum tes!” kenangnya saat ditemui di salah satu ruang di Sekolah Tiara Bangsa Anglo Chinese School STB ACS International).
Singkat cerita, Bu Capri terpilih dan menjabat sebagai kepala sekolah Indonesia, di samping ada kepala sekolah ‘bule’, yang saat itu dibedakan antara urusan Guru Indonesia dan Guru asing.
Banyak pihak di kalangan sekolah lokal maupun Diknas setempat mengenal Bu Capri dengan baik, yang dapat menjembatani komunikasi dan kerjasama sekolahnya penyanyi Sherina (sewaktu di bangku SMP) itu dengan pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih banyak tentang proses belajar di Tiara Bangsa. Ini yang membedakan STB dengan sekolah international lain yang terkesan sangat tertutup terhadap sekolah publik, karena alasan keamanan dan ketertiban.
Cakap, gesit, smart, bergairah, menarik. Sosok Bu Capri kemudian melejit menjadi pemimpin sebuah sekolah internasional yang kondang di tengah kemajuan pendidikan bertaraf internasional di negeri ini. Berdampingan dan duduk sama tinggi dengan pimpinan sekolah dari negara asing tak menjadikan Bu Capri rendah diri. Meski diperlukan standar kompetensi tinggi, Bu Capri dapat menjalani hari-harinya sebagai pimpinan dengan nyaman.
“Saya menikmati pekerjaan dengan rileks. Hidup hanya sekali. Tak perlu dibawa susah. Kalau sudah baik, saya pertahankan, jika belum sempurna, saya perbaiki,” katanya tersenyum.
Bu Capri mengaku sangat berbahagia melihat siswanya dapat mengerjakan projek dan tugas dengan wajah berbinar. Kebahagiaan dan nikmatnya melakoni pekerjaan ini diperkuat dengan tersistemnya jenjang karir yang lebih rapi. Jalan-jalan ke Singapore tiap tahun mengikuti founders day, ke Bali tiap tahun untuk acara leadership forum. Seringkali ada kegiatan personal development di dalam dan luar negeri,Bu Capri pula yang dikirim. Kalau ada camp untuk siswa, kadang bu Capri ikuti.
Hidupnya mengalir. Allowence yang bagus dinikmatinya bersamaan dengan beasiswa bagi ketiga buah hatinya di Sekolah Tiara Bangsa. Kepe-de an bu Capri membuatnya tak merasa pernah di-underestimate oleh rekan bulenya. “Entah di belakang saya… haa….ha…ahaa..," tawanya tergelak. “Kebanyakan sih selama ini justru kasih pujian....” Wow!!
“Saya belajar banyak dari posisi saya, dengan team kerja yang majemuk. Ketepatan dan disiplin waktu, cara menggelar sebuah acara, dan bagaimana cara memperlakukan orang lain, merupakan hal-hal penting yang saya pelajari dari teman - teman berkewarganegaraan asing,” urai Bu Capri.
“Jangan pernah merasa rendah diri. Kita mampu koq. Penguasaan bahasa hanya salah satu keharusan. Selebihnya adalah kecakapan dan konsep diri yang kuat. Bekerja keras, menjadi diri sendiri dan tak lupa bersenang-senang,” begitu prinsipnya. Bu Capri mau dan mampu melakukan layanan terbaik.
Di sela kesibukannya, Bu Capri sering terlibat menjadi trainer di seminar dan workshop. Kesibukan terakhirnya adalah mensosialisasikan program bea siswa bagi kelas X (kelas I SMA), yang bebas biaya pendidikan selama 3 tahun, ke berbagai sekolah umum. Program beasiswa ini sudah masuk tahun kedua, yang angkatan I diraih tiga siswa, masing-masing dari SMP Marsudirini Bekasi, SMP Kanisius, dan SMP 49 Jakarta Timur.
Kalau kita perhatikan orang asing bekerja dengan etos yang sungguh-sungguh, seimbang dengan kehidupan bersenang-senang. Di tingkat lokal, mungkin kita sering terdoktrin dengan nasehat peribahasa ‘berakit-rakit ke hulu, berenang renang ke tepian-bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian’.
Untuk menjadi senang tak usah menunggu apapun. Lakukan seiring dengan pekerjaan dan perjuangan yang sedang dilakukan. Hasilnya akan lebih baik.TG
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 09 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 021 68458569
Tidak ada komentar:
Posting Komentar