April 29, 2009

THE CHAMPION Kiprah Guru-Guru De Britto sebagai Penulis

Menulislah! Daripada dikasih semangkok mie instan......

Di tengah saling cela, hardikan, teguran, bergantian dengan puji dan sapa, saling menunjukkan kepedulian. Iklim ini yang mendorong Guru SMA Kolese De Britto berbuat sesuatu, yang membangkitkan gairah untuk menulis dan dikirim ke media, dimuat, dan terkenal.

Pernahkah Anda baca tulisan di harian Kompas, di rubrik Opini atau Didaktika? Kalau sempat mencermati, ada sekelompok Guru yang aktif menulis. Mereka selalu menyertakan identitas sebagai Guru De Britto, sebuah sekolah menengah tingkat atas khusus laki-laki.

Untuk dapat dimuat di media, sebuah tulisan membutuhkan persyaratan yang tidak mudah. Perlu proses panjang. Media besar (nasional) memilkiki kriteria tertentu yang cukup alot untuk meluluskan kiriman tulisan.

Nah, kini kita bisa mengenal lebih dekat dengan para Guru yang tampak energik, pede abis, agak arogan tapi sembodo (konsekuen-jw). Semangat juang luar biasa. Mereka bukan sekedar menjadi Guru yang mengajar di depan kelas, melainkan sudah menjadi pribadi menyenangkan yang behasil menemukan jati diri dan potensinya.

Kesulitan, kegetiran hidup, adalah lakon yang mereka pandang sebagai sesuatu yang biasa. Kini mereka mantap menjalani hari-harinya, dengan vaksin semangat, kompetisi dan menjajal tantangan.

ST Kartono (biasa dipanggil Pak Este) :
Tak ada yang baru di bawah matahari. Yang selalu baru adalah bagaimana cara kita melihat segala sesuatu di bawah matahari. Saya sering ‘mengejek’ rekan sejawat untuk melecut diri, mengatasi kesulitan hidup dengan berkarya.

Honor menulis saya pos-kan sebagai sumber pendanaan rutin tiap bulan. Dengan demikian saya selalu terpacu.

Kita ini menjadi Guru, harus tetap merasa sejajar dengan orang tua siswa. Mereka boleh saja memiliki profesi dan jabatan lain yang lebih hebat. Namun Guru jangan merasa ‘terbeli’ . Karena itu bagi yang mau berupaya menulis, jadikan ini sebagai sumber atau pos pendapatan. Daripada kita harus memberi les tambahan di rumah siswa kita sendiri, kadang siswa belum siap, kita nunggu, kalau hujan-hujan paling kita dikasih mie instan… ha…ha…haa..

Hj Sriyanto :
Saya hanya lebih mau jujur pada realita yang dialami teman-teman Guru. Ketika terasa ada sesuatu yang tak pas, ini dia saat melakukan refleksi. Jadilah sebuah tulisan : Siapa Bilang Jadi Guru Gampang. Tulisan salah satu Guru yang dimuat, pagi-pagi sudah ditempel di sekolah. SMS terkirim saling mengucap selamat, meski dengan bahasa yang agak ‘nyinyir’, misal: “ ayo, cepetan cairin duitnya!”. Begitulah gaya mereka. Saling membully, namun tak menyakiti.
Siswa juga bangga pada Gurunya. Jangan sampai mereka melihat Gurunya loyo setelah tanggal dua puluh, saat persediaan menipis…..

Kingkin Teja Angkasa :
Saya punya obsesi kuat agar siswa menghargai Guru. Sudah bukan saatnya rumpi masalah cicilan motor. Tidak up to date lah….

Sumardianta (kerap menjadi pembicara konferensi Guru tingkat nasional) :
Guru yang menulis adalah front office -nya sekolah. Otomatis sekolah mereka juga menjadi terkenal, Guru juga dikenal sebagai kolumnis pendidikan. Sip toh… ngelmu iku ngelakone kanthi laku, yang maknanya adalah: mencari ilmu itu harus dilakukan melalui tingkah laku dan perilaku yang diyakini kebenarannya. Kalau menulis soal kesulitan ekonomi, itu kan keluar dari jeritan hati yang paling dalam. Pasti jadi tulisan yang bagus!

Semua Guru, dengan latar belakang apa pun, mestinya bisa nulis. Mereka kan pelaku. Kalau setelah itu muncul idealisme, hal ini disebabkan esprit de corp (rasa kebersamaan) yang makin kental, yang makin menyuarakan dan membela si lemah, dan mengkritisi si kuat. TG

*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.


Tidak ada komentar: