ENGLISH? Mau ya....
“Udah tua… Bapak ! Nggak bisa lagi ikut-ikut yang begituan!”
“Paling juga angat-angat tai ayam!”
”Bapak kayak nggak tahu aja teman-teman kita di sini! ”Ini sudah pernah dilakukan, Pak! jauh ... dari sebelum bapak datang ke sekolah ini!”
Demikianlah komentar pesimis teman sejawat akan ide saya membenbentuk ”English Club” guru. Rekan guru mungkin beranggapan, di English Club, meski cuma seminggu sekali, akan disibukkan isian grammar dan kosa kata susah, dan hasil akhirnya begitu-gitu saja.
Ada teman sejawat pernah kursus di tempat favorit di Bogor, dibiayai yayasan. Mengadakan 'English Day’ tiap hari Rabu, belajar bersama Sabtu (hari libur, red), dan sebagainya, tetapi hari-hari selepas kursus kembali seperti biasa, ’kegiatan-kegiatan’ itu menghilang begitu saja.
Kesan rekan sejawat ini menjadi ironi bagi sekolah kami, yang adalah sekolah swasta termasuk terbaik dan elit di Bogor, dengan fasilitas cukup memadai plus kepercayaan masyarakat yang tinggi. Hampir seluruh siswa dari Play Group, TK, SD, SMP, sampai SMA dari golongan menengah ke atas.
Pendiri Yayasan memiliki cita-cita luhur dan kepercayaan sangat besar kepada sekolah binaannya ini, beliau mencetuskan untuk dapat meraih Sekolah Bertaraf Internasional pada tahun 2012 mendukung program pemerintah sebagaimana yang dicantumkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional “.
Terlintas di pikiran saya, ide English Club ini lebih mengutamakan ’proses’ nya, yaitu memunculkan miliu berbahasa di sekolah. Miliu...
Yah, ’kata’ inilah yang tidak ada di kalangan para guru dan siswa. Miliu atau kecenderungan sosial sangat penting dalam menerapkan proses pembelajaran. Karena miliu adalah alas motivasi. Coba renungkan, metode pembelajaran bahasa ala pesantren bisa membangkitkan kemampuan berbahasa, mengapa? Ya, karena miliu berbahasa siswa dibangkitkan melalui disiplin. Pelanggar akan mendapat ’hukuman’, baik fisik sampai amanat berat menjadi ’jasus’ atau spy alias mata-mata.
Dalam hal sekolah saya, tak mungkin mengadopsi cara pesantren tersebut. Di sini hanya mencoba mengkondisikan, siapa pun yang masuk lingkungan sekolah akan terbetik dalam pikirnya memasuki lingkungan berbahasa Inggris, dan harus ’memakai’ bahasa Ingris.
Sejatinya ”English Club” adalah salah satu cara termurah membangkitkan miliu berbahasa. Tempat untuk curhat, ngobrol, berbagi pengalaman. Siapa pun yang hadir boleh menjadi tutor. Jika pun ada yang mengajar, istilah kami berbagi informasi. Ketika berdiskusi, tidak ada larangan mengungkapkannya dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah, tapi coba didorong untuk mau aktif berbahasa Inggris. Tak perlu sungkan bila salah.
Dalam klub ini tiap peserta dibebaskan. Mau tahu kalimat atau kata apa, hayo cari bersama-sama (tentu dibantu rekan yang mahir) Mengapa? Karena rasa ingin tahu yang besar lebih memiliki dampak untuk daya ingat yang lebih baik. Yang penting di sini tujuan utama kita adalah miliu... miliu... sekali lagi miliu... untuk mau dan tidak malu berbahasa Inggris.
Untuk siswa, miliu berbahasa Inggris dibangkitkan setelah bertadarrus, membaca al Qur’an dan do’a sebelum memulai pelajaran, dengan cara membentuk komunitas yang setiap hari berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Siswa diminta untuk berbaris berhadapan, kemudian memulai bercakap-cakap yang dia bisa dalam bahasa Inggris. Morning Conversation ini bisa dikembangkan dengan memberikan panduan percakapan pendek, yang boleh dikembangkan siswa sendiri.
Demikianlah, terus berupaya mengkreasikan lingkungan berbahasa akan membangkitkan miliu untuk mau dan bisa berbahasa, baik dengan sendirinya ataupun ’terpaksa’.. Saya yakin, ini sangat membantu memotivasi rekan sejawat untuk kembali (mau) belajar bahasa Inggris, karena belajar-tidak belajar, bahasa tersebut harus dipakai di lingkungan ini sehingga ’motivasi’ pun muncul. Jangan heran nanti akan banyak bermunculan slogan di dinding kelas dan kantor. Percakapan antara guru dan murid pun terdukung maksimal karena miliu-nya telah ada.
Berbagai masalah memang akan timbul. Pertama pada diri guru, dan siswa sendiri. Apakah kurang semangat, tidak serius, masa bodoh, merasa tidak penting, dan lainnya. Kedua, lingkungan sekolah, perlu sarana media audio, visual dan lainnya.
Maka control di sini sangat penting. Semua pihak, guru dan murid bahkan wali murid harus bekerja sama agar ’kegiatan miliu pembangkitan motivasi’ ini menjadi unggulan dari berbagai kegiatan sekolah. Mudah-mudahan harapan sekolah tentang penggunaan bahasa Inggris sebagai media pembelajaran dapat diraih, menjadi kebanggaan masyarakat di mana sekolah ini berada, serta contoh bagi sekolah lain. TG
“Udah tua… Bapak ! Nggak bisa lagi ikut-ikut yang begituan!”
“Paling juga angat-angat tai ayam!”
”Bapak kayak nggak tahu aja teman-teman kita di sini! ”Ini sudah pernah dilakukan, Pak! jauh ... dari sebelum bapak datang ke sekolah ini!”
Demikianlah komentar pesimis teman sejawat akan ide saya membenbentuk ”English Club” guru. Rekan guru mungkin beranggapan, di English Club, meski cuma seminggu sekali, akan disibukkan isian grammar dan kosa kata susah, dan hasil akhirnya begitu-gitu saja.
Ada teman sejawat pernah kursus di tempat favorit di Bogor, dibiayai yayasan. Mengadakan 'English Day’ tiap hari Rabu, belajar bersama Sabtu (hari libur, red), dan sebagainya, tetapi hari-hari selepas kursus kembali seperti biasa, ’kegiatan-kegiatan’ itu menghilang begitu saja.
Kesan rekan sejawat ini menjadi ironi bagi sekolah kami, yang adalah sekolah swasta termasuk terbaik dan elit di Bogor, dengan fasilitas cukup memadai plus kepercayaan masyarakat yang tinggi. Hampir seluruh siswa dari Play Group, TK, SD, SMP, sampai SMA dari golongan menengah ke atas.
Pendiri Yayasan memiliki cita-cita luhur dan kepercayaan sangat besar kepada sekolah binaannya ini, beliau mencetuskan untuk dapat meraih Sekolah Bertaraf Internasional pada tahun 2012 mendukung program pemerintah sebagaimana yang dicantumkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional “.
Terlintas di pikiran saya, ide English Club ini lebih mengutamakan ’proses’ nya, yaitu memunculkan miliu berbahasa di sekolah. Miliu...
Yah, ’kata’ inilah yang tidak ada di kalangan para guru dan siswa. Miliu atau kecenderungan sosial sangat penting dalam menerapkan proses pembelajaran. Karena miliu adalah alas motivasi. Coba renungkan, metode pembelajaran bahasa ala pesantren bisa membangkitkan kemampuan berbahasa, mengapa? Ya, karena miliu berbahasa siswa dibangkitkan melalui disiplin. Pelanggar akan mendapat ’hukuman’, baik fisik sampai amanat berat menjadi ’jasus’ atau spy alias mata-mata.
Dalam hal sekolah saya, tak mungkin mengadopsi cara pesantren tersebut. Di sini hanya mencoba mengkondisikan, siapa pun yang masuk lingkungan sekolah akan terbetik dalam pikirnya memasuki lingkungan berbahasa Inggris, dan harus ’memakai’ bahasa Ingris.
Sejatinya ”English Club” adalah salah satu cara termurah membangkitkan miliu berbahasa. Tempat untuk curhat, ngobrol, berbagi pengalaman. Siapa pun yang hadir boleh menjadi tutor. Jika pun ada yang mengajar, istilah kami berbagi informasi. Ketika berdiskusi, tidak ada larangan mengungkapkannya dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah, tapi coba didorong untuk mau aktif berbahasa Inggris. Tak perlu sungkan bila salah.
Dalam klub ini tiap peserta dibebaskan. Mau tahu kalimat atau kata apa, hayo cari bersama-sama (tentu dibantu rekan yang mahir) Mengapa? Karena rasa ingin tahu yang besar lebih memiliki dampak untuk daya ingat yang lebih baik. Yang penting di sini tujuan utama kita adalah miliu... miliu... sekali lagi miliu... untuk mau dan tidak malu berbahasa Inggris.
Untuk siswa, miliu berbahasa Inggris dibangkitkan setelah bertadarrus, membaca al Qur’an dan do’a sebelum memulai pelajaran, dengan cara membentuk komunitas yang setiap hari berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Siswa diminta untuk berbaris berhadapan, kemudian memulai bercakap-cakap yang dia bisa dalam bahasa Inggris. Morning Conversation ini bisa dikembangkan dengan memberikan panduan percakapan pendek, yang boleh dikembangkan siswa sendiri.
Demikianlah, terus berupaya mengkreasikan lingkungan berbahasa akan membangkitkan miliu untuk mau dan bisa berbahasa, baik dengan sendirinya ataupun ’terpaksa’.. Saya yakin, ini sangat membantu memotivasi rekan sejawat untuk kembali (mau) belajar bahasa Inggris, karena belajar-tidak belajar, bahasa tersebut harus dipakai di lingkungan ini sehingga ’motivasi’ pun muncul. Jangan heran nanti akan banyak bermunculan slogan di dinding kelas dan kantor. Percakapan antara guru dan murid pun terdukung maksimal karena miliu-nya telah ada.
Berbagai masalah memang akan timbul. Pertama pada diri guru, dan siswa sendiri. Apakah kurang semangat, tidak serius, masa bodoh, merasa tidak penting, dan lainnya. Kedua, lingkungan sekolah, perlu sarana media audio, visual dan lainnya.
Maka control di sini sangat penting. Semua pihak, guru dan murid bahkan wali murid harus bekerja sama agar ’kegiatan miliu pembangkitan motivasi’ ini menjadi unggulan dari berbagai kegiatan sekolah. Mudah-mudahan harapan sekolah tentang penggunaan bahasa Inggris sebagai media pembelajaran dapat diraih, menjadi kebanggaan masyarakat di mana sekolah ini berada, serta contoh bagi sekolah lain. TG
Muhammad Aysar Fahd, S.Ag
Peserta seminar
’Guru Kreatif Pendidikan Berkualitas’ oleh LPI Dompet Dhuafa
PPIB-Bogor
------------------------------------------------
Peserta seminar
’Guru Kreatif Pendidikan Berkualitas’ oleh LPI Dompet Dhuafa
PPIB-Bogor
------------------------------------------------
There is Mr. Is at My School
Sekolahku ini sudah sejak lama memberi warning pada para Guru, agar kita meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris . Globalisasi, AFTA dan perubahan hubungan antara negara kawasan menjadi penyebab utama. Guru Indonesia tak boleh hanya jadi penonton. Kita harus siap, termasuk dalam bahasa Inggris yang sudah dipelajari sejak kelas IV SD.
Alih-alih bisa bercakap, untuk mengerti orang bicara saja masih sering keliru pemahamannya. Alasannya klasik : “Udah lama nggak dipakai. Jadi lupa. Padahal emang dari dulu juga nggak pernah pinter.” Sekolahku konsekuen. Dihadirkanlah seorang Guru bahasa Inggris untuk siswa, sekaligus trainer untuk semua Guru. Namanya Pak Iskandar. Kami otomotis memanggilnya Mr. Is.
Sejak Mr. Is masuk, terasa ada yang berubah di sekolah. Teman-teman Guru jadi pada parno alias paranoid, takut ketemu dia. Pembawaannya yang humble justru membuat kami ‘ngeper’. Tentu saja, karena tak sepatah bahasa Indonesia pun keluar dari mulutnya. Kami jadi gelagepan.
Upaya sekolahku untuk membuat Guru terbiasa berlatih menggunakan bahasanya Pangeran Charles ini lumayan kuat. Awalnya dibuat English Area, yang ditempatkan di tempat Guru biasa ngumpul, di saung, di perpustakaan, dan di kantin. Eh, belakangan tempat-tempat itu tak seramai dulu. “Mendingan nggak minum di kantin daripada harus mikir apa kalimat bahasa Inggris untuk ‘bayar sendiri-sendiri," celoteh Guru lain.
Takut Ketemu Mr. Is
Setiap bertemu orang di sekolah, siapa pun akan disapa oleh Mr.Is , in English tentu saja. Kalau sekedar hai, how are you, kami masih bisa jawab dengan tak kalah ramah. Namun jika Mr. Is sudah menanyakan soal bagaimana persiapan fun cooking hari ini, atau mengingatkan untuk mengajak sharing siswa tentang hot news today, wah …… muncul bahasa-bahasa tarzan.
Kami juga akhirnya banyak melanggar perjanjian, dengan tetap menggunakan bahasa Indonesia untuk menjawab pertanyaan Mr. Is. “Bener-bener kelu lidah ini. Keinginan sih ada. Tapi nggak keluar juga bahasa Inggris dari mulut,“ kata pak Dimas, Guru olah raga.
Sedangkan Bu Lis mengaku , meski sudah berjalan ‘minggir-minggir’ ke samping, maksud hati biar tidak terpergok Mr. Is, eh … tetap disapa juga. Lebih dalam lagi pertanyaannya: ‘You look in a hurry, may I help you?” tanya Mr. Is ramah. “No, thanks….”, sambil menggeleng kepala, “Wah, sejak kapan saya jadi sok imut begini?” aku Bu Lis.
Sekolah–sekolah lokal, seperti sekolahku, yang sedang gencar memperbaiki kualitas akan membuat terobosan yang cukup kreatif. Hasil yang dicapai sangat tergantung pada seberapa proses dan penguatan dilakukan secara terus menerus. Eporia ini bisa membangkitkan semangat, bisa pula menjadi penghambat, terutama bagi Guru yang tak mau pindah dari zona nyaman-nya.
Guru yang bisa memanfaatkan keberadaan fasilitator seperti Mr. Is, akan menjadikan sebagai sebuah peluang dan tantangan. Bukan kelemahan dan ancaman. Setiap sekolah tentu memilki kemajuan-kemajuan yang seharusnya direspon positif oleh semua stake holdernya.
Kuncinya adalah pada proses perubahan itu sendiri. Ada adagium yang mengatakan, seperti katak dibenamkan di air mendidih, katak akan lompat! Namun jika katak diletakkan di air dingin yang dijerang, hingga panas mendidih pun, katak tetap tinggal di dalamnya. Artinya, setiap perubahan, kemajuan, ide, usulan, aturan, atau apa pun namanya, sosialisasikan dengan perlahan, tekankan makna pentingnya. Katakan: “Ini baik untuk Anda, meski tak nyaman pada awalnya” - agar para Guru tak ‘berlompatan’. TG
Sekolahku ini sudah sejak lama memberi warning pada para Guru, agar kita meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris . Globalisasi, AFTA dan perubahan hubungan antara negara kawasan menjadi penyebab utama. Guru Indonesia tak boleh hanya jadi penonton. Kita harus siap, termasuk dalam bahasa Inggris yang sudah dipelajari sejak kelas IV SD.
Alih-alih bisa bercakap, untuk mengerti orang bicara saja masih sering keliru pemahamannya. Alasannya klasik : “Udah lama nggak dipakai. Jadi lupa. Padahal emang dari dulu juga nggak pernah pinter.” Sekolahku konsekuen. Dihadirkanlah seorang Guru bahasa Inggris untuk siswa, sekaligus trainer untuk semua Guru. Namanya Pak Iskandar. Kami otomotis memanggilnya Mr. Is.
Sejak Mr. Is masuk, terasa ada yang berubah di sekolah. Teman-teman Guru jadi pada parno alias paranoid, takut ketemu dia. Pembawaannya yang humble justru membuat kami ‘ngeper’. Tentu saja, karena tak sepatah bahasa Indonesia pun keluar dari mulutnya. Kami jadi gelagepan.
Upaya sekolahku untuk membuat Guru terbiasa berlatih menggunakan bahasanya Pangeran Charles ini lumayan kuat. Awalnya dibuat English Area, yang ditempatkan di tempat Guru biasa ngumpul, di saung, di perpustakaan, dan di kantin. Eh, belakangan tempat-tempat itu tak seramai dulu. “Mendingan nggak minum di kantin daripada harus mikir apa kalimat bahasa Inggris untuk ‘bayar sendiri-sendiri," celoteh Guru lain.
Takut Ketemu Mr. Is
Setiap bertemu orang di sekolah, siapa pun akan disapa oleh Mr.Is , in English tentu saja. Kalau sekedar hai, how are you, kami masih bisa jawab dengan tak kalah ramah. Namun jika Mr. Is sudah menanyakan soal bagaimana persiapan fun cooking hari ini, atau mengingatkan untuk mengajak sharing siswa tentang hot news today, wah …… muncul bahasa-bahasa tarzan.
Kami juga akhirnya banyak melanggar perjanjian, dengan tetap menggunakan bahasa Indonesia untuk menjawab pertanyaan Mr. Is. “Bener-bener kelu lidah ini. Keinginan sih ada. Tapi nggak keluar juga bahasa Inggris dari mulut,“ kata pak Dimas, Guru olah raga.
Sedangkan Bu Lis mengaku , meski sudah berjalan ‘minggir-minggir’ ke samping, maksud hati biar tidak terpergok Mr. Is, eh … tetap disapa juga. Lebih dalam lagi pertanyaannya: ‘You look in a hurry, may I help you?” tanya Mr. Is ramah. “No, thanks….”, sambil menggeleng kepala, “Wah, sejak kapan saya jadi sok imut begini?” aku Bu Lis.
Sekolah–sekolah lokal, seperti sekolahku, yang sedang gencar memperbaiki kualitas akan membuat terobosan yang cukup kreatif. Hasil yang dicapai sangat tergantung pada seberapa proses dan penguatan dilakukan secara terus menerus. Eporia ini bisa membangkitkan semangat, bisa pula menjadi penghambat, terutama bagi Guru yang tak mau pindah dari zona nyaman-nya.
Guru yang bisa memanfaatkan keberadaan fasilitator seperti Mr. Is, akan menjadikan sebagai sebuah peluang dan tantangan. Bukan kelemahan dan ancaman. Setiap sekolah tentu memilki kemajuan-kemajuan yang seharusnya direspon positif oleh semua stake holdernya.
Kuncinya adalah pada proses perubahan itu sendiri. Ada adagium yang mengatakan, seperti katak dibenamkan di air mendidih, katak akan lompat! Namun jika katak diletakkan di air dingin yang dijerang, hingga panas mendidih pun, katak tetap tinggal di dalamnya. Artinya, setiap perubahan, kemajuan, ide, usulan, aturan, atau apa pun namanya, sosialisasikan dengan perlahan, tekankan makna pentingnya. Katakan: “Ini baik untuk Anda, meski tak nyaman pada awalnya” - agar para Guru tak ‘berlompatan’. TG
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009.
Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.
1 komentar:
saya (bukan guru b.inggris)pengen belajar b.inggris gmana caranya atau tips mudah jika saya otodidak ? tolong kirimin balasannya ya......
Posting Komentar