Dengan banyaknya training, seminar, dan workshop, seakan terkesan guru menjadi penyebab kurang berhasilnya pendidikan.Hemat penulis, guru hanyalah salah satu dari berbagai faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor lain diantaranya orangtua, lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah, televisi dan media massa, buku bacaan, kemampuan ekonomi keluarga, dan dukungan pemerintah.
Yang paling mendasar, adalah pendidikan di lingkungan keluarga (orang tua), yang selama ini kurang disentuh. Coba bandingkan, sudah ribuan guru ikut training, tapi berapa orangtua ikut parenting (bimbingan) pendidikan?
Orangtua siswa yang memiliki pengetahuan dan pendapatan minim, tampak orang tua kurang memperhatikan putra-putrinya dalam belajar. Masih banyak keluarga yang hanya pas-pasan makan, tak ada untuk pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya. Meski sekolah gratis, bukan berarti mereka tidak memerlukan biaya lainnya. Mereka hanya paham, bahwa anak mereka sekolah. Itu saja! Bahkan sekolah gratis kurang disambut respon positip orang tua. Malahan ada siswa yang berhenti! Sang orangtua tak berbuat apa-apa. Ketika ditanya, alasannya si anak ingin istirahat, tak mau sekolah. Ada apa ini?
PENGARUH KELUARGA
DAN TELEVISI
Waktu siswa di sekolah hanya 5-6 jam, selebihnya ia ada di lingkungan rumah. Kalau pengaruh lingkungan lebih kuat, karakter anak mengikuti bentukan lingkungan itu. Seandainya watak lingkungan sudah terbentuk, sulit sekolah (guru) mengubahnya.
Apalagi pengaruh program televisi yang tidak mendidik. Teve berpe¬ngaruh sangat kuat membentuk karakter anak, lantaran hampir setiap hari anak ‘belajar’ dari teve. Peme¬rintah dan KPI harus tegas melarang tayangan-tayangan yang dapat menghancurkan karakter anak.
Di sisi kebijakan, Ujian Nasional yang menjadi syarat kelulusan siswa, juga sangat tidak sesuai dengan kurikulum 2006 (KTSP). Kegiatan pembelajaran yang berpendekatan proses yang dinilai setiap hari, kini dinilai hanya dalam tiga hari waktu ujian. Hal ini kurang adil khususnya bagi siswa yang baik kemampuan psikomotorik dan afektif, namun kurang dalam kognitif. Padahal, kemampuan dalam hidup bukan tergantung dari faktor kognitif saja.
Inilah permasalahan pendidikan kita, bagai mata rantai yang saling berhubungan. Penulis mengajak semua komponen dapat bekerjasama untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas. Antara lain dengan saran berikut:
Orang tua berperan aktif untuk selalu membimbing putra-putrinya di rumah, bangun komunikasi antara sekolah, guru, dan tokoh masyarakat di lingkungan. Selalu memberikan teladan (perbuatan atau ucapan). Serta mendoakan agar anaknya menjadi pintar, benar, dan sholeh.
Lingkungan tempat tinggal (RT,RW, tokoh masyarakat) selalu bekerja sama memberikan pendidikan bermasyarakat yang baik. Artinya ada kepedulian masyarakat menghadirkan anak-anak generasi muda berpekerti luhur.
Lingkungan sekolah, dengan semua komponen sekolah, harus memiliki rasa tanggung jawab dan bekerja secara sinergi untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas.
Para pengusaha teve dan media massa sudah waktunya tidak berfikir sebatas keuntungan. Tapi, memikirkan bahaya tayangan/sajian itu bagi anak-anak. Pemerintah harus tegas menyetop tayangan yang merusak mental dan moral anak.
Kebijakan pendidikan jangan dikaitkan dengan masalah politik dan tidak merugikan masyarakat. Ujian Nasional, misalnya, tidak sejalan dengan KTSP yang digunakan sekarang ini.
Jadi jelaslah bahwa keberhasilan pendidikan bukan hanya di tangan guru, juga pada tangan kita semua komponen bangsa. Mari bersama membangun moralitas bangsa. TG
Agus Susanto, S.Pd
Guru SD di Bogor, peserta workshop “Guru Kreatif, Pendidikan Berkualitas”
oleh LPI Dompet Dhuafa, dalam program pelatihan menulis oleh majalahTeachers Guide.
Email: anto_leo2006@yahoo.co.id
*)Tulisan ini termuat pada majalah Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009. Beredar April 2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar