SMA Kolese De Britto memang berisi pribadi-pribadi yang tidak puas hanya sekadar di kelas, sangat terbuka, tidak berhenti pada hal yang rutin. Idealisme mereka cukup terwadahi, agar Guru tidak hanya berdiri di depan kelas, tapi terlibat penelitian, ide-ide di kota, menanggapi panggilan sebagai pendidik, tertarik banyak bidang, dan banyak membaca.
Guru memilki kesempatan refleksi melalui forum pedagogi Ignasia (2 bulan sekali) di mana Guru berkumpul, bertemu di sore hari, tanpa beban kerja, berbincang santai. Kadang ada nara sumber. Selebihnya, sekolah mendukung dengan memberi insentif bagi Guru yang tulisannya dimuat di media, lokal maupun nasional. Sarana untuk menulis juga diberikan. Kredit laptop, hot spot area.
Ada juga Guru yang tidak menulis. Tapi usaha memancing untuk maju juga dilakukan. Di ulang tahun ke 60 kemarin, semua Guru diminta menulis perjalanan mereka dari awal hingga kini.
Konten yang disuarakan adalah sesuatu yang berbeda. Sekolah ini menghargai setiap individu autentik sesuai yang Allah ciptakan. Visi sekolah ini mendarah daging. Sebuah kebebasan. Biarlah anak tumbuh sesuai yang dikehendaki. Sesuai citra Allah dalam Katolik. Kebaikan Allah akan muncul di situ. Sekolah hanya memfasilitasi. Siswa disadarkan, bahwa mereka dicintai oleh Allah. Identitas dipahami secara maksimal, sesuai konteks individu, keluarga, masyarakat, dan sekolah.
Kalau siswa selesai melakukan sesuatu, selalu diajak duduk untuk refleksi. ‘Kamu mau apa?’ Dinamikanya selalu seperti ini. Memahami konteks anak maupun objek, mencari pengalaman dan evaluasi dan refleksi dan merencanakan kegiatan berikutnya. Dan ini semua ditulis.
Kegelisahan yang Menguntungkan Guru De Britto melihat ketidakadilan dengan ketidakpuasan. Kritik mereka tentang myopi pendidikan, tentang SMK yang digalakkan, menghasilkan sebuah pemikiran, bahwa 10 tahun ke depan, kita memerlukan ahlinya. Bukan hanya tukang.
Ini point-point leadership sebetulnya. Visi pemimpin yang melayani. Kompeten, punya hati nurani dan kepedulian. Ini kata kunci Gereja Katolik. ‘Saya kira semua agama juga begini. Multi kultur sudah menjadi keseharian’.
Dalam ‘keliaran’ itu muncul gagasan-gagasan. Anak-anak menjadi lugas. Ada ruang untuk anak bisa bilang ‘aku tidak suka’. Di sekolah ini tidak ada sesuatu yang dimulai dengan kata tidak boleh. Misal: ‘tugas ini dikumpulkan hari Senin, tanggal sekian, jam pelajaran pertama’. Tak penah ada kata-kata ‘paling lambat tanggal sekian’. Ini budaya komunikasi yang akhirnya terbawa pada nilai-nilai kehidupan.
Anak di sini tak semuanya pintar. Tapi punya kepedulian pada yang lemah. Di luaran lebih dikenal dengan pendidikan karakter. Kalau sekarang banyak sekolah membuat ‘kantin kejujuran’, di sini sudah puluhan tahun kantin berjalan tanpa penunggu. Hanya sebutannya tak dinamakan kantin kejujuran. Biasa saja.
Tak satu pun di tembok ada coretan. Sampah juga tak ada yang tercecer. Perkelahian antar anak hampir nol persen. Perseteruan yang ada dibicarakan. Kalau ada yang melanggar, mereka tahu akan tertolak di komunitas ini. Contoh dari kakak kelas menjadi keteladanan yang mengalir saja.
Apakah ini karena kekuatan leadership kepala sekolah?
Bukan itu yang mutlak, biasa-biasa saja jadi kepala sekolah. Kultur di sini yang mengalir sendiri. Peneguhan saat inisiasi adalah saling mengenal. Selalu penekanannya bukan pada uang. Tapi sebanyaknya melayani orang lain. Semua orang, mulai dari satpam sampai kepsek, tahu nama siswa. Kami edarkan katalog lengkap dengan foto dan alamat. Semua saling mengenal.
Misalnya ada siswa yang jadi ngeyel setelah sekolah di sini, mungkin di kelas 1 selalu ada. Orang tua bisa ngobrol dengan pastor, Alumni diundang untuk bicara, nilai apa yang harus mereka ikuti. Humanisme tergali. Di sekolah boleh bicara apa saja. Bukan wild, tapi free.
Di sini siswa yang Katolik, yang Muslim, bisa berdampingan. Ada pengakuan dosa, dinamika masa tobat diterjemahkan dalam agama sendiri-sendiri. Sesekali ada juga ustadz untuk anak muslim. Tentu dipilih yang bisa memandang perbedaan dengan semangat kebersamaan. Sekolah ini banyak dikunjungi dari beragam segmen. Dianggap aneh mungkin.
Tawa pak Kris renyah, ditingkahi suara nyanyian siswa yang masih berada di sekolah selepas jam pulang. Rupanya mereka sedang berlatih koor. Ketika kami melintas, dengan ramah mereka menyapa, menanyakan siapa kami dan dari mana. Ketika tahu kami dari media, mereka bergaya dan berceloteh ala anak muda yang narsis. Pemandangan yang berkesan ….
Ketika anak dalam kondisi yang mereka inginkan (ada batasan juga), secara sosial dia akan ada pada sistem sosial itu sendiri. Tapi jiwanya bebas. Sekolah mengimbangi dengan fasilitas. Anak laki-laki butuhnya apa sih? Olah raga, kesenian, buku, semua ragamnya ada. Mereka bikin liga sepak bola tahunan. Pialanya bisa kambing, anjing, yang aneh-aneh lah. Kalau sudah bosan, hadiahnya diberikan kepada penjaga sekolah.
Anak ditanya mengapa kamu gondrong, mengapa terlambat? Itu ditanya dan di-dialog kan. Akar persoalannya diketahui. Solidaritas pada teman juga luar biasa.
Membuka diri dialog dengan anak itu tidak mudah. Guru memberi ruang dan bersedia dengan kerendahan hati untuk sejajar dengan siswa. Anak pagi-pagi sudah membuka google misalnya. Guru akui saja dia ketinggalan informasi.
Di dunia yang flat in kan masalah gender sudah melemah?
Tentu kami memimpikan keseimbangan. Kini ada Guru perempuan. Dulu nggak ada. Di ruang Guru juga sudah mulai ada bunga, makanan kecil, lebih indah lah. Dulu dari kamar mandi ada anak jalan pake celana dalam ‘doang’. Argumen mereka kuat. Dengan ibu guru, mereka lebih menata hati. Tapi pertemanan dengan sekolah Stece (Stella Duce), Santa Maria, mereka bisa berteater, bermusik, pentas bersama. Anak perempuan masuk ke sini juga tidak takut. Seimbang saja koq.
Asal usul menjadi sekolah khusus laki-laki ini karena sejarah. Bukan Karena mau eksklusif. Tahun 48-49, pada waktu Agresi Belanda ke dua, yang perempuan tidak diganggu tentara. Yang pria ’kan diganggu tentara terus. Jadi disendirikan. Setahun kemudian, yang laki baru dibuka lagi. Agar yang perempuan yang sudah mapan tidak terganggu, ya jalan terus saja. Kembar siam saja dengan Stece.
Melegenda ya?
Taman Siswa, Kayu Tanam, sekarang seolah tak terdengar. Padahal sangat baik. Mungkin karena De Britto selalu dihidupi oleh para Jesuit. Orang muda yang baru datang, dibenturkan visi pribadinya dengan visi bersama, sehingga menjadi fanatik, cinta pada lembaga jadi kuat.
Semua Guru happy ending?
Memangnya nggak ada kegelisahan hidup? Ya mereka juga manusia biasa. Bedanya ada pada cara mereka memandang dan mengatasinya saja………..
( Apa saja yang sudah Guru lakukan? Simak penuturan para Guru penulis itu, dan komentar tentang mereka dalam tulisan ‘The Champion’ berikut). TG
*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol III/2009. Dapatkan hard copy di toko-toko Gramedia dan Gunung Agung sekitar Anda. Atau hubungi bagian berlangganan Hp/SMS ke 0856 8040 385.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar